Minggu, 29 November 2015

Mengenal Kalimat Tauhid adalah Keutamaan

Bisa Mengenal Makna dan Kandungan Laailahaillallah adalah Kenikmatan yang Besar

Sufyan ibn Uyainah rahimahullah berkata, "Tidaklah Allah memberikan kenikmatan atas hamba-Nya suatu nikmat yang lebih afdhal, dari seorang yang mereka mengenal laa ilaha illallah.

Sesungguhnya laa ilaha illallah bagi mereka adalah laksana air di dunia."

(Mausuah Ibni Abid Dunya 1/494. Di nukil dari Hayatus Salaf, hal. 23, cet. Dar Ibnil Jauzi 2012).

Doanya Sang Anak

Kedudukan Mulia Doanya Seorang Anak kepada Kedua Orang Tuanya

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits riwayat Muslim yang dibawakan oleh shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu menyatakan bahwa jika anak adam meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga amalan.

Di antaranya adalah seorang anak shalih yang mendoakan orang tuanya.

Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan terkait hadits ini, "Ini dalil bahwa doanya seorang anak yang shalih kepada ayahnya atau ibunya itu lebih afdhal dibandingkan anak tersebut bersedekah, shalat, puasa untuk mereka, atau amalan yang semisal itu."

(Lihat Syarah Muqaddimatil Majmu-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 49, cet. Dar Ibnil Jauzi 2004).

Yang Afdhal adalah yang Memulai Salam

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika bertemu dengannya (seorang muslim) maka berikan salam kepadanya." (HR. Muslim)

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu, "... Yang nampak dari hadits ini, hendaknya seseorang untuk memulai salam.

Baik yang ditemui tersebut adalah orang yang lebih besar darimu atau orang yang lebih kecil darimu.

Baik juga yang lebih banyak orangnya atau yang lebih sedikit.

Inilah yang semestinya!

Bahwa yang AFDHAL adalah orang yang MEMULAI salam.

Walaupun yang disalami tersebut adalah orang yang di bawahmu.

Karena jika orang yang di bawahmu tersebut menelantarkan apa yang menjadi hak-mu (tidak mau salam duluan), maka engkau janganlah menjadi orang yang menelantarkan sunnah seluruhnya (maka salamlah)."

(Disadur dari Fathu Dzil Jalali wal Ikram-Syaikh Ibnu Utsaimin, jilid 6, hal. 240, cet. Maktabah Islamiyyah).

Ketika Ali ibn Hasan Dighibahi

Bagaimana rasanya jika ada orang lain yang bicara negatif tentang diri kita?

Mungkin batin akan berkata: Dasar, beraninya di belakang. Pengecut!

Lisan pun kadang tak kuasa meluapkan kejengkelan.

Ghibah pun di balas ghibah.

Pembaca yang budiman, apakah harus seperti itu?

Mari kita tengok contohan teladan salafush shalih dalam hal ini.

Adalah Ali, putra dari Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Di dalam kitab Shifatush Shafwah karya Ibnul Jauzi, beliau menuturkan:

Sufyan berkata, "Suatu ketika datang seorang lelaki kepada Ali bin Hasan.

Dia mengadukan seseorang kepadanya: "Sesungguhnya si Fulan telah membicarakan dan mencelamu."

Maka Ali ibn Hasan pergi menemui orang tersebut bersama kami.

Kami menyangka beliau akan membela diri.

Ketika Ali ibn Hasan bertemu dengan orang yang mencelanya, dia berkata, "Wahai Fulan jika apa yang kau katakan tentang diriku itu benar, maka semoga Allah mengampuniku.

Tapi jika apa yang kau katakan tentang diriku itu tidak benar, maka semoga Allah mengampunimu."
-selesai-

Pembaca yang dirahmati Allah, apakah kita mampu untuk berbuat demikian?

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita agar mampu mengamalkannya.
Amin.

(Kisah Ali ibn Hasan dinukil dari Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi, jilid 1, hal. 354, cet. Darul Hadits 2000.)

