Sabtu, 31 Desember 2016

Definisi al Itnab, al Iqtishar dan al Ikhtishar


Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "Para ulama berkata bahwa definisi 'mukhtashar' adalah yang sedikit lafazhnya tetapi banyak kandungan maknanya, karena kalam (ucapan) terbagi menjadi tiga jenis.

1. Itnab
2. Ikhtishar
3. Iqtishar

Al itnab itu lebih banyak lafazhnya dibandingkan kandungan maknanya (bertele-tele).

Adapun al iqtishar antara lafazh dan kandungan maknanya seimbang (sama).

Sedangkan al ikhtishar lafazhnya sedikit akan tetapi kandungan maknanya banyak.

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 27, cet. Maktabatush Shaffa 2005)

Jangan Kau Lupakan Gurumu dalam Doa


Asad ibn Furrat rahimahullah berkata, "Sesungguhnya aku berdoa (kebaikan) kepada Allah untuk Ali ibn Ziyad beserta kedua orang tuanya karena dia lah (Ali ibn Ziyad) yang pertama kali mengajariku ilmu."

Abu Yusuf al Fakih (seorang ulama yang menjadi murid Abu Hanifah) senantiasa di akhir-akhir shalatnya berdoa, "Yaa Allah berikanlah ampunan kepada kedua orang tuaku dan kepada Abu Hanifah."

(Birrul Walidain-Imam al Thurthusyi, hal. 19, cet. Darul Istiqamah 2013)

Nama dan Sifat Allah Maknanya Telah Dijelaskan Oleh Rasulullah

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "... Nabi alaihish shalatu wassalam telah mengajari manusia segala sesuatu. Maka apakah beliau telah mengajari mereka tentang keyakinannya terhadap Allah azza wa jalla di dalam asma wa sifat-Nya?

Jawabnya tentu dan tidak diragukan lagi.

Perkara ini tentu lebih utama untuk diajarkan kepada mereka tentang apa itu sifat-sifat Allah.

Oleh karenanya Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah) ketika menjelaskan tentang keadaan ahlu tafwidh yang mereka mengatakan bahwasanya jika ada ayat atau hadits yang datang kepadamu tentang sifat-sifat Allah maka serahkanlah maknanya kepada Allah dan janganlah membahasnya sama sekali, dan posisikan kita ini seperti orang yang tidak mengetahui.

Maka beliau (Ibnu Taimiyyah) rahimahullah menjelaskan perihal kalimat di atas, "Sesungguhnya ucapan mereka adalah termasuk sejelek-jeleknya ucapan dari kalangan ahlu bid'ah dan ahlu ilhad (orang yang menyimpang)..."

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 23, cet. Maktabatush Shaffa 2005)

Bertanyalah kepada Ahlinya!


《فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَاتَعْلَمُون》َ
Artinya: "Maka tanyakanlah oleh kalian kepada ahlu dzikir (orang-orang yang berilmu), jika kalian tidak mengetahui."
(Al-Anbiya: 7)

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata tentang ayat ini, "Ini merupakan kaidah yang mencangkup setiap segala sesuatu, dan tidak dikhususkan di dalam permasalahan ilmu syari saja.

Ini merupakan bimbingan dari Al Qur'an bahwasanya jika kita tidak mengetahui tentang suatu perkara, maka hendaknya kita bertanya kepada orang yang telah mengkhususkan diri (ahlinya) dibidangnya."

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 22, cet. Maktabatush Shaffa 2005)

Musibah atau Ujian


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Hikmah Allah di dalam penciptaan-Nya tidak mungkin kita akan diketahui keseluruhannya. Ada sebagian yang kita ketahui dan ada sebagian yang kita tidak mengetahuinya.

Akan tetapi kita tetapkan dan kita imani bahwa Allah subhanahu wa taala tidak akan berbuat sesuatu tanpa adanya hikmah yang sempurna, karena Allah adalah Dzat yang tersucikan dari sifat sia-sia.

Dan apa-apa yang menimpa pada orang kafir berupa segala musibah, maka sesungguhnya hal itu adalah balasan atas kekafiran dan kemaksiatan mereka. Allah taala berfirman,
《وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَىٰ دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُون》
Artinya, "َDan sungguh benar-benar Kami akan timpakan kepada mereka azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)".
(QS. Assajadah: 21).

Dan Allah berfirman,
《وَإِنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا عَذَابًا دُونَ ذَٰلِكَ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُون》
Artinya, "َDan sesungguhnya bagi orang-orang yang zhalim ada azab selain itu. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui."
(QS. Ath Thur: 47).

Adapun musibah yang menimpa kepada anak kecil, maka hal itu sesungguhnya bisa menjadi suatu hukuman bagi orang tua mereka atau menjadi sebuah ujian bagi mereka agar bisa tampak bagaimana kesabaran dan ihtisab mereka.

Demikian juga apa-apa yang menimpa kepada hewan-hewan ternak, sesungguhnya hal itu merupakan balasan atas pemiliknya atau menjadi suatu ujian bagi mereka.

Allah berfirman,
《وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍمِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِين,الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ》 .
Artinya, "َDan sungguh benar-benar Kami akan berikan cobaan kepada kalian, dengan sesuatu dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun"."
(QS. Al Baqarah: 155 dan 156).

(Lihat Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Fauzan, jil. 2, hal. 104-104, cet. Maktabatul Ghuraba)

Alasan Mengapa Tauhid Dibagi Menjadi Tiga


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "... Maka yang benar tanpa diragukan lagi, bahwa pembagian tauhid menjadi tiga jenis dan penyebutan tentang syarat-syarat dari tauhid, rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannya dan perusak-perusak dari berbagai peribadahan, semua itu hukumnya adalah boleh karena hal ini sebagai bentuk dari sarana dan metode pendekatan serta bentuk menyederhanakan suatu permasalahan bagi seorang penuntut ilmu."

(Lihat Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 15, cet. Maktabatush Shaffa 2005)

Tidak Boleh Berobat kepada Dukun

Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu dalam Majmu Fatawa-nya (8/160) berkata, "Allah subhanahu wa taala telah menurunkan penyakit, bersamaan dengan itu, Allah telah menurunkan obatnya pula. Siapa yang Allah beritahu obatnya maka dia mengetahui dan siapa yang tidak Allah diberitahu maka dia tidak mengetahuinya.

Akan tetapi Allah tidak menjadikan suatu obat bagi hamba-Nya dengan perkara yang diharamkan atas mereka.

Seorang yang sakit tidak diperkenankan bagi dirinya untuk pergi kepada dukun atau semisalnya yang mengaku-aku mengetahui hal yang ghaib dalam rangka mengetahui penyakit yang dideritanya sebagaimana tidak diperkenankan juga untuk mempercayai berita-berita yang mereka kabarkan.

Sesungguhnya para dukun tersebut berbicara dengan ramalan ilmu ghaib atau dengan mendatangkan jin agar para dukun tersebut bisa minta tolong terhadap apa yang diinginkannya.

Keadaan mereka ini adalah kekufuran dan kesesatan karena mereka telah mengaku-aku tahu tentang perkara yang ghaib."

(Dinukil dari Al Ilaj war Ruqa-Syaikh Ibnu Baz, hal. 6, cet. Daru Sabilil Muminin 2013).

Buah Manis dari Dakwah Tidak Mesti Datang Cepat

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "... Bahwasanya seorang insan wajib untuk menunggu jalan keluar dan senantiasa bersabar dalam menetapi ketakwaan kepada Allah azza wa jalla, jika demikian maka hasil yang baik pun sebentar lagi akan datang.

Kita pun mengatakan bahwa makna dari 'sebentar lagi' bukanlah suatu keharusan dilihat ketika kita masih hidup. Hal ini bukanlah menjadi suatu syarat.

Kadang hasil yang baik dari apa yang dia dakwahkan berupa al haq, diraih ketika dirinya telah meninggal.

Oleh karenanya kita dapati sebagian dai meninggal karena dihukum dan (terlihat) tidak mendapatkan manisnya hasil dakwah yang Allah telah perintahkan untuknya.

Akan tetapi sepeninggalnya, ternyata ucapan sang dai menjadi warisan (dinukil) hingga jadilah ini sebagai manisnya hasil dakwah yang baik, yaitu bagi orang yang bertakwa.

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 18, cet. Maktabatush Shaffa 2005)

Minggu, 11 Desember 2016

Pengertian Yatim


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Yatim adalah seorang anak kecil yang ayahnya meninggal. Inilah yang dimaksud dengan yatim.

Adapun jika anak tersebut telah mencapai baligh maka dia telah keluar dari batasan definisi anak yatim.

Begitu pula jika yang meninggal adalah ibunya, dan ayahnya masih hidup, maka yang seperti ini tidak bisa disebut anak yatim, karena ayahnyalah yang menopang kehidupan dan menafkahi serta yang mendidik anak tersebut. Juga ayahnyalah yang menjaga dan melindunginya.

Maka anak yatim adalah seorang yang ditinggal mati ayahnya dalam keadaan anak tersebut masih kecil."

(I'anatul Mustafid-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 36, cet. Muassasatur
Risalah 2013).

Tidur Selepas Shubuh? Sebaiknya Jangan

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Bahwasanya Ibnu Abbas radhiallahu anhuma pernah melihat putranya tidur di waktu shubuh, maka beliau berkata kepada putranya tersebut, "Bangunlah! Apakah engkau tidur di saat rezeki dibagikan?"

(Mukhtarat min Kitabi Zadil Maad-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 209, cet. Muassasatu asy Syaikh 1434H).

Jumat, 28 Oktober 2016

Dua Faidah Tidur

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Tidur itu memiliki dua faidah:

Pertama, menenangkan anggota badan dan melapangkannya.

Kedua, mengurai gizi dan mencerna makanan."

(Mukhtarat min Kitabi Zadil Maad-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 209, cet. Muassasatu asy Syaikh 1434H).

Sayangi Mahrammu dengan Tidak Mengumbar Pandangan

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Jika engkau memandang kepada mahram-mahramnya manusia, maka sepungguhnya nanti manusia pun akan melihat mahram-mahrammu.

Karena engkau telah melanggar kehormatan mereka, niscaya orang-orang pun akan melanggar kehormatan dirimu.

Yang lebih parah dari itu -wal iyadzu billah- adalah ketika dirimu melakukan perbuatan fahisyah (kenistaan) bersama wanita orang lain (yang tidak halal untuk dirimu) maka sebagai balasannya, orang-orang pun nanti akan melakukan perbuatan fahisyah tersebut dengan wanita-wanita mahrammu".

(Lihat Ittihafuth Thullab bi Syarhi Manzhumatil Adab-Syaikh Shalih Al Fauzan, hal. 92, cet. Darul Hikmah 2009).

Penuntut Ilmu Jangan Hasad

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dalam Kitabul Ilmi (hal. 74) berkata, "Hasad adalah suatu perangai yang tercela.

Yang disayangkan, bahwasanya hasad banyak terjadi di antara kalangan ulama dan kalangan para penuntut ilmu. Terjadi pula hasad di antara para pedagang satu dengan pedagang yang lainnya.

Setiap masing-masing memiliki ujian yang bisa membuat hasad bagi yang menjalani satu bagian aktifitas bersama di dalamnya.

Akan tetapi sangat disayangkan, hasad yang terjadi pada kalangan ulama itu lebih tercela, hasad yang terjadi antar penuntut ilmu itu lebih tercela, padahal sebagai penyandang ilmu harusnya dia menjadi manusia yang lebih terjaga dan terjauh dari sifat hasad dan menjadi manusia yang lebih dekat kepada kesempurnaan akhlak."

(Dinukil dari Ash Shawarif anil Haq-Hamd Ibrahim al Utsman, hal. 46.)

Rabu, 26 Oktober 2016

Bagaimana Caranya Bisa Bersyukur ketika Mendapat Musibah

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjawab, "Bahwasanya bisa terwujud dengan beberapa cara, diantaranya:

1. Dengan membandingkan kepada musibah yang lebih besar, yaitu dengan membandingkan antara musibah yang mengenai dunia kepada musibah yang mengenai akhirat. Maka dengan cara ini akan menjadi lebih ringan dan akan mendorong rasa bersyukur kepada Allah yang tidak menjadikan musibahnya menjadi lebih parah.

2. Mengharap pahala kepada Allah atas musibah yang mengenanya, karena semakin besar musibah yang didapat maka semakin besar pula ganjaran yang didapat. Oleh karenanya disebutkan dari para ahli ibadah bahwasanya ketika mereka mendapatkan musibah, tidaklah didapati pada mereka keluhan. Ketika ditanyakan kepada mereka tentang hal ini (tidak mengeluhnya mereka), mereka menjawab: "Sesungguhnya manisnya ganjaran (pahala) dari musibah telah melupakanku dari pahitnya kesabaran suatu musibah."

(Disadur dari Nida'atu Rabbil Alamin-Syaikh Utsaimin, hal. 17, cet. Darul Iman 2004).

Allah Tidak Bisa Dilihat di Dunia tapi di Akhirat Bisa

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "... Tidak ada seorang pun yang mampu untuk melihat Allah ketika di dunia ini karena Allah terhijabi oleh cahaya.

Nabi pernah ditanya perihal malam mi'raj, "Apakah engkau melihat Rabb-mu? Nabi menjawab, "Sesungguhnya aku hanya melihat cahaya." (HR. Muslim).
Hal ini dikarenakan terhijabinya Allah taala dengan cahaya.

Maka tidak ada seorangpun yang mampu melihat Allah ketika di dunia ini bahkan tidak pula nabi atau yang selainnya, karena makhluk tidak akan mampu melihat Allah dikarenakan keagungan-Nya.
...

Kemudian Syaikh melanjutkan pada paragraf akhir, "... Adapun di akhirat sesungguhnya Allah akan memberikan bagi penduduk surga sebuah kekuatan yang membuat mampu bagi mereka untuk melihat Allah taala.

Ini merupakan bagian kemuliaan untuk penduduk surga ketika mereka mengibadahi Allah di dunia dalam keadaan mereka tidak melihat Allah. Akan tetapi mereka mengibadahi Allah karena keimanannya kepada Allah.

Maka Allah pun memuliakan penduduk surga dengan penyingkapan (hijab) bagi mereka di hari kiamat ketika di dalam surga dengan melihatNya."

(Syarhu Ushulil Iman-Syaikh Shalh Fauzan, hal. 43-44, cet. Dar Imam Ahmad 2011)

Kematian yang Dekat di Hati=Qana'ah

Jika kita merasa selalu merasa kurang dan selalu kurang dalam urusan dunia, coba kita resapi dan amalkan nasehat di bawah ini:

Umar ibn Abdil Aziz rahimahullahu berkata, "Barangsiapa yang rasa kematian itu dekat pada hatinya niscaya akan terasa banyak apa yang ada di tangannya."
(Hilyatul Aulia-Abu Nu'aim al Ashbahani, jil. 5, hal. 792, cet. Maktabah Ath Thayyiaah)

Kesempurnaan Petunjuk Nabi dalam Perkara Makan dan Minum

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Petunjuk nabi dalam hal makanan dan minuman adalah selengkap-lengkapnya petunjuk.

Rasulullah tidak pernah dalam kebiasaannya untuk menahan (memantang) satu jenis makanan tertentu dan tidak pula terus-terusan memakan makanan tertentu.

Akan tetapi rasulullah memakan makanan yang memang dikonsumsi oleh penduduk negerinya, yang terdiri dari daging, buah-buahan, kurma, roti dan yang semisalnya.

Dan adalah rasulullah jika dirinya enggan terhadap suatu makanan maka beliau tidak memakannya, karena efek negatifnya bagi badan lebih banyak dibandingkan dengan manfaatnya."

(Mukhtarat min Zaadil Ma'ad-Syaikh Utsaimin, hal. 207, cet. Muassasah Asy Syaikh 1434H)

Minggu, 23 Oktober 2016

Mungkin Ini Sebab Diri Kita Terlalu Malas untuk Beramal Shalih

Ishaq ibn Ibrahim pernah mendengar bahwa Fudhail ibn Iyadh berkata, "Jika engkau tidak mampu untuk menegakkan shalat malam dan berpuasa di siang hari maka ketahuilah bahwa dirimu telah terhalang karena terbelenggu oleh belenggu dosamu."

(Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi jil. 2 hal. 238, cet. Darul Wa'i 1389H).

Perbanyaklah Amal, Jangan Banyak Debat!

Imam al Auza'i rahimahullahu berkata, "Telah sampai kepadaku bahwasanya jika Allah hendak menginginkan kejelekkan pada sebuah kaum maka mereka akan selalu berdebat dan tercegah dari amalan."

(Siyar Alamun Nubala 12/79. Dinukil dari An Nubadz fi Adab-Hamd Ibrahim al Utsman, hal. 137, cet. Maktabah Ibnul Qayyim 2002)

Dua Jenis Orang yang Tidak Mau Belajar Tauhid

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Sudah menjadi suatu keharusan bagi seseorang untuk mempelajari tauhid, karena tauhid adalah sebuah pondasi.

Orang yang merasa tidak butuh pada pelajaran tauhid bisa jadi salah satu dari dua orang berikut ini:

Bisa jadi orang bodoh, dan orang bodoh tentunya tidak kita anggap (tidak digubris)

Atau bisa jadi orang ini adalah orang yang memang tujuannya menyesatkan manusia.

Orang ini menginginkan agar manusia berpaling dari aqidah tauhid dan dia menginginkan agar aqidah-aqidah yang menyimpang bisa diperkenalkan ke tengah-tengah manusia sebagai bagian dari ajaran islam. Dan aqidah-aqidah mereka adalah aqidah yang rusak..."

(Terjemah bebas dari Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh al Fauzan, jil. 1, hal. 25, cet. Darul Bashirah 2009).

Pentingnya Taqwa

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Tidak ada di antara Allah dengan hamba-Nya sebuah hubungan melainkan dengan ketakwaan.

Barang siapa yang paling bertaqwa maka dia lah yang paling dekat dengan Allah dan di sisi Allah dia seorang yang mulia.

Maka kalau begitu, janganlah engkau merasa sombong dengan hartamu, rupamu, badanmu, anak-anakmu, istanamu, kendaraanmu dan segala sesuatu yang bersifat keduniawian semata selamanya.

Jika Allah memberikan taufik kepadamu untuk bertaqwa maka ini adalah sebuah keutamaan atas dirimu, dan hendaknya engkau memuji Allah akan hal ini."

(Lihat Syarh Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 39, cet. Dar Ibnul Jauzi 2006)

Serius dalam Mendidik

Ikrimah rahimahullah adalah seorang murid dari shahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, beliau pernah bercerita tatkala mengenang masa belajarnya bersama Ibnu Abbas radhiallahu anhuma.

Ikrimah menuturkan, "Dahulu Ibnu Abbas mengikat kedua kakiku dengan rantai ketika beliau mengajariku Al Qur'an dan Ilmu Waris.
(Hilyatul Aulia-Abu Nu'aim 3/326. Dinukil dari An Nubadz fi Adabi
Thalabil Ilmi-Hamd Ibrahim al Utsman, hal. 104, cet. Maktabah Ibnul Qayyim 2002).

Inilah kesungguhan Ibnu Abbas dalam mengajari anak didiknya.

Apakah kita sudah serius dalam mendidik anak-anak kita?

Ataukah kita biarkan saja anak-anak kita lalai tanpa belajar?

Ingat, dia yang menanam, dia pula kelak yang memanen.

Allahu musta'an.

Kekuatan dari Sebuah Amalan dan Kekuatan dari Seorang Mukmin

Yahya ibn Muadz rahimahullah berkata, "Kekuatan dari amalan-amalan berada di dalam kejujuran tekad".
(Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi, jil. 4, hal. 340, cet. Darul Ma'rifah)

Ubaidillah ibn Syamith rahimahullah berkata bahwa ayahnya berkata, sesungguhnya Allah menjadikan kekuatan seorang muslim berada di hatinya dan tidak menjadikannya berada di fisiknya.

Tidakkah engkau melihat bahwasanya ada seorang yang sudah tua dan lemah tapi bisa berpuasa dengan rutin dan bisa melakukan shalat malam sedangkan seorang pemuda tidak mampu dari hal yang seperti itu?"

(Hilyatul Aulia-Abu Nua'im al Ashbahani, tahdzibnya jil 1, hal. 480, cet. Darul Qalam).

Sampai pun ketika Menafkahi Diri Sendiri


Niat. Lagi-lagi niat.
Terkadang kita -bahkan mungkin sering- lalai dengan perkara yang satu ini. Padahal kedudukan niat sangat penting bagi kita agar aktifitas yang tengah kita lakukan bisa memiliki bobot kualitas yang mantap, yakni mendapat nilai ibadah di sisi Allah subhanahu wa ta'ala.

Di antara perkara yang seharusnya menjadi perhatian bagi kita adalah meniatkan ibadah ketika menafkahi diri sendiri, Syaikh Ibnu Utsaimin menasehatkan, "Bahwasanya jika seseorang mengeluarkan sebuah nafkah, maka seyogyanya nafkah tersebut diperuntukan niatnya karena mengharap wajah Allah saja (ikhlas), karena dengan hal ini niscaya nafkah yang tengah dikeluarkan akan diganjar pahala oleh Allah.

Bahkan nafkah-nafkah yang dikeluarkan untuk keluarganya dan istrinya, juga nafkah yang dikeluarkan untuk dirinya sendiri, jika semuanya itu dilakukan karena mengharap wajah Allah (ikhlas), maka Allah akan mengganjar nafkahnya dengan pahala."
(Lihat Syarh Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 37, cet. Dar Ibnul Jauzi 2006)

Semoga Allah senantiasa memudahkan kita untuk selalu bisa menghadirkan keikhlasan di dalam setiap amal ibadah, amin.

Sedikit Menengok Potret Salaf dalam Belajar


Al Hafizh Ja'far ibn Durustuwiyah, salah seorang murid dari Al Imam Ali ibnul Madini al Bashri rahimahullahu pernah mengisahkan tentang majelis syaikhnya, Ali ibnul Madini.

Beliau bercerita, "Dahulu jika ingin bermajelis di majelisnya Imam Ibnul Madini, kami akan mendatanginya di waktu ashar, padahal majelis akan dibuka pada esok harinya.

Kami pun duduk menunggu sepanjang malam di tempat kami karena khawatir jika tidak melakukan hal ini niscaya kami besok tidak mendapat tempat untuk mendengar hadits-hadits dari syaikh.

Aku melihat di majelis salah seorang yang sudah tua ikut menunggu di depan, sampai buang air kecil dia tunaikan di tempatnya karena khawatir tempatnya akan diambil orang lain jika dia meninggalkan tempatnya tersebut ketika buang air kecil."

(Silahkan lihat Al Jamiu li Akhlaqir Rawi-Khathib al Baghdadi 2/138 dan Al Adabusy Syariah-Ibnu Muflih 2/148).

Berharap Pahala dan Menunggu Jalan Keluar

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "... Sabar itu adalah perkara yang berat di jiwa, akan tetapi seorang insan wajib untuk bersabar.

Oleh karenanya barang siapa yang tidak diberikan anugerah untuk bersabar niscaya dia akan kehilangan kebaikan yang banyak.

Orang yang bersabar juga pada umumnya menunggu datangnya jalan keluar, terlebih jika sabarnya diiringi dengan keikhlasan dan niat yang baik maka penantiannya terhadap adanya jalan keluar, teranggap sebagai ibadah dan pintu untuk datangnya jalan keluar berdasar sabda nabi, "Ketahuilah sesungguhnya pertolongan itu ada bersama kesabaran, dan datangnya jalan keluar (solusi) ada bersama kesulitan, dan pada kesulitan itu terdapat kemudahan."

Karena jika seorang sedang menunggu datangnya jalan keluar niscaya menapaki kesabaran baginya akan terasa ringan.

Dia pun akan berharap bahwa problema-problema yang ada akan segera lewat, dan dia akan hadapi permasalahan pada tempat yang tepat.

Jika dia dengan keadaannya bersikap harap akan pahala di akhirat dan mempunyai sikap harap akan datangnya jalan keluar di dunia, maka akan terasa mudahlah baginya untuk menapaki kesabaran."

(Terjemah bebas dari Nidaatu Rabbil Alamin-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 11, cet. Darul Iman 2004).

Maksiat Tetap Maksiat Walau Dikerjakan di Tempat Sepi

Berkata Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu, "Seorang mukmin hendaknya bertakwa kepada Allah secara zhahir dan batin.

Bertakwa kepada Allah di jalan dan bertakwa kepada Allah di rumah, bertakwa di manapun dia berada.

Bertakwa kepada Allah di waktu siang dan bertakwa kepada Allah di waktu malam.

Bertakwa di waktu terang dan bertakwa di waktu gelap.

Karena sesungguhnya dia senantiasa bersama Allah subhanahu yang tidak ada sesuatu apapun akan tersembunyi bagi-Nya.

Bukanlah yang dimaukan bagi seorang insan menjauhi kemaksiatan itu ketika di waktu yang terbuka saja, namun ketika di waktu sepi sendiri terdapat toleransi untuk bermaksiat.

Tidak! Perkara yang haram tetap haram bagaimana pun keadaannya.

Rabb adalah Rabb subhanahu, Dzat yang memperhatikan setiap kejadian yang zhahir dan yang batin, tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi bagi-Nya subhanahu wa ta'ala.

Apapun usaha kalian untuk menyembunyikan kemaksiatan, ketahuilah niscaya hal tersebut tidak akan tersembunyi bagi Allah.."

(Silahkan lihat Ianatul Mustafid-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 37, cet. Muassasatur Risalatin Nasyirun 2013).

Jika Mengetahui al Haq (kebenaran) Maka Segera Ikuti

Syaikh Shalih Fauzan hafizahullahu berkata, "... Sampaipun jika ada pada sebagian penuntut ilmu ketika dikatakan kepadanya: "Engkau telah salah, dan dalilnya adalah ini." Lalu penuntut ilmu ini tidak mau menerimanya, maka ini termasuk kepada kesombongan, karena wajib atas seorang muslim jika telah jelas kepadanya sebuah kebenaran, hendaknya dia bersegera untuk mengambilnya.

Jika dia telah mengetahui suatu ilmu tentang kebenaran dan dia tidak mau mengambilnya (mengikutinya) maka dia (dikhawatirkan) akan terjatuh kepada az zaigh (penyimpangan), wal 'iyyadzubillah.

Oleh karenanya Allah berfirman,
{ فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ }
Artinya: Ketika mereka berpaling (dari al haq), Allah pun palingkan hati-hati mereka. (QS. Ash Shaff: 5)

{ وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ }
Artinya: Dan Kami palingkan hati-hati dan pandangan-pandangan mereka sebagaimana mereka tidak beriman kepadanya (Al Qur'an) pada awal kali. (QS. Al An'am: 110)

Maka bagi yang telah jelas kepada mereka al haq (kebenaran) sedangkan mereka tidak mau menerimanya maka dikhawatirkan akan tertutup hatinya dan akan menjadi orang yang tidak mau kepada al haq (kebenaran) sebagai balasan atas (sikap) mereka."

(Syarhul Kabair-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 32, cet. Darur Risalah al Alamiyah 2012)

Sulaiman at Taimi Menyesal karena Telah Menyalami Orang Sesat

Said ibn Amir rahimahullah bercerita bahwa dirinya pernah mendapati Sulaiman at Taimi rahimahullah sakit.

Tiba-tiba Sulaiman menangis dengan tangisan yang sangat.

Maka Sulaiman pun ditanya, "Mengapa engkau menangis? Apakah engkau merasa resah dengan kematian?

