Madesu. Masa
depan suram, demikianlah kesimpulan yang kerap kali terpikirkan oleh sebagian
muslimin sebagai tanggapan atas orang yang ingin mendalami ilmu agama. Bagi
sebagian orang, Ilmu agama hanya ilmu yang ringan. Asal tidak berbentur dengan
akal, selaras dengan rasional, maka mempelajari ilmu agama bukan lagi suatu
yang special. Jika titel dunia telah didapat, otomatis gelar ustadz kan
hinggap. Ilmu agama seakan tak punya lagi derajat. Allahu musta’an.
Pembaca yang
semoga dirahmati Allah. Bagaimana kiranya jika ada ada seorang buta akan ilmu
kedokteran akan tetapi dia mengaku-aku sebagai ahli kedokteran. Dengan
kapasitasnya, dia berani mengisi seminar-seminar tentang kedokteran, dia pun
tak segan untuk membuka praktek pengobatan di rumahnya. Maka apakah tanggapan
kita tentang orang ini? Akankah kita ridha jika ada salah satu kerabat atau
tetangga kita yang sakit untuk berobat kepada orang yang mengaku-aku dokter
tersebut? Tentu kita tidak ridha! Kita takut jika kerabat atau tetangga kita
tersebut mendapat sesuatu yang merugikan.
Jika contoh di
atas berkenaan dengan ilmu pengobatan maka bagaimana jika berkenaan dengan ilmu
agama? Salah penanganan dalam pengobatan maka taruhannya nyawa, akan tetapi
jika salah dalam jalan beragama, maka taruhannya adalah neraka. Wal
‘iyyadzubillah.
Demikianlah yang
seharusnya di perhatikan. Ilmu agama bukan ilmu yang biasa. Ilmu agama adalah
ilmu yang luar biasa. Tidak akan suram bagi orang-orang yang menekuninya. Allah
ta’ala berfirman di dalam surat Al-‘Ashr yang artinya: “Demi masa,
sesungguhnya seluruh manusia benar-benar berada di dalam kerugian. Kecuali
orang-orang yang beriman (dengan ilmu) dan beramal shalih, juga orang-orang
yang saling memberi nasehat di atas al-haq dan yang saling nasehat-menasehati
di atas kesabaran”
Pembaca yang
semoga dirahmati Allah. Jika kita mau sedikit meluangkan waktu kita untuk
membuka lembaran sejarah orang-orang berilmu nan shalih, niscaya kita akan
dapati tebaran kisah yang menakjubkan dari keutamaan-keutamaan mereka dibanding
para raja dan penguasa di masanya.
Sulaiman ibn Abdil Malik, seorang penguasa tertinggi di masanya.
Beliau suatu saat melakukan perjalanan ke Mekkah untuk melaksanakan haji.
Tibalah sang khalifah tersebut di kota kelahiran Rasulullah. Dengan membawa
kedua putra mahkotanya, khalifah tersebut mendatangi seorang tabi’in yang
bernama Atha’ ibn Abi Rabbah untuk bertanya suatu permasalahan seputar ibadah
haji. Atha’ adalah seorang mufti (pemberi fatwa) masalah-masalah seputar ibadah
haji di Mekkah.
Ternyata sang khalifah tidak bisa langsung untuk bertemu dengan
Atha’. Atha’ saat itu sedang menunaikan shalat sunnah di kediamannya. Rumahnya
dijaga oleh pembantunya, setia menjaga rumah tuannya dari gangguan manusia yang
ingin menemuinya. Memanglah keadaanya. Atha’ selalu rutin bermunajat kepada
Rabbnya di kala dhuha tiba. Manusia yang ingin menemuinya mau tidak mau harus
menunggu atha’ selesai dari shalatnya. Tidak terkecuali sang khalifah. Dia pun
bersama kedua putra mahkotanya, bergabung dengan rakyatnya sabar antri menunggu
giliran. Sang khalifah menunggu dan terus menunggu. Dengan penuh kesabaran, selesailah
Atha’ dari munajatnya. Atha’ mulai menerima dan melayani orang-orang yang ingin bertanya.
Satu persatu datang orang-orang bertanya. Satu persatu pula
jawaban diberikan. Tibalah giliran sang khalifah bertanya. Sulaiman ibnu Abdil
Malik mendatangi atha’ dan mulai bertanya tentang hukum-hukum syar’i seputar
haji. Namun ketika Atha’ menjawab, beliau menjawab pertanyaan sang khalifah
dengan membuang muka.
Ada apa gerangan?
Ya. Seorang tabi’in yang mulia nan wara’ tersebut berlaku demikian
karena ingin menunjukkan bahwa di mata beliau kedudukan sang khalifah adalah hina
di hadapannya.
Mendapat perlakuan yang demikian maka sang khalifah berkata kepada
kedua putra mahkotanya: “Wahai putraku, janganlah engkau lemah dalam menuntut
ilmu (agama). Karena sesungguhnya aku tidak akan pernah melupakan kejadian ini.
Dimana aku demikian rendahnya di hadapan bekas budak ini”.
Subhanallah!
Perhatikanlah wahai pembaca yang dirahmati Allah!
Siapakah yang bisa melakukan hal yang demikian?
Yang bisa membuat khalifah dan kedua putra mahkotanya berdiri
antri di teriknya panas kota.
Yang bisa menjadikan seorang khalifah butuh kepadanya.
Yang bisa menghinakan seorang khalifah dan putra mahkota sekaligus
di hadapannya.
Yang bisa melakukan semua itu tentu orang yang lebih tinggi dan
lebih mulia kedudukannya di sisi khalifah. Ya. Merekalah para ulama rabbani.
Merekalah orang-orang yang mendapat janji Allah sebagaimana ayat Allah yang
berbunyi (artinya): “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di
antara kalian dan orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (Al-Mujadilah: 11).
Jika Allah telah mengangkat derajat seorang hamba, maka siapakah yang bisa
merendahkannya?
Pembaca yang semoga dirahmati Allah. Demikian salah satu kisah
yang bisa menjadi contoh bahwa ilmu agama adalah ilmu yang mulia. Lebih mulia
dari sekedar ilmu-ilmu dunia yang bersumber kepada hasil-hasil penelitian atau
hasil pengalaman para cendikia. Ilmu agama yang shahih adalah ilmu yang
bersumber dari wahyu Allah baik Al-Qu’ran maupun As-Sunnah. Ilmu adalah
warisannya para hamba pilihan Allah, sebagaimana hadits yang artinya: “Para
ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan
dirham atau dinar. Akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang
mengambilnya, berarti dia telah mengambil bagian yang banyak” (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami)
Maka dengan catatan ringan ini, semoga kita bisa lebih semangat
lagi dalam mencari ilmu agama dan tidak ada lagi anggapan ‘madesu’ pada orang
yang belajar mendalami ilmu agama. Tentunya ilmu agama yang bersumber kepada
al-Qur’an dan As-sunnah berdasar pemahaman para salaf baik dari kalangan
shahabat, tabi’in maupun atba’ut tabi’in.
Yang mengharap istiqamah dalam menuntut ilmu,
Hanyaikhwanbiasa di catatankajianku.blogspot.com.
* Bagi yang ingin mendapat kisah lainnya yang menceritakan tentang
keutamaan ilmu silahkan lihat kutaib yang penuh manfaat yang berjudul “Fadhu
Majlis Ahli ‘Ilmi wadz Dzikr” karya Syaikh Yasin al-‘Adani hafizhahullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar