Jumat, 28 Oktober 2016

Dua Faidah Tidur

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Tidur itu memiliki dua faidah:

Pertama, menenangkan anggota badan dan melapangkannya.

Kedua, mengurai gizi dan mencerna makanan."

(Mukhtarat min Kitabi Zadil Maad-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 209, cet. Muassasatu asy Syaikh 1434H).

Sayangi Mahrammu dengan Tidak Mengumbar Pandangan

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Jika engkau memandang kepada mahram-mahramnya manusia, maka sepungguhnya nanti manusia pun akan melihat mahram-mahrammu.

Karena engkau telah melanggar kehormatan mereka, niscaya orang-orang pun akan melanggar kehormatan dirimu.

Yang lebih parah dari itu -wal iyadzu billah- adalah ketika dirimu melakukan perbuatan fahisyah (kenistaan) bersama wanita orang lain (yang tidak halal untuk dirimu) maka sebagai balasannya, orang-orang pun nanti akan melakukan perbuatan fahisyah tersebut dengan wanita-wanita mahrammu".

(Lihat Ittihafuth Thullab bi Syarhi Manzhumatil Adab-Syaikh Shalih Al Fauzan, hal. 92, cet. Darul Hikmah 2009).

Penuntut Ilmu Jangan Hasad

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dalam Kitabul Ilmi (hal. 74) berkata, "Hasad adalah suatu perangai yang tercela.

Yang disayangkan, bahwasanya hasad banyak terjadi di antara kalangan ulama dan kalangan para penuntut ilmu. Terjadi pula hasad di antara para pedagang satu dengan pedagang yang lainnya.

Setiap masing-masing memiliki ujian yang bisa membuat hasad bagi yang menjalani satu bagian aktifitas bersama di dalamnya.

Akan tetapi sangat disayangkan, hasad yang terjadi pada kalangan ulama itu lebih tercela, hasad yang terjadi antar penuntut ilmu itu lebih tercela, padahal sebagai penyandang ilmu harusnya dia menjadi manusia yang lebih terjaga dan terjauh dari sifat hasad dan menjadi manusia yang lebih dekat kepada kesempurnaan akhlak."

(Dinukil dari Ash Shawarif anil Haq-Hamd Ibrahim al Utsman, hal. 46.)

Rabu, 26 Oktober 2016

Bagaimana Caranya Bisa Bersyukur ketika Mendapat Musibah

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjawab, "Bahwasanya bisa terwujud dengan beberapa cara, diantaranya:

1. Dengan membandingkan kepada musibah yang lebih besar, yaitu dengan membandingkan antara musibah yang mengenai dunia kepada musibah yang mengenai akhirat. Maka dengan cara ini akan menjadi lebih ringan dan akan mendorong rasa bersyukur kepada Allah yang tidak menjadikan musibahnya menjadi lebih parah.

2. Mengharap pahala kepada Allah atas musibah yang mengenanya, karena semakin besar musibah yang didapat maka semakin besar pula ganjaran yang didapat. Oleh karenanya disebutkan dari para ahli ibadah bahwasanya ketika mereka mendapatkan musibah, tidaklah didapati pada mereka keluhan. Ketika ditanyakan kepada mereka tentang hal ini (tidak mengeluhnya mereka), mereka menjawab: "Sesungguhnya manisnya ganjaran (pahala) dari musibah telah melupakanku dari pahitnya kesabaran suatu musibah."

(Disadur dari Nida'atu Rabbil Alamin-Syaikh Utsaimin, hal. 17, cet. Darul Iman 2004).

Allah Tidak Bisa Dilihat di Dunia tapi di Akhirat Bisa

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "... Tidak ada seorang pun yang mampu untuk melihat Allah ketika di dunia ini karena Allah terhijabi oleh cahaya.

Nabi pernah ditanya perihal malam mi'raj, "Apakah engkau melihat Rabb-mu? Nabi menjawab, "Sesungguhnya aku hanya melihat cahaya." (HR. Muslim).
Hal ini dikarenakan terhijabinya Allah taala dengan cahaya.

Maka tidak ada seorangpun yang mampu melihat Allah ketika di dunia ini bahkan tidak pula nabi atau yang selainnya, karena makhluk tidak akan mampu melihat Allah dikarenakan keagungan-Nya.
...

