Rabu, 29 Juli 2015

Niat dalam Belajar

Ini yang Harus Kamu Niatkan ketika Belajar

Al Imam Azzurnuji rahimahullah berkata, "Sudah semestinya bagi orang yang menuntut ilmu agama untuk meniatkan tujuannya kepada ridha Allah dan negeri akhirat.

Juga meniatkan untuk menghilangkan kebodohan pada dirinya dari berbagai bentuk kebodohan.

Juga Meniatkan pula untuk menghidupkan agama dan menegakkan Islam.

Karena tegaknya Islam itu dengan ilmu.

Tidak akan benar perkara zuhud dan takwa jika dengan kebodohan."

(Ta'limul Muta'allim Thariqut Ta'allum-Imam Az Zurnuji, hal. 59-60, cet. Darush Shahabah 2013).

Ilmu adalah Sumber Kebaikan

Syaikh Zaid ibn Hadi rahimahullah berkata, "... Ilmu adalah kunci dari kebajikan dan pintu dari semua kebaikan.

Barang siapa yang diharamkan dari ilmu, maka akan diharamkan dari kebaikan seluruhnya karena Allah 'azza wa jalla mengutus para rasul dengan ilmu dan menurunkan kitab dengan ilmu."

(Thariqul Wushul ila idhahits Tsalatsatil Ushul-Syaikh Zaid ibn Hadi al Madkhali, hal. 24, cet. Miratsun Nabawi 2012).

Musyawarah dalam Perkara Ilmu

Bermusyawah dalam Menuntut Ilmu lebih penting dan wajib

Ja'far ash Shidiq nenasehati kepada Sufyan ats Tsauri rahimahullah, "Bermusyawarahlah dalam urusanmu bersama orang-orang yang takut kepada Allah."

Imam az Zurnuji menambahkan atsar di atas dengan mengatakan, "Menuntut ilmu agama adalah termasuk dari urusan yang tinggi dan sulit. Maka bermusyawarah dalam urusan ini lebih penting dan wajib."

(Ta'limul Muta'allim Thariqut Ta'allum-Imam Az Zurnuji, hal. 70, cet. Darush Shahabah 2013).

Selasa, 28 Juli 2015

Meninggalkan Maksiat adalah Ibadah

Dalam kitab Az- Zuhd Ibnul Mubarak di riwayatkan ada seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu, "Manakah yang lebih mengagumkanmu antara seorang yang sedikit amalnya dan sedikit juga dosanya, dengan seorang yang banyak amalnya dan banyak pula dosanya?"

Ibnu Abbas menjawab, "Keselamatan itu tidak bisa dibandingkan dengan apapun."

Makna atsar di atas diterangkan dalam ucapan salaf yang lain, Muhammad ibn Ka'ab al Kurazhi menyatakan, "Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu apapun yang paling dicinta, dibandingkan meninggalkan kemaksiatan."

(Atsar Mauquf dengan sanad yang hasan dalam kitab Az Zuhd-Ibnul Mubarak, hal. 81, cet. Dar Ibnil Jauzi 2011).

Senin, 27 Juli 2015

Manhaj dalam Thalabul Ilmi

Tuntunan mencari tempat buat taklim gimana ya?

Ibrahim an Nakha'i berkata, "Kami dahulu jika ingin mendatangi seseorang yang akan kami ambil ilmunya, pertama yang kami lihat adalah akhlak, perilaku dan shalatnya. Kemudian baru kami ambil ilmunya." (At Tamhid-Ibnu Abdilbar 1/47).

Kalau cuman ngambil bahasa arabnya doang, boleh..?

Abdurrahman ibn Mahdi menyatakan bahwa ada tiga orang yang tidak boleh diambil ilmunya, salah satunya, "Shahibu Bid'ah yang menyeru kepada bid'ahnya." (Syarah 'Ilal at Tirmidzi 1/110).

Imam Malik juga menyatakan ada empat orang yang tidak boleh diambil ilmunya, di antaranya, "Jangan mengambil dari shahibu ahwa yang mendakwahkan manusia kepada hawa nafsunya." (At Tamhid-Ibnu Abdilbar 1/66).

Kalau cuman temanan doang ..?

Bundar berkata, "Berteman dengan ahlul bid'ah akan mewariskan penyimpangan dari al haq." (Siyar A'lamun Nubala).

