Selasa, 28 April 2020

Jangan Buang Air Kecil di Air yang Tidak Mengalir



Syaikh Abdurrahman as-Sa'dy rahimahullahu berkata, "Hadits ini menunjukkan akan haramnya buang air kecil (kencing/pipis) di dalam air yang diam, yakni air tidak mengalir yang dipersiapkan untuk mandi atau minum, karena hal itu merupakan sarana yang menjadikan najisnya air tersebut, dan (di dalam kaidah ushul fikih) tersebut bahwa sebuah sarana akan menghasilkan hukum yang dituju.

Dalam perbuatan ini pula (buang air kecil di dalam air yang diam) terdapat hal yang dapat mengganggu kaum muslimin dan memberikan dampak jelek kepada mereka".

(At Ta'liqat ala Umdatil Ahkam-Syaikh As Sa'dy, hal. 32, cet. Darul Atsar 2012)

Jagalah Kebersihan ketika Buang Air Kecil dan Bersucilah Jika Selesai


Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, "Bersuci (istinja/cebok) dari buang air kecil adalah perkara yang wajib dan berlaku tidak bersih (tidak menjaga dari najisnya) di dalam buang air kecil adalah perkara yang haram, oleh karenanya barangsiapa yang tidak bersih di dalam buang air kecil dan tidak bersuci/cebok ketika buang air kecil, maka dia pantas untuk mendapatkan azab di dalam kuburnya dan itu sebagai permulaan azab, nas'alullahas salamah".

(Al Ifham fi Syari Umdatil Ahkam-Syaikh Ibnu Baz, hal. 46, cet. Manaratul Islam 2015).

Jangan Boros dalam Menggunakan Air ketika Bersuci



Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Mengguyurkan air dan besikap sederhana di dalam menggunakan air adalah perkara yang dituntut, terlebih ketika ketersediaan air sedikit dan membutuhkan untuk ditampung, maka tidak boleh berlebih-lebihan di dalam menggunakannya.

Di hari-hari ini, sikap boros di dalam menggunakan air adalah perkara yang sudah luar biasa, dan ini tidak diperbolehkan, maka bersikap berlebih-lebihan di dalam setiap sesuatu adalah haram, baik dalam hal makan, minum, berwudhu, bersuci atau ibadah, sikap berlebih-lebihan ini tidaklah diperbolehkan, dan yang dituntut adalah bersikap adil (sederhana sesuai kebutuhan)".

(Ta'liqat ala Mukhtashar Zaadil Ma'ad-Syaikh Shalih Fauzan, hal. 54-55, cet. Maktabah al Imam adz Dzahabi Kuwait 2018).

Mengapa Khitan (Sunat) itu Wajib bagi Lelaki?



Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "Dalil akan wajibnya khitan bagi lelaki yang pertama adalah telah adanya hal ini di dalam hadits-hadits yang shahih bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam telah memerintahkan kepada orang yang telah masuk Islam untuk melakukan khitan, dan hukum asal pada kalimat perintah adalah wajib.

Kedua, bahwasanya khitan adalah ciri khusus antara muslimin dan nashrani, sampai-sampai jika di dalam perang, kaum muslimin dikenal dengan ciri khususnya mereka ini (sunat). Orang-orang berkata, "Khitan adalah sebagai pembeda", oleh karenanya, jika khitan dikatakan sebagai pembeda, maka ini adalah wajib, karena ini merupakan pembeda antara orang yang kafir dengan orang yang muslim. Maka hal ini termasuk dari haramnya bertasyabuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir, sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam sabdakan, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari kaum tersebut".

Ketiga, bahwasanya khitan adalah memotong sesuatu dari badan, dan memotong sesuatu dari anggota badan hukumnya haram, dan sebuah keharaman tidak bisa menjadi sesuatu yang diperbolehkan kecuali karena ada sesuatu yang wajib. Maka atas dasar ini jadilah khitan itu hukumnya menjadi wajib.

