Minggu, 25 Maret 2018

Apa hukum ucapan: "Semoga Allah panjangkan hidupmu", atau "Semoga panjang umurmu"?


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Tidak sepatutnya seorang untuk memutlakkan ucapan dengan panjang umur saja, karena panjangnya hidup seseorang kadang merupakan kebaikan, tapi kadang juga merupakan kejelekkan.

Sesungguhnya sejelek-jeleknya manusia adalah bagi yang panjang umurnya dan jelek amalannya, oleh karenanya jika mengucapkan: "Semoga Allah panjangkan hidupmu di atas ketaatan" atau yang semisalnya maka hal itu tidak mengapa."

(Dinukil dari Al Manahil Lafzhiyyah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 25, cet. Dar Ibnil Jauzi 2011)

Wahai Pemuda Belajarlah Cara Membidik


Syaikh Muhammad Jamil Zainu rahimahullahu berkata,

Allah berfirman,

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
Artinya:
"Persiapkanlah oleh kalian apa yang bisa mampu dikerahkan dari kekuatan." (QS. Al Anfal: 60).

Tafsir dari kalimat الفوة (al quwwah) adalah sebagaimana yang ditujukan di dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

ألا إنَّ القوةَ الرمي
<ثلاثا>

Artinya:
"Ketahuilah bahwa sesungguhnya kekuatan itu adalah membidik."

(HR. Muslim).

Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata, "Ditafsirkannya القوة (al quwwah/kekuatan) itu semata-mata dengan bidikan, adalah karena membidik itu lebih nampak pada kegiatan persiapannya dibandingkan dengan alat-alat perang lainnya, ini disebabkan karena pada sebuah bidikan terdapat suatu yang paling menyibukkan musuh dan merupakan senjata yang paling mudah dibawa..."

Maka aku (Syaikh Muhammad Jamil Zainu) katakan:
Sampaipun sekarang, sesungguhnya alat-alat perang di zaman ini pemakaiannya kembali lagi kepada masalah bidik membidik.

Oleh karenanya islam telah menghasung seorang muslim untuk mempelajari cara membidik, terlebih pada kaum mudanya, hendaknya mereka mempelajari cara membidik dengan selingan belajar berenang pula, hal ini dilakukan sebagai alternatif pengganti permainan-permainan lain yang akan menyibukkan mereka dari latihan membidik, Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang telah mempelajari teknik membidik tapi kemudian dia malah melupakannya, maka dia bukan golongan kami dan dia telah berbuat dosa." (HR. Muslim).

(Kaifa Nafhamul Qur'an- Syaikh Muhammad Jamil Zainu [dinukil dari Majmuah Rasail jil. 3, hal. 11, cet. Maktabah Ash Shahabah 2005]).

Menjauh dari Fitnah adalah Keselamatan


Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata, "Barang siapa yang mendekat kepada fitnah maka keselamatan akan menjauh darinya, dan barang siapa yang mengaku-aku bisa bersabar (terhadap fitnah yang dia datangi) maka dia akan diwakilkan kepada dirinya sendiri (Allah tidak membantunya)."

(Shayyidul Khatir-Ibnul Jauzi, hal 8, cet. Darut Taqwa 2013).

Mengenal Wali Allah


Syaikh Muhammad Jamil Zainu rahimahullahu berkata,

Allah taala berfirman,

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُون

Artinya:
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu (adalah orang yang) tidak ada rasa kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati." (QS. Yunus: 62).

Telah ditafsirkan dalam ayat selanjutnya bahwa makna wali-wali Allah itu adalah sebagaimana firman Allah,

الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

Artinya:
"Yaitu orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa." (QS. Yunus: 63).

Aku katakan (Syaikh Muhammad Jamil Zainu):
Di dalam tafsir ini terdapat bantahan atas ucapan orang-orang yang menyatakan bahwa seorang wali itu adalah:
Orang-orang yang mengetahui perkara yang ghaib, atau
Orang yang mempunyai karamah-karamah, atau
Orang-orang yang dipasang di kuburannya kubah-kubah, atau
Yang lain-lainnya dari berbagai macam keyakinan yang batil.

Oleh karenanya setiap orang yang beriman kepada Allah yang menaati perintah-perintahNya dan yang menjaga diri dari perkara-perkara yang diharamkanNya, maka dia lah termasuk dari wali-wali Allah, dan mempunyai karamah bukanlah menjadi sebuah syarat."