Sulaiman menjawab, "Tidak. Hanya saja aku pernah melewati seorang qadari (orang yang berpemahaman qadariyyah/penolak takdir) kemudian aku pun memberi salam kepadanya. Maka aku takut nanti Rabb-ku akan menghisabku karena hal ini."
-selesai-


Allahu akbar..
Pembaca yang dirahmati Allah, kalau hanya menyalami seorang qadari saja seorang Sulaiman at Taimi takut dihisab, bagaimana lagi dengan orang yang duduk satu majelis bersama atau berteman dengan berbagai orang-orang sesat lainnya semisal syiah rafidhah, khawarij teroris isis, komunis dll?

Laa haula wala quwwata illa billah..

(Kisah Sulaiman at Taimi bisa dilihat di Hilyatul Aulia-Abu Nu'aim al Ashbahani. Dinukil dari At Tahdzibukt Maudhu'i li Hilyatil Aulia, hal. 28, cet. Daruth Thayyibah 2005).

Memetik Pelajaran dari Ibadahnya Al Ahnaf ibn Qais

Ada seorang yang melihat Al Ahnaf ibn Qais rahimahullah sudah tua akan tetapi masih suka berpuasa dan menjaga shalat malam, dia pun memberi masukan kepada beliau, "Sesungguhnya engkau telah tua, dan puasa membuat badanmu lemah."

Maka al Ahnaf menjawab, "Sesungguhnya aku sedang mempersiapkan diri untuk sebuah safar yang panjang (ke negeri akhirat)."

Subhanallah, jawaban yang sungguh ringkas, tapi mengena bagi orang-orang yang mau berpikir.

Siang dan malam beribadah kepada Allah karena berharap selamat di negeri akhirat. Tiada yang lain.

Itulah keikhlasan!

Lalu, bagaimana dengan kita?

Sepertinya kita adalah orang yang sedikit ibadah, itu pun perlu dikoreksi lagi apakah yang sedikit itu untuk akhirat (ikhlas karena Allah) ataukah untuk dunia.

Nastaghfirullah..

(Kisah Al Ahnaf bisa dilihat di Siyar A'lamun Nubala-Imam adz Dzahabi, jil. 4, hal. 91, cet. Muassasah ar Risalah, Beirut 1991)

Keutamaan Menuntut Ilmu di Zaman ini

Khathib al Baghdadi rahimahullahu dalm Syarafu Ashabil Hadits mengatakan, "Menuntut ilmu hadits di zaman ini lebih afdhal dari seluruh jenis amalan-amalan yang mustahab karena hilang dan lenyapnya sunnah-sunnah nabi. Dan tampaknya bid'ah dan tingginya pelaku bid'ah."

(Dinukil dari An Nubadz fi Adabi Thalabil Ilmi-Hamd Ibrahim al Utsman, hal. 102, cet. Maktabah Ibnil Qayyim 2002).

Shalat Berjama'ah di Masjid


Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali berkata, "Masjid-masjid adalah termasuk dari syiar-syiar islam.

Shalat di dalam masjid-masjid secara berjama'ah dan berkumandangnya adzan juga termasuk dari syiar-syiar islam yang agung.

Meninggalkan shalat di masjid secara berjama'ah adalah termasuk dari tanda-tanda kenifakan, wai 'iyyadzu billah."

(Makanatush Shalah fil Islam-Syaikh Rabi al Madkhali, hal. 9, cet. Miratsun Nabawi 2014).

Taat Pemerintah

Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu berkata, "Kami wasiatkan agar kalian dengar dan taat kepada pemerintah karena dengan menaati mereka niscaya kehidupan kaum muslimin akan teratur dan akan terwujud kesatuan kalimat.

Jika kalian bertaqwa kepada Allah dan menaati pemerintah, maka hal ini akan mengumpulkan kebaikan yang banyak.

Seringnya kalian tidak menaati pemerintah adalah termasuk dari sebab ketidakbahagiaan, wal 'iyyadzu billah.

Jika penguasa kita adalah seorang yang adil, maka memang inilah yang kita inginkan.

Akan tetapi jika penguasa kita bukan seorang yang adil maka kemaslahatan (kebaikan) yang besar adalah tetap bersama (menaati) mereka walau mereka seorang yang bermaksiat.

Mereka ditaati di dalam perkara ketaatan kepada Allah dan mereka tidak ditaati di dalam perkara kemaksiatan kepada Allah.

Akan tetapi jika mereka tidak selaras dengan ketaatan kepada Allah, kita tidak boleh memberontak kepada mereka karena memberontak hanya akan menghasilkan berbagai kejelekkan di dalam perkara dunia dan perkara agama, yang tidak ada yang tahu kejelekkan-kejelekkan itu nanti bagaimana bentuknya kecuali hanya Allah yang tahu.

Perhatikanlah oleh kalian negeri-negeri yang di sana terdapat pemberontakan dan kudeta! Bagaimana kita bisa hidup di dalam suasana kekacauan, kemarahan dan pertumpahan darah? Wai 'iyya dzubillah.

Seharusnya ini menjadi pelajaran bagi orang yang bisa mengambil pelajaran."

(Disadur dari Syumuliyatu wa Kamalur Risalah al Muhammadiyyah-Syaikh Rabi al Madkhali, hal. 30-31, cet. Miratsun Nabawi 2012).

Selasa, 18 Oktober 2016

Meneteskan Air Mata di Kesendirian Malam


Seorang lelaki yang mengingat Allah di kesendirian hingga meneteskan air mata.

Dia lah orang yang dijanjikan oleh Allah dengan naungan-Nya di hari kiamat kelak di saat tiada naungan kecuali naungan Allah.

Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu menerangkan, "Yakni orang yang mengikhlashkan (amalannya) hanya kepada Allah azza wa jalla, tidak mau amalannya terlihat kecuali Allah saja yang melihatnya.

Ketika dia mengingat keagungan Allah dan kemuliaan-Nya. Mengingat siksaan-Nya dan kenikmatan-kenikmatan (yang telah diberikan-Nya), maka dia pun menangis dan takut dari kemurkaan Allah dan adzab-Nya.

Dia menangis pula di waktu yang sama dengan merasakan kenikmatan karena rahmat Allah serta dengan penuh rasa cinta dan rindu untuk melihat wajah Allah subhanahu wa ta'ala."

(Syumuliyatu wa Kamalur Risalatil Muhammadiyyah-Syaikh Rabi al Madkhali, hal. 26, cet. Miratsun Nabawi 2012).

Minggu, 09 Oktober 2016

Hatinya Terkait kepada Masjid


Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, ada tujuh golongan yang kelak di hari kiamat akan mendapatkan naungan Allah di saat tiada naungan kecuali naungan-Nya. Salah satunya adalah seorang lelaki yang hatinya senantiasa terkait kepada masjid.

Syaikh Rabi ibn Hadi hafizhahullahu menerangkan, ".. Ini adalah suatu amal nyata yang sangat agung dan bukanlah hal ini suatu yang mudah.

Dia tidak merasa senang kecuali dirinya berada di rumah dari rumah-rumah Allah (masjid).

Di dalam masjid dia membaca Al Qur'an, berdoa kepada Allah, berdzikir kepada Allah dan beribadah dengan menegakkan shalat.

Dia tidak senang dan lapang kecuali ketika dirinya berada di dalam rumah dari rumah-rumah Allah (masjid).

Adapun manusia, mereka mengaitkan (hatinya) kepada dunia. Ada yang terkait dengan keluarganya, ada yang terkait dengan kantornya, ada yang terkait dengan tugasnya, ada yang terkait dengan perdagangannya, ada yang terkait dengan usahanya.

Akan tetapi di antara manusia tersebut, seorang lelaki ini terbedakan, karena hatinya terkait kepada masjid.

Ini adalah kebiasaan yang sangat agung bagi yang melakukannya dan yang demikian itu menjadikan termasuk dari tujuh (golongan yang mendapat naungan Allah).

Ketika orang yang gemar ibadah dan orang shalih ini tidak tersibukkan dengan ghibah, namimah dan menjauhi perkara-perkara yang haram, maka siapa yang memiliki sifat ini -yakni yang hatinya senantiasa terkait kepada masjid- insya Allah dia akan jauh dari kemurkaan Allah azza wa jalla."

(Syumuliyatu wa Kamalur Risalah al Muhammadiyyah-Syaikh Rabi al Madkhali, hal. 25, cet. Miratsun Nabawi 2012).

Janji Allah kepada Pemuda yang Senantiasa Beribadah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyatakan bahwa salah satu di antara tujuh orang yang kelak mendapatkan naungan Allah di hari kiamat adalah seorang pemuda yang menghidupkan dirinya dengan ibadah kepada Allah.

Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu menerangkan, "Yakni seorang pemuda yang selamat dari bid'ah dan kesesatan-kesesatan.

Ibadahnya benar (sesuai tuntunan sunnah nabi).

Hidupnya senantiasa lurus (di atas kebenaran).

Jauh dari kemaksiatan dan syahwat-syahwat.

Kehidupannya penuh dengan ibadah kepada Allah, menjadi orang yang selalu beribadah kepada Allah.

Maka dia pun menjadi orang yang dipuji di sisi Allah, menjadi orang yang dicinta di sisi Allah.

Allah pun menjanjikan bagi pemuda ini dengan janji yang agung, yakni akan mendapat naungan Allah di hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya."

(Syumuliyatu wa Kamalur Risalah al Muhammadiyyah-Syaikh Rabi al Madkhali, hal. 24, cet. Miratsun Nabawi 2012).

Tunduk Kepada Rasul


إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَهُمُ الْمُفْلِحُون
Artinya: "َHanya saja jawaban orang-orang mukmin itu bila diseru kepada Allah dan rasul-Nya agar dihukumi di antara mereka (ketika berselisih diputuskan dengan hukum syariat), ucapan mereka adalah: "Kami mendengar dan kami taat". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."
(QS. An Nuur: 51)

Berkata Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu, "Dengan ini (menunjukkan) sebuah ruh yang baik adalah ruh yang menerima (keputusan) karena Allah.

Sebuah ruh yang bersegera untuk taat kepada Allah dan taat kepada rasul-Nya.

Orang-orang pertama yang melakukan ketaatanlah adalah orang-orang yang pantas untuk memetik janji Allah sebagai orang-orang yang beruntung.

Tiada keberuntungan dan tiada kebahagiaan bagi manusia di dunia ini seluruhnya kecuali dengan:
1. Membenarkan rasul shallallahu alaihi wasallam
2. Mengikutinya
3. Menerima dakwahnya
4. Tunduk patuh kepada perintahnya alaihish shalawatu wassalam."

(Syumuliyatu wa Kamalur Risalah al Muhammadiyyah-Syaikh Rabi al Madkhali, hal. 11, cet. Miratsun Nabawi 2012).

Allah Tidak Butuh Dirimu, Tapi Dirimulah yang Butuh Allah


{وَقَالَ مُوسَىٰ إِنْ تَكْفُرُوا أَنْتُمْ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيد}
Artinya: "ٌMusa berkata, "Jika engkau dan orang-orang yang ada di bumi semuanya kufur maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
(QS. Ibrahim: 8)

Berkata Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu, "Kemaksiatan seorang yang bermaksiat itu tidaklah merugikan Allah, demikian pula ketaatan orang yang melakukan ketaatan itu tidaklah memberikan manfaat bagi Allah.

Ketaatan itu hanya bermanfaat bagi hamba yang melakukannya dan kemaksiatan itu hanya merugikan bagi hamba yang berbuat maksiat itu sendiri."

{إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ}
Artinya: "ِJika engkau kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu."
(QS. Az Zumar: 7).

(Ianatul Mustafid-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 27, cet. Muassasatur Risalatin Nasyirun 2013).

Shadaqah kepada Keluarga yang Terdekat

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Bershadaqah kepada kerabat yang dekat itu lebih afdhal (utama) dibanding kepada yang jauh karena shadaqah kepada kerabat yang dekat merupakan shadaqah dan juga bentuk menyambung (silaturahmi)."

(Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 30, cet. Dar Ibnil Jauzi 2006)

Malu Menuntut Ilmu, Jangan!


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Malu yang tercela adalah malu dari thalabul ilmi (menuntut ilmu) dan yang semisalnya.

Atau juga malu dari menampakkan al haq (kebenaran), ini adalah malu yang tercela.

Oleh karenanya Ummu Sulaim radhiallahu anha (ketika ingin bertanya sesuatu yang dianggap tabu) berkata kepada nabi shallallahu alaihi wasallam, "Wahai rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu kepada al haq.." Kemudian beliau pun bertanya.

Maka hal itu menunjukkan bahwasanya jika engkau diam karena malu niscaya malu yang seperti itu adalah malu yang tercela.."

(Syarh Shahih Bukhari-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 51, cet. Maktabah at Thabari 2007).

Berpenampilan Indah tidak Menafikan Kezuhudan


قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Artinya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk rupa kalian dan tidak juga harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati kalian dan amal-amal kalian". (HR. Muslim 2564).

Syaikh Shalih Fauzan hafizahullahu berkata, "Bukanlah maknanya seseorang itu tidak boleh memperindah diri atau mencari rezeki, akan tetapi maknanya adalah hendaklah memperindah diri tanpa ada rasa sombong.

Silahkan seseorang untuk memperindah dirinya pada perkara pakaiannya, tubuhnya dan penampilannya karena Allah itu Maha Indah dan menyukai hal yang indah.

Sifat sombong itu adanya di hati dan bukan di jasad..."

(Syarhul Kabair-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 30, cet. Darur Risalah al Alamiyah 2012)

Kamis, 06 Oktober 2016

Jangan Sampai Allah Tidak Membantumu


Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, "... Sesungguhnya seluruh orang-orang bijak menyepakati bahwa makna taufik adalah bahwa engkau tidak diserahkan begitu saja oleh Allah kepada dirimu sendiri.

Adapun makna kerendahan adalah bahwa Allah menyerahkan engkau kepada dirimu sendiri.

Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan pada seorang hamba maka Allah akan membukakan baginya pintu merasa hina dan menyesal sehingga dirinya terus menerus bermunajat dan merasa butuh kepada Allah. Juga dirinya dapat melihat aib-aibnya sendiri, kebodohannya, kezhalimannya dan musuh-musuh di dalam dirinya sendiri.