Jangan Terburu-buru dalam Menyebarkan Berita

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Jika ada berita yang sampai kepadamu tentang seseorang bahwasanya dia telah melakukan kesalahan atau telah melakukan amalan yang keliru, maka janganlah terburu-buru (menyebarkannya).

Kadang bisa jadi berita yang sampai kepadamu itu adalah tidak benar.

Jika engkau langsung menyebarkan berita yang tidak benar tersebut, maka engkau telah menyebarkan kedustaan.

Oleh karenanya ada hadits yang berbunyi: Cukuplah seseorang itu dikatakan berdusta ketika dia sampaikan semua yang dia dengar. (HR. Muslim)."

(Syarhul Kabair-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 88, cet. Ar Risalatul Alamiyah 2012).

Rahib Yahudi Dahulu

Rahib Yahudi Dahulu pun Menyuruh Orang Untuk Mengikuti Rasulullah

Syaikh Al Albani rahimahullah berkata, "Abu Nuaim dan Muhammad ibn Hayyan meriwayatkan dari Usamah ibn Zaid, beliau berkata, Zaid ibn Amr ibn Nufail bercerita:

Seorang rahib dari rahib-rahib Yahudi di negeri Syam memberi informasi kepadaku, dia berkata:

Sungguh, telah keluar di negerimu seorang nabi atau dia telah ada, karena telah nampak bintangnya.

Kembalilah dan benarkanlah dia kemudian ikutilah dia."

(Sanadnya hasan. Lihat Shahih Sirah Nabawiyah-Syaikh Al Albani, hal. 14, cet. Maktabatul Ma'arif 2007).

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, orang-orang Yahudi tahu jalan kebenaran tapi mereka tidak mau ikut jalan tersebut.

Maka jika kita dimudahkan Allah dalam mengenal jalan kebenaran, apakah kita ingin meniru orang-orang Yahudi?

Tentunya amalan Anda sendirilah yang menentukan jawabnya.

Taubat Ada Dua Tahapan

Semoga Taubat Kita Diterima Allah

Berkata Syaikh as Sa'dy rahimahullahu, "Taubatnya seorang hamba itu ada dua:

Pertama adalah diberikannya taufik oleh Allah untuk bertaubat,

Kedua adalah taubatnya diterima setelah mereka bertaubat."

(Taisir Karimir Rahman-Syaikh as Sa'dy, jil. 1, hal. 497, cet. Darul Aqidah 2009).

Yang Fakir Hendaknya Bisa Bersyukur Juga

Berkata Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu, "Seorang yang fakir hendaknya melihat kepada yang lebih fakir dari dirinya.

Jangan melihat kepada orang yang kaya.

Jika saja Allah menghendaki, niscaya Allah akan menjadikan tingkat kefakiranmu pada tingkat kefakiran yang tidak punya apa-apa sama sekali.

Akan tetapi Allah menjadikan tingkat kefakiranmu pada tingkat kefakiran yang masih punya stok makanan untuk santapan hari ini.

Sedangkan di sana ada orang lain yang tingkat kefakirannya sampai pada tingkat tidak punya makanan sama sekali untuk disantap hari ini.

Maka engkau sebenarnya masih lebih baik keadaannya jika dibandingkan dengan dia.

Syukurilah apa yang ada!

Jangan melihat kepada orang yang kaya, karena hal itu akan menghantarkan dirimu kepada rasa jengkel kepada Allah dan membawa kepada sikap tidak ridha terhadap takdir Allah.

Engkau pun akan berkata:
"Kenapa aku tidak seperti si Fulan?"
"Kenapa aku tidak seperti orang berada layaknya fulan?"

Seorang yang berkata seperti ini berarti dia telah menyia-nyiakan kenikmatan yang ada."

(Lihat Tash-hilul Ilmam-Syaikh Fauzan, jil. 6, hal. 158).

