Rabu, 30 Desember 2015

Tanda Pemuda Idaman

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Di antara tujuh orang yang mendapat naungan Allah di hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, adalah sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kabarkan, "... Seorang pemuda yang (mengisi) kehidupannya di dalam peribadahan kepada Allah."
[HR. Bukhari dan Muslim].

Yaitu jika pemuda tersebut hidup di atas peribadahan kepada Allah dan tidak berbuat sebagaimana keumuman para pemuda lainnya, keinginannya tidak tertuju kepada perkara maksiat, akan tetapi kebanyakan dari kehidupan dan keinginannya diisi dengan ketaatan kepada Allah..."

(Taujihatun Muhimmatun lis Syabab-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 13-14, Dar Imam Ahmad 2005).

Menikah atau Puasa

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Wahai segenap pemuda, barang siapa di antara kalian yang sudah al ba'ah (mampu berjima dan menafkahi) maka menikahlah, karena yang demikian itu bisa lebih menundukkan pandangan dan menjaga farj (kemaluan).
Barang siapa yang tidak mampu menikah maka berpuasalah karena puasa akan menjadi wija (peredam syahwat)."
[HR. Bukhari dan Muslim].

Berkata Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu, "Para pemuda diperintahkan untuk menjaga farj-farj mereka, baik dengan cara menikah -jika mereka mampu-, atau bisa dengan sesuatu yang bisa melemahkan dan mengendurkan syahwat, yaitu dengan cara berpuasa, karena takut kalau mereka nanti terjatuh ke dalam fitnah.

Ini adalah termasuk bentuk penjagaan Nabi kepada umatnya.

Hal ini adalah wasiat nabi untuk para pemuda sampai hari kiamat.

Wajib atas para pemuda untuk berpegang teguh dengan wasiat ini.

(Taujihatun Muhimmatun lis Syabab-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 13, Dar Imam Ahmad 2005).

Menjilat Piring

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "... Demikian juga tentang menjilat piring, telah datang juga perintah syariat untuk menjilat piring (lihat Shahih Muslim no 2035).

Janganlah meninggalkan di piring sesuatu apapun dari sisa makanan, karena makanan tersebut nanti akan rusak (basi) atau nanti akan dibuang di tempat sampah.

Maka perkara ini (menjilat piring) adalah termasuk dari bagian memuliakan makanan.

Bahkan jika terdapat makanan tercecer yang berasal dari jatuhan suapannya, maka nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil ceceran makanan tersebut, kemudian dibersihkan jika terdapat kotoran, lalu hendaknya dia memakannya dan jangan tinggalkan makanan tesebut untuk setan (lihat Shahih Muslim no 2034).

Semua perbuatan ini adalah suatu bentuk memuliakan makanan dan mensyukuri nikmat, tidak meremehkan kenikmatan yang ada."

(Tas-hilul Ilmam-Syaikh Shalih Fauzan, jil. 6, hal. 164).

Meninggalkan Amal karena Manusia, Itulah Riya!

Fudhail ibn Iyadh rahimahullahu berkata, "Meninggalkan amal karena manusia adalah riya, sedangkan beramal karena manusia adalah syirik.
Ikhlash adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya."

Imam An Nawawi menjelaskan, "Makna ucapan beliau rahimahullahu ta'ala adalah barang siapa yang sudah bertekad untuk beribadah tapi kemudian meninggalkannya karena takut dilihat manusia maka ini adalah riya, karena dia telah meninggalkan amal karena sebab manusia.

Adapun kalau meninggalkannya karena ingin melakukannya di dalam keadaan khalwah (ketika nanti di tempat yang sepi) maka ini perkara yang mustahab (disukai).

Tapi perkara ini dikecualikan pada amalan yang fardhu (wajib) atau pada zakat yang wajib.

Dikecualikan juga pada keadaan seorang alim yang dijadikan panutan, kalo seperti ini maka menampakkan ibadah itu lebih afdhal (utama)."

(Diterjemah bebas dari Syarah Al Arbaun Nawawiyyah-Imam Nawawi, hal. 16, cet. Darul Mustaqbal 2005).

Yang Mubah pun Bisa Berpahala Jika...

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "... Terkadang sesuatu yang pada asalnya mubah (perkara yang boleh) akan ternilai sebagai ketaatan, jika seseorang yang mengamalkan perkara mubah itu meniatkan hal tersebut untuk suatu kebaikan.

Contohnya seorang yang meniatkan makan dan minumnya sebagai bentuk takwa karena di dasari atas ketaatan kepada Allah.

Oleh karenya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Makan sahurlah kalian, karena pada sahur terdapat barakah. (HR. Bukhari dan Muslim)."

(Lihat Ta'liqat Arbain Nawawiyah-Syaikh Utsaimin pada hadits yang pertama).

Jumat, 25 Desember 2015

Hukum Melafazhkan Niat

Sebagian muslimin melafazhkan niat ketika ingin shalat dengan mengucapkan "Ushalli fardha.. dst" berdalil dengan ucapan Imam Asy Syafi'i.

Bagaimana menjawab permasalahan ini?

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu menyatakan, "Ini adalah perkara yang tertolak dari beberapa sisi.

Pertama, bahwasanya ini tidak shahih berasal dari Imam Asy Syafi"i.

Kedua, kalau seandainya ini memang shahih dari Imam Asy Syafi'i maka ini bukan hujjah (dalil) karena Imam Asy Syafi'i adalah seorang mujtahid (pemberi fatwa) yang kadang salah dan kadang benar.

Adapun yang dijadikan hujjah (dalil) adalah ucapan nabi shallallahu alaihi wa sallam, bukan ucapan Imam Asy Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah atau Imam Malik.

Ucapan seorang ulama tidak akan menjadi hujjah kecuali ucapannya memang selaras dengan dalil (Al Qur'an dan As Sunnah).