Ya deh, ya deh.
Mgga temenan sama ahlul bid'ah. Tapi kalau cuman suka aja sama ceramah dan nasehat-nasehatnya. Boleh khan?

Sufyan ats Tsauri berkata, "Barang siapa yang mendengar (sesuatu ilmu) dari mubtadi' niscaya Allah tidak memberikan manfaat terhadap apa yang dia dengar." (Al Jamiul Akhlaq ar Rawi-Khatib al Baghdadi 1/138).

Kayanya cuman kamu doang deh yang kaya gini..!

Imam Baghawi menyatakan, "Telah berlangsung perkara ini (mentahdzir ahlul bid'ah) oleh para shahabat, tabi'in, atba' tabi'in dan para ulama sunnah. Bahwasanya mereka sepakat untuk memusuhi ahlul bid'ah dan menghajr-nya." (Syarhus Sunnah al Baghawi 1/227).

(Atsar-Atsar Dinukil dari An Nubadz fii Adabi Thalabil Ilmi-Hamd ibn Ibrahim, hal. 22-24, cet. Maktabah Ibnil Qayyim 2002).

Jumat, 24 Juli 2015

Engkau Selalu Dekat di Hati

Bukan roman picisan atau sekedar basa-basi.

Tapi memang sudah semestinya.

Ibnul Qayyim dalam kitab I'lamul Muwaqi'in 4/258 menyatakan, "Setiap kali hati dekat dengan Allah, maka akan sirna penyakit penyimpangan yang jelek (bagi hati), karena cahayanya akan menyingkap al haq secara sempurna dan menguat.

Setiap kali hati jauh dari Allah maka akan semakin banyak penyakit penyimpangan (bagi hati) karena cahayanya lemah untuk menyingkap al haq."

(Dinukil dari An Nubadz fii Adabi Thalabil Ilmi-Hamd ibn Ibrahim, hal. 15, cet. Maktabah Ibnil Qayyim 2002).

Makin Tua Makin Sibuk


Sibuk dunia?

Bukan. Tapi sibuk dengan ilmu.

Tentunya bukan ilmu dunia, tapi ilmu agama.

Ikhwatii fillah,
Bagaimana bisa makin tua makin sibuk dengan ilmu, coba simak tips berikut ini.

Di dalam kitab Manaqib Asy Syafi'iyah karya Imam al Baihaqi 2/171, Imam Syafi'i berkata, "Barang siapa yang menyukai Allah tuk membuka atau menyinari hatinya, maka wajib baginya untuk:

1. Meninggalkan ucapan yang tidak ada gunanya,
2. Meninggalkan dosa,
3. Menjauhi kemaksiatan,
4. Menjadikan amalannya tersembunyi, hanya dia dan Allah saja yang mengetahui.

Jika dia melakukan hal yang demikian, maka Allah akan bukakan ilmu untuknya.

Tidak ada kesibukan lain, kecuali ilmu.

Walaupun di masa-masa dekat ajalnya, dia akan semakin sibuk dengan ilmu."

(Dinukil dari An Nubadz fii Adabi Thalabil Ilmi-Hamd ibn Ibrahim, hal. 14, cet. Maktabah Ibnil Qayyim 2002).

Selasa, 21 Juli 2015

Belajar Ringkasan Sirah

Pelajarilah Sirah Rasulullah Walau Ringkasannya Saja!

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah dalam Syarah Tsalatsatil Ushul berkata, "... Kenalilah sirah (perjalanan hidup) Rasul walau hanya ringkasannya saja!"

Beliau juga berkata, "Seorang muslim tidaklah pantas bodoh tentang Rasulnya.

Bagaimana engkau mau mentauladani seseorang jika engkau saja tidak tahu tentangnya.

Ini tidak masuk akal!"

(Dinukil dari Jami'usy Syuruh Tsalatsatil Ushul, hal. 37, cet. Dar Ibnil Jauzi 2012)

Gurunya Kitab Doang

Tidak Punya Guru. Gurunya Kitab, BAHAYA..!

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah dalam Syarah Tsalatsatil Ushul berkata, "... Seseorang tidak boleh menjadi muridnya para kitab, sebagaimana fenomena ini telah terjadi di masa sekarang.

Karena orang yang belajarnya hanya lewat kitab-kitab akan sangat membahayakan.

