Senin, 16 Januari 2017

Imlek Bukan Sebab Hujan

"Eh, hujan..", seorang berkata spontan seiring dengan turunnya hujan. Saat itu juga kawannya menimpali, "Iya nih, mau imlek mah emang begini, hujan terus..".

Penggalan dialog di atas atau yang semakna, menjelang imlek kerap kita dengar. Selalu saja hujan dihubung-hubungkan dengan imlek, padahal keyakinan ini sangat berbahaya, karena keyakinan seseorang yang mengaitkan turunnya hujan dengan imlek sudah menyentuh ranah akidah. Rasulullah mengkabarkan tentang kufurnya seorang yang menyandarkan turunnya hujan dengan keberadaan bintang. Di dalam hadits qudsi disabdakan bahwa Allah berfirman,
"أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ، فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا، فَذَلِكَكَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ.“
Artinya, "Di antara hamba-Ku ada yang menjadi beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir. Adapun yang mengatakan, "Kami telah diberi hujan karena keutamaan dan rahmat Allah", maka itulah orang yang beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang-bintang. Sedangkan bagi yang mengatakan, "Kami telah diberi hujan dengan bintang ini dan bintang itu,’ maka itulah orang yang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’” [HR. Bukhari dan Muslim].

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata tentang hadist diatas, "Dahulu orang-orang jahiliyah menisbatkan hujan kepada terbit atau terbenamnya suatu bintang. Mereka menyangka bahwa jika ada bintang tertentu yang terbit atau tenggelam maka akan turun hujan.
Mereka berkeyakinan bahwa hujan yang turun adalah karena sebab adanya bintang tersebut dan tidak dinisbatkan kepada Allah ta'ala. Ini merupakan kekufuran karena mereka menyandarkan nikmat kepada makhluk dan ini adalah bentuk kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta'ala, yakni kesyirikan dalam hal rububiyyah. Dan setiap orang musyrik adalah kafir.
Dan dalam hadits ini juga terdapat dalil tentang kufurnya seorang yang menyandarkan turunnya hujan dengan sebab bintang atau dengan pengaruhnya, karena turunnya hujan hanyalah dengan sebab dari takdir Allah subhanahu wa ta'ala saja dan Allah adalah Dzat yang menurunkan hujan kapan saja dan dimana saja dan Allah juga lah yang menahan hujan kapan saja dan dimana saja. Allah lah yang mengaturnya, subhanahu wa ta'ala". (Ianatul Mustafid, hal. 385-386, cet. Muassasatur Risalah 2013).

Mudah-mudahan sedikit penjelasan di atas bisa memberikan manfaat. Wallahu alam.

Tomboy dan Banci Terancam Laknat


Shahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata,
<< لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبِسُ لِبْسَةَ المَرْأَةِ، وَالمَرْأَةَ تَلْبِسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ >>
Artinya: "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat seorang lelaki yang memakai pakaian wanita, dan (melaknat) seorang wanita yang memakai pakaian lelaki." (HR. Abu Dawud dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al Albani di dalam Shahih Sunan Abu Dawud dan Syaikh Muqbil di dalam Jami'ush Shahih).

Terkait hadits di atas Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Laknat adalah mengeluarkan dan menjauhkan seseorang dari rahmat Allah. Yaitu ketika seorang lelaki menyerupai seorang wanita di dalam pakaiannya, terlebih lagi ketika itu adalah perkara yang haram seperti pakaian sutra atau emas.

Termasuk juga ketika seorang lelaki menyerupai wanita di dalam berbicaranya agar suaranya mirip atau melakukan sesuatu yang dikhususkan untuk seorang wanita, maka sesungguhnya lelaki tersebut terlaknat sebagaimana seperti yang ternyatakan oleh lisan makhluk yang paling mulia. Dan kami pun melaknat siapa-siapa yang dilaknat oleh rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Seorang lelaki yang menyerupai seorang wanita dia terlaknat sebagaimana wanita juga jika menyerupai seorang lelaki maka dia pun terlaknat. Seperti seorang wanita yang berbicara sebagaimana berbicaranya seorang lelaki atau seorang wanita yang memakai imamah, padahal imamah adalah pakaiannya lelaki. Diantara contohnya juga adalah pakaian banthalun, karena banthalun itu khusus bagi lelaki. Seorang wanita itu berpakaian dengan pakaian yang tertutup, sedangkan banthalun sebagaimana kita ketahui semuanya, akan menyingkap aurat wanita dan akan menampakkan bentuk paha dan betisnya atau selainnya.

Oleh karenanya kita katakan, seorang wanita tidaklah boleh untuk berpakaian dengan celana banthalun walau pun dia pakai di sisi suaminya, karena yang menjadi sebab pelarangan bukanlah dari sisi menutup auratnya, akan tetapi dari sisi penyerupaan (tasyabbuhnya) seorang wanita kepada lelaki. Jika dia lakukan, maka dia adalah seorang terlaknat berdasarkan ucapan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam."

(Disadur dari Syarh Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/243, cet. Ibnul Jauzi 2006).

Apakah benar ucapan bahwasanya yang teranggap seorang imam (pemimpin) itu adalah orang yang telah menyatukan kaum muslimin seluruhnya di dunia dari arah timur sampai barat? Dijawab oleh Syaikh Shalih

Dijawab oleh Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu, "Ini adalah ucapan kaum al khawarij.

Seorang imam (penguasa) adalah orang yang telah dibaiat (diangkat) oleh Ahlul hali Wal aqdi (majelis para ulama) dari kaum muslimin, dan imam yang terpilih dari majelis inilah selanjutnya harus ditaati oleh rakyatnya.

Tidaklah menjadi suatu keharusan bahwa yang namanya seorang imam itu mesti dibaiat oleh semua manusia dari timur sampai baratnya dan prianya hingga wanitanya.

Ini bukanlah manhaj (jalan) Al Islam di dalam kepengaturan tentang pemimpin."

(Disadur dari Ijabatul Muhimmah-Syaikh Shalih Fauzan, juz 1, hal. 22, cet. Darul Furqan 2008)

Hikmah Allah Ada yang Diketahui dan Ada yang Tersembunyi

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "... Kami mengatakan bahwa Allah mempunyai hikmah yang tinggi, akan tetapi terkadang kita tidak mengetahuinya dan terkadang akal-akal kita tidak mengetahuinya karena keterbatasan kita untuk meliputi hikmah Allah seluruhnya.

Kemudian hikmah Allah terkadang ada yang kita ketahui secara jelas, tapi terkadang juga ada yang tersembunyi. Kita tidak mengetahui hikmah tersebut kecuali bagi orang-orang yang mumpuni didalam keilmuan (ilmu syar'i)."

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 66-67, cet. Maktabatush Shaffa 2005)

Sedihkah Kita ketika Terluput Hal Ini?

Al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata di dalam Jami'ul Ulum wal Hikam, hal. 124, "Seyogyanya bagi seorang mukmin untuk bersedih disebabkan karena dirinya terluput dari keutamaan-keutamaan yang terkait dengan perkara din (agama).

Oleh karenanya diperintahkan bagi seorang mukmin untuk memperhatikan perkara agamanya kepada orang yang diatasnya dan hendaknya berlomba-lomba di dalam mendapatkannya dengan sekuat tenaga dan kemampuan yang ada, sebagaimana Allah ta'ala berfirman:
{وفي ذالك فليتنافس المتنافسون}
"Dan untuk itu hendaknya kalian saling berlomba-lomba"

Dan tidak dibenci ketika seseorang saling bekerjasama dalam hal itu (berlomba-lomba dalam kebaikan), bahkan disukai bagi manusia seluruhnya untuk saling berlomba dan menyemangati di dalam hal-hal kebaikan."

(Dinukil dari An Nubadz fi Adabi Thalabil Ilmi-Hamd Ibrahim al Utsman, hal. 146, cet. Maktabah Ibnil Qayyim 2002).

Antara Prediksi dan Memvonis

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Kalau ada seorang yang berkata bahwa besok akan terjadi demikian-demikian dan dia mengatakan, "Saya tahu apa yang akan terjadi besok".

Kami katakan (Syekh Ibnu Utsaimin) hal ini hukumnya kafir.

Adapun jika orang tersebut berkata, "Saya punya perkiraan berdasarkan apa yang telah terjadi dan berdasarkan pengalaman, bahwa esok akan terjadi begini-begini dan demikian-demikian".

Yang seperti ini bukanlah termasuk mengaku-ngaku perkara yang ghaib.

Jika ada seseorang yang berkata lagi, "Besok akan terjadi begini dan begini berdasar apa yang sudah terjadi sebelumnya."

Maka ini bukan termasuk dari mengaku-aku tentang ilmu ghaib, tetapi jika dia berkata, "Sudah dipastikan bahwa esok dia akan begini dan begitu dan saya bisa tahu hal itu dengan pasti".

Maka kami katakan (Syaikh Ibnu Utsaimin) bahwa ini adalah dusta dan juga termasuk dari pendustaan terhadap Al-Quran".