Ketiga, yang diriwayatkan dari ucapan Imam Asy Syafi'i adalah:
"Shalat tidak layaknya seperti ibadah yang lain. Shalat itu tidak dimulai kecuali dengan berdzikir kepada Allah".

Yang dimaksud dengan "dzikir kepada Allah" adalah takbir (takbiratul ihram).

Maka bagaimanapun juga, niat adalah amalan yang ada di hati.

Tidak boleh seorang untuk melafazhkan niat."

(Lihat Minhatur Rabbaniyyah-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 18, cet. Darul Alamiyyah 2013).

Niat Ikhlash

Berkata Syaikh Abdurrahman as Sa'di rahimahullahu, "... Oleh karenanya, wajib atas setiap hamba untuk berniat dengan niat yang sempurna pada setiap perkara.

Yaitu dengan memaksudkan niatnya untuk:
-Meraih wajah Allah
-Bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
-Menuntut ganjaran yang baik dari Allah
-Mengharap pahala dari Allah
-Takut akan siksa Allah

Kemudian niat ini hendaknya senantiasa mengiringi setiap amalannya, ucapannya dan seluruh keadaannya dengan segenap semangat dalam penunaian amalnya di atas dasar keikhlasan dan kesempurnaan amal.

Bersamaan dengan itu, hendaknya dia juga menolak setiap apa yang menjadi kebalikannya, seperti:
-Riya (ingin dilihat)
-Sum'ah (ingin didengar)
-Ingin pujian di sisi makhluk
-Mengharap pemuliaan dari manusia

Jika hal itu semua ada pada dirinya, maka janganlah seorang hamba menjadikannya sebagai pusat tujuan dan akhir dari keinginannya.

Akan tetapi jadikanlah tujuannya sebagaimana asalnya, yaitu:
-Mengharap wajah Allah
-Mencari pahala Allah tanpa menoleh kepada makhluk
-Tidak mengharap sesuatu manfaat atau pujian manusia

Jika memang hal-hal yang disebutkan di atas itu ternyata didapat tanpa ada niatan maksud sebelumnya, maka hal ini tidak memudharatkan (membahayakan) pada dirinya sama sekali.

Bahkan itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk orang mukmin."

(Terjemah bebas dari Bahjatu Qulubil Abrar-Syaikh As Sa'di, hal. 8 dan 9, cet, Darul Furqan 2012).

Rabu, 23 Desember 2015

Memilih Istri yang Baik untuk Masa Depan Anak

Abul Aswad ad Duali berkata kepada anak-anaknya, "Aku telah berbuat baik kepada kalian ketika masih kecil dan ketika sudah besar.
Juga ketika sebelum kalian lahir."

Anak-anaknya bertanya, "Wahai ayahku bagaimanakah cara engkau berbuat baik ketika kami belum lahir?"

Abul Aswad menjawab, "Caranya adalah ku pilihkan untuk kalian seorang ibu yang tidak ada cela pada dirinya."

(Dinukil dari Tarbiyatul Aulad-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 21, cet. Darul Furqan 2008).

Selasa, 22 Desember 2015

Ibadahnya Orang Pilihan

Di Antara Ciri Ibadahnya Orang yang Terpilih

Al Imam Nawawi rahimahullahu menerangkan tentang keadaan sifat ibadahnya orang yang terpilih.

Beliau berkata, "... Tingkatan yang ketiga adalah seorang yang melakukan amalan dalam keadaan:

-Malu kepada Allah
-Menyadari bahwa ini adalah penunaian hak ubudiyah Allah
-Merupakan bentuk syukur kepada Allah

Bersamaan dengan itu semua, dia juga:

-Memandang dirinya masih kurang dalam menunaikan kewajibannya
-Hatinya pun diliputi rasa takut karena dia tidak tahu apakah amalannya diterima ataukah tidak.

Jika perkara-perkara di atas ada pada seorang hamba, maka inilah ibadahnya orang yang terpilih.

(Syarhul Arbain Nawawiyah, hal. 14-15, cet. Darul Mustaqbal 2005).

Senin, 21 Desember 2015

Menjilat Tangan, Sunnah yang Ditinggalkan


Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika salah seorang dari kalian makan sebuah makanan, maka jangan membersihkan tangannya sampai menjilatnya atau dijilat".
(HR. Bukhari 5456 dan Muslim 2031).

Syaikh Shalih al Fauzan hafizhahullahu menjelaskan, "Termasuk adab makan adalah sebagaimana yang terdapat pada hadits ini. Yaitu jika seseorang telah selesai makan hendaknya memuji Allah dengan berkata alhamdulillah.
Kemudian membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di tangannya dengan cara menjilat dengan mulutnya sendiri.
Atau bisa juga dengan cara dijilat oleh budaknya, anaknya atau oleh orang lain yang bisa menjilatnya."
(Tah-silul Ilmam pada syarah hadits 1442)

Syaikh Abdullah al Bassam rahimahullahu memberikan nasehat, "Minimal yang kita lihat dari keadaan orang yang makan, biasanya mereka membersihkan sisa makanan yang ada di tangannya dengan tissue sampai bersih.
Kemudian setelah itu barulah mencuci tangannya.
Akan tetapi yang afdhal adalah mengikuti sunnah nabi (yaitu menjilatnya).
(Taudhihul Ahkam pada syarah hadits 1442)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu bahkan menyemangati kita untuk menghidupkan sunnah ini. Beliau berkata, "Janganlah kalian mengingkari masalah ini (menjilat tangan)!.
Jika ada yang mengatakan bahwa perkara ini (menjilat tangan) adalah menyelisihi kewibawaan, tidak didapati orang yang menjilat tangannya.
Kami (syaikh) katakan bukanlah demikian alasannya. Jika saja manusia kita biasakan melihat (amalan menjilat tangan), maka hal yang seperti ini niscaya akan menjadi suatu perkara yang biasa."
(Fathu Dzil Jalali wal Ikram pada syarah hadits 1442)

Imam Nawawi rahimahullahu menerangkan, "Disukainya menjilat tangan sebagai bentuk penjagaan terhadap barakahnya makanan dan kebersihan tangan."
(Syarah Shahih Muslim pada syarah hadits 2031)

Ikhwati fillah rahimakumullah, mari kita bersama-sama menghidupkan sunnah yang satu ini.

