Minggu, 15 April 2018

Apa hukum sebagian orang yang ketika mendapat kesulitan, dia menyeru, "Wahai Muhammad", "Wahai Ali" atau "Wahai Jailani"?



Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjawab, "Jika hal itu dimaksudkan oleh mereka sebagai sebuah panjatan doa dan meminta tolong, maka dia seorang musyrik yang keluar dari agamanya.

Wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah dan mempersembahkan panjatan doanya hanya kepada Allah saja, sebagaimana firman Allah taala ini,

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُون

Artinya:
"Siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang sedang mengalami kesempitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kejelekkan dan yang menjadikan kalian sebagai khalifah di muka bumi? Apakah ada sesembahan yang lain kecuali Allah? Teramat sedikitlah kamu ini mengingat-Nya" (QS. An Naml: 62).

Adapun keadaan orang itu, sama statusnya seperti orang musyrik, yakni sebagai orang dungu yang menyia-nyiakan dirinya, Allah berfirman,

وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ ۚ
Artinya:
"Dan siapa yang membenci agamanya Nabi Ibrahim melainkan dia adalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri" (QS. Al Baqarah: 130)

Dan firman-Nya,

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Artinya:
"Dan siapakah yang lebih sesat dibandingkan orang-orang yang berdoa selain selain Allah, dimana mereka adalah orang-orang yang tidak mampu mengabulkan doanya sampai hari kiamat" (QS. Al Ahqaf: 5)"

(Dinukil dan disadur dari Al Manahil Lafzhiyyah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 36-37, cet. Dar Ibnil Jauzi 2011)

Ulama Dunia dan Ulama Akhirat


Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata, "... Pembeda antara dua kelompok (ulama akhirat dan ulama dunia) adalah, bahwa ulama dunia memperhatikan ketenaran, suka kepada banyaknya orang (yang mengikutinya) dan suka sanjungan.

Adapun ulama akhirat, mereka terjauh dari hal tersebut dan lebih mendahulukan orang lain terhadap hal-hal yang seperti itu. Mereka (para ulama akhirat) adalah orang-orang yang saling menakut-nakuti (kepada akhirat) dan orang-orang yang merahmati kepada orang yang menyakitinya..."

(Shayyidul Khatir-Ibnul Jauzi, hal 11, cet. Darut Taqwa 2013).

Perbandingan yang Dihasilkan antara Sebuah Hadits dengan Akal


Yunus ibn Sulaiman as Saqathi rahimahullahu berkata, "Aku memperhatikan di dalam sebuah urusan, mesti bersumber pada sebuah hadits atau akal.

Maka aku dapatkan di dalam sebuah hadits terkandung:
>Pengingatan kepada Rabb ta'ala baik akan rububiyahnya, kemuliaannya dan keagungannya
>Pengingatan kepada al arsy
>Penyifatan dari surga dan neraka
>Pengingatan kepada para nabi dan rasul
>Perkara halal dan haram
>Dorongan untuk menyambung silaturahmi kerabat dan seluruh hal-hal yang di dalamnya penuh dengan kebaikan.

Sedangkan aku perhatikan pada akal, terdapat di dalamnya
Makar, pengkhiatan, tipu-tipuan, memutuskan tali silaturahmi dan seluruh hal-hal yang di dalamnya penuh dengan kejelekkan."

(Sanadnya shahih, di nukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 101, cet. Darul Furqan 2008).

Apa yang Dibaca ketika Iqamah?


Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya, "Fadhilatusy Syaikh, kami mendengar dari sebagian manusia setelah dikumandangkan iqamah (qamat), mengucapkan, "aqamahallahu wa adamaha." Lalu apakah apa hikmah dari hal tersebut?"

Syaikh rahimahullahu menjawab, "Yang dimaksud dengan itu sepertinya berdasar kepada sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bahwasanya jika seorang muadzin mengucapkan: "qad qamatish shalah" maka ucapkanlah: "Aqamahallahu wa Adamaha.", akan tetapi hadits ini dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah".

(Dinukil dan disadur dari Al Manahil Lafzhiyyah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 28, cet. Dar Ibnil Jauzi 2011)

Hukum Melaknat Setan


Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya: Apa hukum melaknat setan? Sebagaimana dengan sebagian orang yang berkata, "Terlaknatlah setan"

Syaikh rahimahullahu menjawab, "Yang utama bagi seorang insan adalah berusaha untuk melatih diri dengan adab yang telah dibimbing oleh Allah kepada hambaNya, yakni firman Allah,

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيم

Artinya:
"Jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan maka berlindunglah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (Al A'raf: 200).