Akan banyak menimbulkan dampak kerusakan.

Orang yang sok tahu itu lebih berbahaya dibanding orang bodoh.

Karena orang bodoh akan sadar bahwa dirinya itu bodoh dan tentunya dia akan menahan diri pada batas kadarnya.

Akan tetapi orang yang sok tahu akan menganggap dirinya sebagai orang yang punya ilmu.

Sampai akhirnya dia pun akan menghalalkan sesuatu apa yang Allah haramkan dan mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan.

Orang yang sok tahu ini pun juga akan berbicara tentang Allah tanpa ilmu.

Permasalahan ini sangat berbahaya!"

(Dinukil dari Jami'usy Syuruh Tsalatsatil Ushul, hal. 70, cet. Dar Ibnil Jauzi 2012)

Gue Mabok Udah Takdir...

Dengan santainya dia menjawab, "Sorry, gue jadi tukang mabok kan udeh ditakdirin dari sononya..."

Allahu musta'an..
Tidak tahu dapat dari mana si pemabuk ini bisa berhujjah.

Ketika dinasehati, dia melegalkan maksiatnya dengan takdir.

Beginilah faham Qadariyah jika telah masuk ke kepala.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "... Maka batilah orang yang bermaksiat, berhujjah (beralasan) dengan takdir Allah.

Kita katakan kepadanya: Engkau menganggap bahwa sekarang engkau telah ditakdirkan oleh Allah bermaksiat. Maka engkau pun bermaksiat.

Maka, kenapa engkau tidak beranggapan saja kepada anggapan bahwa engkau sekarang telah ditakdirkan oleh Allah untuk melakukan ketaatan, lalu engkau pun melakukan ketaatan?!

Sesungguhnya perkara takdir adalah perkara yang rahasia dan tidak ada yang tahu kecuali Allah saja! Kita tidak ada yang tahu apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan oleh Allah kecuali setelah terjadinya suatu kejadian.

Jika engkau lebih mendahulukan maksiat dalam takdir, maka kenapa engkau tidak mendahulukan ketaatan saja dalam takdir? Dan engkau berkata: Sesungguhnya saya ini taat dengan ketentuan dan takdir Allah..!"

[Lihat Syarah Arbain Nawawi-Syaikh Utsaimin, hal. 85, cet. Darul Mushtafa 2012].

Tujuan Manusia Diciptakan

Tujuan Manusia Diciptakan Bukan Seperti Tujuan Binatang Diciptakan

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah dalam Syarah Tsalatsatil Ushul berkata, "Yang menciptakan kita adalah Allah.

Allah pula yang menciptakan berbagai rezeki dan kebutuhan kita.

Tentunya dengan suatu hikmah yang agung dan tujuan yang mulia.

Yaitu agar kita beribadah kepada-Nya saja.

Allah tidak menciptakan kita layaknya binatang-binatang ternak, yang diciptakan untuk kemaslahatan orang.

Mati, lalu hilang.

Sesungguhnya binatang-binatang itu bukan mukallaf (dibebani hukum syariat). Mereka tidak diperintah dan juga tidak dilarang.

Hanya saja Allah menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana Firman-Nya: Tidaklah Kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka mengibadahiku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)"

(Dinukil dari Jami'usy Syuruh Tsalatsatil Ushul, hal. 71, cet. Dar Ibnil Jauzi 2012).

Kamis, 16 Juli 2015

Malaikat itu Ruh Saja?

Malaikat itu Ruh Saja, atau Ada Jasadnya ya?

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "... Tanpa ragu lagi bahwa malaikat itu memiliki jasad... (lalu Syaikh membawakan dalilnya dari Al-Qur'an dan As-Sunnah).

Adapun orang yang berkata bahwa malaikat adalah berbentuk ruh saja tanpa jasad, maka ini ucapan mungkar dan sesat.

Adalagi yang paling parahnya, adalah ucapan yang menyatakan bahwa malaikat adalah perumpamaan dari kekuatan kebaikan yang terdapat pada diri manusia.

Adapun setan adalah perumpamaan dari kekuatan kejelekkannya.

Ucapan yang seperti ini termasuk ucapan yang paling batil.

[Lihat Syarah Arbain Nawawi-Syaikh Utsaimin, hal. 73, cet. Darul Mushtafa 2012].

