Selasa, 31 Maret 2015

Buah dari Meninggalkan Maksiat

Berkata Al Qasim bin Abdirrahman:
Bahwasanya Abdullah ibnu Mas'ud berkata:
Sesungguhnya aku menyangka lupanya seorang terhadap ilmu adalah disebabkan karena perbuatan suatu dosa yang dia kerjakan dalam keadaan dia mengetahui akan ilmunya.


Ali bin Khusyram berkata:
Aku berkata kepada Waki' ibnul Jarrah: Sesungguhnya aku ini seorang yang bodoh, dan aku tidak punya hafalan. Ajarkanlah kepadaku obat untuk bisa menghafal !
Berkata Waki': Wahai anakku, demi Allah tidak ada obat yang mujarab untuk bisa menghafal semisal meninggalkan maksiat.
Jika engkau ingin menghafal hadits, maka wajib bagimu untuk melakukan hal itu (meninggalkan maksiat).

(Silahkan lihat Akhbarun Lihifzhil Qur'an-Ibnu 'Asakir, bab Sababun Nisyan. Dinukil dari Jami' fil Hatstsi 'ala Hifzhil Ilmi, hal. 226 dan 228).

Dengan Musibah Jadikan Hidup Lebih Baik

Setiap orang pasti mengalami musibah. Merasa sempit, tertekan atau susah.

Termasuk musibah bagi seorang hamba di antaranya adalah BERBUAT MAKSIAT.

Ya. Dengan kemaksiatan seorang hamba bisa mendapat kesusahan dan kesempitan hidup. Baik di dunia maupun di akhirat.

Berbuat sesaat, berhujung sesak. Itulah maksiat.

Tiada jalan tuk melapangkan kesesakkan akibat maksiat kecuali dengan taubat.

Ikhwatii fillah..
Dilaman sederhana ini kami tidak menyentuh efek-efek negatif maksiat atau keutamaan taubat.

Akan tetapi kami akan sedikit menyentuh suatu faidah indah telah ditorehkan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Ketika beliau membawakan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Tidaklah seorang mukmin tertimpa suatu ketetapan (dari takdir) kecuali itu adalah kebaikan untuknya"
(HR. Muslim dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu 'anhu).

Dimaukan juga dari hadits di atas adalah perkara kemaksiatan.

Mengapa? Karena bisa jadi ketentuan takdir yang mengena pada dirinya bisa membuat kepada suatu perkara tertentu yang berujung baik.

Seperti terjatuhnya seorang hamba kepada kemaksiatan, lalu dia bertaubat.

Maka bisa jadi keadaan dia setelah bertaubat itu lebih baik dibanding sebelum dia berbuat dosa.

Wallahu alam.

(Faidah bebas, disadur dari kitab Al Masaail karya Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan penambahan, silahkan lihat di hal. 5, cet. Darul Istiqamah 2006)

Jumat, 20 Maret 2015

Hukum Berdzikir di Kamar Mandi

Tidak boleh bagi seseorang untuk berdzikir kepada Rabb-Nya di dalam kamar mandi, karena tempat tersebut tidak pantas untuk hal yang demikian itu.

Jika berdzikirnya dengan hati, maka tidak mengapa, tapi dengan catatan tanpa dilafadzkan dengan lisannya.

Atau, lebih utama lagi hendaknya dia tidak mengucapkan sesuatu apapun dengan lisannya di tempat ini (kamar mandi), hendaknya dia menunggu sampai keluar dari kamar mandi.

Adapun jika di tempat wudhu yang lokasinya berada di luar tempat buang hajat, maka tidak mengapa bagi seseorang yang ingin berdzikir kepada Allah di dalam tempat tersebut.

(Asy Syarahul Mumti' 'ala Zaadil Mustaqni'-Syaikh Ibnu Utsaimin, juz. 1 bab Al Istinja. Dinukil dari Fiqh Mar'ah Muslimah, hal. 18, cet. Darul Aqidah 2007).

Menyembunyikan Shalat Malam

Berkata Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullahu:

... Dahulu para salaf sangat bersungguh-sungguh dalam menyembunyikan shalat malam mereka.

Berkata Al Hasan:
Dahulu ada seseorang yang di sisinya terdapat tetangganya, ketika menjelang malam dia pun shalat malam. Akan tetapi tetangganya tersebut tidak mengetahuinya.
Para salaf sangat bersungguh-sungguh di dalam berdoa, dan tidaklah terdengar lirihan doa mereka ketika itu.
Dahulu ada pula seseorang yang tidur bersama istrinya di satu bantal. Maka ketika dia menangis (karena Allah) di sepanjang malamnya, sang istri tidak menyadarinya.

Muhammad bin Wasi dahulu ketika beliau melakukan perjalanan haji, beliau menegakkan shalat malam dengan sangat lama. Bersamaan dengan itu, beliau membuat kegaduhan terhadap hewan kurbannya, agar orang-orang tersibukkan dengan kegaduhan suara hewan tersebut.

Dahulu sebagian para salaf menegakkan shalat malam di waktu pertengahan malam. Orang-orang pun tidak mengetahuinya. Karena ketika waktu sudah mendekati subuh, mereka pun mengeraskan bacaan Qur'annya agar orang-orang menyangka bahwa mereka baru bangun ketika itu...

(Silahkan lihat Lathaiful Ma'arif karya Ibnu Rajab al Hanbali, hal. 43, cet. Dar Ibnil Jauzi 2012)

Jumat, 13 Maret 2015

Hikmah Penyatuan 2 Kalimat Syahadat

Syahadat Muhammad Rasulullah seringnya datang mengiringi Syahadat Laailahaillallah. Apa yang maksud dengan Syahadat Muhammad Rasulullah? Dan apa hikmah dari kelaziman penyatuan antara keduanya?

Jawab:
Na'am. Syahadat Muhammad Rasulullah mesti di dalamnya harus beriringan dengan Syahadat Laailahaillallah.

Bisa berupa dalam bentuk pengucapan Syahadat Laailaillallah atau dalam bentuk pengandungan makna.

Jika engkau hanya mengucapkan Syahadat Laailahaillallah saja maka sudah otomatis terkandung di dalamnya Syahadat Muhammad Rasulullah.

Tidaklah sah Syahadat Laailahaillallah tanpa Syahadat Muhammad Rasulullah. Tidak diterima juga dan tidak dihukumi dengan keislaman seorang yang menentang risalah Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.

Adapun makna Syahadat Muhammad Rasulullah adalah:
Pengakuan kerisalahannya baik secara zhahir maupun batin.
Menaati setiap perintah yang beliau perintahkan.
Membenarkan setiap kabar yang beliau beritakan.
Menjauhi setiap larangan yang beliau larang.
Tidak melakukan ibadah kepada Allah kecuali dengan tuntunannya.

Juga mengakui bahwa kerisalahan beliau adalah mencangkup umum, meliputi jin dan manusia.
Mengakui juga bahwa beliau adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelahnya sampai hari kiamat.

(Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh Shalih Al Fauzan, juz 1 hal. 7-8, cet. Darul Bashirah 2009).

Persaksian Iman atas Seorang yang Shalat di Mesjid

Syaikh Utsaimin pernah ditanya:

Apakah seseorang dipersaksikan dengan keimanan hanya karena semata-mata kebiasaannya pergi ke mesjid sebagaimana yang datang dalam hadits?

Syaikh menJawab:

Ya. Tidak diragukan lagi bahwa kehadirannya seseorang ke mesjid untuk shalat, itu menunjukkan akan keimanannya.

Karena tidaklah ada yang menyebabkan dia keluar dari rumahnya dan menanggung beban perjalanannya menuju ke mesjid kecuali karena keimanannya kepada Allah.

Adapun ucapan sang penanya "sebagaimana yang datang dalam hadits", sepertinya mengarah kepada riwayat hadits yang berbunyi: "Apabila kalian melihat seseorang yang kebiasaanya ke mesjid, maka persaksikanlah oleh kalian tentang keimanannya" (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, didhaifkan Syaikh Al Albani dalam Dhaif al Jami 509). Akan tetapi hadits ini dhaif dan tidak shahih dari nabi.

(Silahkan lihat Fatawa Arkanil Islam wal Aqidah Syaikh Utsaimin, hal. 88, cet. Maktabatush Shafa 2007)

Mengharap Ridha Allah dengan Ridha Orang Tua

Berkata Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:
"Keridhaan Rabb berdasar keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb berdasar kemurkaan orang tua"
(HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, dishahihkan Syaikh al Albani. Lihat Ash Shahihah 515).


Berkata Syaikh As Sa'dy:
"Hadits ini terdapat pelajaran bahwasanya Allah menyebutkan puncak bakti dan tujuan akhir adalah keridhaan orang tua.
Maka perbuatan ihsan (kepada kepada orang tua) sebagai faktor pendorong terjadinya sebab, dan datangnya keridhaan adalah hasil dari faktor akibat.
Maka setiap apa-apa yang mendatangkan keridhaan kedua orang tua, adalah seluruh apa-apa yang mengumpulkan berbagai muamalah yang sudah menjadi kebiasaan. Begitu pula jalan-jalan dari setiap jalan dan wasilah yang bisa membuat ridha mereka berdua, semua (hal di atas) masuk kepada pengertian bakti."
(Bahjatu Qulubul Abrar, hal. 267, cet. Darul Furqan 2012)


Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin:
"Hadits ini as sababiyyah. Maknanya, bahwasanya keridhaan kedua orang tua adalah penyebab datangnya keridhaan Allah. Dan kemurkaan kedua orang tua adalah penyebab datangnya kemurkaan Allah.
Makna ridha tentunya suatu yang sudah dikenal. Yakni seorang insan merasa dirinya tentram dan dadanya merasa lapang atau selain dari itu.
Jika engkau dapat menentramkan ayahmu atau ibumu dengan membuat tenang dan membuat lapang dadanya, maka ini adalah sebab datangnya keridhaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan kedua orang tua adalah ayah dan ibu. Merekalah orang yang lebih berhak untuk diberikan bakti.
(Fathu Dzil Jalali wal Ikram, jil 6, hal. 284, cet. Maktabah

Terlanjur Basah

Terlanjur basah, mandi sekalian..!

Pepatah yang salah jika ditempatkan pada keadaan seorang yang telah melakukan dosa.

Ketika ada seorang hamba berbuat dosa, sebagian berpikiran bahwa dirinya telah melakukan suatu yang menghabiskan segalanya.

Seolah dosanya tersebut adalah martir dahsyat yang meluluh lantakkan hidupnya.

Hancur berkeping tak karuan.

Memang, dosa adalah sesuatu perkara yang tidak sepele.

Akan tetapi bukan berarti dosa adalah akhir dari segalanya.

Allah adalah Rabb yang mengampuni dosa dan Rabb yang penyayang.

Allah ta'ala berfirman:
"Dan hendaklah engkau meminta ampun kepada Rabb-mu dan bertaubatlah kepada-Nya" (QS. Hud: 3).

Wahai saudaraku..
Apa yang membuatmu hancur? Bukankah Allah sangat gembira kepada seorang hamba yang mau bertaubat kepada-Nya. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya dibanding kegembiraan seorang di antara kalian ketika menemukan kembali untanya, padahal untanya tersebut telah meninggalkannya di padang luas". (HR. Bukhari dan Muslim).

Wahai saudaraku..
Apa yang engkau tunggu?
Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya Allah membentangkan Tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa pada siang hari. Dan membentangkan Tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa pada malam hari, sampai terbit matahari dari tempat terbenamnya". (HR. Muslim).

Wahai saudaraku..
Bertaubatlah..

Tinggalkan masa lalumu yang penuh dengan dosa dengan meninggalkan lingkungan dan teman-teman yang tidak bermanfaat.

Buka lembaran baru dalam hidupmu dengan kebaikan.

Jangan putus asa dengan rahmat dan ampunan Allah. Sesungguhnya Allah Maha penyayang.

5 Seruan Bumi pada Tiap Harinya

Tidaklah hari-hari terlewat kecuali bumi menyeru dengan 5 kalimat:

Wahai bani adam engkau berjalan di atas punggungku, dan akhirmu kelak berada di perutku.

Wahai bani adam engkau tertawa di atas punggungku, kelak engkau akan menangis di perutku.

Wahai bani adam engkau gembira di atas punggungku, kelak engkau akan bersedih di perutku.

Wahai bani adam engkau berbuat dosa di atas punggungku, kelak engkau akan di azab di perutku (azab kubur).

Wahai bani adam engkau memakan makanan yang haram di punggungku, kelak engkau akan dimakan binatang melata di perutku.

(Disadur dari Bustanul Wa'izhin karya Ibnul Jauzi, hal. 183, cet. Darul Ashalah 2010)