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu, "Seyogyanya kita makan dengan menggunakan tangan karena ini lebih baik dibandingkan makan dengan menggunakan sendok."
(Fathu Dzil Jalal wal Ikram).

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu juga berkata, "Hadits ini menunjukkan agar kita memuliakan kenikmatan dan jangan mencampakkannya walau hanya sedikit.
Walau hanya sebuah sisa makanan di jari tangan."
(Tah-silul Ilmam).

Wallahu alam.
Semoga bermanfaat.

Seorang Pengajar tidak Hanya Mengajar

Tugas Seorang Pengajar Tidak Hanya Mengajar

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Kalau seandainya ada salah seorang pelajar dari anak didikmu pergi kepada seorang pelajar lainnya.

Dalam keadaan engkau tahu jika anak didikmu itu mendatangi pelajar tersebut, maka dia akan terpengaruh dengan aqidah dan manhajnya (yang rusak).

Maka hal yang seperti ini, tidak mengapa untuk engkau marah dan mentahdzir dari pelajar tersebut.

Karena seorang pengajar tidak hanya berfungsi mengajar saja.

Akan tetapi seorang pengajar adalah seorang yang mengarahkan dan mendidik serta memberikan tauladan (yang baik)."

(Syarah Muqaddimah al Majmu-Syaikh Utsaimin, hal. 63, cet. Dar Ibnil Jauzi 2004).

Rabu, 16 Desember 2015

Tidak Shalat Jama'ah karena Alasan Uzlah

Meninggalkan Shalat Berjama'ah karena Uzlah

Al Busyanji. Adalah seorang penganut aliran sesat sufi yang mengamalkan amalan uzlah.

Uzlah adalah mengasingkan diri ke tempat-tempat sepi yang jauh dari keramaian dalam rangka menyelamatkan diri.

Di tengah aktifitasnya dia meninggalkan shalat berjama'ah ke masjid.

Al Imam Al Hakim berkata, "Aku mendengar ucapan dia tidak sekali, ketika dia dikecam karena meninggalkan shalat jama'ah.

Dia (al Busyanji) berkata:
Keutamaan itu terdapat pada shalat jama'ah akan tetapi keselamatan itu terdapat pada uzlah (mengasingkan diri).

Imam adz Dzahabi rahimahulahu dalam kitab Tarikh Islam 384, mengomentari ucapan al Busyanji di atas dengan mengatakan:
Ini udzur yang tidak bisa diterima!
Tidak ada keringanan untuk meninggalkan shalat jama'ah karena alasan uzlah dalam rangka mencari keselamatan.
Perkara ini telah disepakati berdasar ijma."
-selesai-

Ikhwatii fillah rahimakumullah, lalu bagaimana dengan keadaan orang yang meninggalkan shalat jama'ah karena malas?

Nas'alullaha salamah wal 'afiyah.

(Atsar di atas dinukil dari Al Fawaidu adz Dzahabiyah jil. 1, hal. 125, cet. Maktabatu ar Rusydi Nasyirun 2003).

Akhlak yang Baik

Syaikh Fauzan hafizhahullahu berkata, "Yang dimaksud (akhlak yang baik) adalah menampakkan wajah yang berseri-seri, mencurahkan kebaikan, tidak mengganggu manusia dan setiap perbuatan yang mengandung bentuk ihsan kepada manusia, maka semua ini adalah bagian dari akhlak yang baik."
(Tas-hilul Ilmam 6/160).

Syaikh Utsaimin rahimahullahu berkata, "Sebagian ulama mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah engkau bergaul dengan manusia sesuai dengan segala perlakuan yang engkau cintai terhadap dirimu sendiri.
Definisi ini lebih global, jelas dan gamblang."
(Fathu Dzil Jalal 6/247).

Berkata Syaikh Utsaimin rahimahullahu, "Apakah marah karena Allah itu menafikan akhlak yang baik?
Jawabnya adalah sesungguhnya hal itu tidak menafikan akhlak yang baik.
Bahkan itu termasuk akhlak yang baik, karena maksud dari perbuatan tersebut adalah dalam rangka mendidik dan membimbing."
(Syarah Arbain hadits ke 27).

Intinya Fokus


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, "Sudah menjadi maklum, bahwa siapa yang mengumpulkan tekadnya untuk fokus terhadap satu perkara, maka ini akan lebih menghasilkan dibanding seorang yang membagi tekadnya di dalam berbagai macam amalan."

(An Nubadz fi Adabi Thalabil Ilmi-Syaikh Hamd Ibrahim Utsman, hal. 79, cet. Dar Ibnil Qayyim 2002).

Perhatian kepada Ilmu Fikih Shalat

Berkata Syaikh ibn Baz rahimahullahu, "Bagi seluruh masyarakat pada umumnya, dan para imam shalat pada khususnya, untuk bisa memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu fikih di dalam hukum-hukum shalat.

Hendaknya mereka menjadi tauladan yang baik di dalam menegakkan syariat yang agung ini.

Karena dia menjadi panutan bagi para makmum dan menjadi pengajar bagi mereka yang bodoh dan masih kecil."

(Silahkan lihat Risalah fish Shalah-Syaikh ibn Baz, hal. 12, cet. Darul Istiqamah 2012).