Rabu, 15 Juli 2015

Pertanyaan Salah

Malu bertanya sesat di jalan.

Ya. Setuju.

Tapi ada lho, yang bertanya malah sesat di jalan.

Kok bisa?

Mau tahu..?

Mari simak penuturan Syaikh Utsaimin di dalam kitab Syarah Arbain Nawawi-nya:

Suatu hari ada seorang bertanya kepada Imam Malik tentang ayat Allah:
الرحمان على العرش استوى
"Ar-Rahman beristiwa di atas Arsy-Nya" (QS. Thaha: 05).

Imam Malik ketika mendapat pertanyaan ini menunduk.

Keringatnya bercucuran.

Karena beratnya pertanyaan.

Juga karena pengagungannya kepada Rabb jalla wa 'ala.

Kemudian Imam Malik mengangkat kepalanya.

Imam Malik menjawab,
الاستواء غير مجهول
"Al Istiwa bukanlah sesuatu yang tidak diketahui"

Syaikh Utsaimin menjelaskan: Maksudnya, kata Istiwa sudah maklum maknanya di dalam bahasa arab. Yakni tinggi dan naik.

Imam Malik melanjutkan,
والكيف غير معقول
"Dan bagaimananya tidak bisa dicerna oleh akal"

Syaikh Utsaimin menjelaskan, "Bahwasanya akal kita tidak bisa menjangkau bagaimana tata cara Allah beristiwa ke Arsy-Nya."

Imam Malik melanjutkan,
والإيمان به واجب
"Mengimaninya adalah wajib."

Syaikh Utsaimin menjelaskan, "Bahwa wajib bagi kita untuk mengimani istiwanya Allah ke Arsy-Nya, tentunya sesuai dengan kemulian Allah."

Imam Malik melanjutkan,
والسؤال عنه بدعة
"Bertanya tentang hal ini adalah bid'ah."

Syaikh Utsaimin menjelaskan, "Bahwa pertanyaan tentang bagaimana cara beristiwanya Allah adalah bid'ah, karena pertanyaan model semacam ini tidak pernah ditanyakan oleh para shahabat nabi, padahal mereka adalah orang-orang yang semangat dalam hal keinginan tahuannya tentang Allah."

Kemudian Imam Malik menutup jawabannya, "Tidaklah aku sangka dirimu wahai sang penanya kecuali engkau adalah seorang mubtadi'..!."

Maka si penanya itu pun diusir dari majelisnya Imam Malik rahimahullah.

Ikhwatii fillah,
Ternyata si penanya adalah seorang mubtadi'.

Dia bertanya tapi bukan dalam rangka mencari ilmu, tapi dalam rangka melecehkan dan mau mendebat Imam Malik dalam masalah istiwa.

Semoga menjadi pelajaran.

Wallahu alam.

[Disadur dari Syarah Arbain Nawawi-Syaikh Utsaimin, hal. 40, cet. Darul Mushtafa 2012].

Selasa, 14 Juli 2015

Inilah yang Namanya Belajar

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah dalam Syarah Tsalatsatil Ushul berkata, "... Sesungguhnya Ilmu tidak bisa didapat kecuali dengan belajar.

Dan belajar membutuhkan kepada perhatian, kesungguhan dan waktu.

Juga butuh kepada pemahaman dan hadirnya hati.

Inilah yang namanya belajar!"

(Dinukil dari Jami'usy Syuruh Tsalatsatil Ushul, hal. 33, cet. Dar Ibnil Jauzi 2012)

Senin, 13 Juli 2015

Beli Baju Baru Lebaran

Beli baju baru di hari raya?

Kalau mampu, kenapa tidak!

Tapi jangan sekedar beli!

Jadikan baju barumu ketika dipakai berpahala di sisi Allah subhanahu wa ta'ala.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Seseorang yang memakai pakaian baru dengan tujuan dirinya dipuji, maka yang seperti ini tidak diberi pahala.

Adapun jika memakai pakaian baru dengan tujuan agar manusia bisa mengetahui bagaimana Allah telah mengkaruniakan kenikmatan dan kecukupan padanya, maka yang seperti ini diberi pahala."

[Lihat Syarah Arbain Nawawi-Syaikh Utsaimin, hal. 11, cet. Darul Mushtafa 2012].