Ini Allah tampakkan sebagai bentuk keutamaan dari Rabb-nya, kebaikan-Nya, rahmat-Nya, kedermawanan-Nya, kebajikan-Nya, kekayaan-Nya dan terpuji-Nya subhanahu wa ta'ala."

(Syarhul Wabilisi Shayyib-Syaikh ibn Baz, hal. 7, cet. Darul Istiqamah 2013)

Selasa, 13 September 2016

Tabarruj-nya Wanita di Luar Rumah adalah Sebab Kejelekkan

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "... Di antara sebab terjadinya kejelekkan adalah at tabarruj.

Yaitu seorang wanita menampakkan perhiasannya di jalan-jalan dan di pasar-pasar dengan mempercantik diri. Ini adalah at tabarruj.

Tabarruj itu berhias (berdandan).

Oleh karenanya seorang wanita itu dilarang untuk keluar, karena nantinya dia akan berhias dan memakai wewangian.

Dengan keadaan yang seperti itu, orang-orang fasik pun akan menikmati hiasan yang dilihatnya berikut wewangiannya.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Janganlah para wanita itu bertabarruj dengan tabarrujnya orang-orang jahiliyyah." (QS. Al Ahzab: 33).

(Lihat Ittihafuth Thullab bi Syarhi Manzhumatil Adab-Syaikh Shalih Al Fauzan, hal. 91, cet. Darul Hikmah 2009).

Salah Satu Sebab Mengapa Shahabat Nabi Lebih Utama

Abdurrahman ibn Yazid rahimahullahu menuturkan bahwa Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu berkata, "Kalian adalah orang-orang yang lebih panjang shalatnya dan orang-orang yang paling besungguh-sungguh dibandingkan para shahabat rasulullah, akan tetapi para shahabat adalah orang-orang yang lebih utama dibandingkan kalian!"

Ditanyakan kepada beliau radhiallahu anhu, "Dengan sebab apakah?"

Ibnu Mas'ud menjawab, "Sesungguhnya para shahabat itu lebih zuhud terhadap dunia dan lebih semangat kepada perkara akhirat dibandingkan kalian."

(Shifatus Shafwah-Ibnul Jauzi, jil. 1, hal. 420, cet. Darul Wa'i 1389H).

Minggu, 21 Agustus 2016

Jangan Biarkan Rasa Ujub itu pada Dirimu


Ubaidullah ibn Abi Ja'far rahimahullahu menuturkan bahwa ada salah seorang dari kalangan para ahli hikmah berkata, "Jika ada seseorang berbicara di suatu majelis dan dia merasa ujub dengan ucapannya tersebut, maka hendaknya dia menahan ucapannya.

Jika orang tersebut dalam keadaan diam dan merasa ujub dengan diamnya itu, maka hendaknya dia berbicara."

(Siyar a'lamun Nubala-Imam adz Dzahabi, jil. 6 hal. 10, cet. Muassasah ar Risalah cet. 1412H)

Islam dengan Makna Umum dan Makna Khusus

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Islam adalah agama seluruh para rasul.
Agama para rasul seluruhnya adalah islam dengan makna yang umum.
Maka setiap orang yang mengikuti seorang rasul dari kalangan para rasul, dialah seorang yang berserah diri kepada Allah dengan mengikuti-Nya dan mengesakan-Nya.
Inilah islam secara makna yang umum.

Sesungguhnya islam adalah agama seluruh para rasul.
Maka islam adalah berserah diri kepada Allah dengan tauhid (mengesakan-Nya) dan tunduk pasrah kepada-Nya dengan ketaatan serta berlepas diri dari kesyirikan dan pelaku kesyirikan.

Adapun islam dengan makna yang khusus adalah agama yang Allah telah mengutus nabi-Nya, Muhammad shallahu alaihi wasallam dengannya.
Karena sesungguhnya setelah diutusnya rasul shallallahu alaihi wasallam tidak ada lagi agama selain agamanya (yang dibawa oleh beliau) alaihi wasallam.
Islam itu hanya terbatas pada mengikuti beliau shallallahu alaihi wasallam, maka tidak tidak mungkin bagi orang yahudi untuk berkata: saya adalah muslim, atau orang nasrani berkata pula: saya adalah muslim, setelah diutusnya nabi shallallahu alaihi wasallam, sedangkan dia (orang yahudi dan nasrani tersebut) tidak mau mengikuti ajarannya (nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam).

Maka islam setelah diutusnya nabi adalah mengikutinya (nabi) shallahu alaihi wasallam.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman (yang artinya): Katakan wahai Muhammad, jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian (QS. Ali Imran: 31).

Inilah makna islam secara umum dan makna secara khusus.

(Jami'usy Syuruh Tsalatsatil Ushul, hal. 37, cet. Dar Ibnil Jauzi 2012)

Muara Pernyataan Kelompok-Kelompok Sesat tentang Al-Qur'an


Syaikh Rabi' ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu berkata, "... Sesungguhnya mu'tazilah, jahmiyyah, bathiniyyah, rafidhah, khawarij dan setiap kelompok-kelompok sesat itu berbeda-beda pernyataannya (tentang keyakinannya perihal Al-Qur"an) dan ujungnya akan sama yakni bahwa Allah tidak berbicara..."

(Syarh Ushulis Sunnah al Imam Ahmad-Syaikh Rabi', hal. 27, cet. Maktabah Hadyu Muhammadi 2008)

Tips dari Imam Asy Syafi'i Agar Tidak Ujub dengan Amalan


Imam Syafi'i rahimahullahu berkata, "Jika engkau takut ujub pada amalanmu maka ingatlah:

Keridhaan siapakah yang engkau tuntut?

Kepada pemberi nikmat siapakah engkau berharap?

Kepada penghukum siapakah engkau merasa khawatir?

Barang siapa yang memikirkan hal tersebut niscaya akan mendapati amalannya kecil di sisinya."

(Siyar a'lamun Nubala-Imam adz Dzahabi, jil. 10 hal. 42, cet. Muassasah ar Risalah cet. 1412H).

Kamis, 11 Agustus 2016

Tidak Gampang Emosi


Suatu ketika Khalifah Umar ibn Abdil Aziz rahimahullah pernah berada di daerah yang bernama Dabiq.

Beliau keluar pada suatu malam bersama para pengawalnya.

Tibalah Khalifah Umar di suatu masjid. Beliau pun berjalan di tengah gelapnya masjid.

Tiba-tiba Khalifah Umar menyandung seseorang yang sedang tidur di masjid.

Kontan orang itu pun bangun dan berkata kepada Khalifah, "Engkau ini gila ya?"

Sang Khalifah pun menjawab, "Tidak, aku tidak gila"

Para pengawal Khalifah geram dengan perlakuan orang itu terhadap Khalifah, hampir-hampir para pengawalnya menindak orang tersebut.

Khalifah pun menahan para pengawalnya, "Tahanlah.. sesungguhnya orang itu hanya bertanya kepadaku: Kamu ini gila ya?. Maka aku jawab: Tidak."

(Silahkan lihat Sirah wa Manaqib Umar ibn Abdil Aziz-Ibnul Jauzi, hal. 144, cet. Dar Ibnil Jauzi 2012)

Wanita Tidak Boleh Bepergian Jauh Sendiri

Mengapa Wanita ketika Safar Harus Bersama Mahramnya?

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "... Di antara sebab penjagaan dari zina adalah: diharamkannya safar (bepergian) bagi wanita tanpa diiringi dengan mahramnya, karena hal ini akan menimbulkan kejahatan dan terkuasainya wanita itu oleh orang-orang yang jahat.

Jika seorang wanita safar bersama mahramnya, niscaya mahramnya akan menjaga wanita tersebut dari orang-orang yang jahat dan melindunginya dari mereka.

Seorang mahram itu mempunyai kewibawaan dan kedudukan, maka jika seorang wanita safar tanpa diiringi mahramnya niscaya orang-orang jahat akan mengincarnya dan akan menguasainya.

Oleh karenanya rasulullah shallallahu alaihi wasalla bersabda, "Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan kepada hari akhir untuk melakukan safar kecuali diiringi bersama mahramnya". (HR. Bukhari dan Muslim).

Seorang mahram akan melindungi wanita dari target kejahatan, terlebih lagi ketika dia pergi jauh dari negerinya dan jauh dari keluarga dan kerabatnya, yang seperti ini terincarnya wanita tersebut dari orang-orang jahat akan lebih memungkinkan.

Wanita itu lemah. Lemah fisiknya, lemah akalnya dan lemah agamanya pula, kendatipun wanita tersebut adalah seorang yang kuat agamanya. Karena dia begitu mudah untuk menjadi korban kejahatan bagi orang-orang yang jahat.

Wanita menjadi korban karena dia bisa dikuasai dengan kekuatan atau dengan ancaman karena wanita itu lemah, bagaimanapun keadaannya.

Wanita itu mengundang hasrat dengan godaannya, sedangkan dia tidak mampu untuk membela dirinya sendiri.

(Lihat Ittihafuth Thullab bi Syarhi Manzhumatil Adab-Syaikh Shalih Al Fauzan, hal. 90-91, cet. Darul Hikmah 2009).

Di Mana Engkau Tempatkan Kesungguhanmu?

Malik ibn Dinar berkata, "Sesungguhnya orang-orang yang beruntung niscaya hatinya akan mempunyai tabiat (suka) kepada amalan-amalan kebajikan.
Dan sesungguhnya orang-orang yang fajir niscaya hatinya akan mempunyai tabiat (suka) kepada amalan-amalan kejelekkan.
Allah akan melihat kepada kesungguhan kalian, maka perhatikanlah apa yang menjadi kesungguhan kalian rahimakumullah."
(Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi, cet. Darul Marifah 3/204).

Coba kita pahami sejenak keadaan diri kita, kita ini kesungguhannya dalam hal apa ya?

Sepertinya kita terlalu serius dalam hal dunia, sedangkan dalam perkara akhirat kita lalai.

Astaghfirullah..

Kamis, 21 Juli 2016

Zuhudnya Umar

Zuhudnya Umar ibn Abdil Aziz rahimahullah

Malik ibn Dinar berkata, "Orang-orang mengatakan bahwa Malik adalah orang yang zuhud. Hanya saja (bagiku) orang yang zuhud itu adalah Umar ibn Abdil Aziz, dimana dunia mendatanginya akan tetapi dia malah meninggalkannya."

(Hilyatul Aulia 5/261 dan Siyar A'lamun Nubala 5/134)

Dunia itu datang tapi tidak diambilnya? Subhanallah.. sebuah sikap yang perlu dilatih untuk ditauladani.

Ujub dan Sombong

Adakah perasaan bahwa Anda memiliki sesuatu keistimewaan yang lebih dibanding orang lain?

Jika ada, mari kita dengar apa nasehat Imam Abdullah ibnul Mubarak rahimahullahu..

Abu Wahb al Marwazi berkata bahwa beliau bertanya kepada Imam Ibnul Mubarak, "Apakah sombong itu?"

Ibnul Mubarak menjawab, "Sombong adalah tatkala engkau meremehkan manusia."

Aku bertanya lagi tentang ujub (bangga diri), Ibnul Mubarak menjawab, "Ujub adalah ketika engkau memandang pada dirimu memiliki sesuatu (keistimewaan) yang tidak ada hal tersebut pada orang lain. Aku tidak tahu ada perkara yang lebih jelek yang terdapat pada orang yang shalat (seorang muslim) dibanding rasa ujub."

(Siyar A'lamun Nubala 8/407).

Hati-hati lho, biasanya dari rasa ujub akan berlanjut kepada kesombongan.

Nas'alullaha salamah wal 'afiyah.

Ilmu adalah Pelita

Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu dalam Lathaiful Ma'arif (hal. 130) berkata, "Telah termaktub pada imam yang empat bahwa menuntut ilmu itu lebih afdhal dibandingkan shalat sunnah.

Shalat sunnah itu lebih afdhal dibandingkan puasa sunnah.

Maka jadilah ilmu itu lebih afdhal dibandingkan puasa sunnah berdasar argumen yang pertama tadi karena ilmu adalah pelita yang menerangi gelapnya kebodohan dan hawa nafsu.

Barang siapa yang berjalan di jalan yang tiada berpelita maka tidak akan aman dari terperosoknya dia ke dalam sumur sehingga binasa."

(Dinukil dari An Nubadz fi Adabi Thalabul ilmi-Hamd Ibrahim al Utsman, hal. 103, cet. Maktabah Ibnil Qayyim 2002)

Senin, 04 Juli 2016

Mengunjungi yang Sehat dan Menjenguk yang Sakit

Termasuk Kebiasaan Nabi adalah Mengunjungi Teman dan Menjenguk Orang Sakit

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Adalah menjadi kebiasaan Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah menjenguk yang sakit dari kalangan para shahabatnya, sebagaimana beliau biasa mengunjungi siapa yang beliau kunjungi dari kalangan mereka."

(Syarah Riyadhish Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 28, cet. Dar Ibnil Jauzi 2009).

Bedanya Memang Kebiasaan dengan yang Sesekali

Bedanya Orang yang Telat Menghadiri Shalat Berjama'ah karena Faktor Kebiasaan dengan yang Telat karena Sesekali Ada Udzur

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Apabila ada seorang yang kebiasaannya shalat dengan berjama'ah di masjid, akan tetapi suatu saat dirinya tertahan oleh sesuatu hal seperti: tidur, sakit atau yang semisalnya, maka dirinya tetap tercatat mendapat pahala sempurna sebagai orang yang shalat bersama jama'ah tanpa ada yang dikurangi..."

Syaikh melanjutkan, "Adapun jika itu bukan kebiasaan yang diamalkannya, maka dia mendapat pahala dari niatnya saja tanpa dapat pahala dari amalnya."

(Syarah Riyadhish Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 25, cet. Dar Ibnil Jauzi 2009).

Rabu, 29 Juni 2016

Zakatnya Ternyata Salah Sasaran, Gimana Ni?

Yakin Telah Menyalurkan Zakat kepada yang Berhak, Ternyata yang Diberi Zakat Bukan Orang yang Berhak..?!

