Sabtu, 20 Desember 2014

Hukum Kuburan di Bangun dengan Sebuah Bangunan

Apa hukum membangun bangunan di atas kuburan ?

Syaikh Utsaimin rahimahullah menjawab:

Membangun bangunan di kuburan hukumnya haram!

Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah melarang dari perkara ini karena hal ini termasuk bentuk pengagungan terhadap penghuni kubur.

Juga menjadi perantara dan membuka pintu kepada mengibadahi kuburan itu dan mengambil sesembahan bersama Allah.

Sebagaimana ini keadaan dari kebanyakan keadaan bangunan-bangunan yang dibangun di atas kuburan.

Maka manusia pun di sana menjadikan penghuni kuburan sebagai sekutu sesembahan bagi Allah. Mereka berdoa bersama Allah ta'ala.

Dan amalan berdoa kepada penghuni kubur dan beristighatsah kepadanya dalam rangka menghilangkan kesusahan-kesusahan adalah syirik besar dan kemurtadan dari Islam.

Allahu musta'an (Allah lah tempat meminta pertolongan..).

[Fatawa Arkanil Islam wal Aqidah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 23, cet. Maktabatush Shafa 2007].

Malik bin Dinar dan Seorang Pencuri

Seorang pencuri masuk ke rumahnya Malik bin Dinar.

Ternyata tidak ada di dalamnya sesuatu apapun.

Malikpun memergoki pencuri tersebut.

Pencuri itupun mendatangi Malik dan Malik berucap kepada pencuri itu: "As Salaam.."

Pencuri itu menjawab: "'Alaikas Salaam.."

Malik berkata: "Aku lihat engkau tidak mendapatkan apapun dari perkara dunia. Apakah engkau mau sesuatu dari perkara akhirat..?"

Pencuri itu menjawab: "Ya"

Malik berkata: "Bersucilah engkau lalu shalatlah dua raka'at!"

Pencuri itupun shalat. Lalu dia berkata: "Wahai tuanku, duduklah bersamaku sampai subuh!"

Maka mereka pun duduk.

Ketika Malik keluar menuju mesjid dan pencuri itu bersama Malik, murid-murid Malik pun bertanya: "Siapakah dia ?"

Malik menjawab: "Orang ini datang ingin mencuri, tapi aku yang malah mencurinya"

(Mukhtashar Tarikh Dimasyqi 6/121. Dinukil dari Raudhatul Hulama-Abul Abbas Ahmad, Maktabah Imam Al Wadi'i Shan'a. hal. 114-115).

Berdakwah Semampunya

Berkata Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah:

"... Tidak semua mampu untuk berdakwah. Dengan makna, bahwasanya dia mengajari manusia tentang perkara agama dan perkara akidah serta beramar maruf bernahi munkar.

Tidak setiap orang mampu seperti ini! Mungkin karena sebab kelemahan badan dan kepribadiannya, atau mungkin juga karena kelemahan ilmunya yang tidak ada padanya pengetahuan tentang perkara halal dan haram, tentang perkara wajib dan mandub, tentang perkara makruh dan mustahab.

Maka dakwah hanya dilakukan atas orang yang mampu menegakkannya dan mumpuni terhadap perkara di atas!

Akan tetapi wajib bagi setiap muslim menunaikan tanggungjawab dakwah sekadar kemampuan mereka.

Seperti contohnya pada seseorang yang berada di rumahnya. Jika dia seorang kepala rumah tangga, maka dia berdakwah kepada keluarganya dengan cara memerintahkan kepada perkara yang maruf dan mencegah dari perkara yang munkar.

Dan juga menjaga rumahnya dari kemungkaran-kemungkaran dan menghidupkan rumahnya dengan amal-amal shalih, karena Allah berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka...

Maka setiap manusia terbebani untuk berdakwah ilallah, beramar maruf nahi mungkar kepada keluarganya dan kepada orang-orang yang dibawah tanggung jawabnya.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Perintahkan oleh kalian anak-anak kalian untuk shalat di usia 7 tahun. Pukullah mereka di usia 10 tahun. (HR. Abu Dawud, dishahihkan Syaikh al Albani).

Konteks hadits di atas ditujukan secara umum kepada seorang bapak.

Maka tidaklah seorang muslim kecuali dia menanggung beban tanggung jawab dakwah. Baik secara umum atau secara khusus.

Adapun ahlul ilmi, beban tanggung jawabnya lebih besar lagi. Dan kewajiban atas mereka tentu sangat besar lagi".