Jadi, jangan semata beli baju baru ya. Tapi ingat, harus diiringi syukur dan niat yang mulia.

Minggu, 12 Juli 2015

Terpaksa Atau Pilihan?

Merasa kekurangn terpaksa atau memang pilihan?

Mari kita simak penuturan Sufyan ibn Uyainah di dalam kitab Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi 2/446, ketika beliau menceritakan kisah Khalifah Hisyam putra dari Abdul Malik ibn Marwan dan Salim putra dari Abdullah ibn Umar ibn al Kathathab.

Suatu ketika Khalifah memasuki kota Mekkah dan menuju Ka'bah. Ternyata di sana telah ada Salim.

Khalifah pun menemui Salim dan berkata, "Wahai Salim, mintalah sesuatu dari kebutuhanmu kepadaku."

Salim pun menjawab, "Sesungguhnya aku malu kepada Allah dari meminta-minta sesuatu kepada selain-Nya di rumah-Nya."

Ketika Salim telah keluar dari area Ka'bah, Khalifah pun menemui Salim kembali dan berkata, "Sekarang engkau telah keluar, maka mintalah sesuatu dari kebutuhanmu."

Salim menjawab, "Kebutuhan dunia atau kebutuhan akhirat?"

"Tentunya kebutuhan dunia." Jawab Khalifah.

Salim berkata, "Aku tidaklah meminta-minta (perkara dunia) kepada Yang Memiliki dunia, lalu bagaimana aku bisa meminta-minta kepada yang tidak memilikinya?"

Subhanallah!

Coba jika kita diposisi Salim, kira-kira apa yang akan kita lakukan?

Ini bedanya kita dengan para salaf.

Jadi, kira-kira kita ini merasa orang kekurangan yang terpaksa atau memang kekurangan karena pilihan ya?

Wallahu alam.
Kita sendirilah yang menjawabnya.

Itu Wajib Apa Sunnah?

"Itu wajib apa sunnah ya?"

Sering kita dapati pertanyaan yang semisal ketika ada orang yang diberitahu suatu hukum syar'i dari suatu masalah.

Kalau dikatakan wajib, dia pun akan beralasan agar terhindar dari beban kewajiban.

kalau dikatakan sunnah, maka dia pun akan meninggalkan perkara itu dengan alasan 'hanya sekedar sunnah'.

Allahu musta'an.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Termasuk dari kesalahan adalah ketika datang pada sebagian orang suatu perintah dari Allah dan Rasul-Nya, sikap pertama yang dilakukannya adalah bertanya: Perintah ini wajib atau mustahab?

Tindakan seperti ini banyak dilakukan oleh sebagian orang di hari-hari sekarang.

Maka yang seperti ini harus dihilangkan dan jangan dilakukan, karena para shahabat nabi jika ada suatu perintah yang berasal dari Rasulullah, mereka tidak berkata: Wahai Rasulullah apakah perintah ini wajib atau mustahab atau bagaimana?

Bahkan para shahabat bersegera untuk mengiyakannya dan membenarkannya tanpa tanya-tanya."

[Lihat Syarah Arbain Nawawi-Syaikh Utsaimin, hal. 33, cet. Darul Mushtafa 2012].

Sabtu, 11 Juli 2015

Jangan Remehkan Shalat

Shalat.

Rukun Islam setelah syahadat. Salah satu hak Allah yang wajib ditunaikan setelah tauhid.

Wajar bila Umar ibnul Khaththab berkata, "Jika kalian melihat seseorang menyia-nyiakan urusan shalat, maka -demi Allah- untuk urusan yang lainnya dari hak Allah lebih mungkin lagi untuk disia-siakan."

Al Hasan ibn Ali berkata juga, "Wahai anak adam bagaimana akan datang kemulian dari agamamu jika urusan shalatmu engkau remehkan?"

Ikhwatii fillah rahimakumullah,
Coba jangan engkau tunjukkan nasehat di atas untuk orang lain, akan tetapi tunjuklah diri kita masing-masing.

Jangan-jangan kita sendiri telah sedikit meremehkan?

Atau, bahkan mungkin lebih!

Coba resapilah perbuatan Said ibn Abdilaziz. Beliau jika terluput dari shalat berjama'ah di mesjid maka beliau pun menangis.

Menangis?

Ya. Sedih dan menyesal karena telah tertinggal jama'ah shalat di mesjid.