Unta Merah


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Demi Allah, jika seandainya Allah memberikan hidayah kepada seseorang karena sebab perantaraan engkau, maka itu lebih baik untukmu dibanding mendapat seekor unta merah."
(HR. Bukhari dan Muslim).

Ibnu Hajar menerangkan bahwa maksud hadits di atas adalah lebih baik untuk kalian jika dibandingkan mendapat unta merah kemudian menshadaqahkannya.
Ada juga yang menyatakan lebih baik dibanding mempunyai dan memiliki unta merah.
Dahulu unta merah adalah hewan yang digunakan oleh orang-orang arab untuk ajang berbangga-bangga.
(lihat jelasnya di Fathul Bari 7/545).

Dinyatakan oleh Imam an Nawawi bahwa unta merah adalah harta yang paling mewah di kalangan bangsa arab.
Dimisalkan dengan unta merah bukan berarti perkara dunia mempunyai nilai jika dibandingkan dengan perkara akhirat, akan tetapi hal ini hanya sebagai pendekatan pemahaman saja.
Tentunya nilai yang didapat di akhirat tidak bisa dibandingkan dengan perkara dunia.
(Lihat jelasnya di Syarah Shahih Muslim an Nawawi 15/178).

Ibnul Qayyim menerangkan bahwa unta merah adalah harta pilihan dan merupakan kemulian bagi pemiliknya.
(Lihat di Miftah Daris Sa'adah 1/250).

Ibnu Hisyam membawakan riwayat Ibnu Ishaq bahwa salah satu orang Quraisy dahulu yang memiliki unta merah adalah Utbah ibn Rabiah.
Utbah membawa unta merahnya ke medan Badar, dan dia pun mati kafir ketika menjalani duel maut, sesaat sebelum perang pecah.
(Lihat jelasnya di As Sirah an Nabawiyah Ibnu Hisyam 1/383 dan 386).

Wallahu alam, semoga bermanfaat.

Selasa, 15 Desember 2015

Pendidikan yang Terlupakan


Imam Ma'mar rahimahullahu bercerita, "Dahulu Thawus pernah duduk-duduk bersama anaknya.

Tiba-tiba datang seorang lelaki yang berpemahaman Mu'tazilah.

Lelaki tersebut itu kemudian berbicara tentang sesuatu.

Thawus pun memasukkan kedua jari telunjuknya ke kedua telinganya seraya berkata, "Wahai anakku masukanlah kedua jari telunjukmu di ke kedua telingamu sampai engkau tidak bisa mendengar ucapan orang ini sedikitpun, karena hati ini lemah!."

Thawus terus-menerus berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, tekan terus jarimu, tekan!"

Sampai akhirnya lelaki Mu'tazilah itu pun pergi."
-selesai-

Ikhwati fillah, ini adalah salah satu contoh bentuk pendidikan yang harus kita ajarkan kepada anak-anak kita.

Jangan memberikan kesempatan orang sesat memasukan kesesatannya ke telinga anak-anak kita.

Ikhwatii fillah rahimakumullah, kira-kira bagaimana sikap Imam Thawus jika ada orang tua yang sengaja memasukan putra-putri mereka ke lembaga-lembaga hizbiyyah?

Nas'alullaha salamah wal 'afiyah.

(Kisah Imam Thawus dinukil dari Al Amru bi Ittiba-Imam Asy Suyuthi, hal. 15, cet. Darul Istiqamah 2005).

Minggu, 13 Desember 2015

Diantara Kewajiban yang Harus Ditunaikan kepada Rasulullah

Berkata Syaikh Abdurrahman as Sa'dy rahimahullah, "Wajib atas kita untuk menauladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di segala sesuatu.

Janganlah kita mendahulukan petunjuk dan ucapannya di atas petunjuk dan ucapan dari seorang pun, siapapun dia.

Wajib juga bagi kita untuk menghormati, memuliakan dan membela Rasulullah.

Kita bela agama (yang dibawanya) dengan jiwa, harta dan lisan-lisan kita.

Tentunya hal itu dikerahkan penuh sesuai kemampuan yang ada pada diri kita.

Semua hal itu termasuk kenikmatan yang paling agung, yang Allah limpahkan kepada kita."

(Nurul Bashair-Syaikh as Sa'dy, hal. 86, cet. Darul Minhaj 2003).

Perhatian terhadap Shalat Berrjama'ah di Mesjid

Berkata Syaikh ibn Baz rahimahullahu, "Telah shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, "Barang siapa yang mendengar panggilan (adzan) tapi dia tidak mendatangi (masjid), maka tidak ada shalat baginya kecuali ada udzur."
(HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh al Albani).

Ibnu Abbas ditanya, "Seperti apakah udzurnya itu?"

Beliau menjawab, "Rasa takut (mencekam) atau sakit."

Syaikh ibn Baz melanjutkan, "Hadits-hadits yang ada, menunjukkan atas wajibnya menunaikan shalat berjama'ah.

Dan wajib untuk menunaikannya di rumah Allah (masjid). Dimana masjid adalah tempat yang Allah persilahkan hamba-hambanya untuk meninggikan dan menyebut nama-nama-Nya sebanyak-banyaknya.

Maka wajib atas setiap muslim untuk perhatian di dalam perkara ini.

Hendaknya juga saling berlomba-lomba dan saling berwasiat kepada anak-anaknya, keluarganya, tetangganya dan kepada seluruh saudaranya yang muslim.

Ini dilakukan dalam rangka perealisasian perintah Allah dan Rasul-Nya.

Juga dalam rangka memperingakan terhadap apa yang menjadi larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya.

Juga sebagai bentuk menjauhi penyerupaan para munafik yang Allah telah mensifati sifat mereka dengan sifat yang tercela.