(Irsyadul Killan karya Syaikh Fauzan, juz 1 hal. 53, cet. Darul Bashirah, th. 2009)

Petikan Salaf ketika Shalat Makam

Petikan Keadaan Salaf dalam Menyembunyikan Amalan Shalat Malamnya

Ibnul Mubarak berkata:
"Tidaklah aku melihat seseorang yang tinggi (derajatnya) semisal Malik bin Anas. Tidaklah dia melakukan shalat (sunnah) atau puasa (sunnah) kecuali dalam keadaan sembunyi-sembunyi".
[Hilyatul Aulia 6/330].

Adalah Ayub as Sikhtiyani, beliau shalat malam di sepanjang malam dalam keadaan sembunyi-sembunyi. Apabila telah mendekati waktu subuh, dia pun mengeraskan bacaannya seakan-akan dia baru bangun saat itu.
[Hilyatul Aulia 3/8].

Berkata Al A'masy:
"Dahulu jika Abdurrahman bin Abi Laila shalat malam dan ada orang yang masuk, maka dia pun tidur di tempat tidurnya"
[Hilyatul Aulia 4/351].

Hassan bin 'Athiyah berkata:
"Shalatnya seseorang di sisi keluarganya adalah termasuk amalan yang sembunyi-sembunyi".
[Hilyatul Aulia 6/72].

Jumat, 12 Desember 2014

Malu Bertanya Sesat di Jalan

"Malu Bertanya Sesat di Jalan"

Ungkapan terkenal yang diajarkan oleh orang tua dan guru-guru kita sejak kecil.

Ungkapan di atas setidaknya mengingatkan saya akan sebuah hadits yang dibawakan oleh Imam Bukhari (hadits no. 130) dan Imam Muslim (hadits no. 313) dalam kedua kitab Shahih mereka.

Yaitu sebuah hadits yang dituturkan oleh Ummu Salamah perihal kedatangan Ummu Sulaim kepada Rasulullah yang menanyakan apakah 'ihtilam' (mimpi basah) seorang wanita mewajibkan mandi ataukah tidak.

Pada awal konteks hadits disebutkan bahwa Ummu Sulaim memulai pertanyaannya dengan ucapan:
"Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak malu dari al haq...". Hingga akhir hadits.

Ikhwatii fillah,
Dalam penggalan lafazh pembuka Ummu Sulaim di atas, Imam Nawawi rahimahullah menyatakan:
"... Seyogyanya bagi seseorang yang mempunyai suatu permasalahan hendaknya untuk bertanya, dan janganlah perasaan malu itu menghalangi darinya dari bertanya, karena yang demikian itu sesungguhnya bukanlah malu yang hakiki.

Malu itu semuanya baik, dan malu tidaklah ada kecuali mendatangkan kebaikan. Dan menahan diri dari bertanya akan sebuah permasalahan bukanlah perkara yang baik, bahkan ini adalah perkara yang jelek..."
(Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi, kitabul haidh hadits no. 313, cet. Dar Ibnul Jauzi, jil. 2 hal. 186).

Ikhwatii fillah,
Dengan penjelasan di atas, maka ada anjuran untuk kita bertanya jika ada sesuatu yang mengganjal pada diri kita.

Apapun masalahnya, bertanyalah..

Walau dalam permasalahan yang teranggap ringan, sepele atau remeh sekalipun.

Jika memang kita membutuhkan penjelasan, maka bertanyalah..!

Perhatikan ucapan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata:
"...Kebanyakan dari manusia berkata: Aku khawatir jika aku bertanya tentang suatu permasalahan, maka manusia akan berkata kepadaku: Ini adalah permasalahan yang mudah, kenapa kau menanyakannya?'

Anggapan di atas adalah salah!
Dan ini berasal dari setan!

Tanyakanlah olehmu walaupun pada permasalahan yang mudah!

Karena terkadang suatu permasalahan, di sisi dugaanmu adalah mudah, tapi belum tentu di sisi dugaan orang itu mudah.

Lantas, apakah jika ada suatu permasalahan yang dianggap oleh satu orang mudah, lalu di sisi setiap orang juga mudah? Tentu tidaklah demikian..!
(Syarah Shahih Bukhari karya Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1 hal. 260, cet. Daruth Thayyibah 2007)

Oleh karena itu bertanyalah wahai teman-teman. Agar kita tidak sesat di jalan.

