Lampu pun padam..
Kaget diiringi dengan sedikit kekecewaan bercampur tak karuan. Tak jarang, lisan sebagian orang pun tak tertahan. Memuntahkan ketidakpuasan perasaan.
PLN jadi sasaran misuhan.
Aktifitas otomatis terhenti sejenak, senter atau lilin dicari untuk bisa menerangkan keadaan sekitar.
Ketika penerangan ala kadarnya telah terpenuhi, obrolan ringan pun memulai seiring menunggu listrik menyala.
Ikhwatii fillah,
Mungkin itu gambaran umum situasi ketika listrik suatu rumah padam.
Mari sejenak kita bandingkan, bagaimana keadaan salaf ketika mendapati padam penerangan di gelapnya malam.
Al Qasim bin Muhammad bercerita, bahwasanya dahulu aku sering safar bersama Abdullah ibnul Mubarak.
Di benakku terlintas sesuatu tentang beliau.
Pikirku,
"...Dengan sebab apakah orang ini (maksudnya Ibnul Mubarak) bisa mendapat keistimewaan dibanding kami, sehingga dia bisa mencapai derajat kemasyhuran yang sedemikian hebat seperti sekarang...
Jika dia shalat, maka sesungguhnya kami pun shalat...
Jika dia puasa, kami pun puasa...
Jika dia berperang, kami pun berperang...
Jika dia berhaji, kami pun berhaji...".
Pada suatu hari, ketika di sebagian tengah safar, kami melintasi daerah Syam.
Ketika itu kondisi sudah malam.
Kami pun istirahat dan berhenti di suatu rumah.
Tuan rumah menyiapkan untuk kami santapan makan malam.
Tiba-tiba lampu padam.
Sebagian dari kami pun bangkit untuk mengambil lampu yang padam tersebut.
Lampu itu kemudian dibawanya sejenak untuk dinyalakan kembali.
Ketika lampu sudah dinyalakan dan didatangkan kepada kami, pandanganku ptn tertuju kepada Ibnul Mubarak.
Tenyata di wajahnya telah mengucur air mata, turun sampai membasahi jenggotnya.
Maka aku pun berkata kepada diriku,
"...Dengan sebab khasyah (rasa takut) inilah dia diistimewakan lebih dibanding kami.. Ketika lampu padam, Ibnul Mubarak di tengah kegelapan teringat akan hari kiamat.."
(Terjemah bebas dari kitab Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi, jil. 2, hal. 330, cet. Darul Hadits 2000).
Kaget diiringi dengan sedikit kekecewaan bercampur tak karuan. Tak jarang, lisan sebagian orang pun tak tertahan. Memuntahkan ketidakpuasan perasaan.
PLN jadi sasaran misuhan.
Aktifitas otomatis terhenti sejenak, senter atau lilin dicari untuk bisa menerangkan keadaan sekitar.
Ketika penerangan ala kadarnya telah terpenuhi, obrolan ringan pun memulai seiring menunggu listrik menyala.
Ikhwatii fillah,
Mungkin itu gambaran umum situasi ketika listrik suatu rumah padam.
Mari sejenak kita bandingkan, bagaimana keadaan salaf ketika mendapati padam penerangan di gelapnya malam.
Al Qasim bin Muhammad bercerita, bahwasanya dahulu aku sering safar bersama Abdullah ibnul Mubarak.
Di benakku terlintas sesuatu tentang beliau.
Pikirku,
"...Dengan sebab apakah orang ini (maksudnya Ibnul Mubarak) bisa mendapat keistimewaan dibanding kami, sehingga dia bisa mencapai derajat kemasyhuran yang sedemikian hebat seperti sekarang...
Jika dia shalat, maka sesungguhnya kami pun shalat...
Jika dia puasa, kami pun puasa...
Jika dia berperang, kami pun berperang...
Jika dia berhaji, kami pun berhaji...".
Pada suatu hari, ketika di sebagian tengah safar, kami melintasi daerah Syam.
Ketika itu kondisi sudah malam.
Kami pun istirahat dan berhenti di suatu rumah.
Tuan rumah menyiapkan untuk kami santapan makan malam.
Tiba-tiba lampu padam.
Sebagian dari kami pun bangkit untuk mengambil lampu yang padam tersebut.
Lampu itu kemudian dibawanya sejenak untuk dinyalakan kembali.
Ketika lampu sudah dinyalakan dan didatangkan kepada kami, pandanganku ptn tertuju kepada Ibnul Mubarak.
Tenyata di wajahnya telah mengucur air mata, turun sampai membasahi jenggotnya.
Maka aku pun berkata kepada diriku,
"...Dengan sebab khasyah (rasa takut) inilah dia diistimewakan lebih dibanding kami.. Ketika lampu padam, Ibnul Mubarak di tengah kegelapan teringat akan hari kiamat.."
(Terjemah bebas dari kitab Shifatush Shafwah-Ibnul Jauzi, jil. 2, hal. 330, cet. Darul Hadits 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar