Jumat, 30 Januari 2015

Di antara Bentuk Ketawadhuan Rasulullah

"Buang-buang waktu saja..!"
"Cuma anak kecil...!"

Ucapan yang senada, baik hanya sekedar betikan hati atau terlafazh oleh lisan, bagi sebagian orang adalah hal yang lumrah.

Pikirnya, ngapain sih ngurusin anak orang orang? Emang siapa dia? Apa urusanku dengan anak kecil?

Ikhwatii fillah, Rasululullah adalah semulia-mulia makhluk telah mengajarkan kepada kita bagaimana memperlakukan anak kecil.

Anas bin Malik, bahwa Rasulullah pernah suatu ketika mendapati seorang anak kecil yang bernama Abu Umair yang baru disapih sedang menangis.

Burung (Nughair) yang menjadi teman mainnya telah tiada.

Sedih dan pilu. Tak kuasa berbuat apa-apa. Air mata pun meleleh tanda hati tengah berduka.

Rasulullah pun mencandai Abu Umair, "Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan Nughair?" (HR. Bukhari dan Muslim).

Ikhwatii fillah, itulah Rasulullah. Menghibur anak yang sedang bersedih.

Tidak dibiarkan begitu saja.

Anas bin Malik mengisahkan pula jika ada seorang budak wanita kecil meraih tangan Rasulullah, maka beliau pun menyambutnya. Dan budak kecil tersebut bisa membawa Rasulullah kemana pun sesukanya.
(HR. Bukhari-Muslim).

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan hadits di atas bahwa Rasulullah tidak berkata: 'Mau kemana aku dibawa?' atau berkata: 'Pergilah dengan yang lain !'.
Akan tetapi beliau mengiringi budak kecil itu memenuhi keinginannya.
(Syarah Riyadhush Shalihin 2/324).

Ikhwatii fillah,
Rasulullah ketika melewati anak-anak kecil tidak melewatinya begitu saja.

Anas ibn Malik mengkabarkan pula kepada kita bahwa Rasulullah jika melewati anak-anak yang sedang bermain, beliau pun menyalami mereka. (HR. Muslim).

Dalam riwayat lain yang dishahihkan Syaikh al Albani, Anas bin Malik berkata: Rasulullah suatu ketika melintasi kami, dan kami saat itu masih kecil. Beliau pun salam: Assalamu'alaikum wahai anak-anak..! (Ash Shahihah 290).

Demikianlah petikan akhlak Rasulullah kepada anak-anak.

Semoga bermanfaat bagi penulis sendiri dan kaum muslimin.

Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkannya. Karena Anas berkata: "Rasulullah adalah orang yang paling penyayang terhadap keluarga dan anak-anak" (Ash Shahihah 2089).

WA Sedikit Faidah Saja

Hadits-hadits dinukil dari kitab Quthuf min Syamail Muhammadiyah karya Syaikh Jamil Zainu dan sumber lainnya.

Penuhilah Undangan

Berkata Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam: "...Apabila saudaramu (semuslim) mengundangmu, maka penuhilah (undangannya)..." [HR. Muslim 2162].

Berkata Syaikh Shalih Fauzan:
"Jika saudaramu yang muslim mengundangmu ke walimah (pernikahan) maka penuhilah, atau jika mengundangmu kepada suatu acara yang tidak ada bahayanya, maka penuhilah...".
(Tah-shilul Ilmam, 7/154).

Berkata Syaikh Utsaimin:
"Apabila engkau diundang untuk makan, maka penuhilah. Atau engkau diundang untuk minum teh atau kopi, maka penuhilah"
(Fathu Dzil Jalalil wal Ikram, 6/238).

Berkata Syaikh Abdullah al Bassam:
"Apabila yang diundang dalam keadaan sakit atau seorang yang mengurusi orang sakit, atau seorang yang sedang sibuk menjaga harta, atau keadaan cuaca yang sangat panas atau sangat dingin. Atau hujan yang membasahi pakaian. Atau seorang yang disewa dan tidak mendapat izin dari yang menyewanya. Maka (penghalang-penghalang yang telah disebutkan di atas) tidak mewajibkan untuk memenuhi undangan"
(Taudhihul Ahkam, 7/383).