Tentunya setiap problema ditanyakan kepada ahlul ilmi. Sebagaimana firman Allah ta'ala:
"Tanyalah oleh kalian kepada ahlu dzikr (ulama) jika kalian tidak mengetahui"

Semoga bermanfaat.
Wallahu 'alam.

Yang mengharap barakah dari ilmu,
hanyaikhwanbiasa di catatankajianku.blogspot.com

Malu Menuntut Ilmu

"Ana malu kalau datang taklim..."

Ucapan itu kadang kita dapati pada sebagian teman kita.

Atau, mungkin kita sendiri yang mengucapkan!

Bisa jadi karena beberapa faktor.

Mungkin karena belum pernah menghadiri majelis taklim sebelumnya, alias baru kenal ngaji.

Atau sudah pernah taklim, tapi karena kesibukkan, akhirnya jarang hadir di majelis ilmu. Sampai akhirnya dia meninggalkan taklim sekian lama, yang semuanya berujung kepada penurunan tingkat ke-PeDe-an dia untuk menghadiri kembali majelis ilmu.

Atau adanya faktor-faktor yang lain yang beragam. Wallahu 'alam

Akhirnya..

Kata 'malu' pun menjadi pamungkas dalam mengajukan alasan.

Padahal 'malu' pada permasalahan ilmu merupakan tindakan yang tidak patut.

Perhatikan ucapan Imam Mujahid rahimahullah berikut ini:
"Tidaklah akan mendapatkan ilmu seorang yang 'malu' dan sombong".
(HR. Bukhari dalam Shahih-nya secara mu'allaq. Sanadnya shahih muttasil dibawakan Abu Nu'aim dalam Hilyatul Aulia)

Ikhwatii fillah,
Seyogyanya bagi kita agar membuang jauh perasaan 'malu' pada perkara ilmu.

Karena tindakan yang demikian merupakan tindakan yang terpuji, sebagaimana hal inid pernah diikrarkan oleh 'Aisyah radhiallahu'anha. Beliau berkata:
"Sebaik-baik wanita adalah wanita dari kalangan Anshar. Mereka tidak malu untuk bertafaqquh fiddin".
(HR. Bukhari dalam Shahihnya secara mu'allaq. Sanadnya shahih muttasil dibawakan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya).

Lalu, apa batasan malu yang terpuji dan malu yang tercela?

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan batasan antara malu yang tercela dan malu yang terpuji.

Berkata rahimahullah:
"... Apabila perasaan malu akan menghalangimu dari penunaian perkara yang wajib atau menghalangimu dari meninggalkan yang haram, maka malu yang seperti ini adalah malu yang tercela.

Adapun jika perasaan malu tersebut akan menghantarkan engkau kepada akhlak yang utama dan adab yang mulia, maka malu yang seperti ini adalah malu yang merupakan bagian dari iman".
(Syarah Shahih Bukhari karya Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1 hal. 260, cet. Maktabah ath Thabari, th. 2007).

Semoga bermanfaat.
Wallahu 'alam.

Yang mengharap isthqamah dalam menuntut ilmu,
hanyaikhwanbiasa di catatankajianku.blogspot.com

Danger Area

Danger Area !

Sering kita mendapati tulisan ini.

Kewaspadaan akan ekstra meningkat ketika kita melewati area tersebut.

Perhatian dan pemantauan akan senantiasa terfokus ketika melintasi lokasi tersebut.

Itu biasa terjadi pada suatu lokasi yang penuh dengan ancaman kecelakaan.

Akan tetapi, sadarkah kita..

Sesungguhnya ada beberapa area berbahaya yang harus kita waspadai di sana.

Label 'zona aman' tidak boleh di rasa pada permasalahan ini.

Apa saja area berbahaya itu ?

Mari kita simak melalui lisan para salafush shalih, apa saja area berbahaya tersebut.


1. Ancaman Kemunafikan.

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata:
“Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua takut kemunafikan minimpa dirinya.”
[Fathul Bari 1/137]

Berkata seseorang kepada Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu 'anhu:
"Aku takut menjadi seorang yang munafik"
Maka Hudzaifah ibnul Yaman menjawab:
"Kalau engkau seorang munafik, maka engkau tidak akan takut"
['Uyunul Akhyar 2/739]


2. Ancaman Riya'

'Abdah bin Abi Laila rahimahullah berkata:
"Sesungguhnya orang yang paling dekat dengan riya' adalah orang yang merasa aman darinya".
[Hilyatul Aulia, tahdzibnya 2/278].


3. Ancaman Masuk Neraka.

Hafs bin 'Umar menceritakan bahwa suatu hari Al Hasan al Bashri menangis.
Maka ada yang bertanya kepadanya:
"Mengapa engkau menangis ?"
Beliau menjawab:
"Aku takut kelak di hari kiamat aku dilemparkan ke api neraka dan aku tidak dipedulikan lagi (oleh Allah ta'ala)"
[Al Muntazham 1/137]


4. Merasa diterimanya amal

Qabishah bin Qais al Anbari menuturkan tentang keadaan Adh Dhahak bin Mazahim rahimahullah yang selalu menangis jika memasuki sore hari.
Maka suatu ketika beliau ditanya apa gerangan penyebab kebiasaan ini.
Adh Dhahak menjawab:
"Aku tidak tahu mana yang akan naik dari amalku hari ini"
[Al Muntazham 7/197]


5. Merasa Banyak Amal Sehingga Merasa Aman darh Azab Allah.

Hudzaifah bin al Mar'asyi rahimahullah berkata:
"Apabila engkau tidak merasa takut bahwa Allah akan mengazabmu atas keutamaan amalmu, maka engkau orang yang celaka"
[Shifatush Shafwah 4/475].

Ikhwatii fillah,
Sebenarnya masih banyak 'Area Danger' yang lainnya.

Akan tetapi semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat buat saya pribadi dan teman-teman semua.

* Kalam-kalam di atas bisa dirujuk di kitab Hayatus Salaf hal. 506-538, cet. Dar Ibnul Jauzi, th. 2011.

Yang mengharap rahmat Allah,
hanyaikhwanbiasa di catatankajianku.blogspot.com

Waspada Riya

Tahapan Setan dalam Menjerumuskan Seorang Hamba kepada Riya' (beramal karena ingin dilihat agar mendapat pujian)

Berkata Sufyan ats Tsauri rahimahullah:

Telah menyampaikan kepadaku bahwasanya seorang hamba ketika mengamalkan suatu amalan yang tersembunyi, maka setan pun senantiasa bersamanya (untuk menggoda) sampai setan bisa menguasainya.

Maka dia pun menampakkan amalannya (setelah sebelumnya menyembunyikan amalannya) dan tercatat sebagai orang yang mengamalkan amalam yang zhahir.

Setan pun terus bersamanya (untuk menggodanya) sampai dia mencintai pujian atas amalan zhahirnya tersebut.

Maka terhapuslah dia sebagai orang yang beramal amalan zhahir, dan dia ditetapkan sebagai orang yang riya' dalam beramal.

(Hilyatul Aulia karya Abu Nu'aim al Ashbahani juz 7, hal. 30-31. Dinukil dari Tahdzibnya hal. 35, cet. Daruth Thayyibah-Riyadh 2006)

Ringankan Beban Punggungmu !

Seorang Tabi'in yang bernama Maimun bin Mihran rahimahullah berkata:

Wahai bani adam, ringankanlah beban di punggungmu !

Karena punggungmu tidak akan mampu untuk memikul setiap beban yang diberikan dari berupa kezhaliman, memakan harta orang dan mencela.

Lantas, apakah semua itu akankah engkau pikul di atas punggungmu ?

Maka ringankanlah beban di punggungmu !

Sesungguhnya amal-amal kalian itu sedikit. Maka ikhlashlah (semata karena Allah) apa yang sedikit tersebut !

(Hilyatul Aulia karya Abu Nu'aim al Ashbahani juz 7, hal. 30-31. Dinukil dari Tahdzibnya hal. 35, cet. Daruth Thayyibah-Riyadh 2006)

Senin, 08 Desember 2014

Menuntut Ilmu adalah Jihad fii Sabillah

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulullah:

... Allah menjadikan perkara menuntut ilmu agama Allah itu seperti layaknya jihad fii sabilillah.

Bahkan lebih utama lagi!

Karena tidak mungkin seorang mujahid akan bisa berjihad, seorang yang shalat bisa shalat...
Kecuali dengan ilmu.

Maka ilmu adalah pokok dari segala sesuatu, demikianlah hal ini disebutkan sebagaimana sabda nabi: Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan, niscaya akan difaqihkan dalam agamanya.

Tidak ada bedanya antara seorang mujahid yang menggunuskan pedang dengan seorang penuntut ilmu yang membahas permasalahan-permasalahan ilmiyah dari dalam kitab-kitab.