(Kaifa Nafhamul Qur'an- Syaikh Muhammad Jamil Zainu [dinukil dari Majmuah Rasail jil. 3, hal. 10, cet. Maktabah Ash Shahabah 2005]).

Hukuman Berat yang Tidak Terasa


Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata, "Sebesar-besarnya hukuman pada seseorang adalah ketika orang itu tidak merasa bahwa dirinya tengah dihukum.

Yang lebih parah dari itu adalah ketika seseorang merasa senang dengan hukumannya seperti senangnya dia dengan harta yang haram dan terus-menerusnya dia berada di dalam dosa.

Barang siapa yang keadaannya seperti ini, maka dia tak akan selamat dengan ketaatannya (kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Rabbnya, pent)."

(Shayyidul Khatir-Ibnul Jauzi, hal 5, cet. Darut Taqwa 2013).

Hati Adalah Raja


Ibnu Hibban rahimahullahu berkata, "Wajib bagi seorang yang berakal untuk tidak melupakan hatinya dalam meninggalkan sesuatu sebab yang dapat mengeraskan hati, karena lurusnya seorang raja akan lurus pula para tentaranya, dan rusaknya sang raja akan rusak pula tentara-tentaranya."

(Raudhatul Uqala-Ibnu Hibban, dinukil dari Al Muntaqa min Kitabi Raudhatil Uqala wa Nuzhatil Fudhala, hal. 17, cet. Darul Istiqamah)

Kartu Kuning untuk Sang Pemberi Kartu Kuning


Priiit...
Bersamaan dengan sempritan peluit , seorang anak muda berbatik merah mengangkat tangannya ke atas sambil mengacungkan sebuah buku berwarna kuning ke arah orang nomor satu di negeri ini, luar biasa..!

Aksi berani yang dilakukan oleh ketua Badan Eksekutif Mahasiswa sebuah kampus ternama di Depok itu memang sengaja diperbuat sebagai gambaran atas pemberian kartu kuning kepada sang presiden, karena beliau yang baru menjabat kurang lebih tiga tahunan itu dinilai telah kurang di dalam mengurusi beberapa poin permasalahan yang mereka tuntut penyelesaiannya.

Aksi pemberian kartu kuning di hari Jum'at lalu (2/2/2018) oleh ketua BEM kampus yang beralmamater kuning ini pun sontak menjadi viral di jagat maya, ada yang memuji dan ada juga yang mengkritisi, akan tetapi bagaimanakah syariat islam memandang hal ini?

Islam sebagai agama yang sempurna tentu telah mempunyai garis-garis yang jelas dalam hal ini. Di dalam ajaran syariat islam yang mulia, hubungan antara rakyat dengan penguasanya telah dimaktubkan indah di dalam Al Quranul Karim,

"يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم"

Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” (An Nisa: 59)

Ayat di atas membimbing kita yang berpredikat sebagai seorang rakyat untuk selalu mendengar dan taat kepada penguasa atau pemerintah yang sah, dan memang begitulah kehidupan, ada penguasa yang memimpin dan ada rakyat yang mau dipimpin.

Lalu bagaimana jika seorang rakyat menemui penguasanya kurang bagus dalam kinerjanya atau semena-mena dalam tindakannya? Jawabannya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

"مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ"

Artinya:
Barang siapa yang melihat dari penguasanya sesuatu yang tidak dia sukai, maka hendaknya bersabar! Karena barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah walaupun sejengkal, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas tegas mengarahkan kita untuk sabar. Ya, sabar dan tetap menjadi seorang rakyat yang tetap taat.

Sebagai seorang manusia tentu akan menyadari bahwa tabiat dari seorang insan mesti punya banyak kekurangan dan kesalahan, terlebih seorang pemimpin dari sebuah negeri! Jika kita saja dalam memimpin sebuah organisasi semisal karang taruna atau memimpin sebuah rumah tangga saja pasti mendapati banyak kesulitan dan kekurangan, apatah lagi memimpin suatu negara luas terbentang yang terdiri dari puluhan -bahkan- ratusan pulau? Sungguh tak terbayangkan bagaimana rumit dan peliknya beban yang dipikul.