Sampai seperti itu?

Ya.

Para salaf sangat menjaga urusan ini.

Imam Waki' memberitakan keadaan shahabatnya Imam al A'masy. Imam Waki' berkata, "Hampir 70th lamanya, beliau (Imam al A'masy) tidak pernah tertinggal takbir yang pertama (takbiratul ihram bersama imam)."

70 tahun!

Sa'id ibn al Musayyab berkata pula tentang keadaan dirinya, "Selama 40th tidaklah aku pernah tertinggal shalat berjama'ah."

40 tahun!

Kok bisa?

Beliau jelaskan, "Tidaklah seorang muadzdzin mengumandangkan adzan kecuali aku telah berada di mesjid."

Ikhwatii fillah rahimakumullah,
Lalu tersisa bagi kita pertanyaan.

Pernahkah walau sekali kita menangis karena luput berjama'ah?

Atau, kira-kira berapa kali kita sudah terluput dari takbiratul ihramnya imam?

Allah musta'an.

Imam Waki' berkata, "Barang siapa yang meremehkan urusan takbir yang pertama (takbiratul ihram) maka cucilah tanganmu darinya (jangan anggap dia)."

Duhai, alangkah kasihannya diri-diri kita ini.

Semoga bermanfaat nasehat ini bagi penulis sendiri dan juga bagi kaum muslimin.

Wallahu 'alam.

[Atsar-atsar dinukil dari Hayatus Salaf, 171-173].

Jumat, 10 Juli 2015

Jangan Dibiasain!


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Jika ada seseorang di hari Jum'at mengenakan pakaian yang terbaiknya karena sebab hari Jum'at semata, maka hal ini teranggap adat kebiasaan saja.

Adapun orang yang di hari Jum'at mengenakan pakaian terbaiknya dengan tujuan meneladani nabi, maka yang seperti ini teranggap sebagai ibadah."

[Lihat Syarah Arbain Nawawi-Syaikh Utsaimin, hal. 12-13, cet. Darul Mushtafa 2012].

Jadi, jangan dibiasain ya. Tapi niatkan ngikut nabi. In sya Allah berpahala.

Kamis, 09 Juli 2015

Cinta Rasul


Bener cinta rasul?

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah dalam ta'liqat Aqidah Ath Thahawiyah menyatakan, "Alamat kecintaan kepada rasul yang jujur adalah al ittiba' (mengikuti sunnah).

Adapun al ibtida' (melakukan bid'ah) adalah alamat kebencian kepada rasul.

Karena nabi shalallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan dari bid'ah.

Jika engkau menghidupkan dan melaksanakan bid'ah, maka, maknanya berarti engkau membenci sunnah.

Kalau engkau membenci sunnah, maka berarti engkau membenci rasul.

Kalau engkau menginginkan kebaikan, bertaubatlah kepada Allah dan kembalilah kepada-Nya.

Jika ada penentangan dan kesombongan dalam permasalahan ini, maka pada dirimu telah ada sesuatu."

(Dinukil dari Syarhul Aqidatith Thahawiyah-Ibnu Abdil'izz 'alaiha Ta'liqaat Syaikh Ibn Baz wa Shalih Fauzan, hal. 384, cet. Darul Aqidah 2004).

Anak 7th Disuruh Shalat

Syaikh Abdul Muhsin al 'Abbad rahimahullah berkata, "Jika anak telah mencapai umur tamyiz, yakni umur 7 tahun, maka dia diperintahkan untuk melaksanakan shalat.

Tapi perintah ini bukan dalam rangka penunaian kewajiban, karena beban wajib dipikul setelah dia baligh.

Perintah di umur ini (7th) adalah dalam rangka bentuk penjagaan dan pemahaman bahwa melaksanakan shalat merupakan suatu yang disyariatkan.

Jika sudah mencapai umur 10th maka perintahnya lebih ditekankan lagi.

Dia dididik untuk melaksanakannya (kalau perlu) dengan pukulan yang tidak menciderainya.

Sebagaimana sabda nabi shalallahu 'alaihi wa sallam: Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika umur 7th." (HR. Abu Dawud, dishahihkan Syaikh al Albani dalam Al Irwa 247).

[Silahkan lihat Syarah Syuruthush Shalat-Syaikh Abdul Muhsin al 'Abbad, hal. 7, cet. Darul Istiqamah 2013].