Kisah Ibnu Abi Hatim di Mesir


Dalam kitab Siyar Alamun Nubala karya Imam Adz Dzahabi dan juga di kitab Tadzkiratul Huffazh karya Imam Khatib al Baghdadi, dikisahkan bahwa seorang ulama besar yang bernama Abdurrahman bin Abi Hatim pernah menuturkan sebuah kisah perjalanan dalam belajarnya menimba ilmu agama.

Ini kisahnya...

Kami pernah berada di negeri Mesir selama 7 bulan.

Selama itu tidak pernah kami makan maraqah (sejenis kuah daging).

Sepanjang siang kami membagi waktu hanya untuk belajar bersama para syaikh (guru besar).

Sementara di malam hari kegiatan kami adalah menulis, menyalin dan saling memperbaiki catatan.

Pada suatu hari seperti biasanya kami beserta sahabat yang lain berangkat mendatangi syaikh untuk belajar.

Murid-murid yang lain berkata kepada kami bahwa syaikh sedang sakit.

Maka kami pun pulang.

Di tengah perjalanan, kami melihat ikan segar yang begitu menggoda.

Maka kami pun membelinya.

Tatkala kami pulang ke rumah, tak sadar, ternyata waktu belajar telah tiba.

Tidak mungkin bagi kami untuk memasak ikan tersebut.

Akhirnya kami pun memutuskan berangkat untuk mengikuti pelajaran.

Kami tinggalkan ikan itu.

Demikan secara tak sadar, hal ini berlangsung selama 3 hari.

Kami pun teringat akan ikan tersebut.

Ketika dicek, ternyata keadaannya sudah berubah.

Tidak segar lagi.

Namun akhirnya kami tetap memakannya walau keadaan yang demikian.

Kami santap ikan itu mentah-mentah karena memang sudah tidak ada waktu lagi bagi kami untuk mengolahnya.

Memanglah, Ilmu itu tidak akan didapat dengan badan yang santai.
-selesai-

Pembaca yang dirahmati Allah...
Yang hebat di sini bukanlah sisi makan ikan setengah basinya.

Akan tetapi yang hebat dari kisah ini adalah sisi bagaimana para ulama ketika belajarnya lebih mengutamakan waktu mereka untuk menimba ilmu ketimbang yang lainnya.

Mereka tidak rela waktu belajarnya ditukar dengan apapun.

Wajar, jika agama ini senantiasa terjaga.

Karena dijaga oleh 'orang-orang besar'.

Bagaimana dengan kita?

Allahul musta'an (Allah lah tempat meminta pertolongan).

Jumat, 20 November 2015

Sungguh Luas Ampunan-Mu Yaa Rabb

Yaa Allah Ampuni Kami yang Penuh Dosa Ini

إن الله غفور رحيم
"Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"

Berkata Syaikh as Sa'dy rahimahullahu, "Sifat Allah yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang adalah dua sifat yang tidak akan luput pada makhluk-makhluk-Nya.

Akan selalu ada kedua sifat itu pada seluruh alam, di atas atau di bawah.

Kalau saja Allah menyiksa manusia karena semata-mata sebab dari kezhalimannya, niscaya Allah tidak akan menyisakan seekor binatang pun di alam ini."

(Taisir Karimir Rahman-Syaikh as Sa'dy, jil. 1, hal. 497, cet. Darul Aqidah

Sabtu, 14 November 2015

Yahudi pun Tahu Malam itu Rasul Lahir

Orang Yahudi pun Tahu Malam Rasulullah Lahir

Syaikh Al Albani rahimahullah berkata, "Muhammad ibn Ishaq meriwayatkan dari Hassan ibn Tsabit radhiallahu anhu, beliau berkata:

Demi Allah, sesungguhnya dahulu aku adalah seorang anak yang sudah besar tapi belum baligh, berumur 7 atau 8 tahun. Ketika itu aku sudah bisa memahami apa yang aku dengar.

Pada suatu hari tiba-tiba aku mendengar seorang Yahudi berteriak di atas benteng kota Yatsrib, "Wahai sekalian orang-orang Yahudi.."

Hingga berkumpullah orang-orang di sekitarnya.