Maka jika engkau berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, berarti engkau telah berlindung dengan Dzat Yang Maha Agung azza wa jalla, dan engkau pun akan selamat dari kejahatan setan.

Adapun jika engkau melaknat setan, maka engkau telah melaknat sesuatu yang memang telah dilaknat, maka laknatmu memang terkena kepadanya, dan tidak ada faidahnya hal ini dan engkau yang melakukannya juga tak ada faidahnya sedikitpun karena setan memang makhluk yang terlaknat baik engkau laknat dia atau tidak.

Juga tidaklah mungkin ucapan laknatmu kepada setan ini, lebih baik dibandingkan dengan apa yang Allah perintahkan.

Oleh karenanya aku (Syaikh Utsaimin) nasehatkan agar seorang insan berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Jika ada setan yang menggodamu, maka dia memanglah makhluk yang memberi was-was."

(Dinukil dan disadur dari Al Manahil Lafzhiyyah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 26, cet. Dar Ibnil Jauzi 2011)

Agama itu Dengan Atsar, Adapun Membuat Roti dengan Akal


Abdullah ibn Ahmad ibn Sibawaih rahimahullahu menerangkan bahwa ayahnya pernah berkata kepadanya, "Barang siapa yang menginginkan ilmu al qabr (apa-apa yang terjadi di alam kubur) maka wajib bagimu untuk mengikuti atsar. Dan barang siapa yang menginginkan ilmu tentang (membuat) roti, maka dengan akal! "

(Sanadnya shahih, di nukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 101, cet. Darul Furqan 2008).

Pacaran itu Berat, Kamu tidak Akan Kuat, Biar Aku (Nikahi Kamu) Saja


Pacaran itu berat, ya memang berat, berat di dunia dan lebih-lebih di akhirat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti para lelaki akan beratnya fitnahnya (godaan) wanita, beliau bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ“

Artinya:
Tidaklah aku tinggalkan suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi para lelaki sepeninggalku, selain fitnahnya (godaan) wanita.”
(HR. Bukhari dan Muslim dari Shahabat Usamah ibn Zaid radhiallahu anhu).

Selain berat menahan fitnahnya (godaannya), orang yang berpacaran akan terasa berat tuk menahan diri dari sesuatu yang diharamkan syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Artinya:
“Telah ditetapkan atas anak adam bagiannya dari berzina dan ini suatu yang mesti terjadi. Zinanya kedua mata adalah dengan memandang, zinanya kedua telinga adalah dengan mendengar, zinanya lisan adalah dengan berbicara, zinanya tangan adalah dengan meraba (menyentuh), zinanya kaki adalah dengan melangkah dan zinanya hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan, kemudian kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mendustakannya.”
(HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu).

Sudah jamak, bahwa semua jenis keharaman yang dimuat di dalam hadits di atas, biasanya menjadi amalan bagi orang yang berpacaran, padahal hanya berduaan saja tanpa melakukan apa-apa, sudah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sabdanya,

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَم

Artinya:
"Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahramnya.”
(HR. Bukhari dari shahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma)

Masya Allah ternyata memang berat sekali pacaran itu, karena di dunia banyak pelanggaran syariat yang diterjang. Barang siapa yang melabrak larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya, maka ancaman siksa neraka akan diterima.

Adapun di akhirat, pacaran itu berat karena resiko ancaman dosanya, ingin tahu beratnya kaya apa? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا مَنْ لَهُ نَعْلَانِ وَشِرَاكَانِ مِنْ نَارٍ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ كَمَا يَغْلِ الْمِرْجَلُ مَا يَرَى أَنَّ أَحَدًا أَشَدُّ مِنْهُ عَذَابًا وَإِنَّهُ لَأَهْوَنُهُمْ عَذَابًا

Artinya:
"Sesungguhnya penduduk neraka yg paling ringan siksanya adalah orang yang memiliki dua sandal dan dua tali sandal dari api neraka, dimana otaknya akan mendidih karena panasnya sandal tersebut sebagaimana kuali yang mendidih. Orang tersebut merasa bahwa tidak ada seorang pun yg siksanya lebih pedih dibanding dirinya, padahal siksanya adalah siksaan yang paling ringan di antara mereka (penduduk neraka).
(HR. Muslim dari shahabat Numan ibn Basyir radhiallahu anhuma).