Dan diantara sifat yang terjeleknya adalah MALASNYA mereka untuk menegakkan shalat.

(Rasa'il fish Shalah-Syaikh ibn Baz, hal. 29-30, cet. Darul Istiqamah 2012).

Sabtu, 05 Desember 2015

Anak Punk

Pantang tuk Menjadi Anak Punk
(Versi Edit di Whatsapp)

Pernahkah anda melihat seorang yang berpenampilan lusuh dengan model rambut mohawk warna-warni, berkaos hitam lusuh, bercelana jins ketat, bersepatu boot ala tentara dilengkapi hiasan spike, rantai dan emblem khas semodel swastika atau model salip terbalik ?

Penampakkan makhluk aneh ini mungkin di daerah perkotaan sudah bukan pemandangan baru lagi.

Namun ternyata makhluk-makhluk aneh ini sudah mulai merebak ke pelosok-pelosok desa.

Allahu musta’an.

Pembaca yang budiman, mereka rela me ‘make up’ penampilannya demi menjalankan sebuah ekspresi naluri yang terbiaskan melalui sebuah wadah komunitas yang bernama punk.

Dibalik penampilan eksentrik seorang punker -baik dari sekedar kelas ikut-ikutan sampai kelas militan- ternyata mereka menyimpan sebuah ideologi yang khas.

Ideologi yang bermuara kepada kebebasan hidup, kesetaraan dan anti kemapanan.

Punk yang sebut sebagai salah satu pecahan aliran musik rock, asal muasalnya adalah merupakan reaksi akar rumput kaum muda pinggiran di Inggris yang muak dan bosan dengan rusaknya keadaan tatanan sosial dan sistem kapitalis penguasanya yang kian hari kian melahirkan tindak kriminalitas dan pengangguran.

Sikap protes ini mereka tumpahkan melalui lirik-lirik tajam dengan iringan musik ‘tiga jurus’ yang menghasilkan sebuah tempat curahan tersendiri dalam bentuk aksinya.

Jadilah punk sebagai musik sekaligus budaya.

Ada juga yang menganggap bahwa budaya punk tumbuh dari sekelompok pemuda ‘glue sniffer’ yang senang akan polah anarkisme dalam setiap kehidupannya.

‘Glue sniffer’ adalah sebutan bagi pecandu lem berbau tajam sebagai alternatif mahalnya minuman keras.

Pembaca yang budiman, seiring waktu berjalan, ternyata budaya punk kini kian merambah pesat ke negara-negara muslim.

Tak terlewat di negeri kita.

Tak heran, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sungguh, kalian akan mengikuti jalan yang ditempuh oleh orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta. Sampai seandainya mereka masuk ke dalam lubang Dhab [sejenis biawak] pasti kalian akan mengikuti mereka”.
Kami para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah apakah mereka dari kalangan Yahudi dan Nashrani?”.
Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka”.
[HR. Bukhari no. 7319]

Pembaca yang budiman, remaja kisaran umur belasan sampai dua puluh tahunan menjadi komoditi utama dalam menyuburkan budaya ini.

Tak salah, mengingat remaja ABG yang memiliki tingkat rasa ingin tahu yang tinggi, labil dan kurang banyak ‘makan garam’ kehidupan.

Di mata seorang punker sungguh indah hidup bebas tanpa aturan, tidak terkungkung norma-norma sosial dan tidak terbatasi oleh sistem yang mereka anggap kapital.

Di sisi mereka kesenangan hidup hanyalah bisa didapat sesaat setelah menghisap ganja atau ketika reaksi alkohol bekerja.

Padahal menjalani hidup seperti ini justru akan menambah kesengsaraan mereka.

Mereka tidak sadar bahwa ‘kenikmatan’ sesaat yang mereka rasakan sejatinya akan memupuskan harapan masa depan dunianya dan masa depan akhiratnya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihra baginya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tiada lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya”.
[Al-Furqan: 43-44]

Pembaca yang budiman, mereka pikir menjadi anak punk adalah sebuah solusi yang jitu dalam menampung apresiasi.

Padahal jika mau jujur, lambat laun seorang punker akan menyerah dan kalah dengan ‘solusi’nya.

Kumpul-kumpul sambil nge-fly, memainkan musik punk di konser-konser lokal dan segala riot yang mencacati tatanan sosial, pada saatnya akan terhempas diterjang usia kedewasaan.

“Punk Not Dead” ternyata hanya sekedar semboyan semu yang terlumat pada kenyataan hidup.

Demikianlah akhir hidup seorang punker yang telah terakui sendiri oleh pegiatnya.

Sebutlah Kent McLard, seorang punkers asal Amerika sekaligus manager rekaman dan bos penerbit majalah-majalah komunitas punk, ia berkata, “Menentang arus, menjadi seorang anarkis, tinggal di gedung kosong pada usia 20-an tampaknya menjadi sebuah hal yang menyenangkan. Tetapi pada usia 30-an, tampaknya akan lebih menyenangkan apabila kita justru menceburkan diri ke dalam arus dan mengikutinya”

Pembaca yang budiman, yang menjadi titik permasalahan, apakah demikian akhir dari sebuah perjalanan?

Apakah dengan kembali mengikuti arus hidup keduniawian?

Tidakkah mau seorang muslim untuk menjadikan hidupnya lebih bernilai dari sekedar meninggalkan kehidupan nge-punk?

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun”.
[Al-Hadid: 16].

Waktu yang dihabiskan dengan ‘barang haram’ dan hingar bingar ‘suara setan’ menjadi sejarah hitam repertoar kehidupan.

Putus asa dan pesimis hidup pun menjadi buah pahit.

Tidakkah mau untuk menjalani jalan yang lebih indah?