Orang-orang Yahudi yang berkumpul berkata kepada orang itu, "Celaka engkau, ada apa dengan dirimu?"

Orang yang berteriak itu menjawab, "Telah tampak di malam hari bintang Ahmad yang menandakan telah lahirnya dia."

(Sanadnya hasan. Lihat Shahih Sirah Nabawiyah-Syaikh Al Albani, hal. 14, cet. Maktabatul Ma'arif 2007).

Adakah yang Paling Agung Dibanding Kenikmatan Surga?

Berkata Syaikh as Sa'dy rahimahullahu, "Keridhaan Allah ta'ala itu lebih agung dibanding kenikmatan-kenikmatan surga."

(Taisir Karimir Rahman-Syaikh as Sa'dy, jil. 1, hal. 496, cet. Darul Aqidah 2009).


Ikhwatii fillah, mari kita semangat untuk mengamalkan amalan-amalan yang bisa mendatangkan keridhaan Allah.

Sabar dan Istighfar

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "... Sabar dan istighfar adalah dua perkara yang dituntut ketika terkena musibah.

Sabar terhadap musibah.

Dan istighfar dari dosa. Karena sebah dosa-lah datang suatu musibah."

(Dinukil dari Al Istighfar Ahammiyatuhu wa Hajatul Abdi ilaihi-Ibnu Taimiyyah, hal 33, cet. Darul Imam Ahmad 2006).

Khusyu ketika Shalat

Petikan Nasehat Syaikh Ibn Baz Agar Khusyu dalam Shalat

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, "Wajib atas kalian wahai muslimin untuk bertakwa kepada Allah di setiap urusan kalian pada umumnya dan di shalat kalian pada khususnya.

Hendaknya kalian menegakkan shalat dan menjaganya.

Menjaganya dari segala yang membatalkannya atau segala yang mengurangi kesempurnaannya.

Seperti misalnya: Mengakhir-akhirkan shalat dari waktu yang utama tanpa ada udzur syar'i.

Atau merasa berat untuk menunaikannya bersama jama'ah di masjid.

Atau mengerjakan shalat tanpa khusyu.

Atau lalai untuk menghadirkan hati terhadap keagungan Dzat yang dirinya ada di Kedua Tangan-Nya.

Juga hatinya lalai dari mentadabburi kalam-Nya.

Dan lalai ketika bermunajat kepada-Nya, seperti sibuk dengan perkara-perkara di luar gerakan shalat.

Atau melakukan gerakan-gerakan yang tidak syar'i di dalam shalat, seperti berbuat sebagian perbuatan yang sia-sia misalnya banyak memperbaiki pakaiannya baik mengangkat dan menggulung.

Memandang-mandang kepada jam tangan.

Atau mengusap-usap jenggotnya.

Dan yang semisal itu setelah perkara yang tidak boleh untuk dilakukan.

Semuanya ini bisa melenyapkan kekhusyuan.

Khusyu adalah inti dari shalat dan ruhnya shalat.

Pengaruh khusyu juga merupakan sebab diterimanya shalat, kurangnya dan lemahnya kualitas shalat."

(Silahkan lihat Rasail fi Shalat-Syaikh Ibn Baz, hal 20, cet. Darul Istiqamah 2012).

Ilmu yang Bermanfaat adalah...

Berkata Syaikh as Sa'dy rahimahullahu, "Sesungguhnya ilmu yang paling bermanfaat di antara ilmu-ilmu yang bermanfaat adalah:

Mengenal batasan-batasan (syariat) yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya.

Yakni berupa pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya.

Seperti mengenal batasan-batasan iman, islam, ihsan, ketakwaan, kesuksesan, ketaatan, kebaikan, hubungan kekerabatan, kekufuran, kenifakan, kefasikan, kemaksiatan, perzinaan, khamr, riba dan semisalnya.

Karena dengan mengetahuinya, niscaya akan menghendaki untuk ditunaikan.

Jika itu berupa perintah maka dilaksanakan, jika berupa larangan maka ditinggalkan."