Setiap dari mereka telah berbuat amal untuk jihad fii sabilillah dan menjelaskan syariat Allah untuk hamba Allah...

(Silahkan lihat Syarah Riyadhush Shalihin karya Syaikh Ibnu Utsaimin, jilid 3 hal. 464, cet. Dar Ibnul Jauzi, th. 2006)

Himmah Tinggi

"Aku ingin menerbangkannya setinggi mungkin.."

Gumam seorang anak umuran SD sambil menenteng layang-layang lengkap dengan tali benangnya.

Dia pun mencoba menaikan layang-layang itu sendiri..

Tapi sayang.. Berulang-ulang dia terbangkan, layang-layang itu belum mau juga terbang.

Tidak putus asa. Dia pun meminta bantuan temannya.

"Wahai temanku, tolong pegang layang-layangku.. Bawa jauh ke depan sana.. Aku akan tarik dari sini.." Teriaknya kepada temannya.

Temannya pun membantu memegang layang-layangnya.

Dibawanya layang-layang tersebut jauh ke depan.

" Ya, lepaskan!" Teriaknya pada temannya.

Tali benangpun ditarik cepat, bersamaan dengan dilepasnya pegangan.

Ah.. Ternyata layang-layang masih belum bisa mantap terbang. Dia malah menukik ke bawah sesaat setelah naik.

Terus, berulang-ulang keadaan layang-layangnya.

Sang anak pemilik layang-layang pun memeriksa layang-layangnya. Mungkin ada yang tidak beres dari tali kama-nya, atau ada sesuatu yang perlu dibenahi.

Dia pun memeriksa dan membenahi apa yang kurang dari layang-layangnya.

Setelah semua sesuai standar, dia pun memutar otak, apalagi usaha yang harus dilakukan agar layang-layangnya bisa terbang di langit.

Ketika melihat sekitar, dia pun mendapat ide.

Dia naik ke atas dataran tinggi.

Dia pun kembali menyuruh temannya untuk memegang layang-layangnya dan membawa jauh ke depan agar bisa ditarik ke atas.

"Ya, lepaskan.."

Tarikan yang berpadu dengan ketepatan lepasan, menjadikan layang-layang naik melesat ke atas.

Posisi atas sang penarik benang pun disambut dengan angin, membawa layang-layang terbang membumbung tinggi.

Terus naik dan naik. Bertengger mantap di atas langit.

Segurat senyum merekah di wajah sang anak pemilik layang-layang.

Kelelahan usaha tak terasa, telah terbayar purna dengan keberhasilan mewujudkan tekad...

Menerbangkan layang-layang.

Ikhwatii fillah,
Itulah gambaran sebuah himmah. Tekad seorang anak dalam menerbangkan layang-layangnya.

Dikisahkan, sebab penulisan kitab Shahih Bukhari adalah ketika Imam Bukhari mendengar Ishaq bin Rahawih di suatu majelisnya mengatakan:

"Duhai seandainya ada salah seorang dari kalian ada yang mampu mengumpulkan dalam satu kitab, hadits-hadits shahih dari Rasulullah"

Ketika mendengar itu, melejitlah himmah Imam Bukhari untuk mewujudkan keinginan shahabatnya tersebut.

Waktu berlalu, dan dengan pertolongan Allah kemudian dengan himmah Imam Bukhari, jadilah sebuah kitab yang monumental Shahih Bukhari yang kita kenal.

Demikian juga Imam adz Dzahabi, beliau menuturkan sendiri awal mula beliau tertarik belajar ilmu hadits.

Beliau menuturkan, "Ketika Imam al Barzali melihat tulisanku, beliau berkata: Sesungguhnya tulisanmu seperti tulisan ahlul hadits.

Ketika mendengar ucapan tersebut, maka timbullah himmah Imam adz Dzahabi untuk menjadi ahlul hadits. Beliau menuturkan: Maka setelah itu, Allah membuat aku cinta kepada ilmu hadits.

Dan berjalanlah waktu hingga beliau menjadi Imam Ahlul Hadits di zamannya.

Ikhwatii fillah,
Demikianlah himmah.

Jika di antara kita telah ada sebesit himmah, baik himmah ingin punya hafalan Al Qur'an, ingin punya hafalan hadits, ingin bisa berbahasa arab, ingin bisa baca kitab ulama, ingin.. Ingin.. Dan ingin.. Maka jadilah orang yang berhimmah tinggi dan kokoh.

Terus usaha dan doa adalah kunci kesuksesan.

Disamping engkau terus maju pantang mundur, engkau juga harus terus berdoa dan minta pertolongan kepada Allah.

Yaa Allah, kami memohon kekuatan dan pertolongan dari-Mu dalam mewujudkan himmah belajar dan ibadah kami..

Wallahu alam.
Semoga bermanfaat.

* Atsar Imam Bukhari bisa dilihat di kitab Hadyus Saari. Atsar Imam adz Dzahabi bisa dilihat di Siyar Alamun Nubala.

Antara Shahih Bukhari dan Shahih Muslim

Shahih Bukhari dan Shahih Muslim

Kedua kitab di atas adalah kitab yang teratas setelah Al Qur'an.

Rujukan utama kaum muslimin setelah Al Qur'an dan rujukan sebelum kitab-kitab selain keduanya.

Mana yang lebih utama?
Shahih Bukhari kah, atau Shahih Muslim?

Ibnu Hajar al Atsqalani sedikit menjabarkan tentang hal ini dalam kitabnya Nuzhatun Nazhar.

Berikut kesimpulannya:

1. Dari sisi bersambungnya sanad.
Shahih Bukhari lebih kuat dibanding Shahih Muslim.
Imam Bukhari mensyaratkan antar perawi hadits harus saling bertemu dan dipastikan mendengar walau hanya sekali saja.
Sedangkan Imam Muslim tidak demikian. Imam Muslim hanya mencukupkan bahwa antar perawi hadits yang sezaman, memungkinkan untuk bertemu saja.

2. Dari sisi al 'adalah (kompeten) dan dhabth (kekuatan hafalan).
Perawi-perawi dalam Shahih Bukhari lebih sedikit yang diperbincangkan para ulama dibanding perawi-perawi dalam Shahih Muslim.

3. Dari sisi adanya syadz dan 'illat hadits.
Hadits-hadits di Shahih Bukhari lebih sedikit yang dikritisi oleh para ulama dibanding dalam Shahih Muslim.

Bersamaan dengan hal-hal di atas, Imam Muslim adalah murid dari Imam Bukhari.

Akan tetapi, Shahih Muslim lebih unggul dalam sisi sistematis fikih peletakan bab-bab haditsnya dibandingkan Shahih Bukhari.
Dan Shahih Muslim lebih sedikit dalam pengulangan hadits-hadits dibanding Shahih Bukhari.

Demikian sedikit kesimpulannya. Jika ada yang salah atau kurang mohon dikoreksi.

wallahu alam.

(Faidah taklim dari Ust. Abdurrahman Mubarak ketika membaca Nuzhatun Nazhar karya Ibnu Hajar al Atsqalani di Ma'had Riyadhul Jannah Cileungsi).

Tidak Ingin Seperti Selebriti

Habib ibnu Abi Tsabit, salah seorang murid dari seorang shahabat yang mulia, Abdullah ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu.

Habib pernah mengisahkan tentang keadaan gurunya,

"Di suatu hari gurunya (Ibnu Mas'ud) keluar untuk suatu keperluan.

Orang-orang yang melihat Ibnu Mas'ud keluar, mereka pun bersegera untuk mengikutinya.

Maka beliau pun berhenti, bertanya kepada orang-orang yang mengikutinya: Apakah kalian punya keperluan?

Mereka menjawab: Tidak, kami tidak punya keperluan. Kami hanya menginginkan bisa berjalan dengan engkau saja.

Mendengar jawaban tadi, beliau pun menjawab: Kembalilah kalian..! Karena hal itu merupakan kerendahan bagi kalian, dan menjadi fitnah bagiku.


Ikhwatii fillah,
Demikian penggalan kisah ketawadhu'an shahabat Abdullah ibnu Mas'ud.

Beda dengan keadaan kebanyakan manusia sekarang.

Mereka sangat suka jika banyak orang yang mengikutinya.

Bangga jika orang-orang memperlakukannya bak selebritis.

Semakin banyak perhatian orang kepadanya, semakin menjadi-jadi pula ambisi tuk jadi orang terdepan.

Allahu musta'an..

Semoga Allah menjauhi kita dari hal yang seperti ini. Amin.

* Atsar di atas adalah saduran bebas dari kitab Shifatush Shafwah karya Ibnul Jauzi, hal. 153, cet. Darul Hadits, th. 2000.

Rasa Takut

Ikhwatii fillah,
Para ulama menasehatkan kepada kita perihal rasa takut dan rasa harap dalam perjalanan seorang hamba kepada Rabb-Nya.