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "... Jika ada seorang yang memberikan zakatnya secara khusus kepada orang tertentu, dalam keadaan orang yang memberi zakat ini mengira bahwa orang yang diberi adalah orang yang berhak menerima zakat, tapi kemudian dia mendapat kejelasan bahwa orang yang telah diberi zakatnya ini ternyata bukan orang yang berhak menerimanya, maka jika zakat yang dia salurkan diterima (sah) dan dia telah terbebas dari tanggungannya.

Karena dia telah berniat menyalurkannya kepada orang yang dia pandang berhak untuk menerimanya, dan apa yang telah diniatkan sesuai dengan niatnya."

(Terjemah bebas dari Syarah Riyadhish Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 27, cet. Dar Ibnil Jauzi 2009).

Selasa, 28 Juni 2016

"Nanti Riya Lho"=Waswas Setan. Jangan Pedulikan!

Pernahkah kita mengalami kejadian ketika ingin beramal, tiba-tiba ada betikan di hati "Jangan lakukan, nanti riya lho.."

Awalnya semangat, karena ada betikan tersebut akhirnya kita jadi setengah hati mau beramal. Takut riya, katanya.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Ketahuilah bahwa setan akan mendatangimu ketika engkau ingin beramal kebaikan dengan mengatakan: Sesungguhnya engkau mengamalkan ini hanya karena (tujuan) riya!!

Maka setan pun memupus dan menakut-nakuti semangatmu.

Akan tetapi janganlah engkau gubris hal itu dan jangan engkau turuti apa kata setan. Hendaknya tetap amalkan!

Karena jika engkau ditanya, "Apakah engkau sekarang mengamalkan ini karena riya dan sum'ah?"

(Kalau) Engkau berkata, "Tidak." Maka ini adalah waswas setan yang dimasukan ke dalam hatimu, maka jangan digubris waswas setan tersebut.

(Syarah Riyadhish Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 15, cet. Dar Ibnil Jauzi 2009).

Senin, 27 Juni 2016

Jangan Niat Sampai Terlewat


Kadang ketika kita melakukan ibadah seakan 'tanpa sadar' melewati perkara yang seharusnya kita tidak boleh lalai, berniat.

Benar, mungkin karena sudah menjadi rutinitas maka menghadirkan niat terancam terlewat.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Sudah seyogyanya seorang untuk menghadirkan niat di setiap ibadah-ibadahnya.
Sebagai contoh ketika berwudhu, maka niatkan berwudhu karena Allah dan dalam rangka menunaikan perintah Allah.
Ini ada tiga perkara:
1. Berniat untuk ibadah
2. Berniat ibadahnya untuk Allah
3. Berniat bahwasanya dia mengerjakannya karena dalam rangka menunaikan perintah Allah.
Ini adalah perkara yang paling sempurna di dalam berniat.
Demikian pula dalam masalah shalat dan dalam perkara ibadah-ibadah lainnya.

(Syarah Riyadhish Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 14, cet. Dar Ibnil Jauzi 2009).

Sudahkah Anda Termasuk Orang yang Bersyukur?

Syaikh Ubaid al Jabiri hafizhahullahu berkata, "Rasa syukur bisa teranggap pada seorang hamba dengan tiga perkara:

1. Menetapkan kenikmatan (yang didapat) pada hatinya. Yaitu dengan meyakini bahwa nikmat ini berasal dari Allah maka akan kembali lagi kepada Allah. Jika Allah berkehendak (langgeng) maka akan metetap (kenikmatan tersebut), kalau Allah berkehendak (hilang) maka akan hilang (kenikmatan yang telah ada).

2. Menceritakan kenikmatan (yang didapat) dengan nyata ketika ada keperluannya atau ketika ada hasil kebaikannya, contohnya: Aku diberikan rezeki (anugerah) -walhamdulillah- dengan sepuluh anak yang semuanya menghafal kitabullah (Al Qur'an).

3. Mempergunakan kenikmatan ini di dalam keridhaan yang memberi dan yang menganugerahkan nikmat tersebut, yaitu Allah. Di dalam hadits yang shahih "Merupakan suatu kenikmatan adalah ketika harta yang baik dimiliki oleh orang yang shalih." (HR. Ahmad, Bukhari dalam Al Adabul Mufrad. Dinilai shahih sanadnya berdasar syarat Imam Muslim oleh Syaikh al Albani).

(Terjemah bebas dari Al Bayanul Murashshi'-Syaikh Ubaid al Jabiri, hal. 8, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).

Kamis, 16 Juni 2016

Semua Ibadah Pasti Terdapat Hikmah yang Besar

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "... Tidaklah ada dari satu ibadah yang telah disyariatkan oleh Allah untuk hamba-Nya melainkan terdapat kandungan hikmah yang besar. Hikmah itu dapat diketahui oleh yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya.

Dan bukanlah karena ketidaktahuan kita terhadap adanya hikmah dari sesuatu ibadah-ibadah, menjadi dalil untuk menyatakan bahwa ibadah tersebut tidak ada hikmahnya.

Tetapi seharusnya justru menjadi dalil akan lemahnya dan kurangnya diri kita dalam menggali kandungan hikmah Allah ta'ala, ini berdasar firman Allah yang artinya, "Dan tidaklah Aku berikan kepada kalian dari ilmu kecuali hanya sedikit." (QS. Al Isra: 85).

(Majalisu Syahri Ramadhan-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 43, cet. Darul Aqidah 2008).

Rabu, 15 Juni 2016

Melatih Anak-Anak Berpuasa

Anak-Anak Kecil Hendaknya Dilatih Untuk Berpuasa

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Dahulu para shahabat ridhwanullah 'alaihim telah mengajak anak-anak mereka untuk berpuasa padahal keadaan mereka masih kecil.

Mereka ajak anak-anaknya menuju masjid dan membuatkan mainan yang diberi warna (yakni dari bahan wol dan sejenisnya) di sana.

Jika anak-anak mereka menangis karena merasakan lapar, maka mereka memberikan mainan tersebut agar bisa bermain-main dengannya.

Kebanyakan dari kalangan wali-wali anak (orang tua) pada hari ini telah lalai terhadap perkara ini.

Mereka tidak memerintahkan anak-anaknya untuk berpuasa.

Bahkan sebagian dari mereka ada yang melarang anak-anaknya untuk berpuasa karena adanya kekhawatiran akan hal ini dan menyangka bahwa perbuatan ini (melarang anak untuk berpuasa) adalah bentuk kasih sayang mereka kepada anak-anaknya.

Padahal kasih sayang yang hakiki kepada anak adalah (mendorong anak untuk) menegakkan kewajiban, mendidik mereka di atas syariat-syariat islam dan melatih mereka untuk mengerjakannya.

Barang siapa yang menghalang-halangi anak-anaknya dari perkara ini, atau mengenteng-entengkan permasalahan ini, maka (orang tua yang seperti ini) telah berbuat zhalim kepada anak-anaknya dan juga kepada dirinya sendiri.

Ya, jika anak-anak tengah berpuasa dan orang tua mendapati adanya suatu bahaya, maka tidak mengapa agar mereka dicegah dahulu untuk berpuasa saat itu."

(Majalisu Syahri Ramadhan-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 29, cet. Darul Aqidah 2008).

Selasa, 14 Juni 2016

Awalnya Biasa Saja, Lama-Lama..


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
Artinya: “Tidaklah aku tinggalkan setelahku suatu fitnah (godaan) yang lebih membahayakan atas para lelaki dari fitnahnya (godaan) wanita.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ah, sudah punya istri kok. Saya sudah tua.

Yakin?

Ali ibn Zaid mendengar Said ibnul Musayyab berkata, "Setan tidak akan putus asa dari sesuatu (dalam menggoda manusia) kecuali mendatangkan godaan tersebut dari arah wanita.
Kemudian Said melanjutkan -padahal waktu itu beliau sudah berumur 84 tahun juga telah hilang satu pandangannya dan hidup dengan mengandalkan pandangan sebelahnya yang lain-: "Tidaklah ada sesuatu yang paling aku takutkan di sisiku dibandingkan dengan (godaan) seorang wanita."
(Hilyatul Aulia 2/166 dan Siyar A'lamun Nubala 4/237).

Hati-hati ya..

Awalnya biasa saja, tidak ada yang istimewa. Tapi karena sering ketemu lama-lama kok jadi suka ya? Lama-lama ingat senyumnya terus ya?

Allahu musta'an

ANDA DALAM BAHAYA!!!

Segera bertaubat dan jauhi penyebab maksiat!

Semoga Allah lindungi kita semua dari kejelekan fitnah-fitnah yang menghantarkan kepada kebinasaan. Amin.

Senin, 13 Juni 2016

Memfokuskan Al Qur'an di Bulan Ramadhan

Mari Memfokuskan Diri Untuk Membaca Al Qur'an di Bulan Ramadhan (1)

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "... Dahulu para salafush shalih banyak membaca Al Qur'an di Bulan Ramadhan baik di dalam shalat maupun di luar shalat.

Dahulu dikatakan bahwa Imam Az Zuhri jika memasuki Bulan Ramadhan maka aktifitas beliau hanya membaca Al Qur'an dan memberi makan.

Imam Malik jika memasuki Bulan Ramadhan meninggalkan dari membaca hadits dan majelis-majelis ilmu. Beliau memfokuskan untuk membaca Al Qur'an dari mushaf (2).

Imam Qatadah selalu mengkhatamkan Al Qur'an setiap tujuh malam sekali, tapi di Bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan setiap tiga hari sekali dan jika masuk sepuluh hari terakhir di Bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan di setiap malam.

Ibrahim an Nakhai mengkhatamkan Al Qur'an di Bulan Ramadhan setiap tiga hari sekali, ketika memasuki sepuluh hari terakhir beliau mengkhatamkan dua malam sekali.

Adapun Al Aswad mengkhatamkan Al Qur'an setiap dua malam sekali di seluruh Bulan Ramadhan.

Maka teladanilah oleh kalian amalan orang-orang pilihan ini!

Ikutilah jalan mereka, niscaya kalian akan temui negeri yang paling suci (al jannah).

Manfatkanlah waktu-waktu siang dan malamnya (di Bulan Ramadhan) dengan segala apa yang bisa mendekatkan diri kalian kepada Al Azizul Ghaffar (Allah), karena umur terus berjalan dengan cepat dan waktu senantiasa lewat seakan seharian itu hanya terasa sesaat..."

(Majalisu Syahri Ramadhan-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 26-27, cet. Darul Aqidah 2008).

Keterangan:
(1) Memfokuskan bukan berarti meninggalkan amalan-amalan shalih lainnya, seperti: mengajarkan ilmu atau menuntut ilmu.
(2) Amalan Imam Malik yang meninggalkan majelis ilmunya selama bulan Ramadhan adalah khabar tidak shahih sebagaimana ini telah dinyatakan oleh Syaikh Muhammad ibn Hadi hafizhahullahu.

Jazakallahukhaira kepada asatidzah dan ikhwah yang mengingatkan akan hal ini.

Kamis, 09 Juni 2016

Dari Che ke Palu Arit


Menjelang milenium, masih teringat di benak ini ketika anak-anak muda kala itu sedang menggandrungi seorang tokoh dari Kuba, Che Guevara.

Gambar Che dengan khas baretnya memenuhi distro-distro kaos. Poster, stiker sampai emblem-emblem mini pun tak mau ketinggalan, gambar Che tengah jadi tren tersendiri.

Sosok Che Guevara lebih dikenal oleh gen muda nusantara ketika itu sebagai seorang pejuang gerilya revolusi Kuba, padahal paham sosialis marxist sangat kental pada prinsip-prinsip hidupnya. Akan tetapi semat seorang 'anti kapitalis' sepertinya sudah kepalang lebih tenar dibandingkan seorang 'komunis marxist'-nya.

Buku-buku dan artikel yang menggambarkan sepak terjang perjuangan Che pun ditebar. Aksi heroik sang pejuang anti kapitalis digambarkan begitu hebat dan memukau. Keteguhan perjuangan dalam melawan kapitalis membela rakyat kecil pun ditonjolkan. Walhasil, semangat juangnya pun menjadi teladan. Che sang pejuang garis kiri kini mendapat tempat di hati.

Tren pun berganti. Telah berlalu Gambar-gambar Che. Perlahan mulai tenggelam. Pelan-pelan gambar Che coba berganti.

Dahulu tokohnya dikagumi, sekarang tak tanggung-tanggung, 'Palu arit' coba ambil posisi. Laa haula wala quwwata illa billah.

Beberapa bulan terakhir, fenomena pemakaian kaos palu arit kian marak. TNI pun ambil tindakan. Ketika terdapat sebagian kaum muda tertangkap tangan memakai kaos 'palu arit' ini, jawaban 'saya tidak tahu' pun menjadi alasan.

Apakah benar tidak tahu, ataukah pura-pura tidak tahu?

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, jika memang tidak tahu, misis sekali kita mendengarnya. Ini bukti bahwa gen muda Indonesia perlu diajari tentang siapa PKI.

Mari kita bersama peduli generasi. Bayangkan negeri ini ketika kaum mudanya buta tentang PKI?

Jika dibiarkan, tak mustahil 'Revolusi Merah' akan mengulang episodenya. Allahu musta'an.

Apakah kita ingin terulang kembali peristiwa Madiun berdarah di 1948?

Apakah kita mau negeri ini berbanjir darah seperti tahun 1965?

Waspadai kebangkitan PKI di negeri ini!

Jangan biarkan PKI mencuci otak generasi kita dengan memutar balikan sejarah.

Mari kita bersama-sama kenalkan siapa itu PKI agar generasi kita tidak mudah dikibuli oleh kaum komunis najis.

Selamatkan Indonesia dari paham komunis.

Melalui program tebar majalah Asy Syariah gratis edisi khusus "AWAS! KOMUNISME BANGKIT" mari kita sadarkan generasi kita.

Sebesar apapun andil kita dalam dakwah ini, semoga dibalas Allah dengan pahala yang besar.

Wallahu alam.

Rabu, 08 Juni 2016

Curi-Curi Pandang

Curi-Curi Pandang? Hati-Hati Lho!

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Menundukkan pandangan adalah sebab untuk menjaga kemaluan.