Kemudian Syaikh melanjutkan pada paragraf akhir, "... Adapun di akhirat sesungguhnya Allah akan memberikan bagi penduduk surga sebuah kekuatan yang membuat mampu bagi mereka untuk melihat Allah taala.

Ini merupakan bagian kemuliaan untuk penduduk surga ketika mereka mengibadahi Allah di dunia dalam keadaan mereka tidak melihat Allah. Akan tetapi mereka mengibadahi Allah karena keimanannya kepada Allah.

Maka Allah pun memuliakan penduduk surga dengan penyingkapan (hijab) bagi mereka di hari kiamat ketika di dalam surga dengan melihatNya."

(Syarhu Ushulil Iman-Syaikh Shalh Fauzan, hal. 43-44, cet. Dar Imam Ahmad 2011)

Kematian yang Dekat di Hati=Qana'ah

Jika kita merasa selalu merasa kurang dan selalu kurang dalam urusan dunia, coba kita resapi dan amalkan nasehat di bawah ini:

Umar ibn Abdil Aziz rahimahullahu berkata, "Barangsiapa yang rasa kematian itu dekat pada hatinya niscaya akan terasa banyak apa yang ada di tangannya."
(Hilyatul Aulia-Abu Nu'aim al Ashbahani, jil. 5, hal. 792, cet. Maktabah Ath Thayyiaah)

Kesempurnaan Petunjuk Nabi dalam Perkara Makan dan Minum

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Petunjuk nabi dalam hal makanan dan minuman adalah selengkap-lengkapnya petunjuk.

Rasulullah tidak pernah dalam kebiasaannya untuk menahan (memantang) satu jenis makanan tertentu dan tidak pula terus-terusan memakan makanan tertentu.

Akan tetapi rasulullah memakan makanan yang memang dikonsumsi oleh penduduk negerinya, yang terdiri dari daging, buah-buahan, kurma, roti dan yang semisalnya.

Dan adalah rasulullah jika dirinya enggan terhadap suatu makanan maka beliau tidak memakannya, karena efek negatifnya bagi badan lebih banyak dibandingkan dengan manfaatnya."

(Mukhtarat min Zaadil Ma'ad-Syaikh Utsaimin, hal. 207, cet. Muassasah Asy Syaikh 1434H)

Minggu, 23 Oktober 2016

Mungkin Ini Sebab Diri Kita Terlalu Malas untuk Beramal Shalih

Ishaq ibn Ibrahim pernah mendengar bahwa Fudhail ibn Iyadh berkata, "Jika engkau tidak mampu untuk menegakkan shalat malam dan berpuasa di siang hari maka ketahuilah bahwa dirimu telah terhalang karena terbelenggu oleh belenggu dosamu."

(Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi jil. 2 hal. 238, cet. Darul Wa'i 1389H).

Perbanyaklah Amal, Jangan Banyak Debat!

Imam al Auza'i rahimahullahu berkata, "Telah sampai kepadaku bahwasanya jika Allah hendak menginginkan kejelekkan pada sebuah kaum maka mereka akan selalu berdebat dan tercegah dari amalan."

(Siyar Alamun Nubala 12/79. Dinukil dari An Nubadz fi Adab-Hamd Ibrahim al Utsman, hal. 137, cet. Maktabah Ibnul Qayyim 2002)

Dua Jenis Orang yang Tidak Mau Belajar Tauhid

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Sudah menjadi suatu keharusan bagi seseorang untuk mempelajari tauhid, karena tauhid adalah sebuah pondasi.

Orang yang merasa tidak butuh pada pelajaran tauhid bisa jadi salah satu dari dua orang berikut ini:

Bisa jadi orang bodoh, dan orang bodoh tentunya tidak kita anggap (tidak digubris)

Atau bisa jadi orang ini adalah orang yang memang tujuannya menyesatkan manusia.

Orang ini menginginkan agar manusia berpaling dari aqidah tauhid dan dia menginginkan agar aqidah-aqidah yang menyimpang bisa diperkenalkan ke tengah-tengah manusia sebagai bagian dari ajaran islam. Dan aqidah-aqidah mereka adalah aqidah yang rusak..."