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah dengan semurni-murninya taubat. Mudah-mudahan Rabbmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”.
[At-Tahrim: 8]

Kembalilah kepada Islam, karena hanya dengan Islam kebahagiaan akan  datang.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Barangsiapa yang mencari tuntunan selain Islam, maka tidak akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi”.
[Ali Imran: 85].

Pembaca yang budiman, melalui tulisan ini, perlu kiranya kita semua waspada dari segala bentuk penetrasi budaya punk yang kini mulai dicicipi kaum muda.

Lindungi orang-orang yang kita cintai dari virus punk.

Suarakan dengan lantang untuk “PANTANG TUK MENJADI ANAK PUNK”

Rujukan utama:Majalah Asy Syariah Vol. VII/No. 76/1432H/2011
Majalah Tasfiyah Edisi 07/Vol. 01/1432H/2011
Dan sumber lain.

Kamis, 03 Desember 2015

Dampak Negatif dari Cerita Robin Hood

Kesimpulan Maut yang Terpetik dari Cerita Robin Hood
(VERSI EDIT DI WHATSAPP)


Robin Longstride atau lebih tenar dikenal dengan nama Robin Hood adalah seorang tokoh legendaris yang berhasil ditanamkan kepada publik sebagai sosok pahlawan pembela kebenaran.

Keberanian yang dihiasi kedermawanan menjadikan sang pemanah ulung ini memasuki deretan tokoh panutan di dalam cerita-cerita maupun cinema.

Dikisahkan dalam sepak terjang kehidupannya, Robin Hood kerap merampok orang-orang kaya yang lewat di hutan daerah kekuasaannya.
Namun hasil rampokannya tidak dia gunakan kecuali untuk dibagi-bagikan kepada kaum miskin di sekitarnya.

Dengan inilah sosok Robin Hood sebagai ksatria yang baik hati mendapat tempat.

Wallahu ‘alam, apakah memang demikian keadaan nyata Robin Hood atau semua hanya fiktif belaka.

Yang pasti imej orang ketika ditanya tentang siapa Robin Hood, niscaya tidak jauh dari apa yang digambarkan di atas.

Tidaklah berlebihan jika kita mau sedikit peka terhadap nilai pelajaran yang diserap dari cerita ‘sang pencuri baik hati’ ini.

Apakah itu?

Terdoktrinnya pemahaman bahwa bolehnya melakukan kemaksiatan dengan tujuan kebaikan.

Dengan kata lain mencuri bisa saja diperbolehkan asal niatnya baik seperti yang dilakukan Robin Hood.

Jika mau ditarik lebih luas lagi, mungkin di jaman sekarang pemahaman seperti itu melebar kepada bolehnya mencuri harta orang kaya yang zhalim atau merampok pejabat yang korup asalkan hasil curiannya dibagi-bagikan kepada fakir miskin.

Laa haula walaa quwwata illa billah

Bagaimanakah Islam menjawab hal ini?

Cukup sabda Nabi sebagai jawabnya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Allah tidak menerima shadaqah dari harta hasil curian atau rampasan”.
(Shahih, HR. Muslim).

Bersabda pula Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik”.
(Shahih, HR. Muslim).

Maka melalui tulisan ini semoga saja kita tidak lagi menganggap sosok Robin Hood sebagai pahlawan tauladan, dan tidak lagi memandang positif pelaku kasus-kasus pencurian yang dihiasi dengan ‘kedermawanan’ ala Robin Hood.

Pencuri tetaplah pencuri.

Penting juga untuk disampaikan dalam kesempatan ini, agar segenap orang tua muslim untuk tidak menyuguhkan cerita-cerita yang bukan berasal dari Islam.

Hendaknya kita harus lebih selektif lagi dalam memilih cerita-cerita untuk anak-anak kita.

Jika asupan makanan untuk jasmani anak kita saja bisa selektif dalam memilihnya, maka apakah kita akan telantarkan asupan rohani anak kita dengan memberikan bacaan-bacaan yang bisa merusak kesehatan aqidah anak kita?

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala befirman yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka”.
(At-Tahrim: 6)

Semoga sajian ini bermanfaat.

Barometer Kebenaran

Kecerdasan dan Luasnya Pengetahuan Bukan Tolak Ukur Kebenaran
(VERSI EDIT DI WHATSAPP)

Sahabat muslim, apakah mesti orang pintar nan berilmu itu pasti di atas petunjuk?

Apakah menjadi kelaziman, orang yang cerdas nan berotak encer itu pasti ada di pihak yang benar?

Apakah bisa dipastikan orang yang berpengetahuan luas itu berarti yang memegang al haq?

Maka jawabnya belum tentu.

Mengapa demikian?

Coba kita tengok sejenak sedikit bagian dari kisah bangsa yahudi yang terlaknat.

Bangsa yahudi adalah bangsa yang dimurkai Allah.

Mereka adalah orang-orang yang berilmu dan mengerti akan jalan petunjuk, tapi mereka toh ternyata lebih suka memilih jalan kesesatan dan jalan kekafiran.

Bukti dari ini semua adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”. (Al-Baqarah: 89)

Sahabat muslim, orang-orang yahudi yang hidup di masa kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam itu tahu kalau sebentar lagi mereka akan kedatangan seorang utusan Allah yang terakhir.

Mereka dapat mengetahuinya dengan detail melalui kitab sucinya, Taurat.

Bahkan kaum Nasraninya pun tahu melalui Injilnya.

Disebutkan bahwa mereka mengetahui sifat-sifat dan karakteristik nabi tersebut melebihi pengetahuan mereka terhadap anak-anak mereka sendiri.

Allah subhanahuwata’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang telah kami berikan Kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman (kepada Allah)”. (Al An’am: 20).