Akan tetapi apakah kita akan diam dengan berbagai kesalahan dan kekurangan para penguasa? Tentu tidak! Kita wajib mengingkarinya, tapi lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing, sabdanya,

"مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ"

Artinya:
"Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka janganlah dia menasehatinya dengan cara terang-terangan, akan tetapi hendaknya dia ambil tangan penguasa tersebut dan cara senyap menyepi. Jika dia (penguasa itu) menerima nasihat, maka itulah (yang diinginkan) namun jika dia tidak menerimanya maka yang menasihati telah melaksanakan kewajibannya.”(HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Imam Al Albani).

Maka jelaslah, jika sebuah nasehat atau aspirasi yang ingin disampaikan kepada penguasa itu dilakukan di depan umum tentu hal ini akan menjatuhkan dan membuat malu sang penguasa, apalagi dengan cara melakukan aksi menyemprit dan memberikan kartu kuning di depan umum, tentu ini lebih melecehkan dan menghinakan, pehatikan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam ini,

"مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللّه"
Artinya:
"Barangsiapa yang menghinakan pemimpin Allah (penguasa negeri) di bumi, niscaya Allah akan hinakan dia".
(H.R Tirmidzi dan dihasankan oleh Imam Al Albany).

Oleh karenanya, hati-hatilah dalam bertindak, jangan sampai kita yang berstatus sebagai seorang rakyat mendapat kartu kuning dari syariat yang mulia ini karena kebodohan dan kelancangan dalam bertindak.

Semoga kita semua diberikan hidayah oleh Allah, dan semoga para pemimpin kita juga diberikan hidayah serta penjagaan dari kejelekan-kejelekan, amin.

Seorang Ibnul Jauzi pun Menyesal


Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata,

قال صلى الله عليه و سلم: "قيدوا العلم بالكتابة"
(السلسلة الصحيحة، رقم: 2026)

Artinya:
"Ikatlah ilmu oleh kalian dengan tulisan."
(HR. Al Hakim dan Al Bahaqi, dishahihkan oleh Imam Al Albani dalam As Silsilatus Silsilah 2026)

Betapa banyak yang telah terlintas di benakku sesuatu, akan tetapi aku tersibukkan untuk menetapkannya, maka hilanglah (apa yang telah terlintas sebelumnya), dan aku pun menyesalinya.."

(Shayyidul Khatir-Ibnul Jauzi, hal 5, cet. Darut Taqwa 2013).

Apa hukum bersumpah dengan nama Nabi shallallahu alaihi wasallam atau dengan ka'bah?


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjawab, "Bersumpah dengan nama Nabi shallallahu alaihi wasallam hukumnya tidak boleh, bahkan itu termasuk dari jenis kesyirikan karena Nabi shallallahu alaihi wasallam dan ka'bah adalah makhluk, dan bersumpah dengan nama makhluk adalah termasuk jenis dari kesyirikan..."

(Dinukil dari Al Manahil Lafzhiyyah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 14, cet. Dar Ibnil Jauzi 2011)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjawab, "Membangun bangunan di atas kuburan hukumnya adalah haram!

Nabi shallallahu alaihi wasallam telah melarangnya ketika pada perbuatan tersebut bisa menghantarkan kepada pengagungan terhadap orang yang dikuburnya, dan juga hal ini bisa menjadi perantara dan pintu masuk untuk melakukan peribadahan kepada kuburan dan mengambil sesembahan bersama Allah (menyekutukan Allah/syirik), sebagaimana ini terjadi pada mayoritas dari bangunan-bangunan yang ada di atas kuburan.

Maka dengan itu, jadilah manusia terhadap penghuni kubur ini melakukan kesyirikan (menjadikan sekutu) kepada Allah.

Mereka berdoa kepada kepada Allah, tapi berdoa juga kepada penghuni kubur dan beristighatsah kepada penghuni kubur ketika ingin dihilangkan kesusahan-kesusahan yang ada, ini hukumnya adalah syirik akbar dan merupakan amalan yang bisa mengeluarkan pelakunya dari islam, Allahul musta"an."

(Disadur dari Fatawa Arkanil Islam wal Aqidah-Syaikh Utsaimin, hal. 23, cet. Maktabatush Shaffa 2007)

Menjadi Zuhud Walaupun Harta Melimpah


Asy Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu berkata, "Allah telah memerintahkan kita untuk mencari (penghasilan) yang halal, maka jauhilah perkara yang haram, jauhilah riba, riswah (menyuap) dan pajak.

Tutuplah setiap pintu-pintu keharaman dan bertawakalah kepada Allah di dalam mencari dunia sesuai dengan kebutuhan dan sekadar bisa menegakkan kehidupanmu.