Subhanallah.. itu yang paling ringannya, lalu gimana kira-kira yang lebih dari itu? Nas'alullaha salamah.

Lalu kalo pacaran itu berat, apa solusinya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ

Artinya:
"Kami tidak pernah memandang (kebaikan) bagi dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.”
(HR. Ibnu Majah no. 1920. Dishahihkan oleh Imam Al Albani).

Nikah. Benar, nikah. Ini lebih ringan ketimbang berpacaran, oleh karenanya pacaran itu berat, kamu tidak akan kuat, biar aku nikahi kamu saja.

Ahlul Bid'ah itu Membenci Hadits yang tidak Mendukung Bid'ahnya


Imam Al Auza'i rahimahullahu bertanya kepada shahabatnya, Abu Muhammad Baqiyah rahimahullahu, "Wahai Abu Muhammad, apa pendapatmu tentang suatu kaum yang didapati membenci hadits di antara mereka?"

Baqiyah rahimahullahu menjawab, "Tentu mereka adalah suatu kaum yang jelek."

Imam Al Auza'i lalu berkata, "Bukanlah termasuk dari pelaku bid'ah ketika mereka disampaikan sebuah hadits yang menyelisihi kebid'ahannya melainkan hadits tersebut akan dibencinya."

(Sanadnya hasan, di nukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 98-99, cet. Darul Furqan 2008).

Memaksakan Anak untuk Belajar Agama adalah Suatu Keharusan


Abdullah ibn Daud rahimahullah berkata, "Sudah sepantasnya bagi seorang lelaki (ayah) untuk memaksakan anaknya belajar ilmu hadits (agama)."

(Sanadnya shahih, di nukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 91, cet. Darul Furqan 2008).

Mengajari Anak-Anak kepada Ilmu Agama adalah Bentuk Penjagaan Agama


Miskin ibn Bukair rahimahullahu pernah bercerita, "Suatu hari lewatlah seorang lelaki di hadapan Imam al A'masy yang sedang mengajari hadits. Maka lelaki itu bertanya kepada Imam Al A'masy, "Apakah engkau mengajarkan hadits kepada anak-anak kecil itu?"

Imam Al A'masy menjawab, "Ya, anak-anak kecil itu sedang menjaga agamamu."

(Sanadnya hasan, di nukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 89, cet. Darul Furqan 2008).

Ilmu akan Melapangkan Hati


Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, "Di antara sebab lapangnya hati adalah al ilmu, karena dengan ilmu, hati akan lapang dan akan hati akan terasa luas sampai-sampai luasnya bisa melebihi luasnya dunia.

Adapun kebodohan sejatinya hanya akan mewariskan kesempitan, keterbatasan dan kehimpitan.

Oleh karenanya semakin luas kadar ilmu seorang hamba, maka semakin lapang dan luaslah hatinya.

Dan bukanlah yang dimaksud dengan ilmu ini adalah setiap ilmu yang ada, akan tetapi ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang telah diwarisi dari rasul, yaitu ilmu yang bermanfaat (ilmu agama).

Maka orang yang memilikinya adalah orang yang paling lapang dadanya, yang paling luas hatinya, yang paling bagus akhlaknya dan yang paling baik kehidupannya."

(Disadur dari Li Asbabi Syarhi ash Shadhr-Imam Ibnul Qayyim, hal. 31, cet. Dar Sabilil Muminin 2009).

Penyebutan Ahlul Hadits di dalam Al Qur'an


Yazid ibn Harun rahimahullahu bertanya kepada Hammad ibn Zaid rahimahullahu, "Wahai Abu Ismail apakah Allah menyebutkan para ahlu hadits di dalam Al Qur'an?"

Hammad ibn Zaid menjawab, "Tentu ada, apakah engkau tidak membaca firman Allah,

لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ

Artinya:
"Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali kepada kaumnya itu". (QS. At Taubah: 122).

Dalam ayat ini berlaku bagi setiap orang yang pergi melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu dan fikih, kemudian dia kembali kepada orang yang telah ditinggalkannya (kaumnya) dan dia pun mengajarkan ilmu tersebut".

(Sanadnya shahih, di nukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 83, cet. Darul Furqan 2008).