Sabtu, 24 Januari 2015

Memulai Salam

Berkata Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam: "Apabila engkau bertemu dengannya (saudara semuslim) maka berikanlah salam atasnya" [HR. Muslim 2162].

Berkata Syaikh Shalih Fauzan:
"Memulai salam hukumnya sunnah muakkadah dan menjawabnya hukumnya wajib".
(Tah-shilul Ilmam, 7/153).

Berkata Syaikh Utsaimin:
"Apakah kita wajib salam juga kepada seorang muslim padahal dia seorang yang mujahir (terang-terangan menampakkan) kemaksiatan?
Jawabnya: Tentu, walaupun dia seorang yang muhajir dengan kemaksiatan"
(Fathu Dzil Jalalil wal Ikram, 6/237).

Berkata Syaikh Abdullah al Bassam: "Janganlah meninggalkan salam apabila ada pada prasangkaannya bahwa muslim tersebut tidak akan membalas salamnya".
(Taudhihul Ahkam, 7/382).

Rumahku Surgaku

Rumahku Surgaku..

Kata yang indah idaman setiap rumah tangga.

Di coretan ringkas kali ini, penulis tidak menyoal tentang standarisasi sebuah rumah bagai surga.

Tapi yang menjadi titik pembahasan adalah sebuah hadits yang mencengangkan penulis ketika membacanya.

Yaitu hadits yang dibawakan oleh salah seorang ibunda kaum mukminin, Aisyah radhiallahu 'anha ketika ditanya oleh Al Aswad bin Yazid tentang kegiatan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam di rumahnya.

Beliau radhiallahu 'anha menuturkan:
"Rasulullah adalah seorang yang memenuhi kebutuhan keluarganya dan seorang yang berkhidmat kepada mereka. Apabila telah tiba waktu shalat maka beliau berwudhu dan keluar untuk shalat." (HR. Bukhari).

Subhanallah...

Diperjelas lagi dalam hadits lain, Aisyah radhiallahu 'anha mengatakan:
"Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam adalah seorang yang menjahit sendalnya dan mencuci pakaiannya. Dan kegiatan beliau shalallahu 'alaihi wa sallam di rumahnya, adalah sama seperti kegiatan salah seorang dari kalian di rumahnya.
Rasulullah adalah manusia sebagaimana manusia juga yang membersihkan pakaiannya, memerah susu kambing dan melayani dirinya sendiri". (HR. Tirmidzi, dishahihkan Syaikh al Albani).

Lalu, apakah hadits di atas akan lewat begitu saja ??

Tentu tidak !

Kita memohon pertolongan kepada Allah agar kita bisa menyisihkan waktu dan tenaga agar bisa berkhidmat kepada keluarga kita di rumah.

Mengerjakan pekerjaan rumah tangga tidaklah menurunkan kapasitas nilai seorang lelaki.

Rasulullah adalah sehebat-hebatnya lelaki, akan tetapi mengerjakan pekerjaan rumah tetap beliau jalani.

Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk nabi shalallahu 'alaihi wa sallam.

Semoga bermanfaat.

Selasa, 13 Januari 2015

Sedikit Mengingat Nikmat Bermanhaj

Sekedar mengingatkan saja kepada diri ini dan teman-teman semua bahwa saat ini kita sedang berada di atas kenikmatan.

Alhamdulillah kita tidak berada di atas kebingungan hizbiyyah, kita bisa membedakan mana MLM, mana sururi, mana ikhwani, mana tablighi.