(Terjemah bebas dari Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh al Fauzan, jil. 1, hal. 25, cet. Darul Bashirah 2009).

Pentingnya Taqwa

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Tidak ada di antara Allah dengan hamba-Nya sebuah hubungan melainkan dengan ketakwaan.

Barang siapa yang paling bertaqwa maka dia lah yang paling dekat dengan Allah dan di sisi Allah dia seorang yang mulia.

Maka kalau begitu, janganlah engkau merasa sombong dengan hartamu, rupamu, badanmu, anak-anakmu, istanamu, kendaraanmu dan segala sesuatu yang bersifat keduniawian semata selamanya.

Jika Allah memberikan taufik kepadamu untuk bertaqwa maka ini adalah sebuah keutamaan atas dirimu, dan hendaknya engkau memuji Allah akan hal ini."

(Lihat Syarh Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 39, cet. Dar Ibnul Jauzi 2006)

Serius dalam Mendidik

Ikrimah rahimahullah adalah seorang murid dari shahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, beliau pernah bercerita tatkala mengenang masa belajarnya bersama Ibnu Abbas radhiallahu anhuma.

Ikrimah menuturkan, "Dahulu Ibnu Abbas mengikat kedua kakiku dengan rantai ketika beliau mengajariku Al Qur'an dan Ilmu Waris.
(Hilyatul Aulia-Abu Nu'aim 3/326. Dinukil dari An Nubadz fi Adabi
Thalabil Ilmi-Hamd Ibrahim al Utsman, hal. 104, cet. Maktabah Ibnul Qayyim 2002).

Inilah kesungguhan Ibnu Abbas dalam mengajari anak didiknya.

Apakah kita sudah serius dalam mendidik anak-anak kita?

Ataukah kita biarkan saja anak-anak kita lalai tanpa belajar?

Ingat, dia yang menanam, dia pula kelak yang memanen.

Allahu musta'an.

Kekuatan dari Sebuah Amalan dan Kekuatan dari Seorang Mukmin

Yahya ibn Muadz rahimahullah berkata, "Kekuatan dari amalan-amalan berada di dalam kejujuran tekad".
(Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi, jil. 4, hal. 340, cet. Darul Ma'rifah)

Ubaidillah ibn Syamith rahimahullah berkata bahwa ayahnya berkata, sesungguhnya Allah menjadikan kekuatan seorang muslim berada di hatinya dan tidak menjadikannya berada di fisiknya.

Tidakkah engkau melihat bahwasanya ada seorang yang sudah tua dan lemah tapi bisa berpuasa dengan rutin dan bisa melakukan shalat malam sedangkan seorang pemuda tidak mampu dari hal yang seperti itu?"

(Hilyatul Aulia-Abu Nua'im al Ashbahani, tahdzibnya jil 1, hal. 480, cet. Darul Qalam).

Sampai pun ketika Menafkahi Diri Sendiri


Niat. Lagi-lagi niat.
Terkadang kita -bahkan mungkin sering- lalai dengan perkara yang satu ini. Padahal kedudukan niat sangat penting bagi kita agar aktifitas yang tengah kita lakukan bisa memiliki bobot kualitas yang mantap, yakni mendapat nilai ibadah di sisi Allah subhanahu wa ta'ala.

Di antara perkara yang seharusnya menjadi perhatian bagi kita adalah meniatkan ibadah ketika menafkahi diri sendiri, Syaikh Ibnu Utsaimin menasehatkan, "Bahwasanya jika seseorang mengeluarkan sebuah nafkah, maka seyogyanya nafkah tersebut diperuntukan niatnya karena mengharap wajah Allah saja (ikhlas), karena dengan hal ini niscaya nafkah yang tengah dikeluarkan akan diganjar pahala oleh Allah.

Bahkan nafkah-nafkah yang dikeluarkan untuk keluarganya dan istrinya, juga nafkah yang dikeluarkan untuk dirinya sendiri, jika semuanya itu dilakukan karena mengharap wajah Allah (ikhlas), maka Allah akan mengganjar nafkahnya dengan pahala."
(Lihat Syarh Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 37, cet. Dar Ibnul Jauzi 2006)

Semoga Allah senantiasa memudahkan kita untuk selalu bisa menghadirkan keikhlasan di dalam setiap amal ibadah, amin.