(Taisir Karimir Rahman-Syaikh as Sa'dy, jil. 1, hal. 496, cet. Darul Aqidah 2009).

Dahulukan Mana yang Lebih Penting


Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Shayyidul Khatir 130 berkata, "... Adapun ilmu, aku tidak mengatakan: Kenyangkanlah dengan ilmu dan jangan merasa cukup dengan sebagiannya.

Akan tetapi aku katakan: Dahulukanlah mana yang lebih penting.

Karena ilmu itu (terus ada) sepanjang umur dan amalnya terus menuntutnya..."


Beliau melanjutkan, "Jika seorang yang berakal mengetahui bahwa umur itu pendek sedangkan ilmu itu banyak, niscaya dia akan cela orang yang sibuk menuntut ilmu dengan perkara yang kurang penting.

Seperti misalnya orang yang mencari hadits dengan mengumpulkan nukhshah (teks-teks) yang ada, dengan tujuan agar mendapatkan semua teks hadits, jalan periwayatan dan semua gharibnya.

Ini tidak akan cukup jika dilakukan kalau hanya mengandalkan kesempatan yang ada dalam mencapai tujuan yang dimaukan, walaupun selama lima belas tahun.

Terkhusus, peringatan ini diperuntukkan bagi orang yang sibuk bergelut dengan nukhshah (teks hadits) tapi tidak menghafal Al-Qur'an.

Atau sibuk dengan ilmu-ilmu mendetail seputar Al Qur'an tapi tidak mengenal hadits.

Atau sibuk dengan khilaf (perbedaan-perbedaan) di dalam ilmu fikih tapi tidak mengenal sumbernya yang menjadi inti permasalahan."

(Diterjemah bebas dengan penambahan. Dinukil dari An Nubadz fi Adabi Thalibil Ilmi-Syaikh Hamd Ibrahim al Utsman, hal. 76, cet. Maktabah Ibnul Qayyim 2002).

Mementingkan Sunnah Nabi

Syaikh Abdussalam ibn Barjas rahimahullah berkata, "Sesungguhnya mementingkan sunnah baik secara global atau rinci harus sudah menjadi suatu kebiasaan seorang muslim.

Hal itu (kedudukannya) lebih tinggi ketimbang sekedar berangan-angan untuk menegakkannya saja.

Yang lebih tinggi lagi dari semua itu adalah berlomba-lombanya seorang muslim untuk saling mengamalkan sunnah.

Karena seorang yang masuk ke dalam ranah sunnah Rasulullah secara menyeluruh adalah bukti atas pengagungannya terhadap pribadi Rasulullah.

Mengagungkan Rasulullah dan mencintainya merupakan perkara yang pasti atas setiap mukmin dan mukminat.

Bahkan seseorang tidaklah teranggap masuk ke dalam lingkup Islam jika tidak ada penghormatan kepada Nabi dan tidak mau menegakkan (agamanya) dengan ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam."

(As Sunnatu wal Bid'atu wa Atsaruhuma fil Ummah-Syaikh Abdussalam Barjas, hal. 25, cet. Darul Minhaj 2012).

Jangan Remehkan Kewajiban-Kewajibamw Syariat


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "Sesungguhnya meninggalkan kewajiban itu lebih besar (urusannya) dibandingkan melakukan keharaman.

Ketika orang sudah meninggalkan kewajiban maka nantinya akan masuk kepada meninggalkan iman dan tauhid.

Barang siapa yang masih ada keimanan dan tauhid maka tidak akan kekal di neraka walaupun dia mengamalkan amalan apapun.

Barang siapa yang tidak mempunyai keimanan dan tauhid maka dia akan kekal di neraka walaupun dosanya sedikit jika dibandingkan dengan amalannya, seperti halnya orang-orang zuhud dan para ahli ibadah dari kalangan musyrikin ahlul kitab..."

(Dinukil dari Al Istighfar Ahammiyatuhu wa Hajatul Abdi ilaihi-Ibnu Taimiyyah, hal 7, cet. Darul Imam Ahmad )

Rabu, 04 November 2015

I'll be Watching You..