Padahal orang-orang sedang kebingungan mencari mana manhaj yang benar. Ini disebabkan (diantaranya) karena berpalingnya mereka dari mempelajari atsar-atsar salafush shalih.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Sufyan ats Tsauri: "Pelajarilah oleh kalian atsar-atsar, barangsiapa yang mengatakan sesuatu (dari agama ini) dengan pendapat akalnya, maka katakan kepadanya: Pendapat akalku sama dengan pendapat akalmu."
(Hilyatul Aulia, Tahdzibnya 3/291).

Alhamdulillah kita juga tidak tertipu dengan polesan syubuhat ahlul ahwa yang menyamarkan manhaj salaf ini. Ini disebabkan -ba'dallah- bimbingan ulama kita yang menjelaskan cara kita bermanhaj.

Berkata Imam al 'Auzai: "Wajib bagimu untuk mengikuti salaf walaupun orang-orang menolakmu. Waspadalah dari pendapat-pendapat orang walau mereka menghias-hiasi ucapannya kepadamu. Karena sesungguhnya engkau berada di atas perkara yang jelas dan di atas jalan yang lurus". (Siyar A'lamun Nubala, tahdzibnya 2/683).

Alhamdulillah kita juga sampai saat ini masih diberi taufiq oleh Allah untuk lapang menerima bimbingan ulama sunnah kibar yang kokoh dalam bermanhaj semisal Syaikh Rabi ibn Hadi, Syaikh 'Ubaid al Jabiri, Syaikh Muhammad ibn Hadi dan ulama-ulama lainnya. Karena banyak manusia sekarang yang mengaku salafy, telah meninggalkan bimbingan ulama kibarnya.

Berkata Imam Yunus ibn 'Ubaid: "Mengagumkan orang-orang yang menyeru kepada sunnah di hari-hari ini. Dan lebih mengagumkan lagi adalah orang-orang yang menyambut sunnah dengan penerimaan". (Syarhus Sunnah al Barbahari 126).

Semoga Allah langgengkan kita tuk tetap selalu berada di atas kenikmatan ini karena Imam Az Zuhri berkata: "Dahulu ulama-ulama kami berkata: Sesungguhnya berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan." (Hilyatul Aulia, tahdzibnya 2/26).

Yaa Allah istiqamahkanlah kami dan para masyaikh serta asatidzah kami di atas islam. Dan wafatkanlah kami dan mereka di atas Islam dan as Sunnah. Amin.

* Atsar-atsar di atas dinukil dari Hayatus Salaf hal. 36-37

Ucapkan Salam Walau Tidak Dibalas

Berkata Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah:

"... Mengucakan salam adalah termasuk dari hak-hak muslimin yang harus ditunaikan di antara mereka.

Walaupun jika di antara mereka ada permusuhan atau sebagainya dari bentuk perselisiian yang ditanamkan setan di antara mereka.

Maka wajib bagi seorang muslim untuk saling memberi salam jika ada kerenggangan di antara mereka.

Dan yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai salam.

Telah datang hadits nabi: Jika ada dua orang yang saling berpaling, maka yang terbaik dari keduanya adalah yang memulai salam. (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Ayyub al Anshari).

Saling memberi salamlah walaupun di antara kalian ada salah paham..!

Hal ini akan menghilangkan kedengkian dan menumbuhkan kecintaan hati.

Adapun saling berpaling tanpa adanya salam, maka hal ini akan menambah kebencian dan permusuhan.

Salam di dalamnya ada maslahat yang besar. Maknanya adalah: Doa.

As Salam juga adalah salah satu dari nama dari nama-nama Allah.

Jika engkau mengucapkan: Assalamu'alaikum, maka maknanya: Nama Allah atasmu dan barakah atasmu serta semoga Allah memberi keselamatan padamu dari kejelekkan..."

(Dinukil dari Tah-shilul Ilmam bi Fiqhi Ahadits min Bulughil Maram-Syaikh Fauzan, juz 6, hal. 153).

Catatan:
* Nasehat di atas untuk kasus yang bersifat pribadi atau urusan dunia. Adapun kasus penyimpangan manhaj dan pelanggaran berat akhlak, prinsip tahdzir terhadap ahlul ahwa wal bida' harus dilakukan.