Sedikit Menengok Potret Salaf dalam Belajar


Al Hafizh Ja'far ibn Durustuwiyah, salah seorang murid dari Al Imam Ali ibnul Madini al Bashri rahimahullahu pernah mengisahkan tentang majelis syaikhnya, Ali ibnul Madini.

Beliau bercerita, "Dahulu jika ingin bermajelis di majelisnya Imam Ibnul Madini, kami akan mendatanginya di waktu ashar, padahal majelis akan dibuka pada esok harinya.

Kami pun duduk menunggu sepanjang malam di tempat kami karena khawatir jika tidak melakukan hal ini niscaya kami besok tidak mendapat tempat untuk mendengar hadits-hadits dari syaikh.

Aku melihat di majelis salah seorang yang sudah tua ikut menunggu di depan, sampai buang air kecil dia tunaikan di tempatnya karena khawatir tempatnya akan diambil orang lain jika dia meninggalkan tempatnya tersebut ketika buang air kecil."

(Silahkan lihat Al Jamiu li Akhlaqir Rawi-Khathib al Baghdadi 2/138 dan Al Adabusy Syariah-Ibnu Muflih 2/148).

Berharap Pahala dan Menunggu Jalan Keluar

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "... Sabar itu adalah perkara yang berat di jiwa, akan tetapi seorang insan wajib untuk bersabar.

Oleh karenanya barang siapa yang tidak diberikan anugerah untuk bersabar niscaya dia akan kehilangan kebaikan yang banyak.

Orang yang bersabar juga pada umumnya menunggu datangnya jalan keluar, terlebih jika sabarnya diiringi dengan keikhlasan dan niat yang baik maka penantiannya terhadap adanya jalan keluar, teranggap sebagai ibadah dan pintu untuk datangnya jalan keluar berdasar sabda nabi, "Ketahuilah sesungguhnya pertolongan itu ada bersama kesabaran, dan datangnya jalan keluar (solusi) ada bersama kesulitan, dan pada kesulitan itu terdapat kemudahan."

Karena jika seorang sedang menunggu datangnya jalan keluar niscaya menapaki kesabaran baginya akan terasa ringan.

Dia pun akan berharap bahwa problema-problema yang ada akan segera lewat, dan dia akan hadapi permasalahan pada tempat yang tepat.

Jika dia dengan keadaannya bersikap harap akan pahala di akhirat dan mempunyai sikap harap akan datangnya jalan keluar di dunia, maka akan terasa mudahlah baginya untuk menapaki kesabaran."

(Terjemah bebas dari Nidaatu Rabbil Alamin-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 11, cet. Darul Iman 2004).

Maksiat Tetap Maksiat Walau Dikerjakan di Tempat Sepi

Berkata Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu, "Seorang mukmin hendaknya bertakwa kepada Allah secara zhahir dan batin.

Bertakwa kepada Allah di jalan dan bertakwa kepada Allah di rumah, bertakwa di manapun dia berada.

Bertakwa kepada Allah di waktu siang dan bertakwa kepada Allah di waktu malam.

Bertakwa di waktu terang dan bertakwa di waktu gelap.

Karena sesungguhnya dia senantiasa bersama Allah subhanahu yang tidak ada sesuatu apapun akan tersembunyi bagi-Nya.

Bukanlah yang dimaukan bagi seorang insan menjauhi kemaksiatan itu ketika di waktu yang terbuka saja, namun ketika di waktu sepi sendiri terdapat toleransi untuk bermaksiat.

Tidak! Perkara yang haram tetap haram bagaimana pun keadaannya.

Rabb adalah Rabb subhanahu, Dzat yang memperhatikan setiap kejadian yang zhahir dan yang batin, tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi bagi-Nya subhanahu wa ta'ala.

Apapun usaha kalian untuk menyembunyikan kemaksiatan, ketahuilah niscaya hal tersebut tidak akan tersembunyi bagi Allah.."

(Silahkan lihat Ianatul Mustafid-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 37, cet. Muassasatur Risalatin Nasyirun 2013).

Jika Mengetahui al Haq (kebenaran) Maka Segera Ikuti

Syaikh Shalih Fauzan hafizahullahu berkata, "... Sampaipun jika ada pada sebagian penuntut ilmu ketika dikatakan kepadanya: "Engkau telah salah, dan dalilnya adalah ini." Lalu penuntut ilmu ini tidak mau menerimanya, maka ini termasuk kepada kesombongan, karena wajib atas seorang muslim jika telah jelas kepadanya sebuah kebenaran, hendaknya dia bersegera untuk mengambilnya.

Jika dia telah mengetahui suatu ilmu tentang kebenaran dan dia tidak mau mengambilnya (mengikutinya) maka dia (dikhawatirkan) akan terjatuh kepada az zaigh (penyimpangan), wal 'iyyadzubillah.

Oleh karenanya Allah berfirman,
{ فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ }
Artinya: Ketika mereka berpaling (dari al haq), Allah pun palingkan hati-hati mereka. (QS. Ash Shaff: 5)

{ وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ }
Artinya: Dan Kami palingkan hati-hati dan pandangan-pandangan mereka sebagaimana mereka tidak beriman kepadanya (Al Qur'an) pada awal kali. (QS. Al An'am: 110)

Maka bagi yang telah jelas kepada mereka al haq (kebenaran) sedangkan mereka tidak mau menerimanya maka dikhawatirkan akan tertutup hatinya dan akan menjadi orang yang tidak mau kepada al haq (kebenaran) sebagai balasan atas (sikap) mereka."

(Syarhul Kabair-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 32, cet. Darur Risalah al Alamiyah 2012)

Sulaiman at Taimi Menyesal karena Telah Menyalami Orang Sesat

Said ibn Amir rahimahullah bercerita bahwa dirinya pernah mendapati Sulaiman at Taimi rahimahullah sakit.

Tiba-tiba Sulaiman menangis dengan tangisan yang sangat.

Maka Sulaiman pun ditanya, "Mengapa engkau menangis? Apakah engkau merasa resah dengan kematian?

Sulaiman menjawab, "Tidak. Hanya saja aku pernah melewati seorang qadari (orang yang berpemahaman qadariyyah/penolak takdir) kemudian aku pun memberi salam kepadanya. Maka aku takut nanti Rabb-ku akan menghisabku karena hal ini."
-selesai-


Allahu akbar..
Pembaca yang dirahmati Allah, kalau hanya menyalami seorang qadari saja seorang Sulaiman at Taimi takut dihisab, bagaimana lagi dengan orang yang duduk satu majelis bersama atau berteman dengan berbagai orang-orang sesat lainnya semisal syiah rafidhah, khawarij teroris isis, komunis dll?

Laa haula wala quwwata illa billah..

(Kisah Sulaiman at Taimi bisa dilihat di Hilyatul Aulia-Abu Nu'aim al Ashbahani. Dinukil dari At Tahdzibukt Maudhu'i li Hilyatil Aulia, hal. 28, cet. Daruth Thayyibah 2005).

Memetik Pelajaran dari Ibadahnya Al Ahnaf ibn Qais

Ada seorang yang melihat Al Ahnaf ibn Qais rahimahullah sudah tua akan tetapi masih suka berpuasa dan menjaga shalat malam, dia pun memberi masukan kepada beliau, "Sesungguhnya engkau telah tua, dan puasa membuat badanmu lemah."

Maka al Ahnaf menjawab, "Sesungguhnya aku sedang mempersiapkan diri untuk sebuah safar yang panjang (ke negeri akhirat)."

Subhanallah, jawaban yang sungguh ringkas, tapi mengena bagi orang-orang yang mau berpikir.

Siang dan malam beribadah kepada Allah karena berharap selamat di negeri akhirat. Tiada yang lain.

Itulah keikhlasan!

Lalu, bagaimana dengan kita?

Sepertinya kita adalah orang yang sedikit ibadah, itu pun perlu dikoreksi lagi apakah yang sedikit itu untuk akhirat (ikhlas karena Allah) ataukah untuk dunia.

Nastaghfirullah..