Di antara bimbingan ulama yang sampai kepada kita adalah sebagai mana ucapan Fudhail bin Iyadh rahimahullah:

"Rasa takut itu lebih diutamakan dari rasa harap selama orang itu dalam keadaan sehat.

Jika telah datang masa dekat ajal, maka rasa harap lebih diutamakan".

Ikhwatii fillah,
Maka di saat kita sehat, lapang, tenang atau tentram, upayakanlah agar kita selalu memancangkan rasa takut kepada Allah.

Karena dengan itu, semoga kita selalu bisa mengerem keinginan-keinginan jelek dari berbagai pemuasan nafsu syahwat yang diharamkan Allah ta'ala.

Barangsiapa yang diberi taufik yang demikian, maka dia akan menuai kebaikan di dunia dan di akhirat.

Sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh Imam Abu Sulaiman ad Darani:

"Pokok dari setiap kebaikan di dunia dan di akhirat adalah rasa takut kepada Allah. Dan setiap hati yang di dalamnya tidak ada rasa takut kepada Allah, maka itu adalah hati yang hancur".

Wallahu alam.
Semoga bermanfaat.

* Atsar-atsar di atas dinukil dari muqaddimah kitab At Takhwif minan Naar karya Ibnu Rajab al Hanbali, hal. 9 Maktabah Muayyad, cet. Kedua, th. 1988.

Jangan Salahkan Orang yang Menasehatimu

Ikhwatii fillah..
Saling nasehat menaseti adalah perkara yang mesti dituntut dalam pergaulan kita.

Mau tidak mau, suka tidak suka, tradisi saling menasehati dan saling menegur ini adalah salah satu ajaran indah yang telah dimaktubkan Al Khaliq kepada hambanya.

Cobalah kita ulang kembali makna surat Al-Ashr.

Niscaya kita akan lapang ketika ada seorang teman yang mau menasehati atau menegur kita.

Jangan kita salahkan dia..! Dia telah melaksanakan ibadah yang akan mengeluarkannya dari kerugian hidup.

Adapun kita?

Jika kita mau lapang menerimanya, alhamdulillah selamatlah kita.

Tapi jika dengan teguran dan nasehat itu kita merasa sempit, sakit hati, tidak terima, dan sebagainya dari ketidakterimaan, celakalah kita.

Kita celaka, adapun teman yang menasehati kita, dia telah terhindar dari ancaman kerugian sebagaimana yang terancam dalam ayat.

Sungguh keras nasehat Imam Ibnu Baththah rahimahullah. Beliau berkata:

"Ketahuilah wahai saudaraku, barangsiapa yang benci kebenaran dari selainnya dan menolong kesalahan dari dirinya, niscaya dia tidak akan aman dari pencabutan Allah thd keimanannya.

Karena al haq yang datang dari Rasulullah kepadamu itu wajib untuk engkau mentaatinya.

Barangsiapa yang mendengar al haq, kemudian engkau menolaknya setelah engkau mengilmuinya, maka yang seperti ini termasuk dari kesombongan kepada Allah.

Dan barangsiapa yang menolong kesalahan maka dia termasuk dari hizbusy syaithan (golongan kelompok setan)".

Wallahu alam.
Semoga bermanfaat.

*[Silahkan lihat ucapan Imam Ibnu Baththah di kitab Al Ibanah 2/547. Dinukil dari Ash Shawarif 'anil Haq, hal. 74]

Sabtu, 06 Desember 2014

Salah Paham lebih Jelek Dibanding Bodoh

Waspada terhadap Salah Faham ketika Mengambil Ilmu

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:

... Aku mengingatkan kepada suatu permasalahan yang penting, yakni:

Bahwasanya kesalahan di sebabkan salah pemahaman seringnya berakibat lebih parah bahayanya, dibanding kesalahan karena sebab kebodohan.

Karena orang yang salah yang disebabkan karena kebodohan, niscaya dia akan tahu bahwa dirinya bodoh. Dan dia pun akan belajar.

Akan tetapi orang yang salah karena disebabkan salah pemahaman, dia pun akan beranggapan di dalam dirinya, dia seorang yang berilmu dan merasa benar.

(Silahkan lihat Kitabul Ilmi karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal. 50, Maktabah Islamiyah, cet. Pertama, Th. 2005)

Menjadi Lebih Baik ketika Berbuat Salah

Ikhwatii fillah, dalam bermuamalah tentunya kita tidak akan selalu berjalan dgn apa yang kita harapkan.