Ketika Lampu Padam

Lampu pun padam..

Kaget diiringi dengan sedikit kekecewaan bercampur tak karuan. Tak jarang, lisan sebagian orang pun tak tertahan. Memuntahkan ketidakpuasan perasaan.

PLN jadi sasaran misuhan.

Aktifitas otomatis terhenti sejenak, senter atau lilin dicari untuk bisa menerangkan keadaan sekitar.

Ketika penerangan ala kadarnya telah terpenuhi, obrolan ringan pun memulai seiring menunggu listrik menyala.

Ikhwatii fillah,
Mungkin itu gambaran umum situasi ketika listrik suatu rumah padam.

Mari sejenak kita bandingkan, bagaimana keadaan salaf ketika mendapati padam penerangan di gelapnya malam.

Al Qasim bin Muhammad bercerita, bahwasanya dahulu aku sering safar bersama Abdullah ibnul Mubarak.

Di benakku terlintas sesuatu tentang beliau.

Pikirku,
"...Dengan sebab apakah orang ini (maksudnya Ibnul Mubarak) bisa mendapat keistimewaan dibanding kami, sehingga dia bisa mencapai derajat kemasyhuran yang sedemikian hebat seperti sekarang...

Jika dia shalat, maka sesungguhnya kami pun shalat...

Jika dia puasa, kami pun puasa...

Jika dia berperang, kami pun berperang...

Jika dia berhaji, kami pun berhaji...".

Pada suatu hari, ketika di sebagian tengah safar, kami melintasi daerah Syam.

Ketika itu kondisi sudah malam.

Kami pun istirahat dan berhenti di suatu rumah.

Tuan rumah menyiapkan untuk kami santapan makan malam.

Tiba-tiba lampu padam.

Sebagian dari kami pun bangkit untuk mengambil lampu yang padam tersebut.

Lampu itu kemudian dibawanya sejenak untuk dinyalakan kembali.

Ketika lampu sudah dinyalakan dan didatangkan kepada kami, pandanganku ptn tertuju kepada Ibnul Mubarak.

Tenyata di wajahnya telah mengucur air mata, turun sampai membasahi jenggotnya.

Maka aku pun berkata kepada diriku,
"...Dengan sebab khasyah (rasa takut) inilah dia diistimewakan lebih dibanding kami.. Ketika lampu padam, Ibnul Mubarak di tengah kegelapan teringat akan hari kiamat.."

(Terjemah bebas dari kitab Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi, jil. 2, hal. 330, cet. Darul Hadits 2000).

Inilah Sejatinya Hidup


Seorang murid Abdullah Ibnul Mubarak mengisahkan perjalanannya bersama gurunya.
Suatu hari aku bersama Ibnul Mubarak, kami mendatangi siqayah (tempat penampungan air) dimana di tempat tersebut adalah tempat orang-orang yang ingin minum.

Kami pun mendekati tempat itu untuk minum di sana.

Orang-orang di sekitar siqayah tidak mengenali Ibnul Mubarak.

Mereka pun mendempet dan mendorong Ibnul Mubarak (karena berebut minum).

Ketika Ibnu Mubarak keluar dari tempat tersebut, beliau berkata: "Inilah sejatinya hidup !"

Yakni kehidupan yang kami tidak dikenal dan tidak dimuliakan.

(Lihat Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi, jil. 2, hal. 323, cet. Darul Hadits

Minggu, 04 Januari 2015

Termasuk Adab Ibnu Umar radhiallahu anhuma

Shahabat Ibnu Umar radhiallahu'anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya ada sebuah pohon yang daunnya tidak rontok. Dan dia laksana seorang muslim. Maka, beritahukanlah kepadaku pohon apakah itu?"

Orang-orang pun menyangka pohon tersebut adalah pohon yang berada di lembah pedalaman. Sedangkan diriku menerka bahwa pohon tersebut adalah pohon kurma.