Dalam kitab Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul karya asy Syaikh Muqbil rahimahullah disebutkan bahwa orang-orang Yahudi kerap kali mengancam orang-orang arab kala itu dengan berita kedatangan nabi terakhir.

Mereka dengan lantang mengancam akan memerangi mereka bersama nabi tersebut.

Sahabat muslim, Inilah segelintir bukti bahwa mereka berilmu dan mengetahui dengan jelas akan datangnya seorang nabi yang akan menutup untaian risalah kenabian.

Namun apakah yang terjadi setelah itu?

Ketika Allah menetapkan pengemban kenabian itu kepada seorang pemuda Quraisy keturunan Nabiyullah Ismail ‘alaihissalam dan bukan dari keturunan Nabiyullah Ishaq, bangsa yahudi pun menolak mentah-mentah kenabian tersebut.

Mereka tidak mau terima keputusan Allah yang Maha Hikmah.

Mereka mendurhakai rasul yang mulia Muhammad ibn Abdillah ibn Abdul Muthalib.

Mereka campakkan ilmu yang telah mereka pelajari.

Mereka seakan lupa bahwa mereka adalah orang-orang yang baru saja membaca kitab suci yang menjelaskan tentang kedatangan rasul tersebut.

Mereka telah terjangkiti penyakit sebagaimana penyakit Iblis la’natullah ‘alaihi.

Sombong dan penyakit hasad.

Ya. Sombong dan Hasad.

Laknat Allah atas Iblis dan yahudi.

Sahabat muslim, Inilah bukti bahwa tidak mesti orang yang berilmu akan mengikuti dan mengamalkan ilmunya.

Hal ini selaras dengan ucapan Imam adz Dzahabi rahimahullah (secara makna): “Bukanlah ilmu jika semata banyaknya periwayatan dan banyaknya kitab, akan tetapi ilmu itu sejatinya adalah bentuk ittiba’ (pengikutan thd syariat)”

Maka janganlah yang menjadi tolak ukur kebenaran itu adalah semata-mata kecerdasan atau encernya pemahaman juga luasnya pengetahuan.
Tapi semestinya kita hanya meyakini bahwa hal-hal itu semua merupakan sebab saja.

Dan tetap kita katakan dengan tegas bahwa tolak ukur kebenaran adalah segala yang datang dari Allah dan RasulNya melalui nash-nash yang shahih yang telah diaplikasikan oleh para shahabat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.

Sungguh indah apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (secara makna): “Banyak orang yang diberi kecerdasan tapi (Allah) tidak memberinya kesucian”.

Sahabat muslim, dengan demikian jangan heran kalau ada kita dapati orang-orang yang mempunyai daya pemahaman yang biasa-biasa saja atau IQ yang pas-pasan ternyata dipilih oleh Allah ta’ala sebagai Dzat yang Maha Hikmah sebagai pengemban hidayah As Sunnah dan Allah anugerahkan keikhlashan kepada mereka dalam menghidupkan dan membela sunnah-sunnah nabiNya shalallahu ‘alaihi wasallam.

Sebaliknya, janganlah heran ketika kita dapati ada orang-orang yang cerdas, pintar, berotak encer, ber IQ tinggi tapi Allah jadikan mereka sebagai orang-orang yang menolak dakwah As Sunnah, bahkan menjadi penentang dakwah As Sunnah. Na’udzubillah.

Hidayah adalah milik Allah, dan Allah jua lah yang menentukan siapa yang pantas atau tidaknya hidayah tersebut diberikan.

Sahabat muslim, Dimanakah posisi kita?

Apakah kita masih merasa sombong untuk tunduk kepada syariat ini?

Apakah kita merasa sok ini dan sok itu untuk menerima al haq?

Apakah kita rela kelak di hari kiamat disatukan dalam barisan orang yahudi?

Tentu tidak!

Semoga bermanfaat.

Racun Hati Lebih Dahsyat Dibanding Racun Jasmani

Racun Hati Lebih Dahsyat Dibanding Racun Jasmani
(VERSI EDIT DI WHATS APP)


Sahabat muslim, Tak dipungkiri setiap manusia pasti menginginkan kesehatan pada jasmaninya.

Beragam cara akan ditempuh untuk hal ini.

Dari mulai pencegahan sampai pengobatan.

Perkara yang akan membuatlanggengnya kesehatan jasmani akan dilakoni.

Mulai dari mengkosumsi makanan bergizi, minuman sehat dan olahraga.

Bahkan sebagian rela mengeluarkan koceknya untuk membeli suplemen-suplemen yang bisa menunjang kesehatannya.

Sebaliknya, perkara apa saja yang akan mengancam keberlangsungan kesehatannya, niscaya akan dipantang.

Demikianlah, semua ini kembali dalam rangka menjaga kesehatan jasmani.

Namun dari itu semua, ternyata ada sebagian manusia -atau bahkan mungkin mayoritas- melalaikan perkara
yang lebih penting dari sekedar memperhatikan jasmaninya.

Yaitu memperhatikan kesehatan hatinya.

Mereka lupa bahwa hati juga bisa sakit.

Terkadang ini menjadi suatu ironis, di sisi lain mereka bersungguh-sungguh menjaga jasmaninya tapi di sisi lain mereka lalai dari yang lebih penting.

Menjaga hatinya.

Sahabat muslim, seperti halnya jasmani, hatipun bisa sakit.

Di sana terdapat racun yang akan mengancam kesehatan jasmani kita.

Begitu pula terdapat racun yang akan mengancam hati kita.

Perlu diketahui, racun-racun yang mengenai jasmani kita sejatinya masih lebih ringan jika dibandingkan racun-racun yang mengenai hati kita.

Lalu apakah yang dimaksud dengan racun-racun yang akan merusak hati?