Allah ta'ala berfirman,"
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
"Allah mengetahui khianatnya pandangan mata dan mengetahui apa yang disembunyikan dalam hati. (QS. Ghafir: 19).

Apa yang dimaksud dengan 'khianatnya pandangan' ?

'Khianatnya pandangan' adalah curi-curi pandang kepada perkara yang Allah haramkan.

Jelasnya, jika dia berada di sisi manusia dan mereka melihat dirinya, maka dia akan menundukkan pandangan.

Tapi jika dia melihat manusia sedang lalai (tidak melihatnya) maka dia curi-curi pandang kepada hal yang haram.

Ini adalah 'khianatnya pandangan' dan tentunya Allah Maha Mengetahui.

(Lihat Ittihafuth Thullab bi Syarhi Manzhumatil Adab-Syaikh Shalih Al Fauzan, hal. 89, cet. Darul Hikmah 2009).

Ikhwatii fillah, curi-curi pandang saja adalah hal yang tercela, maka bagaimana lagi dengan seseorang yang melihat perkara-perkara haram di gadget atau di smartphone nya?

Nas'alullaha salamah.. wa nastaghfirullah.

Selasa, 07 Juni 2016

Berdosa Kok Malah Sebab Dapat Rahmat Allah, Kok Bisa?

Berdosa Malah Mendapat Rahmat. Kok Bisa?

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullahu, "Jika Allah ingin memberikan kebaikan untuk hamba-Nya maka Allah akan membuka pada hamba tersebut suatu pintu dari pintu-pintu:
Taubat, rasa sesal, perasaan hancur, merasa rendah, merasa butuh dan beristighatsah serta meminta tolong kepada Allah.

Juga selalu memohon dan berdoa, bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan melakukan kebaikan-kebaikan dengan segenap kemampuan yang mungkin dia bisa perbuat.

Maka apa yang telah dia perbuat dari suatu kejelekkan (karena dia bertaubat) justru malah menjadikan sebab turun rahmat Allah untuknya.

Sampai musuh Allah pun (setan) berkata, "Duhai seandainya kita biarkan saja dia, niscaya tidak akan begini jadinya (hamba tersebut dengan dosanya malah mendapat rahmat Allah karena bertaubat)".

(Syarhu Wabilish Shayyib Ibnul Qayyim-Syaikh Ibnu Baz, hal. 7, cet. Darul Istiqamah 2013).

Ikhwatii fillah rahimakumullah, mari kita renungi dosa-dosa kita, lalu kita sesali dan bertaubatlah kepada Allah.

Semoga di bulan yang penuh ampunan ini kita mendapat ampunan dari Allah. Amin.

Senin, 06 Juni 2016

Allah Tidak Butuh Ibadahnya Seorang Hamba

Allah Tidak Butuh kepada Ibadah Kita, Tapi Kitalah yang Butuh kepada Ibadah

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Ats Tsaqalain (jin dan manusia) diciptakan oleh Allah adalah hanya untuk beribadah kepada-Nya saja.

Akan tetapi bukan berarti Allah butuh kepada ibadahnya mereka.

Kalau begitu siapa yang butuh kepada ibadah? Yang butuh adalah hamba itu sendiri.

Oleh karenanya Allah berfirman,
وَقَالَ مُوسَى إِنْ تَكْفُرُوا أَنْتُمْ وَمَنْ فِي الأرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ (8)
Artinya:
"Dan Musa berkata, "Jika kalian dan semua orang-orang yang ada di muka bumi ini kufur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
(QS. Ibrahim: 8).

Maka bagi Allah, kemaksiatan orang yang bermaksiat tidaklah akan membahayakan-Nya, dan ketaatan orang yang taat, tidaklah memberikan manfaat bagi-Nya.

Hanya saja ketaatan itu akan bermanfaat bagi pelakunya, dan kemaksiatan akan membahayakan bagi pelakunya."

(Silahkan lihat I'anatul Mustafid hal. 27, cet. Muassasah ar Risalah 2013).

Minggu, 05 Juni 2016

Imam Syafi'i Saja Tunduk dengan Hadits..

Imam Asy Syafi'i Saja Tunduk kepada Hadits, Masa yang Mengaku Pengikutnya Tidak?

Abdullah putranya Imam Ahmad ibn Hanbal menuturkan, "Aku mendengar ayahku (Imam Ahmad) berkata tentang Imam Asy Syafi'i.

Aku (Imam Ahmad) pernah mendengar Imam Asy Syafi'i mengucapkan, "Jika di sisi kalian terdapat suatu hadits yang shahih dari Rasulullah, maka beritahukan kepadaku sampai aku bisa bermazhab dengan hadits yang shahih tersebut di negeri manapun."

(Hilyatul Aulia-Abu Nu'aim al Ashbahani 9/106. Dinukil dari Tahdzib-nya hal. 18, cet. Daruth Thayyibah 2005)

Alergi dengan Orang Miskin dan Orang Susah Makar Setan

Alergi dengan Orang Miskin dan Orang Butuh

Ibnul Qayyim berkata, "Termasuk dari tipu daya setan adalah memerintahkanmu untuk memasang wajah yang cemberut dan tidak menampakkan kegembiraan dan suka cita ketika bertemu dengan orang-orang yang miskin dan orang-orang yang mempunyai kebutuhan.

Jika engkau melakukannya niscaya mereka akan tamak kepadamu, mereka juga akan lancang pada dirimu dan kewibawaanmu akan jatuh di hati-hati mereka.

Engkau pun akan terhalang dari doa kebaikan dari mereka dan terhalang dari mendapatkan kecondongan hati dan kecintaan mereka.

Engkau pun akan berakhlak jelek kepada mereka dan akan menahan orang-orang untuk senang bergaul bersama mereka dengan akhlak yang mulia.

Maka pintu kejelekkan pun engkau buka dan pintu kebaikan akan tertutup darimu."

(Terjemah bebas dari Ighatsatul Lahafan-Ibnul Qayyim, hal. 111, cet. Darul Aqidah 2003).

Selasa, 31 Mei 2016

Maksiat Menurunkan Pamor Wibawa

Maksiat Menurunkan Pamor Kewibawaan, Sampaipun di Hadapan Anaknya!

Imam Adz Dzahabi dalam Siyar A'lamun Nubala (Tahdzib-nya 2/765) membawakan kalam Abu Abdurrahman al Umari az Zahid rahimahullahu, beliau berkata, "Sesungguhnya termasuk dari kelalaian terhadap dirimu adalah berpaling dari Allah, yakni ketika engkau melihat suatu perkara yang membuat Allah murka, maka engkau pun melampauinya (malah melanggarnya).
Engkau pun juga tidak memerintahkan (kepada kebaikan) dan tidak melarang (dari kejelekkan) karena takut dari makhluk.
Barang siapa yang meninggalkan amar maruf (memerintahkan kepada kebaikan) karena takut kepada makhluk niscaya kewibawaan akan dicabut dari dirinya.
Seandainya dia memerintahkan sesuatu kepada anaknya, niscaya anaknya akan meremehkan perintahnya."

PKI

Partai Komunis Indonesia (PKI)

Sebuah partai politik yang mengusung ajaran komunis anti agama. Mengkampanyekan kesetaraan hidup dan kesamaan, katanya..

Oleh karenanya tuan tanah dan bos-bos pemilik perusahaan yang mereka sebut kaum borjuis, juga para santri serta pemuka agama adalah musuh utama kaum komunis.

Pikirnya, tuan tanah harus menyerahkan tanahnya kepada rakyat, bos besar harus menghibahkan perusahaannya untuk rakyat. Semua harus adil! Bagi rata!

Enggan.. Maka harus dihabisi..

Sedangkan agama dibenak seorang komunis adalah bak candu yang membuat orang menjadi malas dan mundur. Oleh karenanya seorang komunis identik dengan atheis alias kaum anti Tuhan. Laa haula wala quwwata illa billah.

PKI akan melibas siapa yang menjadi aral perjuangannya. Tak segan dan tak peduli, jika dia bukan komunis atau tidak manut aturan komunis maka dia musti mati.

Ketika mereka kuat dan banyak, penculikan, pembantaian dan sederet pembunuhan sadis akan muncul dan mewarnai sepak terjang partai yang berlambangkan palu dan arit ini.

Terlebih ketika mereka telah kokoh dan didukung oleh elemen militer, PKI akan melakukan revolusi dengan cara kudeta dan penggulingan kekuasaan, hal ini mereka nilai sebagai cara yang ampuh tuk mengkomuniskan negara.

Walhasil, jiwa tak ada harganya lagi, nyawa pun tak ada nilainya, darah akan tertumpah, demi sebuah revolusi.

Dua kali PKI telah mencoba meng-komunis-kan negeri ini, 1948 dan 1965 adalah saksi zaman yang tak pernah usang.

Kaum akar rumput dari kalangan buruh dan tani dijadikan bemper dan alat revolusi khayalan para petinggi komunis najis.

Kaum buruh dan tani dibakar emosinya untuk membantai kaum agamis dan borjuis, sekali lagi, demi revolusi, semua halal..!

Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah jua lah, kemudian dengan bersatunya elemen muslimin dan TNI kala itu, revolusi 2x dari sang pemberontak dan penghianat bangsa kaum komunis najis berhasil digagalkan.

Akan tetapi, kini..

Ketika orang-orang merasa PKI telah mati, nyatanya PKI tak mati.

PKI ingin bangkit lagi, ingin berbenah diri menggapai mimpi dari sebuah revolusi.. membumikan komunis di negeri pertiwi.

Mereka tidak tidur, mereka terus maju walau merayap pelan. Perlahan tapi pasti.

Lalu, apakah kita diam saja?

Menunggu mereka tegak berdiri dan bereaksi lagi?

Tidak. Tentu tidak!

Kita harus melek dan sadar bahwa komunis tengah mencoba bangkit lagi.

Sejarah pun dibelokkan, yang sejatinya mereka adalah pelaku sejarah hitam Indonesia 1948 dan 1965, kini mereka menginvansi media agar publik teropini bahwa merekalah korban yang terzhalimi.

Allahu musta'an.

Kaum muslimin, mari kita hadang laju paham komunis dengan menebar ilmu. Sukseskan tebar majalah Asy Syariah edisi khusus "AWAS! KOMUNISME BANGKIT LAGI" di kota Anda.

Sisihkan tenaga dan harta Anda dalam amal ini. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Semoga Allah mudahkan dan memberkahi langkah kita, amin.

Rabu, 18 Mei 2016

Cinta yang Tak Pernah Kenal Tua

Abu Darda radhiallahu anhu berkata, "Jiwa salah seorang di antara kalian akan senantiasa awet muda dalam mencintai sesuatu (dari perkara dunia) walaupun tulang dadanya telah turun membungkuk karena sebab tua.
Kecuali mereka yang telah Allah anugerahkan jiwanya (ingat) negeri akhirat.
Dan sedikit sekali (orang yang seperti) mereka ini."

(Az Zuhd war Raqaiq-Imam Ibnul Mubarak, hal. 144-145, cet. Dar Ibnil Jauzi 2011).

Minggu, 15 Mei 2016

Membiasakan Anak di Atas Ketaatan

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Sudah menjadi kewajiban bagi seorang ayah untuk mentarbiyah (mendidik) anak-anak mereka di atas ketaatan kepada Allah.

Mengasuh mereka di atas ketaatan sampai mereka tumbuh besar di atas ketaatan.

Membiasakan dan membentuk mereka di atas ketaatan.

Adapun jika para orang tua menelantarkan anak-anak mereka, yaitu dengan membiarkan mereka tumbuh di atas ghaflah (kelalaian) dan kelabilannya seorang pemuda, maka mereka kelak akan tercampakkan dari masyarakat..."

(Taujihatun Muhimmatun lis Syabab-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 15, Dar Imam Ahmad 2005).

Petikan Faidah Seputar Adab Minum

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda, "Janganlah salah seorang dari kalian minum dalam keadaan berdiri." (HR. Muslim).
☆☆☆

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Ini termasuk dari adab minum. Bahwasanya yang afdhal bagi seseorang ketika minum adalah dalam keadaan duduk sebagaimana Nabi shallahu alaihi wasallam melakukan hal yang demikian.
Termasuk dari adab minum juga, adalah tidak minum dengan sekali tarikan nafas sebagaimana halnya unta, akan tetapi dia meminumnya dengan tiga kali tarikan nafas dan mengeluarkan mulutnya dari gelas ketika bernafas.
Janganlah dia bernafas di gelas, karena hal itu bisa mengotori (gelas) bagi orang yang selanjutnya (yang ingin memakai gelas tersebut untuk minum kembali).
Maka hendaknya seorang itu minum dengan tiga kali tarikan nafas dan di setiap tarikan nafas, mulutnya dikeluarkan dari gelas.
Minum dalam keadaan duduk adalah yang afdhal, dan dibencinya minum dalam keadaan berdiri ini bukanlah perkara yang diharamkan karena telah shahih bahwa Nabi pernah minum dalam keadaan beliau berdiri, hal ini dilakukan beliau sebagai penjelas bagi umatnya akan kebolehannya (minum dalam keadaan berdiri).
(Silahkan Lihat Tas-hilul Ilmam-Syaikh Shalih Fauzan 6/169-170).
¤¤¤

Imam As Safarini berkata berkata di dalam Manzhumatul Adab, "Khabar-khabar tentang nabi pernah minum dalam keadaan berdiri adalah shahih, sedangkan larangan (pada hadits di atas) dibawa kepada pemahaman bahwa meninggalkan minum dalam keadaan berdiri adalah lebih utama dan menjelaskan bolehnya minum dalam keadaan berdiri."
(Dinukil dari Taudhihul Ahkam-Syaikh Al Bassam 6/307).
¤¤¤

Syaikh Ibnu Utsaimin memberikan faidah bahwa dalam hadits ini menunjukkan syariat islam tidaklah terbatas pada perkara ritual ibadah-ibadah saja sebagaimana sangkaan sebagian orang.
(Lihat Fathu dzil Jalal wal Ikram-Syaikh Ibnu Utsaimin 6/263).

Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kitab lain memberikan faidah tambahan, yaitu bagaimana jika di dalam masjid terdapat dispenser air lalu ada seorang masuk ke dalam masjid, apakah dia duduk lalu minum ataukah dia minum dalam keadaan berdiri?
Karena jika dia duduk, maka akan menyelisihi sabda nabi, "Jika seorang memasuki masjid maka janganlah duduk sampai dia shalat dua raka'at terlebih dahulu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Akan tetapi jika minum dalam keadaan berdiri maka akan meninggalkan sesuatu yang afdhal.
Maka jawabnya, "Yang afdhal adalah minum dalam keadaan berdiri karena seorang yang duduk dalam keadaan belum shalat dua raka'at hukumnya adalah haram berdasarkan pendapat sebagian ulama.
Berbeda dengan hukum minum dalam keadaan berdiri, hukumnya lebih ringan.
Maka atas dasar itu semua, minumlah dalam keadaan berdiri kemudian lakukanlah shalat tahiyatul masjid."
(Lihatlah Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Utsaimin 2/521).
¤¤¤

Wallahu alam.
Semoga bermanfaat.

Rabu, 11 Mei 2016

Pengaruh dari Penyelenggaraan Jenazah di Sisi Salaf

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Kunjungilah oleh kalian orang sakit dan ikutilah penyelenggaraan jenazah, niscaya hal itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat."
(HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad 518, Ahmad dan Ibnu Hibban. Hadits dihasankan oleh Syaikh al Albani).

Ibrahim an Nakha'i berkata, "Jika mereka (para salaf) menyaksikan penyelanggaraan jenazah maka sepanjang beberapa hari mereka akan bersedih, dan itu akan diketahui pada keadaan mereka."
(Sanadnya shahih. HR. Ahmad dalam Az Zuhud 365).

(Dinukil dari Az Zuhd war Raqaaiq-Imam Ibnul Mubarak, hal. 140-141, cet. Dar Ibnil Jauzi 2011).

Buah dari 3 Poros Kesabaran

Ibnul Qayyim al Jauziyah rahimahullahu berkata, "Sabar adalah:
1. Menahan jiwa dari amarah terhadap apa yang telah ditakdirkan
2. Menahan lisan dari keluh kesah
3. Menahan anggota badan dari perkara maksiat, seperti: (ketika mendapat musibah dia) menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, menjambak-jambak rambut dan yang semisalnya.

Poros dari kesabaran berputar pada tiga hal di atas.

Jika seorang hamba menunaikan (ketiga poros tersebut) sebagaimana mestinya, maka:
1. Ujian dan cobaan (kelak akan) berbalik menjadi suatu yang indah
2. Perkara yang tidak mengenakan akan berubah menjadi sebuah anugerah
3. Suatu yang dibenci akan akan menjadi suatu yang dicintai.

Sesungguhnya Allah tidak menimpakan ujian dan cobaan untuk membinasakan, hanya saja diberikan ujian dan cobaan adalah untuk mengetes kesabaran seorang hamba dan menguji ubudiyahnya (penghambaannya kepada Allah)..."

(Silahkan lihat Syarhul Wabilush Shayyib Ibnul Qayyim al Jauziyah-Syaikh Ibn Baz, hal. 5, cet. Darul Istiqamah 2013)

Bangun Tidur Ujub? Jangan!

Mutharrif ibn Abdillah berkata, "Jika aku menghabiskan malamku dengan tidur dan di waktu shubuh aku dalam keadaan menyesal, itu lebih aku sukai dibandingkan aku menghabiskan malamku dengan berdiri (shalat malam) dan di waktu shubuh aku dalam keadaan bangga diri (ujub)."
(Hilyatul Aulia 2/200)

Imam Imam adz Dzahabi menambahkan, "Tidak akan beruntung -demi Allah- orang yang mentazkiyah (memvonis suci) dirinya atau yang ujub."
(Siyar Alamun Nubala 3/190).

Senin, 02 Mei 2016

Malas dan Bosan

Malas dan Bosan=Kunci Kejelekkan

Muhammad ibn Ali rahimahullahu pernah menasehati putranya, "Wahai anakku waspadalah engkau dari rasa malas dan bosan, karena keduanya merupakan kunci bagi setiap kejelekkan.
Jika engkau malas maka engkau tidak akan mampu menunaikan kebenaran.
Jika engkau bosan, maka engkau tidak akan sabar dalam menjalani kebenaran."

(Hilyatul Aulia-Abu Nu'aim al Ashbahani [tahdzibnya] jil. 1, hal. 507).

Yang Terkenal Berharap Tidak Terkenal

Al Khallal rahimahullah mengatakan bahwa Muhammad ibn Musa berkata, "Aku pernah melihat Abu Abdillah (Imam Ahmad) disambut oleh seorang dari negeri Khurasan dengan ucapan, "Segala puji bagi Allah yang telah membuatku bertemu dengan engkau."
Maka Imam Ahmad berkata kepada orang itu, "Tetaplah engkau ditempatmu (tidak usah menyambutku), memang siapa aku ini?"
(Siyar A'lamun Nubala-Imam Adz Dzahabi, jil. 10, hal. 225).

Muhammad ibnul Hasan ibn Harun rahimahullah berkata, "Aku menyaksikan Abu Abdillah (Imam Ahmad) jika sedang berjalan di sebuah jalan, beliau benci untuk diikuti oleh seseorang."
(Siyar Nubala-Imam Adz Dzahabi, jil. 11, hal. 226).

Di dalam kesempatan lain, ketika orang-orang mengeluk-elukan Imam Ahmad di berbagai negeri, Abul Abbas as Sarraj menuturkan, "Aku mendengar dari Fathu ibn Nuh, bahwa beliau mendengar Imam Ahmad berkata, "Aku mendambakan jika saja hal ini tidak terjadi. Aku ingin menuju ke sebuah tempat yang tidak ada seorang pun di sana (agar tidak ada yang menyanjungku)."
(Siyar Nubala-Imam Adz Dzahabi, jil. 11, hal. 226).

Kalau kita bagaimana?

Sepertinya kita adalah orang yang tidak dikenal dan ingin jadi terkenal.

Allahu musta'an.

Nasehat adalah Sedekah

Abu Darda radhiallahu anhu berkata, "Tidaklah seorang mukmin besedekah dengan sedekah yang paling aku cintai untuk Allah dibandingkan sebuah nasehat yang disampaikan seseorang untuk mengingatkan kaumnya, sehingga dengan nasehat tersebut, kaumnya meninggalkan perkara yang terlarang.
Allah telah memberikan manfaat kepada mereka dengan nasehatnya."

(Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi, jil. 1, hal. 301).

Selasa, 26 April 2016

Menjadi Paling Tinggi dan Utama

Orang yang Paling Tinggi Kedudukannya dan yang Paling Banyak Keutamaannya

Imam Asy Syafi'i berkata, "Manusia yang paling tinggi kedudukannya adalah yang tidak memandang kedudukan dirinya (tidak merasa punya kedudukan).

Manusia yang mempunyai banyak keutamaan adalah orang yang tidak memandang keutamaan dirinya (tidak merasa punya keutamaan)."

(Siyar A'lamun Nubala-Imam Adz Dzahabi, jil. 10, hal. 99).

Senin, 25 April 2016

Ketika Fudhail ibn Iyadh dn Sufyan ats Tsauri Bertemu

Abu Abdillah al Anthaki berkata bahwa Fudhail ibn Iyadh dan Sufyan ats Tsauri pernah bertemu dan keduanya saling memberi nasehat.

Sufyan tersentuh hatinya dan beliaupun menangis seraya berkata, "Aku berharap semoga majelis ini mendapatkan rahmah dan berkah Allah atas kita."

Fudhail menjawab, "Akan tetapi, wahai Abu Abdillah, aku khawatir malah menjadi (majelis) yang membahayakan kita.
Bukankah engkau telah menyaring ucapanmu agar (terdengar) indah, dan begitupun denganku, aku telah menyaring ucapanku agar terdengar indah, yang dengan itu semua, engkau menghias-hias ucapanmu untukku dan aku menghias-hias ucapanku untukmu?"

Sufyan pun menangis, dan berkata, "Semoga Allah menghidupkanku dan menghidupkanmu."

(Siyar A'lamun Nubala-Imam Adz Dzahabi, jil. 8, hal. 439).

Kamis, 21 April 2016

Salah Satu Bentuk Ketawadhuan Abdullah ibn Salam

Salah Satu Aksi Nyata dalam Menghancurkan Kesombongan

Muhammad ibnul Qasim berkata bahwa Abdullah ibn Hanzhalah menyatakan pernah pada suatu hari Abdullah ibn Salam radhiallahu anhu lewat di dalam pasar dalam keadaan memanggul seikat kayu bakar.
Maka ada orang yang bertanya kepada beliau, "Bukankah Allah telah mencukupkanmu? (Beliau adalah orang kaya- pent.)"
Beliau radhiallahu anhu menjawab, "Tentu saja. Akan tetapi aku ingin agar aku bisa memupuskan kesombongan karena aku mendengar rasulullah bersabda, "Tidak akan masuk ke dalam surga, orang yang pada hatinya masih terdapat seukuran biji kecil sifat sombong."
(Siyar Alamun Nubala-Imam Adz Dzahabi, jil. 2, hal. 419).

Makan-Makan Bersama Keluarga ketika Mendapat Rezeki Lebih

Punya Sedikit Rezeki Berlebih, Janganlah Lupakan Keluarga dan Kerabat.

Abdullah ibnu Buraidah menuturkan bahwa Salman al Farisi radiallahu anhu adalah seorang yang menghidupi dirinya dengan hasil tangannya sendiri.
Jika beliau mendapat sesuatu (dari kelebihan rezeki) maka beliau membeli sepotong daging atau ikan, kemudian memanggil keluarga dan sanak familinya untuk makan bersama-sama.
(Siyar Alamun Nubala-Imam Adz Adzahabi, jil. 1, hal. 548).

Selasa, 19 April 2016

Membenci Ketenaran tapi Hendaknya Tidak Menampakkannya

Al Husain ibnul Hasan al Maruzi menuturkan bahwa Abdullah ibnul Mubarak pernah berkata, "Jadilah engkau seorang yang mencintai ketidaktenaran dan membenci terkenal.
Janganlah engkau menampakkan pada dirimu mencintai ketidaktenaran sehingga engkau meninggikan keadaan dirimu.
Sesungguhnya pengakuan zuhud pada dirimu, akan mengeluarkanmu dari kezuhudan itu sendiri sehingga hal ini akan menyeret dirimu kepada pujian dan sanjungan."

(Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi, jil. 2, hal. 324-325, cet. Darul Hadits 2000).

Rabu, 13 April 2016

Menangis kala Sore Tiba

Apa yang kita lakukan di sore hari?

Jalan-jalan? Santai sambil minum teh? Atau olahraga?

Qabishah ibn Qais al Anbari berkata bahwa Adh Dhahhak ibn Muzahim dahulu, jika telah masuk waktu sore hari beliau menangis.
Maka ditanyakan kepadanya, "Kenapa engkau menangis?"
Beliau menjawab, "Aku tidak tahu amalan manakah yang naik (diterima Allah) dari amalanku."
(Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi 4/151).

Masya Allah..

Selasa, 12 April 2016

Dosa 40 tahun yang Lalu

Seringkali ketika kita mendapat kesusahan atau kesempitan hidup, di dalam batin bergumam, "Sabar, ini ujian.."

Ikhwatii fillah, apakah kita harus berpikir demikian?

Ujian, ujian dan ujian?

Tidakkah kita mau sedikit lebih kritis terhadap diri kita dengan mengulang hari-hari yang lalu?

Cobalah kita ingat-ingat, mungkinkah masih ada dosa atau kemaksiatan yang telah kita lakukan di hari yang lalu, akan tetapi hingga kini kita masih belum bertaubat?

Jawabnya, sangat mungkin.

Jika demikan, segera bertaubatlah. Mudah-mudahan kesusahan dan kesempitan hidup yang tengah kita alami akan diberikan jalan keluar yang indah oleh Allah ta'ala dengan sebab taubat kita.

Ubaidullah as Sirri mengabarkan bahwa Ibnu Sirrin pernah berkata, "Sesungguhnya aku mengetahui dosa apa yang aku pikul, dimana dengan sebab dosa itu, aku pun terkena beban hutang, yaitu ketika 40 tahun yang lalu aku pernah mengatakan kepada seseorang dengan memanggil, "Wahai orang yang bangkrut.."

Ubaidullah mengomentari, "Sedikitnya dosa mereka (para salaf) akan tetapi mereka mengetahui dari mana datang dosa itu.
Sedangkan banyaknya dosaku dan dosamu, akan tetapi kita tidak tahu dari mana datang dosa tersebut."
(Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi 3/246).

Allahu akbar!

Dosa 40 tahun yang lalu masih diingat dan dikaitkan dengan musibah yang didapat pada hari itu..!

Ibnu Sirrin menganggap efek dosa 40 tahun yang lalu -yang mungkin kita anggap ringan- ternyata masih memberikan efek buruk di dalam kehidupannya.

Lalu kita bagaimana? Padahal dosa kita lebih besar dari sekedar yang diperbuat Ibnu Sirrin.. Nastaghfirullah..

Kamis, 07 April 2016

Seakan Keduanya Menasehatiku

Seakan-seakan Fudhail ibn Iyadh dan Imam Adz Dzahabi tengah menasehatiku..

Fudhail ibn Iyadh rahimahullahu dalam Siyar A'lamun Nubala 8/440 berkata, "Wahai miskin..
Engkau orang yang berbuat jelek tapi engkau melihat dirimu adalah orang yang baik.
Engkau orang yang bodoh tapi engkau melihat dirimu adalah orang yang berilmu.
Engkau orang yang bakhil (pelit) tapi engkau melihat dirimu adalah orang yang dermawan.
Engkau orang yang dungu tapi engkau melihat dirimu adalah orang yang berakal.
Ajalmu dekat sedangkan anganmu panjang."

Imam Adz Dzahabi rahimahullahu menambahkan, "Sungguh demi Allah, benarlah (apa yang diucapkan Fudhail ibn Iyadh).
Engkau orang yang zhalim tapi engkau melihat dirimu adalah orang yang terzhalimi.
Engkau orang yang memakan barang haram tapi engkau melihat dirimu adalah orang yang wara'.
Engkau orang yang fasik tapi engkau meyakini dirimu tengah berbuat adil.
Engkau orang yang menuntut ilmu untuk dunia tapi engkau melihat dirimu adalah orang yang menuntutnya karena Allah."
-selesai-

Ikhwatii fillah, jujur saja, ketika aku membaca ini seakan Fudhail ibn Iyadh dan Imam Adz Dzahabi sedang di hadapanku berbicara dengan ucapan di atas.

Aku pun terdiam seraya melirih, "Astaghfirullah.."

Luasnya Makna Dzikir kepada Allah

Luasnya Cakupan Dzikir kepada Allah

Syaikh Shalih Fauzan berkata, "Termasuk dari tanda keimanan adalah banyak berdzikir kepada Allah, dan termasuk tanda kemunafikan adalah sedikit berdzikir kepada Allah.

Allah berfirman:
إِنَّ الْمُنافِقِينَ يُخادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خادِعُهُمْ وَإِذا قامُوا إِلَى الصَّلاةِ قامُوا كُسالى يُراؤُنَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلاَّ قَلِيلاً
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (menurut sangkaannya) tengah menipu Allah, dan Allah akan membalas (sangkaan) tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas, (dengan shalatnya) mereka bermaksud riya di hadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sangat sedikit." (QS. An Nisa: 142).

Sedikit dalam berdzikir adalah termasuk tanda kemunafikan dan banyak dalam berdzikir adalah termasuk tanda keimanan.

Jika engkau ingin memperbanyak ucapan, maka jadikan dzikir sebagai ucapanmu, baik dengan tasbih, tahlil, takbir, tahmid atau membaca Al-Qur'an, dan membaca Al-Qur'an adalah sebaik-baik dzikir.

Atau bisa juga dengan mengajari ilmu yang bermanfaat (ilmu agama) kepada manusia, memperbaiki di antara manusia dengan nasehat-nasehat, amar ma'ruf nahi munkar dan masih banyak lagi yang termasuk bagian dari dzikir."

(Lihat Ittihafuth Thullab bi Syarhi Manzhumatil Adab-Syaikh Shalih Al Fauzan, hal. 85, cet. Darul Hikmah 2009).

STOP APRIL MOP!

STOP APRIL MOP
(Versi Edit Wa)

Walau tak setenar Valentine di tanggal 14 Februari, April Mop yang jatuh pada tanggal 1 April rupanya di kalangan masyarakat perkotaan akhir-akhir ini sudah mulai dikenal.


Ada apa dengan April Mop di 1 April ?
Tanggal 1 April adalah hari dimana segala bentuk keisengan, lelucon konyol atau tipu-tipuan yang bisa membuat malu seseorang dilegalkan.

Banyak istilah yang dipakai dalam menamakan hari ini.

Di Perancis disebut “Poisson d'avril”, di Inggris lebih dikenal dengan istilah “April Noddie”, di Skotlandia dinamakan “April Gowk dan “Taily Day” dan di negeri kita tenar dengan nama “April Mop” dan keumuman media menyebutnya “April Fools Day”

Di hari itulah masing-masing orang akan mencari leluconan baik dengan menipu atau ‘ngerjain’.

Jika target yang menjadi sasaran leluconannya kena, maka dia harus memakluminya dan tidak boleh marah karena ini perayaan April Mop.

Yang menjadi target leluconannya pun bisa siapa saja, mulai dari teman, tetangga sampai orang tua, bahkan pada sebagian media publik tak tanggung-tanggung dalam memperingati April Mop ini, dengan istilah "Hoax April Mop" nya, mereka menyiarkan berita-berita bohong yang bisa menggegerkan dunia. Laa haula walaa quwwata illa billah.

Bagi sebagian orang hal yang demikian ini sah-sah saja karena memang inilah yang dimaukan dengan perayaan April Mop.

Demikianlah gambaran global perayaan April Mop.


Menengok Asal April Mop

Banyak versi yang beredar perihal asal muasalnya perayaan ini.

Wallahu ‘alam, kami sebagai penulis meragukan tebaran sejarah kebenaran tentang April Mop ini, karena ketiadaan sanad (untaian pembawa berita) yang valid pada ceritanya.

Akan tetapi kami tampilkan sebagian akuan-akuan sejarah April Mop di dalam tulisan ini hanya sebagai memperkuat kebatilan perayaannya, diantaranya:

1. Terdapat tulisan di surat kabar Washington Post bahwa perayaan April Mop terkait pada kisah Ceres, Dewi panen, dan putrinya, Proserpina di jaman Romawi kuno.
Demikian kisahnya: Pluto sang dewa dunia ghaib menculik Proserpina, maka Proserpina yang tengah berada di alam ghaib memanggil-manggil ibunya Ceres. Ceres pun mencari-cari putrinya di alam nyata, dan suatu yang mustahil Proserpina akan diketemukan. Maka Ceres dalam kisah ini dinyatakan sebagai “A Fools Errand” yaitu orang yang melakukan tugas bodoh.
Maka di abad kemudian kisah ini dirayakan di Eropa setiap awal April.

2. Ada yang berpendapat bahwa April Mop dikenal ketika di abab 16 dimana pada masa itu terjadi pergantian bulan pertama dari April menjadi Januari. Ketika sosialisasi digalakan, ternyata masih ada orang-orang yang masih merayakan tahun baru di tanggal 1 April. Maka orang-orang ini disebut “April Fools” atau orang-orang yang tertipu di bulan April.

3. Pada sebagian kalangan kaum Nashrani, asal April Mop terkait dengan tanggal lahir dan kematian sang penghianat Yesus, Judas Iskariot.

4. Terlampir juga di sebagian literatur bahwa April Mop adalah perayaan kemenangan kaum Nashrani di negeri Andalus [Spanyol] ketika berhasil membantai sipil kaum muslimin dengan cara menipu.

Walhasil, dari beberapa versi yang ada, minimal dapat kita dapat ambil kesimpulan, di antaranya:

1. Perayaan April Mop bukan berasal dari Islam, April Mop berasal dari cerita konyol dan bodoh orang-orang penyembah dewa [baca: setan] atau dalam rangka memperingati seorang penghianat. Bahkan disebutkan merupakan perayaan atas menangnya tentara salibis dalam membantai muslimin.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya:“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, 3/50, dan Abu Dawud, no. 5021 dishahihkan oleh Syaikh al Albani).

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, apakah dengan dalih hiburan atau sekedar iseng, kita akan ikut-ikutan perayaan batil seperti ini?

Sungguh, seorang yang menjaga dan menghormati agamanya niscaya akan menjauhi perayaan ini.

2. Seperti yang telah kita ketahui, bentuk merayakan April Mop adalah dengan menebarkan kedustaan atau keisengan.

Perhatikanlah ancaman sabda Nabi shalallhu ‘alaihi wasallam kepada orang yang suka berdusta: “Hati-hatilah kalian dari kedustaan, karena kedustaan akan menghantarkan kepada kefajiran, dan kefajiran akan menghantarkan kepada neraka, dan tidaklah seorang yang berdusta akan terus dengan kedustaannya sampai Allah tetapkan dia sebagai pendusta” (HR. Muslim no: 2607).

Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin sangat menjaga umatnya dari perilaku yang tidak baik, oleh karenanya, tidak akan didapati dalam ajaran Islam suatu bentuk pelegalan perbuatan zhalim. Bahkan Islam sangat menganjurkan umatnya untuk senantiasa menebar kebaikan.

Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya: “ Dan berbuat baiklah, kerena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Al Baqarah: 195)

Nabi shalallhu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya: “Jagalah kalian dari api neraka, walaupun hanya bersedekah dengan sepotong kurma. Namun jika tidak mendapatkan sesuatu yang bisa disedekahkannya, hendaklah berucap dengan kata-kata yang baik” (HR. Bukhari no: 6023 dan Muslim no: 2346)

Maka sebagai nasehat bagi muslimin, kami berharap semoga tulisan ringkas ini bisa membendung ramainya budaya April Mop yang kian tahun kian marak.

Wallahu ‘alam.

*Tercatat tulisan ini setelah merasa bahwa kaum muda kini telah mulai merayakan budaya April Mop.

Tahan Lisanmu terhadap Shahabat Nabi!

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Ahlussunnah telah sepakat atas wajibnya menahan celaan kepada salah seorang dari kalangan shahabat nabi karena sebab apa yang terjadi pada mereka -yakni peperangan-, walaupun telah diketahui pihak mana yang benar,

Mereka tidaklah berperang kecuali karena berpegang kepada ijtihad, dan Allah telah mengampuni kesalahan dari ijtihad mereka.

Bahkan tak hanya itu, mereka (yang telah salah berijtihad) telah mendapatkan satu pahala, dan yang benar (ijthadnya) diganjar dengan dua pahala."
(Al Fath: 13/34, 42, 67).

(Dinukil dari Al Fawaidul Muntaqah min Fathil Bari-Syaikh Abdul Muhsin al 'Abbad, hal. 111).

Hadits Arbain no 4 (bag 2)

Hadits Arbain no 4
(Bagian kedua-selesai)

فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا

وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا                      
[رواه البخاري ومسلم]
"Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar untuk diibadahi selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan penduduk surga (amalan ketaatan) hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta, akan tetapi catatan takdir telah mendahuluinya, dia pun melakukan perbuatan penduduk neraka (amalan kemaksiatan) , maka masuklah dia ke dalam neraka.

Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan penduduk neraka (amalan kemaksiatan) hingga jarak antara dirinya dengan neraka tinggal sehasta, akan tetapi catatan takdir telah mendahuluinya, dia pun melakukan perbuatan penduduk surga (amalan ketaatan) , maka masuklah dia ke dalam surga.
(HR. Bukhari dan Muslim).
☆☆☆

Penjelasan hadits

Ibnu Daqiqil Ied menyatakan bahwa hal di atas adalah kejadian yang jarang terjadi dan bukanlah suatu kejadian yang memang sudah menjadi keumuman. (Syarah Arba'in).

Al Imam Nawawi menyatakan, "Di dalam hadits ini terdapat dalil untuk tidak memastikan seseorang itu masuk surga atau masuk neraka, walaupun dia telah mengamalkan seluruh amalan kebaikan atau dia telah mengamalkan seluruh amalan kejelekkan.
Dan jangan pula seseorang untuk menyandarkan dirinya semata-mata berdasarkan amalan atau merasa takjub dengan amalannya, karena dirinya tidak tahu bagaimana akhir hidupnya nanti. Akan tetapi hendaknya dia memohon perlindungan kepada Allah dari akhir hidup yang jelek (su'ul khatimah) dan balasan yang jelek." (Syarah Arba'in).

Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan hikmah pada hadits di atas, "Bahwa seseorang yang melakukan amalan penduduk surga (amalan ketaatan) dalam hadits di atas, itu adalah yang tampak pada manusia. Padahal pada hakikatnya dia tengah menyembunyikan suatu niat yang jelek.
Maka niat yang jelek itu terus menguasainya hingga akhirnya dia pun menutup hidupnya dengan akhir yang jelek (su'ul khatimah). Kami berlindung kepada Allah dari hal yang demikian." (Ta'liqat Arba'in).

Syaikh Ismail ibn Muhammad al Anshari menyatakan bahwa, "Hendaknya seorang pun janganlah tertipu dengan keadaan zhahirnya saja karena akhir hidup seseorang itu tidak diketahui. Oleh karenanya disyariatkan untuk berdoa untuk kokoh di atas agama dan mendapat akhir hidup yang baik (husnul khatimah). (At Tuhfatur Rabbaniyyah).

Syaikh Abdul Muhsin al Abbad menuturkan, "Sesungguhnya seorang insan wajib untuk berada di antara perasaan takut (khauf) dan perasaan harap (raja') karena ada sebagian manusia yang sepanjang hidupnya mengamalkan amalan baik, akan tetapi di akhir hayat hidupnya ternyata menutup dengan amalan yang jelek.
Seorang insan juga seyogyanya untuk tidak berhenti dari rasa harapan (mendapat kebaikan) karena terkadang ada seseorang yang dirinya telah menghabiskan sepanjang hidupnya dengan kemaksiatan, akan tetapi kemudian Allah menganugerahkan kepadanya suatu jalan petunjuk hidayah, sehingga dia pun mendapat petunjuk hidayah di akhir umurnya." (Fathul Qawil Matin).

Syaikh Shalih alu Syaikh menjelaskan makna petikan hadits yang menerangkan adanya seorang yang melakukan perbuatan penduduk surga (amalan ketaatan), ini adalah apa yang terlihat pada zhahirnya.
Adapun di dalam hatinya, maka Allah lah yang tahu sebagaimana kita tidak tahu, bahwa ternyata di dalam hati mereka tengah menyimpan penyimpangan. Maka Allah sesatkan hati-hati mereka.
Kita meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Allah telah memutuskan dengan keadilan, dan tidak akan mungkin untuk menzhalimi manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itu lah yang menzhalimi dirinya sendiri." (Syarah Arba'in).

Selesai.
Wallahu alam.

Rujukan:
1. Syarah Arba'in Imam Ibnu Daqiqil Ied
2. Syarah Arba'in Imam an Nawawi
3. Ta'liqat Ahaditsil Arba'in Syaikh Ibnu Utsaimin
4. Syarah Arba'in Syaikh Ibnu Utsaimin
5. Syarah Arba'in Syaikh Shalih alu Syaikh
6. Al Minhatur Rabbaniyyah fi Syarhil Arba'in Syaikh Shalih Fauzan
7. Fathul Qawil Matin fi Syarhil Arba'in Syaikh Abdul Muhsin al 'Abbad
8. At Tuhfatur Rabbaniyyah fi Syarhil Arba'in Syaikh Ismail ibn Muhammad al Anshari.