Janganlah berlebih-lebihan dan berluas-luas dalam urusan dunia, ambillah bagian dunia sebatas apa yang bisa membantumu untuk melakukan ketaatan kepada Allah dan segala yang bisa tuk membantu saudaramu yang semuslim serta apa-apa yang dapat memungkinkan untuk menolong dalam menegakkan kalimat Allah azza wa jalla.

Maka barang siapa yang mengerahkan hartanya dan jiwanya di jalan Allah, maka insya Allah dia termasuk ahlu zuhud di dunia walaupun dia orang yang berharta.

(Az Zuhdu fid Dunia war Raghbah fil Akhirah-Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu, hal. 16, cet. Al Miratsun Nabawi 2012).

Tiga Perkara yang Lebih Utama Dibanding Emas dan Perak


عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ : لَمَّا نَزَلَتْ "وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ"
قَالَ : كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ
فَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ : أُنْزِلَ فِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ مَا أُنْزِلَ ، لَوْ عَلِمْنَا أَيُّ الْمَالِ خَيْرٌ فَنَتَّخِذَهُ
فَقَالَ : أَفْضَلُهُ لِسَانٌ ذَاكِرٌ ، وَقَلْبٌ شَاكِرٌ ، وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلَى إِيمَانِهِ
.رواه الترمذي, وابن ماجه وعنده: تُعِينُ أَحَدَكُم عَلَى أَمْرِ الآخِرَة
والحديث حسَّنه الترمذي ، وصححه الألباني في " صحيح الترمذي " .

Artinya:
Dari Tsauban radhiallahu anhu, beliau berkata, "Ketika turun ayat Allah: Dan orang-orang yang menyembunyikan emas dan perak." (QS. At Taubah: 34).
Dahulu kami pernah bersama rasulullah di sebagian safarnya dan berkata sebagian dari para shahabatnya, "Telah diturunkan ayat tentang emas dan perak, kalau seandainya kami tahu ada sesuatu yang lebih berharga dibandingkan harta, tentulah kami akan mengambilnya."
Maka rasulullah berkata, "Seutama-utamanya lisan adalah lisan yang berdzikir dan hati yang bersyukur serta istri mukminah yang dapat membantu (suaminya) akan keimanannya."
(HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Pada lafazh Ibnu Majah disebutkan: "Yang dapat membantu salah seorang dari kalian terhadap urusan akhiratnya."

Hadits ini dinilai hasan oleh Imam Tirmidzi dan dishahihkan oleh Imam Al Albani di dalam "Shahih At Targhib."

Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa berdzikir itu lebih utama dibandingkan sedekah harta.
(Syarah Tuhfatidz Dzakirin-Asy Syaukani, hal. 21)

Syaikh Al Mubarakfury rahimahullahu menerangkan bahwa istri mukminah yang dapat membantu (suaminya) akan keimanannya, yakni yang membantu (suaminya) dalam agamanya dengan cara mengingatkan untuk shalat, puasa dan yang selain itu dari ibadah-ibadah. Juga yang dapat mencegah suaminya dari perbuatan zina dan seluruh perbuatan yang haram.
(Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan Tirmidzi-Al Mubarakfury jil. 8, hal. 390)

Jadikan Dunia tuk Meraih Ridha Allah


Asy Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu berkata, "Sebagian manusia ada yang menghadapkan dirinya kepada dunia dan berlebih-lebihan di dalamnya. Mereka juga lebih mementingkan dunia ketimbang akhirat.

Adapun seorang mukmin, dia jadikan dunia itu hanya sebagai tunggangan layaknya hewan ternak yang dia naiki atau layaknya sendal yang dia pakai, yakni (maksudnya) dia manfaatkan dan gunakan dunia itu untuk meraih keridhaan Allah dan untuk mendapatkan perkara yang baik di dalam kehidupannya sendiri dan orang lain (di dunia)."

(Az Zuhdu fid Dunia war Raghbah fil Akhirah-Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu, hal. 14, cet. Al Miratsun Nabawi 2012).

Meminta Perlindungan kepada Allah dari Godaan Setan


Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata, "Dihikayatkan dari sebagian salaf bahwasanya mereka pernah bertanya kepada murid-muridnya, "Apa yang akan engkau lakukan terhadap setan jika dia menggodamu untuk berbuat dosa?".
Sang murid menjawab, "Aku akan berusaha melawannya."
Sang guru pun bertanya, "Jika setan itu kembali menggoda, bagaimana?"
Sang murid menjawab, "Aku akan berusaha melawannya."
Sang guru mengulangi dengan pertanyaan yang sama, "Bagaimana jika setan itu kembali menggoda?"
Sang murid menjawab dengan jawaban yang sama pula, "Aku akan berusaha melawannya."

Sang guru berujar, "Jika demikian, tentu akan panjang urusannya! Apa pendapatmu jika engkau tengah melewati sekelompok gembalaan kambing lalu tiba-tiba anjing penjaganya menyalak-nyalak sehingga engkau terhalang untuk lewat, kira-kira apa yang akan engkau lakukan?"
Sang murid pun menjawab, "Aku akan tetap melintas dan berusaha keras untuk melawan anjing tersebut."

Sang guru menjawab, "Itu akan melelahkanmu! Yang semestinya engkau lakukan adalah mendatangi pemilik gembalaan kambing tersebut (tentunya pemilik gembalaan kambing adalah pemilik anjing penjaganya) kemudian engkau meminta tolong kepadanya (untuk mengusir anjing yang menghadang). Cara ini akan mencukupkanmu."

(Disadur bebas dari Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 62, cet. Darul Wasitiyyah 2015)

Karena Thalabul Ilmi adalah Ibadah


Asy Syaikh Abdullah ibn Salfiq azh Zhafiri hafizhahullahu berkata, "Hendaklah seorang (penuntut ilmu) itu menjadikan niatnya karena Allah azza wa jalla di dalam thalabul ilminya dengan sebenar-benarnya ikhlash karena Allah, tidak menginginkan sum'ah (didengar orang), syuhrah (terkenal) dan tidak pula menginginkan sesuatu bagian dari perkara dunia.

Barang siapa yang menjadikan niatnya kerena Allah, niscaya Allah akan memberikan taufik kepadanya dan diberikan pahala atas hal itu (thalabul ilminya) karena thalabul ilmi adalah ibadah, bahkan termasuk seagung-agungnya ibadah."

(Ar Rakaizul Asyr li Tahshilil Ilmi-Syaikh Abdullah ibn Salfiq azh Zhafiri hafizhahullahu, hal. 11, cet. Darush Shahabah 2014).

Salah Kaprah tentang Zuhud


Asy Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu berkata, "Bukanlah zuhud terhadap dunia itu adalah meninggalkan sesuatu yang halal dan (tapi) tidak pula berarti menghambur-hamburkan harta, akan tetapi engkau jadikan apa yang di tangan Allah itu lebih terpercaya dibandingkan dengan apa yang di tanganmu, dan terus-menerus di dalam sikap pertengahan seperti inilah yang dituntut (oleh kita).

Sebagian manusia memahami bahwa sikap zuhud itu adalah menolak dunia secara mutlak dan meninggalkan untuk mencari penghasilan yang halal serta merendahkan diri kepada sikap pasrah dan menyandarkan kepada apa yang berada di tangan manusia (berharap pemberian orang), maka ini adalah perkara yang buruk lagi tercela, dan sama sekali bukan dari sikap zuhud."

(Az Zuhdu fid Dunia war Raghbah fil Akhirah-Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu, hal. 14, cet. Al Miratsun Nabawi 2012).

Belajar Malam atau Shalat Malam?


Ibrahim ibn Hani pernah bertanya kepada Imam Ahmad ibn Hanbal rahimahullahu, "Manakah yang paling engkau sukai di antara aku duduk (menuntut ilmu) di malam hari dan aku mencatat, atau aku melakukan shalat malam?"
Imam Ahmad menjawab, "Jika engkau mencatat dan dengan itu engkau belajar tentang urusan agamamu maka itulah yang lebih aku sukai".

(Sanadnya Shahih, lihat Al Faqih wal Mutafaqqih-Al Khathib al Baghdadi, jilid 1, hal. 108, cet. Darul Anshar 2017).

Meminta Pertolongan Allah di dalam Thalabul Ilmi


Syaikh Abdullah Shalfiq hafizhahullahu berkata, "Seorang manusia itu lemah dan dia tidak mempunyai daya dan kekuatan kecuali dari Allah.

Jika (urusan dia) diserahkan kepada dirinya sendiri, niscaya dia akan binasa dan mati, namun jika (urusan dia) diserahkan kepada Allah dan memohon pertolongan atas thalabul ilminya, maka Allah akan menolongnya."

(Ar Rakaizul Asyr li Tahshilil Ilmi-Syaikh Abdullah ibn Salfiq azh Zhafiri hafizhahullahu, hal. 9, cet. Darush Shahabah 2014).

Keutamaan Ilmu yang Diajarkan atas Harta yang Disedekahkan


Al Hasan rahimahullahu berkata, "Sesungguhnya aku belajar satu bab dari permasalahan ilmu, kemudian aku ajarkan kepada seorang muslim, maka itu lebih aku sukai dibandingkan dengan mendapatkan dunia seluruhnya yang aku salurkan di jalan Allah."

(Sanadnya shahih, lihat Shahih Al Faqih wal Mutafaqqih li Khathib al Baghdadi, hal. 13, cet. Darul Wathan 1997).

Tiga Perkara yang Harus Ditunaikan


Maimun ibn Mihran rahimahullahu berkata,

"ثَلاثٌ تُؤَدَّى إِلَى الْبَرِّ وَالْفَاجِرِ: الرَّحِمُ تُوصَلُ بَرَّةً كَانَتْ أَوْ فَاجِرَةً، وَالأَمَانَةُ تُؤَدَّى إِلَى الْبَرِّ وَالْفَاجِرِ، وَالْعَهْدُ يُوَفَّى لِلْبَرِّ وَالْفَاجِرِ".
|البر والصلة للمروزي, رقم: 124 بَابُ صِلَةِ الرَّحِمِ وَقَطِيعَتِهَا وَمَا جَاءَ في ذالك|

Artinya:
"Tiga perkara yang harus ditunaikan kepada orang yang baiknya atau kepada orang yang fajirnya: (1) menyambung tali silaturahmi (kepada kerabat) baik itu kepada orang yang baiknya atau kepada orang yang fajirnya, (2) penunaian amanah baik itu kepada orang yang baiknya atau kepada orang yang fajirnya, (3) penepatan janji baik itu kepada orang yang baiknya atau kepada orang yang fajirnya."

(Al Bir wash Shilah-Imam al Marwadzi, riwayat no 124)

Berkata Baiklah dan Beramal Baiklah


Abdullah ibn Mas'ud radhiallahu 'anhu berkata,

"قُولُوا خَيْرًا تُعْرَفُوا بِهِ، وَاعْمَلُوا بِهِ تَكُونُوا مِنْ أَهْلِهِ".

Artinya:
"Berkata baiklah kalian hingga kalian dikenal dengan itu, dan beramal baiklah kalian sampai kalian menjadi ahlinya (orang yang selalu beramal baik)."

(Kitabuz Zuhud-Al Imam Abu Bakr asy Syaibani, hal. 25, cet. Darul Istiqamah 2013).

Meraih Pahala Besar dengan Berbakti kepada Orang Tua


Abu Sa'id Umarah ibn Mihran al Ma'lawi pernah bertanya kepada Al Hasan al Bashri rahimahullah, "Apa itu al bir (berbakti kepada orang tua)?"
Beliau menjawab, "Al bir adalah mencintai dan mencurahkan kebaikan (kepada orang tua)."
"Lalu apa itu al uquq (durhaka kepada orang tua)?" Tanyaku lagi.
Al Hasan menjawab, "Al Uquq adalah engkau melarang (sesuatu yang mereka suka) dan mendiamkan (orang tuamu)."
Kemudian Al Hasan berkata, "Memandang (dengan pandangan yang menyejukkan) kepada wajah ibumu saja adalah ibadah, maka bagaimana lagi jika berbakti (kepadanya)?"

(Al Bir wash Shilah-Imam al Marwadzi, riwayat no 111)

Jangan Remehkan Kebaikan yang Sedikit


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Ketahuilah oleh kalian rahimakumullah bahwasanya barang siapa di antara salah seorang dari kalian menghadiri satu majelis dari majelis-majelis ilmu, lalu dia mengambil suatu faidah dari sebuah perkara agama, kemudian dia mengamalkannya dan mengajarkannya kepada saudaranya, maka sesungguhnya dia telah mendapat kebaikan yang banyak.

Dia pun mendapat pahala atas amalannya sendiri dan mendapat pahala atas amalan orang lain yang telah dia ajarkan, sampai hari kiamat.