Akan tetapi aku malu.

Para shahabat bertanya: Wahai Rasulullah beritahukan kepada kami, pohon apakah itu?

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Itu pohon kurma".

Berkata Abdullah bin Umar: Aku pun memberitahu kepada ayahku tentang terkaanku.

Maka ayahku berkata: Kalau saja engkau tadi menjawab, niscaya itu lebih aku sukai dibandingkan aku mendapat ini dan itu.
(HR. Bukhari 131 dan Muslim 2811)
💥💥💥

Faidah hadits yang terkait masalah Ilmu:

1. Menghormati orang-orang yang lebih tua, sebagaimana ini yang dilakukan oleh Ibnu Umar. Akan tetapi jika orang-orang yang lebih tua tidak mengetahui suatu permasalahan, maka seyogyanya bagi orang yang lebih muda untuk bicara jika memang dia mengetahui.
(Syarah Shahih Muslim an Nawawi 9/127).

2. Ibnu Umar dalam hadits di atas malu menjawab dimungkinkan karena dalam rangka pemuliaan kepada orang-orang yang lebih tua darinya, dengan cara memberitahukan kepada yang lain secara diam-diam agar bisa terjawab.
(Fathul Bari 1/351).

3. Malu bertanya itu lebih parah keadaannya dibanding malu menjawab. Karena jika tidak terjawab mungkin akan dijawab sendiri oleh sang penanyanya.
(Syarah Shahih Bukhari-Syaikh Ibnu Utsaimin 1/262)

4. Kegembiraannya seorang ayah atas kecerdasan dan pemahaman anaknya. Umar bin Khaththab menyayangkan hal di atas karena berharap dengan anaknya menjawab, maka nabi akan mengetahui baiknya pemahaman dam kecerdasan putranya, sehingga nabi akan mendoakan putranya.
(Syarah Shahih Muslim an Nawawi 9/127).

4. Bolehnya mengajukan pertanyaan kepada manusia dalam rangka menguji pemahamannya.
(Syarah Shahih Bukhari-Syaikh Ibnu Utsaimin 1/262).

Wallahu alam.

Para Salaf pun Tertawa

Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang !

Siapakah yang melarang tertawa?

Asalkan tertawa itu masih dalam batasan kewajaran..

Asalkan tertawa itu tidak menjadi kebiasaan..

Asalkan tertawa itu keluar dalam rangka mempererat persahabatan..

Maka tertawalah di momen yang memungkinkan.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pun tertawa. Para shahabat pun juga tertawa.

Imam Qatadah rahimahullah berkata, bahwa Shahabat Ibnu Umar radhiallahu anhu pernah ditanya:
"Apakah dahulu para shahabat nabi tertawa?"

Ibnu Umar menjawab:
"Ya, mereka tertawa. Dan iman di hati-hati mereka lebih besar dari gunung !"

(Lihat Hilyatul Aulia 1/311, dinukil dari Tahdzibnya hal. 138, cet. Daruth Thayyibah 2005).

Sabar Terhadap Takdir

Berkata Thawus rahimahullah:
"Tidaklah sesuatu yang diucapkan bani adam kecuali ada perhitungan atasnya. Sampai pun erangannya ketika sakitnya".
(Hilyatul Aulia, Tahdzibnya 2/28)

Berkata Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu:
"Tidak akan seorang hamba merasakan kelezatan iman sampai dia mengimani takdir seluruhnya dan meyakini bahwa dia akan dibangkitkan setelah kematian"
(Asy Syariah-Imam al Ajurry, hal. 218)

Berkata Ibnu Abbas radhiallahu anhu:
"Segala sesuatu terjadi dengan takdir. Sampaipun engkau meletakan tanganmu di lututmu".
(Asy Syariah-Imam al Ajurry, hal. 225).

[Dinukil dari Hayatus Salaf, hal. 21 dan 22, cet. Dar Ibnil Jauzi 2012]