(Kisah Al Ahnaf bisa dilihat di Siyar A'lamun Nubala-Imam adz Dzahabi, jil. 4, hal. 91, cet. Muassasah ar Risalah, Beirut 1991)

Keutamaan Menuntut Ilmu di Zaman ini

Khathib al Baghdadi rahimahullahu dalm Syarafu Ashabil Hadits mengatakan, "Menuntut ilmu hadits di zaman ini lebih afdhal dari seluruh jenis amalan-amalan yang mustahab karena hilang dan lenyapnya sunnah-sunnah nabi. Dan tampaknya bid'ah dan tingginya pelaku bid'ah."

(Dinukil dari An Nubadz fi Adabi Thalabil Ilmi-Hamd Ibrahim al Utsman, hal. 102, cet. Maktabah Ibnil Qayyim 2002).

Shalat Berjama'ah di Masjid


Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali berkata, "Masjid-masjid adalah termasuk dari syiar-syiar islam.

Shalat di dalam masjid-masjid secara berjama'ah dan berkumandangnya adzan juga termasuk dari syiar-syiar islam yang agung.

Meninggalkan shalat di masjid secara berjama'ah adalah termasuk dari tanda-tanda kenifakan, wai 'iyyadzu billah."

(Makanatush Shalah fil Islam-Syaikh Rabi al Madkhali, hal. 9, cet. Miratsun Nabawi 2014).

Taat Pemerintah

Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu berkata, "Kami wasiatkan agar kalian dengar dan taat kepada pemerintah karena dengan menaati mereka niscaya kehidupan kaum muslimin akan teratur dan akan terwujud kesatuan kalimat.

Jika kalian bertaqwa kepada Allah dan menaati pemerintah, maka hal ini akan mengumpulkan kebaikan yang banyak.

Seringnya kalian tidak menaati pemerintah adalah termasuk dari sebab ketidakbahagiaan, wal 'iyyadzu billah.

Jika penguasa kita adalah seorang yang adil, maka memang inilah yang kita inginkan.

Akan tetapi jika penguasa kita bukan seorang yang adil maka kemaslahatan (kebaikan) yang besar adalah tetap bersama (menaati) mereka walau mereka seorang yang bermaksiat.

Mereka ditaati di dalam perkara ketaatan kepada Allah dan mereka tidak ditaati di dalam perkara kemaksiatan kepada Allah.

Akan tetapi jika mereka tidak selaras dengan ketaatan kepada Allah, kita tidak boleh memberontak kepada mereka karena memberontak hanya akan menghasilkan berbagai kejelekkan di dalam perkara dunia dan perkara agama, yang tidak ada yang tahu kejelekkan-kejelekkan itu nanti bagaimana bentuknya kecuali hanya Allah yang tahu.

Perhatikanlah oleh kalian negeri-negeri yang di sana terdapat pemberontakan dan kudeta! Bagaimana kita bisa hidup di dalam suasana kekacauan, kemarahan dan pertumpahan darah? Wai 'iyya dzubillah.

Seharusnya ini menjadi pelajaran bagi orang yang bisa mengambil pelajaran."

(Disadur dari Syumuliyatu wa Kamalur Risalah al Muhammadiyyah-Syaikh Rabi al Madkhali, hal. 30-31, cet. Miratsun Nabawi 2012).

Selasa, 18 Oktober 2016

Meneteskan Air Mata di Kesendirian Malam


Seorang lelaki yang mengingat Allah di kesendirian hingga meneteskan air mata.

Dia lah orang yang dijanjikan oleh Allah dengan naungan-Nya di hari kiamat kelak di saat tiada naungan kecuali naungan Allah.

Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu menerangkan, "Yakni orang yang mengikhlashkan (amalannya) hanya kepada Allah azza wa jalla, tidak mau amalannya terlihat kecuali Allah saja yang melihatnya.

Ketika dia mengingat keagungan Allah dan kemuliaan-Nya. Mengingat siksaan-Nya dan kenikmatan-kenikmatan (yang telah diberikan-Nya), maka dia pun menangis dan takut dari kemurkaan Allah dan adzab-Nya.

Dia menangis pula di waktu yang sama dengan merasakan kenikmatan karena rahmat Allah serta dengan penuh rasa cinta dan rindu untuk melihat wajah Allah subhanahu wa ta'ala."

(Syumuliyatu wa Kamalur Risalatil Muhammadiyyah-Syaikh Rabi al Madkhali, hal. 26, cet. Miratsun Nabawi 2012).