Rabu, 08 Juli 2015

11 Nama Istri Nabi

Sebagian kita mungkin belum mengenal nama-nama istri Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.

Berikut ini nama-nama istri Rasulullah yang disebutkan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma'ad:

1. Khadijah bintu Khuwailid
2. Aisyah bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq
3. Saudah bintu Zam'ah
4. Hafshah bintu Umar ibnul Khaththab
5. Zainab bintu Khuzaimah
6. Ummu Salamah
7. Zainab bintu Jahsyi
8. Juwairiwah bintu Al Harits
9. Ummu Habibah bintu Abi Sufyan
10. Shafiyah
11. Maimunah

Demikianlah nama-nama dari istri Rasulullah.

(Dinukil dari Mukhtaratun min Zaadil Ma'ad-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 13-14, Muassasah Syaikh Muhammad Shalih Utsaimin 1433H).

Tanggung Jawab Mendidik Anak

Abu Musa al Asy'ari radhiallahu'anhu meriwayatkan suatu hadits dari Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam tentang tiga orang yang mendapatkan dua pahala.

Di antara yang beliau sebutkan adalah, "... Lelaki yang memiliki seorang budak kecil perempuan.

Dia dididik dengan perangai yang baik.

Dia diajari ilmu dengan pengajaran yang baik.

Kemudian dia dibebaskan (dari statusnya sebagai budak).

Kemudian dia dinikahi (dijadikan sebagai istri).

Maka (yang seperti ini) mendapatkan dua pahala."
[HR. Bukhari].

Ikhwatii fillah rahimakumullah,
Jika seorang budak kecil saja dianjurkan oleh Islam untuk dididik, maka bagaimana lagi dengan anak-anak kita sendiri?

Khathib al Baghdadi dalam kitabnya Al Faqih wal Mutafaqih 1/49 membawakan atsar dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, bahwa beliau berkata, "Didiklah anakmu. Karena dirimulah yang bertanggung jawab terhadap pengajaran yang diberikan kepada anakmu.

Sedangkan anakmu yang bertanggung jawab dari bakti dan taatnya kepadamu."

Semoga Allah mudahkan kita dalam mendidik anak-anak kita kepada pendidikan yang shahih. Aamiin.

Senin, 06 Juli 2015

Suasana Majelis Abdurrahman ibn Mahdi

Mau tahu bagaimana suasana majelis ilmunya para salaf?

Yuk kita intip majelisnya Abdurrahman ibn Mahdi rahimahullah.

Dalam Siyar A'lamun Nubala karya al Imam adz Dzahabi 9/201-202, Ahmad ibn Sinan rahimahullah menggambarkan apa yang beliau lihat di majelis ilmunya Abdurrahman ibn Mahdi. Beliau menuturkan, "Di majelisnya Abdurrahman, mereka tidak ada yang saling bicara.

Tidak ada yang menyerut pena.

Tidak ada seorang pun yang tersenyum.

Tidak ada seorang pun yang berdiri.

Kepala mereka semua seakan-akan terdapat burung atau seakan-akan sedang shalat (gambaran saking tenangnya).

Jika beliau melihat seseorang dari mereka ada yang tersenyum atau bicara (becanda atau ngobrol), maka beliau segera memakai sendalnya dan pergi meninggalkan majelis."

Ikhwatii fillah rahimakumullah,
Demikian sedikit gambaran keadaan majelis ilmu para salaf.

Walhamdulillah, seharusnya kita bersyukur kepada Allah yang telah memilihkan guru-guru yang penyabar kepada kita.

Coba bayangkan kalau guru-guru kita seperti Abdurrahman ibn Mahdi.

Entahlah, mungkin kita tidak pernah mendapatkan ilmu karena seringnya ditinggalkan sang guru.

Jazakumullahukhaira kami ucapkan kepada para asatidzah yang mau bersabar mendidik dan membimbing kami.

Yaa Allah berikanlah ganjaran yang besar kepada asatidzah kami yang selalu mau bersabar mengajari.

Istiqamahkanlah kami dan guru-guru kami di atas hidayah sunnah ini. Aamiin.

Jumat, 03 Juli 2015

Mengkhatamkan Al Qur'an di Bulan Ramadhan

Mengkhatamkan Al-Qur'an di Bulan Ramadhan Wajibkah?

Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya hal yang demikian. Beliau menjawab, "Mengkhatamkan Al Qur'an di Bulan Ramadhan bagi orang yang berpuasa bukan perkara yang wajib.

Akan tetapi seyogyanya bagi seorang insan di bulan Ramadhan untuk memperbanyak dalam membaca Al Qur'an sebagaimana ini adalah sunnah Rasulullah.

Dahulu Rasulullah saling bertadarus Al Qur'an bersama Jibril di setiap Ramadhan."

(Terjemah bebas dari Majmu'ah Rasail fish Shiyam-Syaikh ibn Baz wa Syaikh ibn Utsaimin, hal. 34, cet. Darul Aqidah 2008).

Kalau mengkhatamkan Al Qur'an di bulan Ramadhan tidak wajib, berarti kita santai dong?

Masa begitu?

Jangan ya..

Ingat, pahala bacaan Al Qur'an di luar bulan Ramadhan saja besar lho. Apalagi kalau di bulan Ramadhan.

Ayo semangat baca Al Qur'an!

Rabu, 01 Juli 2015

Pas Ramadhan Doang...


Apanya?

Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang perbuatan sebagian kaum muslimin yang meremehkan shalat di sepanjang tahun. Tapi ketika Ramadhan tiba, mereka semangat untuk shalat, puasa dan membaca Al Qur'an.

Maka Syaikh ditanya, bagaimana keadaan puasa Ramadhan mereka? Sah atau tidak?

Lalu, bagaimana pula nasehat Syaikh kepada orang-orang yang model demikian?

Syaikh menjawab, "Puasanya sah karena memang mereka adalah orang yang dibebankan kewajiban.

Perbuatannya yang dilakukan sebelum masuknya Ramadhan, tidak ada kaitannya dengan sah atau tidaknya puasa.

Akan tetapi nasehatku adalah agar mereka bertakwa kepada Allah dan beribadahlah kepada-Nya dalam menunaikan kewajiban-kewajibannya di sepanjang waktu.

Seorang insan tidak tahu kapan kematiannya tiba.

Kadang dia bisa berjumpa dengan bulan Ramadhan, kadang tidak.

Allah tidaklah memberi batas waktu bagi seorang hamba, kecuali kematian.

Sebagaimana firman Allah: "Beribadahlah kepada Rabb-mu sampai datang kepadamu al-yakin. (QS. Al Hijr: 99)."

Yaitu sampai datang kepadamu kematian yang pasti."

(Terjemah bebas dari Majmu'ah Rasail fish Shiyam-Syaikh ibn Baz wa Syaikh ibn Utsaimin, hal. 28-29, cet. Darul Aqidah 2008).

Nonton Film Kartun

Hukum Anak Nonton Film Kartun yang Ada Unsur Pendidikannya

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah pernah ditanya, "Apa hukum mendidik anak-anak dengan film-film kartun yang di dalamnya ada faidahnya, yakni faidah mendidik mereka kepada akhlak yang terpuji?"

Syaikh menjawab, "Allah telah mengharamkan gambar dan mengharamkan penggunaannya.

Bagaimana kita mau mendidik anak-anak dengan hal yang seperti ini?

Bagaimana kita mau mendidik mereka di atas sesuatu yang haram?

Yakni di atas gambar yang haram.

Gambar-gambar bergerak yang bisa bicara sebagaimana layaknya manusia..

Ini bentuk gambar yang parah.

Tidak boleh mendidik anak-anak dengannya!

Semacam ini adalah bentuk yang dimaukan oleh orang kafir.

Mereka menginginkan agar diselisihi apa yang telah diharamkan Rasulullah.

Rasul shalallahu 'alaihi wa sallam telah melarang dari gambar. Juga melarang dari pemanfaatannya dan penggunaannya.

Maka mereka pun menghembuskan di antara pemuda dan kaum muslimin (tentang film kartun ini) dengan alasan pendidikan.

Ini pendidikan yang merusak!

Adapun pendidikan yang benar adalah mengajarkan kepada anak-anak kepada segala yang bermanfaat bagi agama dan dunia mereka."

(Terjemah bebas dari Taujihatu Muhimmah lisy Syababil Ummah-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 51-52, cet. Darul Imam Ahmad 2005).