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 58, cet. Maktabatush Shaffa)

Jumat, 13 Januari 2017

Menasehati Penguasa Lewat Pesan Telegram


Apakah menasehati penguasa dengan cara mengirim pesan telegram (atau pesan elektronik, penj) merupakan cara menasehati yang baik ataukah cara ini termasuk pembuka jalan untuk memberontak kepada mereka?

Dijawab oleh Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu, "Ini merupakan cara menyampaikan nasehat yang baik, yaitu dengan cara mengirim pesan telegram (atau pesan elektronik, pent) atau bisa juga dengan cara mengirimkan salah seorang utusan untuk bisa mengantarkan pesan nasehat tersebut (berupa surat, pent). Cara ini adalah cara yang baik.

Hanya saja yang dilarang itu adalah ketika seorang bicara kepada penguasa (menasehati) di majelis-majelis, di atas mimbar dan di rekaman-rekaman. Yang seperti ini adalah cara-cara yang terlarang dan merupakan madzhab-nya (metode) Al-Khawarij.

Adapun jika engkau menulis di pesan telegram atau surat yang tertulis yang engkau kirimkan langsung atau dengan mengutus orang yang dipercaya untuk menyerahkannya langsung, maka hal itu adalah cara yang baik."

(Disadur dari Ijabatul Muhimmah-Syaikh Shalih Fauzan, juz 1, hal. 22, cet. Darul Furqan 2008)

Apakah Khawarij Itu Mesti Angkat Senjata?


Seorang yang berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam "Berlaku adilah" (yaitu Dzulkhuwaisirah), apakah dia teranggap sebagai seorang sahabat atau dia teranggap seorang khawarij? Padahal dia tidak memberontak kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan dia juga tidak mengkafirkan seseorang yang berbuat dosa besar?

Dijawab oleh Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu, "Seorang yang berkata kepada Rasulullah bahwa beliau tidak berbuat adil, adalah seorang yang cikal bakal membawa pemahaman khawarij.

Sesungguhnya dia telah memberontak kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan tuduhan bahwa Nabi telah berbuat dosa.

Bukanlah syarat bagi seorang itu teranggap sebagai khawarij harus membawa senjata, akan tetapi sudah cukup baginya jika dia berkeyakinan akan kafirnya seorang muslim yang melakukan dosa besar, jika sudah seperti ini dirinya sudah teranggap sebagai seorang khawarij dan berada di mazhabnya orang-orang khawarij.

Begitupun jika dia seorang yang menentang terhadap pemerintahnya yang muslim pada khutbah-khutbahnya dan di tulisan-tulisannya, walaupun orang tersebut tidak membawa senjata, perbuatan ini adalah mazhabnya khawarij.

Sekte khawarij ada beberapa golongan, diantara mereka ada yang mengangkat senjata dan ada yang hanya bicara saja sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang memprotes Nabi shallallahu alaihi wasallam ini.

Ada juga diantara mereka yang menulis dan ada juga diantara mereka yang hanya sebatas berkeyakinan di hatinya saja dan tidak bicara atau berbuat sesuatu apapun, dia hanya mempunyai keyakinan dari aqidah khawarij, tentunya sebagian mereka ada yang lebih parah dengan yang lainnya."

(Disadur dari Ijabatul Muhimmah-Syaikh Shalih Fauzan, juz 1, hal. 10-11, cet. Darul Furqan 2008)

Ciri Ikhlash dalam Mengajari Ilmu


Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata ketika menerangkan bahwa seorang yang mengajarkan ilmu harus mengharapkan wajah Allah.

Beliau rahimahullahu berkata, "Yakni berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla karena tidak diragukan lagi bahwa mengajari manusia kepada kebaikan merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah Azza wa jalla.

Yang kedua dia memaksudkan dalam aktifitas mengajarnya untuk menjaga syariat Islam dan menyebarkannya kepada seluruh hamba Allah agar mereka bisa mempelajari syariat Islam ini serta menjaganya juga.

Yang ketiga adalah berbuat ihsan kepada orang yang dia ajari, karena jika dia ingin melakukan perbuatan ihsan tentunya harus ada objek yang diberikan ihsannya, Allah tabaraka wa ta'ala berkata, "Berbuat ihsanlah kalian karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan" (Al Baqarah: 195).

Dan tidak memaksudkan dari pengajarannya adalah untuk mendapatkan sesuatu dari bagian dunia, seperti ingin mendapatkan harta."

(Disadur dari Syarah Muqaddimatil Majmu-Syaikh Utsaimin, hal. 82, cet. Dar Ibnil Jauzi 2004)

Barangsiapa yang mengkafirkan pemerintah dan menuntut kepada kaum muslimin untuk keluar memberontak (kudeta) dari pemerintah mereka, apakah yang seperti ini termasuk dari ajaran khawarij?