Minggu, 09 Oktober 2016

Hatinya Terkait kepada Masjid


Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, ada tujuh golongan yang kelak di hari kiamat akan mendapatkan naungan Allah di saat tiada naungan kecuali naungan-Nya. Salah satunya adalah seorang lelaki yang hatinya senantiasa terkait kepada masjid.

Syaikh Rabi ibn Hadi hafizhahullahu menerangkan, ".. Ini adalah suatu amal nyata yang sangat agung dan bukanlah hal ini suatu yang mudah.

Dia tidak merasa senang kecuali dirinya berada di rumah dari rumah-rumah Allah (masjid).

Di dalam masjid dia membaca Al Qur'an, berdoa kepada Allah, berdzikir kepada Allah dan beribadah dengan menegakkan shalat.

Dia tidak senang dan lapang kecuali ketika dirinya berada di dalam rumah dari rumah-rumah Allah (masjid).

Adapun manusia, mereka mengaitkan (hatinya) kepada dunia. Ada yang terkait dengan keluarganya, ada yang terkait dengan kantornya, ada yang terkait dengan tugasnya, ada yang terkait dengan perdagangannya, ada yang terkait dengan usahanya.

Akan tetapi di antara manusia tersebut, seorang lelaki ini terbedakan, karena hatinya terkait kepada masjid.

Ini adalah kebiasaan yang sangat agung bagi yang melakukannya dan yang demikian itu menjadikan termasuk dari tujuh (golongan yang mendapat naungan Allah).

Ketika orang yang gemar ibadah dan orang shalih ini tidak tersibukkan dengan ghibah, namimah dan menjauhi perkara-perkara yang haram, maka siapa yang memiliki sifat ini -yakni yang hatinya senantiasa terkait kepada masjid- insya Allah dia akan jauh dari kemurkaan Allah azza wa jalla."

(Syumuliyatu wa Kamalur Risalah al Muhammadiyyah-Syaikh Rabi al Madkhali, hal. 25, cet. Miratsun Nabawi 2012).

Janji Allah kepada Pemuda yang Senantiasa Beribadah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyatakan bahwa salah satu di antara tujuh orang yang kelak mendapatkan naungan Allah di hari kiamat adalah seorang pemuda yang menghidupkan dirinya dengan ibadah kepada Allah.

Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu menerangkan, "Yakni seorang pemuda yang selamat dari bid'ah dan kesesatan-kesesatan.

Ibadahnya benar (sesuai tuntunan sunnah nabi).

Hidupnya senantiasa lurus (di atas kebenaran).

Jauh dari kemaksiatan dan syahwat-syahwat.

Kehidupannya penuh dengan ibadah kepada Allah, menjadi orang yang selalu beribadah kepada Allah.

Maka dia pun menjadi orang yang dipuji di sisi Allah, menjadi orang yang dicinta di sisi Allah.

Allah pun menjanjikan bagi pemuda ini dengan janji yang agung, yakni akan mendapat naungan Allah di hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya."

(Syumuliyatu wa Kamalur Risalah al Muhammadiyyah-Syaikh Rabi al Madkhali, hal. 24, cet. Miratsun Nabawi 2012).

Tunduk Kepada Rasul


إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَهُمُ الْمُفْلِحُون
Artinya: "َHanya saja jawaban orang-orang mukmin itu bila diseru kepada Allah dan rasul-Nya agar dihukumi di antara mereka (ketika berselisih diputuskan dengan hukum syariat), ucapan mereka adalah: "Kami mendengar dan kami taat". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."
(QS. An Nuur: 51)

Berkata Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu, "Dengan ini (menunjukkan) sebuah ruh yang baik adalah ruh yang menerima (keputusan) karena Allah.

Sebuah ruh yang bersegera untuk taat kepada Allah dan taat kepada rasul-Nya.

Orang-orang pertama yang melakukan ketaatanlah adalah orang-orang yang pantas untuk memetik janji Allah sebagai orang-orang yang beruntung.

Tiada keberuntungan dan tiada kebahagiaan bagi manusia di dunia ini seluruhnya kecuali dengan:
1. Membenarkan rasul shallallahu alaihi wasallam
2. Mengikutinya
3. Menerima dakwahnya
4. Tunduk patuh kepada perintahnya alaihish shalawatu wassalam."