Maka janganlah kalian mengira bahwa keutamaan ilmu itu tidaklah didapat kecuali bagi orang yang telah belajar banyak saja, karena sesungguhnya Allah taala akan mengganjar setiap orang yang beramal walaupun sedikit amalannya, dan tidak akan terzhalimi (walau) orang yang sedikit amalnya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً

Artinya:
"Sampaikanlah oleh kalian dariku walaupun satu ayat". (HR. Bukhari).

(Lihat Adh Dhiyaul Lami-Syaikh Utsaimin, hal. 17, cet. Maktabatush Shafa 2005).

Akidah yang Shahih adalah Pondasi Amalan


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "... Perkara yang pertama kali para rasul dakwahkan kepada umat-umatnya adalah pemurnian akidah, karena dengan inilah akan terbangun seluruh amalan dari perkara ibadah-ibadah dan muamalah. Tanpa akidah yang shahih maka tidaklah berfaidah amalan-amalan."

(Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh al Fauzan, jil. 1, hal. 27, cet. Darul Bashirah 2009).

Melatih dan Membiasakan Anak untuk Shalat


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Sudah menjadi kewajiban bagi orang tua untuk memerintahkan anak-anaknya shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun.

Dan memerintahkan mereka untuk shalat (di umur ini) bukanlah karena sudah wajibnya mereka untuk shalat, akan tetapi ini dilakukan agar mereka mendapatkan pengaruh yang baik dari adanya pelatihan dan pembiasaan shalat."

(Taujihatu Muhimmah ila Syababil Ummah-Syaikh Shalih Fauzan, dinukil dari Rasail Ulamais Sunnah ila Syababil Ummah, hal. 14, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).

Pengaruh Positif dari Akikah


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Termasuk dari hak seorang anak atas orang tuanya adalah diakikahi, karena menyembelih dengan tujuan akikah adalah sebuah ibadah kepada Allah dan merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah azza wa jalla.

Di dalam penunaian akikah terkandung sebuah amalan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dan terdapat pengaruh yang baik terhadap suatu lahiran karena pada ibadah terkandung suatu kebaikan.

Bagi anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing sedangkan bagi anak perempuan disembelihkan satu ekor kambing, dan ini adalah sunnah muakkadah (yang ditekankan) yang memiliki pengaruh kebaikan bagi anak yang dilahirkan."

(Taujihatu Muhimmah ila Syababil Ummah-Syaikh Shalih Fauzan, dinukil dari Rasail Ulamais Sunnah ila Syababil Ummah, hal. 13, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).

Tahan dan Sabar


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Wajib atas seseorang jika tampak di hadapannya ada sebab-sebab perbuatan yang haram, untuk dia bertaqwa kepada Allah sehingga nanti dia tidak menjadikan dirinya menerjang perbuatan yang haram. Ketahuilah bahwa mudahnya akses dari sebab-sebab yang ada sejatinya merupakan ujian dan cobaan, maka tahanlah dan bersabarlah karena sesungguhnya akhir yang baik adalah bagi orang yang bertaqwa."

(Disadur dari Fatawa Arkanil Islam wal Aqidah-Syaikh Utsaimin, hal. 23, cet. Maktabatush Shaffa 2007)

Makna Difaqihkan terhadap Agamanya


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan maka Allah akan faqihkan dirinya terhadap agamanya. Faqih dalam agama adalah mengetahui segala suatu yang telah Allah turunkan kepada RasulNya dari hukum-hukum syariat dengan dalil-dalilnya dan segala yang berkenaan dengan apa yang menjadi ganjarannya (ketika diamalkan) dan apa yang menjadi hukumannya (ketika ditinggalkan).

Karena jika seorang hamba telah mengetahui hal tersebut, niscaya dia akan menjadi orang yang beribadah kepada Allah di atas bashirah (kejelasan)."

(Lihat Adh Dhiyaul Lami-Syaikh Utsaimin, hal. 16, cet. Maktabatush Shafa 2005).

Al Haq itu Dikenal

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Al Haq itu dikenal oleh setiap orang karena al haq yang dibawa oleh para rasul utusan Allah tidaklah tersamarkan dengan perkara yang lainnya bagi orang yang mengetahuinya, sebagaimana tidak tersamarkan antara emas yang murni dengan bahan tambang yang lainnya bagi orang yang ahlinya."

(Majmul Fatawa jil. 27, hal. 315-316)