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu menjawab, "Yang seperti ini adalah madzhabnya khawarij, yaitu jika terlihat memberontak kepada penguasa muslimin.

Yang lebih parah dari itu adalah jika khawarij tersebut telah mencapai taraf mengkafirkan pemerintahnya, maka ini termasuk dari ajarannya khawarij."

(Disadur dari Ijabatul Muhimmah-Syaikh Shalih Fauzan, juz 1, hal. 8, cet. Darul Furqan 2008)

Bagaimana dengan ucapan kita yang mengucapkan 'qaululhaq' (berkata Al Haq). Apakah Al Haq termasuk dari nama-nama Allah?

Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab, "Ya, Al Haq termasuk dari nama-nama Allah, akan tetapi tidak seyogyanya demikian, sebagaimana kami mendengar orang-orang belakangan berucap dengan ucapan 'qaalalhaq', yaitu ucapan 'qaalalhaq' menggantikan ucapan 'qaalallah' (berkata Allah) karena nama 'Allah' adalah nama yang termulia.

Maka kita katakan saja dengan ucapan 'qaalallah' sebagaimana yang telah banyak datang dari Al Qur'an. Berkata Allah ta'ala, "qaalallah" (QS. Al Maidah: 119).

Adapun ucapan 'qaalalhaq', 'qaalalhaq' maka sesungguhnya hal ini tidak mendatangkan kemuliaan yang terdapat pada keagungan ucapan 'qaalallah'."

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 29 [pertanyaan keenam] cet. Maktabatush Shaffa 2005)

Bagaimana menggabungkan antara Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai penutup para nabi dengan keluarnya Nabi Isa nanti di akhir zaman?

Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab, "Nabi Isa alaihissalam tidaklah datang dengan kenabian yang baru karena Nabi Isa telah diutus sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Akan tetapi Nabi Isa kelak akan datang sebagai penyempurna dari kerisalahan rasulullah alaihi shalatu wasallam dengan izin rasulullah dan menetapkan ajarannya, karena rasulullah telah mengabarkan bahwa tidak ada agama yang akan diterima kecuali agama Islam.

Juga dikhabarkan bahwasanya kelak ketika Nabi Isa turun di akhir zaman, akan menghapuskan jizyah, membunuh babi dan menghancurkan salib.

Semua hal itu adalah termasuk dari syariat rasulullah shallallahu alaihi wasallam."

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah [pada pertanyaan ketiga]-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 28, cet. Maktabatush Shaffa 2005)

Apakah Didapati di Zaman Sekarang ini Orang yang Mempunyai Pemikiran Khawarij?

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu menjawab, "Yaa subhanallah, tentu saja sekarang ada! Bukankah hal berikut ini adalah perbuatan dari khawarij? Yaitu mengkafir-kafirkan kaum muslimin.

Bahkan yang lebih dari itu adalah pembunuhan terhadap kaum muslimin dan penyerangannya dengan menggunakan bom, inilah manhaj khawarij.

Khawarij itu menggabungkan ke tiga perkara, yakni:
1. Mengkafirkan kaum muslimin
2. Keluar dari ketaatan (memberontak) kepada pemerintah muslimin
3. Menghalalkan tertumpahnya darah kaum muslimin.

Inilah manhaj khawarij walaupun keyakinan ini hanya sebatas diyakini dalam hati dan tidak diucapkan serta tidak diamalkan dengan aksi nyata, maka yang seperti ini dia teranggap sebagai seorang khawarij di dalam keyakinannya dan pemikirannya walau tidak terungkapkan."

(Disadur dari Ijabatul Muhimmah-Syaikh Shalih Fauzan, juz 1, hal. 7, cet. Darul Furqan 2008)

Apakah dahulu orang-orang kafir Quraisy mengingkari juga tauhid asma wa sifat?

Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab, "Mereka mengingkari sebagian dari nama Allah seperti nama 'Ar Rahman'. Sampai-sampai ketika di peristiwa 'perdamaian al hudaibiyyah', tatkala nabi berkata kepada yang menulis perjanjian "Tulislah bismillahirrahmanirrahim".

Maka mereka menyanggah dengan mengatakan, "Tidak! Kita tidak kenal apa itu ar rahman."

Mereka juga berkata, "Tidak ada rahman kecuali rahman-nya negeri Yamamah."

Maka nabi berkata, "Tulislah 'bismika allahumma'." Sebagaimana permintaan dari delegasi Quraisy."

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 28, cet. Maktabatush Shaffa 2005)