Untuk Abi dan Umi yang Ingin aku Menjadi Anak Shalih

Jika aku ditanya oleh seseorang, "Wahai Nak, apa cita-citamu?"

Niscaya akan aku jawab, "Menjadi anak shalih."

Ya. Menjadi anak shalih.

Itulah yang abi dan umi pesankan kepadaku.

Aku harus menjadi anak yang shalih.

Abi dan umi selalu saja berpesan, "Nak, rajin-rajinlah engkau tuk menghafal Al Qur'an dan janganlah malas belajar agar engkau nanti menjadi anak yang shalih!"

Wahai abi dan umi, dengarlah..

Ketika engkau menginginkan aku tuk menjadi anak shalih, maka bantulah aku.

Bantulah aku..!

Dari semua yang diharapkan padaku, aku ingin engkau menjadi tauladan yang baik untukku.

Jadilah engkau orang yang aku banggakan.

Janganlah engkau harapkan aku tuk menjadi anak yang shalih, tapi engkau jauh dari gambaran orang shalih di hadapanku.

Janganlah engkau mengharapkan aku tuk menjadi anak yang rajin menghafal Al Qur'an, padahal engkau jarang terlihat di hadapanku melantunkan Al Qur'an.

Janganlah engkau mengharapkan aku tuk menjadi anak yang rajin belajar, di sisiku engkau terlihat sebagai orang yang malas hadir di majelis ilmu.

Tidakkah engkau tahu wahai abi dan umi..

Aku selalu melihatmu..

Aku selalu memperhatikanmu..

Aku selalu mengikutimu..

Betapa bahagianya diriku ketika aku melihat abi dan umi adalah orang yang selalu menghiasi diri dengan nilai keshalihan.

Betapa bangganya diriku ketika mempunyai figur seorang abi dan umi yang rajin menghadiri majelis-majelis ilmu.

Wahai abi dan umi..

Jadikanlah engkau sebagai tauladan yang baik bagiku dan janganlah engkau menjadi seorang yang mengecewakan.

Ketakwaan dan Kemaksiatan Kembali Kepada Pelakunya

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "... Allah tidaklah terkena mudharat oleh kemaksiatan orang yang berbuat maksiat.

Allah juga tidak mendapatkan manfaat dari ketaatan orang yang melaksanakan ketaatan.

Amal ketaatan hanya bermanfaat bagi pelakunya saja.

Dan kemaksiatan akan mudharatkan kepada pelakunya saja..."

(Lihat Ianatul Mustafid-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 27, cet. Muassasah ar Risalah Nasyirun 2013)

Mojok Berduaan atau Telpon-telponan, Sama Saja!

Khalwat (Lelaki dan Wanita Berdua-duaan Tanpa Ada Mahramnya)

Apakah khalwat itu hanya sebatas seorang lelaki dengan seorang wanita berdua-duaan menyepi di rumah tanpa ada orang yang melihat saja..?

Atau apakah termasuk dikatakan khalwat juga jika ada seorang lelaki dan wanita berduaan di tempat ramai?

Jawab
Bukan maksudnya khalwat yang haram itu dipahami sebatas menyendirinya seorang lelaki dengan seorang wanita di suatu rumah yang jauh dari pandangan manusia saja.

Akan tetapi dikatakan khalwat mencangkup juga seorang lelaki dan wanita yang masing-masing berada di tempat yang berjauhan, tetapi keduanya saling berbincang.

Walaupun itu terjadinya di hadapan keramaian, akan tetapi tidak ada seorang pun yang bisa mendengar percakapan mereka.

Sama saja walaupun di pesawat, di kendaraan, di pelataran rumah atau yang selainnya.

Khalwat tidak boleh dilakukan karena menghantarkan kepada perkara zina dan bisa mengakibatkan perzinaan..

(Fatawa Lajnah Daimah 17/57. Dinukil dan diterjemah bebas dari Fatawal Adab wal Bir wash Shilah-Lajnah Daimah, hal. 8, cet. Darul Muhsin 2008