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam kitabnya ad Daau wad Dawa’ bahwa racun yang akan mengancam keberlangsungan sehatnya hati kita, yaitu adalah dosa dan kemaksiatan.

Mengapa demikian?

Perhatikan pemaparan di bawah ini:

Jika jasmani kita yang terkena racun maka dampak binasanya akan mengenai diri kita di dunia saja.

Minimalnya sakit dan maksimalnya mati.

Selesai.

Tapi lain hal jika hati kita yang terkena racun dosa dan kemaksiatan.

Dosa dan kemaksiatan yang kita lakukan tak hanya merugikan di dunia saja tapi juga akan merugikan di akhirat juga.

Coba perhatikan, dengan sebab apa bapak kita Nabi Adam alaihissalam dikeluarkan oleh Allah subhanahuwata’ala dari kehidupan surga yang di dalamnya penuh dengan kenikmatan kepada kehidupan yang dunia yang di dalamnya penuh dengan kesusahan dan kepayahan?

Dengan sebab apa pula Iblis yang dahulunya hidup bersama para malaikat yang mendapat Rahmat Allah kini menjadi makhluk yang terusir nan terlaknat?

Mengapa pula datangnya angin yang memporak porandakan kaum ‘Aad sehingga mereka binasa di rumah-rumah mereka layaknya batang-batang kurma kering tiada guna?

Mengapa pula ditimpakan azab yang sangat dashyat kepada kaum Nabi Luth sehingga bumi di putar balik untuk membenamkan mereka diiringi turunnya bebatuan dari langit yang menguburnya?

Mengapa pula ditimpakan azab bagi Kaum Tsamud, Kaum Syu’aib, Fir’aun, Qarun dan yang lainnya?

Perhatikanlah, tidaklah semua kebinasaan dan azab yang mereka dapatkan di dunia ini melainkan karena efek racun yang mematikan yang bernama dosa dan kemaksiatan.

Inilah efek binasa yang mereka dapatkan di dunia.

Maka bagaimana pula keadaan mereka di akhirat?

Allahul Musta’an, Allahlah satu-satunya tempat memohon pertolongan.

Sahabat muslim, jika racun yang mengancam jasmani kita mempunyai tingkatan dalam efek daya binasanya, maka racun dosa dan kemaksiatan yang mengancam hati kitapun demikian.

Semua terkait dengan kadar efek daya binasanya.

Dan yang paling membinasakannya adalah dosa kekufuran dan kemusyrikkan.

Semakin besar daya binasa suatu dosa tersebut maka semakin besar pula kebinasaan yang kita dapatkan.

Maka sudah menjadi perhatian bagi kita semua, ketika para ulama menyatakan: “Kemaksiatan-kemaksiatan adalah perantara menuju kekufuran”.

Jangan anggap remeh suatu dosa kemaksiatan, karena tidaklah api yang besar melainkan awalnya terbentuk dari kayu-kayu kecil.

Sahabat muslim, Maka hati-hatilah terhadap suatu dosa.

Tidak ada perkara yang bisa membinasakan kita di negeri akhirat yang kekal kelak kecuali karena sebab dosa dan kemaksiatan.

Sudah sepatutnya bagi kita untuk lebih memperhatikan kesehatan hati kita ketimbang kesehatan jasmani kita.

Janganlah kita bersungguh-sungguh menjaga kesehatan jasmani tapi melalaikan kesehatan hati.

Kenalilah racun-racun hati itu dengan menuntut ilmu agama Allah.

Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang telah terinfeksi racun-racun hati dalam keadaaan kita tidak menyadarinya.

Sampai akhirnya, binasa perlahan di hari tiada guna lagi harta dan tahta.

Na’udzubillahi min dzalik.

Wallahu ‘alam.


Firasat dalam Mengenal Dosa adalah Anugerah bagi Orang yang Hatinya Selamat


Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu, "Barang siapa yang selamat hatinya, maka sesungguhnya Allah menganugerahkan firasat kepadanya untuk mengenali suatu dosa.

(yaitu ketika mendapati perkara dosa) Jiwanya tidak tenang dan tidak merasa lapang pada perkara dosa tersebut.

Ini termasuk dari (bagian) nikmat Allah atas hamba-Nya."

(Fathu Dzil Jalali wal Ikram-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 249, cet. Maktabatul Islamiyah)

Sabar adalah Dikejadian Pertama

Sabar Adalah Pada Kejadian Pertama

Penting untuk kita ketahui bahwa kesabaran akan bernilai ketika ditempatkan pada awal kejadian.

Kesabaran yang hakiki bukan datang ketika selesai menumpahkan sumpah serapah dan keluh kesah dahulu.

Kesabaran teranggap ketika pas di awal kejadian pertama.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, "Sesungguhnya sabar itu (teranggap) pada awal kejadian"
(HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas ibn Malik radhiallahu ‘anhu).

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah, janganlah kita menjadi orang yang cengeng dengan bergampang-gampang mengeluh kepada makhluk.

Keluhkanlah segala kegundahan dan kegalauanmu kepada Allah.

Berdo’alah kepada Allah dan yakinlah bahwa Allah adalah sebaik-baik tempat mengadu.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, ia berkata, " (artinya: Cukuplah Allah bagiku sebagai sebaik-baik pelindung), adalah kalimat yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika beliau dilemparkan ke dalam api.

Dan juga dikatakan oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam ketika orang-orang kafir mengatakan: Sesungguhnya manusia (kaum musyrikin Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang engkau, karena itu takutlah kau kepada mereka.(maka Ibnu Abbas membaca ayat Ali Imran: 173 yang artinya) “Maka perkataan itu menambah keimanan orang-orang beriman dan mereka menjawab: Cukuplah Allah bagiku sebaik-baik pelindung” (HR. Bukhari)".

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua kepada jalan yang diridhai-Nya.
Amin.