(Syumuliyatu wa Kamalur Risalah al Muhammadiyyah-Syaikh Rabi al Madkhali, hal. 11, cet. Miratsun Nabawi 2012).

Allah Tidak Butuh Dirimu, Tapi Dirimulah yang Butuh Allah


{وَقَالَ مُوسَىٰ إِنْ تَكْفُرُوا أَنْتُمْ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيد}
Artinya: "ٌMusa berkata, "Jika engkau dan orang-orang yang ada di bumi semuanya kufur maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
(QS. Ibrahim: 8)

Berkata Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu, "Kemaksiatan seorang yang bermaksiat itu tidaklah merugikan Allah, demikian pula ketaatan orang yang melakukan ketaatan itu tidaklah memberikan manfaat bagi Allah.

Ketaatan itu hanya bermanfaat bagi hamba yang melakukannya dan kemaksiatan itu hanya merugikan bagi hamba yang berbuat maksiat itu sendiri."

{إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ}
Artinya: "ِJika engkau kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu."
(QS. Az Zumar: 7).

(Ianatul Mustafid-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 27, cet. Muassasatur Risalatin Nasyirun 2013).

Shadaqah kepada Keluarga yang Terdekat

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Bershadaqah kepada kerabat yang dekat itu lebih afdhal (utama) dibanding kepada yang jauh karena shadaqah kepada kerabat yang dekat merupakan shadaqah dan juga bentuk menyambung (silaturahmi)."

(Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 30, cet. Dar Ibnil Jauzi 2006)

Malu Menuntut Ilmu, Jangan!


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Malu yang tercela adalah malu dari thalabul ilmi (menuntut ilmu) dan yang semisalnya.

Atau juga malu dari menampakkan al haq (kebenaran), ini adalah malu yang tercela.

Oleh karenanya Ummu Sulaim radhiallahu anha (ketika ingin bertanya sesuatu yang dianggap tabu) berkata kepada nabi shallallahu alaihi wasallam, "Wahai rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu kepada al haq.." Kemudian beliau pun bertanya.

Maka hal itu menunjukkan bahwasanya jika engkau diam karena malu niscaya malu yang seperti itu adalah malu yang tercela.."

(Syarh Shahih Bukhari-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 51, cet. Maktabah at Thabari 2007).

Berpenampilan Indah tidak Menafikan Kezuhudan


قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Artinya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk rupa kalian dan tidak juga harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati kalian dan amal-amal kalian". (HR. Muslim 2564).

Syaikh Shalih Fauzan hafizahullahu berkata, "Bukanlah maknanya seseorang itu tidak boleh memperindah diri atau mencari rezeki, akan tetapi maknanya adalah hendaklah memperindah diri tanpa ada rasa sombong.

Silahkan seseorang untuk memperindah dirinya pada perkara pakaiannya, tubuhnya dan penampilannya karena Allah itu Maha Indah dan menyukai hal yang indah.

Sifat sombong itu adanya di hati dan bukan di jasad..."

(Syarhul Kabair-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 30, cet. Darur Risalah al Alamiyah 2012)

Kamis, 06 Oktober 2016

Jangan Sampai Allah Tidak Membantumu


Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, "... Sesungguhnya seluruh orang-orang bijak menyepakati bahwa makna taufik adalah bahwa engkau tidak diserahkan begitu saja oleh Allah kepada dirimu sendiri.

Adapun makna kerendahan adalah bahwa Allah menyerahkan engkau kepada dirimu sendiri.

Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan pada seorang hamba maka Allah akan membukakan baginya pintu merasa hina dan menyesal sehingga dirinya terus menerus bermunajat dan merasa butuh kepada Allah. Juga dirinya dapat melihat aib-aibnya sendiri, kebodohannya, kezhalimannya dan musuh-musuh di dalam dirinya sendiri.

Ini Allah tampakkan sebagai bentuk keutamaan dari Rabb-nya, kebaikan-Nya, rahmat-Nya, kedermawanan-Nya, kebajikan-Nya, kekayaan-Nya dan terpuji-Nya subhanahu wa ta'ala."

(Syarhul Wabilisi Shayyib-Syaikh ibn Baz, hal. 7, cet. Darul Istiqamah 2013)