Salah faham, lupa, keliru, egois, salah tindakan, lisan tajam atau yang lain dari berbagai bentuk perangai manusia yang jelek, akan mewarnai pahit manisnya pergaulan.

Kita pasti berbuat salah. Ya. Pasti.

Akan tetapi apa yang terbaik untuk mengimbangi kekurangan kita?

Taubat.

Ya. Dengan taubat kita akan selalu menjadi orang yang lebih baik.

Menyesal, tidak mengulanginya, tekad memperbaiki diri adalah diantara langkah pasti dalam mewujudkan taubat.

Bersabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam: "Setiap anak adam adalah tukang berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat"
(HR. Muslim dari shahabat Abu Dzar radhiallahu anhu)

Ikhwatii fillah, sungguh mengerikan jika karena sebab kekurangan dari akhlak kita yang selalu kita suguhkan kepada orang lain, ternyata menjadikan teman-teman kita menjauh dari diri kita.

Mereka takut menjadi objek suguhan kejelekkan akhlak kita. Mereka tidak mau menjadi korban lagi.

Perhatikanlah baik-baik hadits ini.

Aisyah radhiallahu anha mengisahkan: Suatu ketika, ada seseorang yang minta izin untuk bertemu dengan Rasulullah.

Tatkala melihatnya, beliau berkata, “izinkan dia masuk. Dia ini seburuk-buruk keturunan atau sejelek-jelek anggota suatu kabilah! “

Tatkala dia telah masuk, ternyata Rasulullah bersikap lembut dan bahkan begurau bersamanya.

Setelah dia pergi, ‘Aisyah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau telah menyatakan tentang keadaan orang itu, lalu mengapa engkau memperlakukannya secara lemah lembut?”

Beliau menjawab, “Wahai’ Aisyah, sungguh manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah adalah seseorang yang ditinggalkan atau dijauhi oleh orang lain semata-mata mereka takut kepada kejahatannya. “
(Hadits Riwayat Bukhari-Muslim).

Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Maafkanlah diri ini jika ada yang telah tersakiti. Buanglah kebencianmu kepadaku karena Allah.

Semoga Allah mengampuni saya dan anda ketika kita saling memaafkan.

Nas'alullah salamah wal afiyah.

Semoga bermanfaat.

* Yang berharap ampunan Allah,
Hanyaikhwanbiasa di catatankajianku.blogspot.com

Go Green !

Go Green !

Semboyan yang mencitrakan pengusungnya mencintai hijaunya dunia.

Dikampanyekan meluas agar misi penghijauan telaksana purna.

Indah memang. Simpatik pun deras menyambut, mendatangi ajakan penghijauan ini.

Ikhwati fillah yang dirahmati Allah..

Jika kita mempelajari Islam secara mendalam, niscaya kita akan dapati misi Go Green yang marak digalakan oleh pegiatnya, ternyata telah disuarakan oleh Islam sebelumnya.

Kurang lebih 14 abad yang silam, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam telah menghusung umatnya untuk mencintai hijaunya dunia.

Perhatikan sabda beliau berikut ini: "Apabila tegak hari kiamat dan di tangan salah seorang dari kalian terdapat sebuah jenis pohon kurma kecil, maka jika ada kemampuan untuk menanamnya saat itu, lakukanlah!"
(HR. Ahmad, dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu. Hadits dishahihkan oleh Syaikh Muqbil al Wadi'i dan Syaikh al Albani rahimahumullahu).

Subhanallah..

Sampai sedemikian tenyata penekanan Islam dalam mengajarkan umatnya untuk memperhatikan amalan tanam menanam.

Maka dengan hadits di atas, kita akan semakin yakin dan mantap akan kesempurnaan Islam.

Ternyata Islam memperhatikan juga masalah Go Green.

Tentunya kita ingatkan, ketika seorang muslim mengaplikasikan proses nanam menanam, hendaknya tidak semata-mata karena ingin andil dalam membuat hijau dunia. Tapi lebih dari itu, dalam mengolah lahan hektaran atau memanfaatkan secuil lahan pekarangan, hendaknya proser tersebut harus diniatkan ikhlash karena Allah dan dalam rangka menunaikan sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wasallam.

Ikhwatii fillah yang dirahmati Allah, sudahkah Anda menghidupkan sunnah yang satu ini?

Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat.

Yang mengharap rahmat Allah,
hanyaikhwanbiasa di catatankajianku.blogspot.com