Keempat, bahwasanya khitan itu dilakukan oleh wali dari anak yatim, dan ini merupakan pelanggaran dari bentuk penjagaan harta dan badan dari anak yatim tersebut (seharusnya anak yatim itu dijaga badan dan hartanya, tapi dengan khitan, itu dikecualikan).

Semua ini adalah dalil-dalil yang ada pada riwayat dan ada pada selain riwayat yang menunjukkan atas wajibnya khitan untuk seorang lelaki."

(Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 450, cet. Maktabatush Shafa 2006).

Di antara adab Minum


Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, "Termasuk dari adab syari ketika minum adalah: minum dengan tangan kanannya dan jangan bernafas di dalam gelas.

Yang afdhal adalah menjadikan 3 kali nafas ketika minum, yakni memisahkan (menjauhkan) antara gelas dari hidungnya dan bernafas tiga kali (tidak minum sambil bernafas)

Jika minum air atau susu, janganlah bernafas di gelas karena kadang-kadang air itu akan diminum (kembali oleh orang lain) atau bisa jadi dia mengeluarkan sesuatu berupa kotoran dari hidungnya ke dalam air.

Yang sunnah adalah memisahkan, yaitu memisahkan antara gelas dari hidungnya dan bernafas (di luar gelas)".

(Al Ifham fi Syari Umdatil Ahkam-Syaikh Ibnu Baz, hal. 45, cet. Manaratul Islam 2015).

Modern itu Membuka Aurat... Itu Mah Lagu Lamanya Setan!


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk menutup auratnya baik ketika shalat, ketika di kesendirian, ketika di kesepian atau di tempat gelap dan di luar shalat.

Ini adalah perkara yang di hari-hari ini kebanyakan manusia telah melalaikannya, terkhusus ketika waktu mereka keluar bermain tatkala liburan, dan kebanyakan dari kalangan wanita ketika mereka tampak keluar dari rumah atau hadir di tengah-tengah kaum pria.

Ini adalah dampak dari adanya pertemuan-pertemuan kufur atau kumpulan berlabel Islam yang mengkampanyekan anggapan bahwa bertelanjang (tidak menutup aurat) adalah merupakan bentuk kemajuan, kemodernan dan keutamaan, sedangkan menutup aurat adalah sikap keterbelakangan dan kemunduran.

Ini adalah termasuk bagian dari makar setan bagi bani adam yang lampau (basi). Allah taala telah memperingatkan hal ini di dalam firman-Nya,

يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا

Artinya,
"Wahai anak adam, janganlah sekali-kali engkau ditipu oleh setan sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua ibu dan bapakmu dari surga, dialah (setan) yang telah melepaskan pakiannya dari keduanya untuk memperlihatkan aurat kepada keduanya". (QS. Al A'raf: 27)

(Al Khuthbatul Minbariyyah, jil. 2 hal. 339, cet. Maktabah Taubatil Islamiyyah 2014).

Al Farra*


Al Farra*

Beliau adalah seorang imam sekaligus seorang penulis. Berkuniyah Abu Zakaria dan bernama Yahya ibn Ziyad ibn Abdillah al Asadi. Beliau adalah seorang maula (bekas budak) dan berasal dari negeri Kuffah.

Nama besar Al Farra sebagai tokoh bahasa dan sastra arab tidak lepas dari peran besar gurunya, Ali ibnu Hamzah al Kisa'i rahimahullah. Melalui beliaulah, Al Farra banyak mengambil ilmu.

Perjalanan menuntut ilmu Al Farra sangat luar biasa, hal ini sebagaimana yang dipersaksikan oleh teman belajarnya, Hannad rahimahullahu, beliau menuturkan, "Dahulu Al Farra berkeliling bersama kami kepada para guru dan tidaklah kami melihat beliau menulis, kami menganggap bahwa beliau telah menghafalnya".

Murid Al Farra yang bernama Muhammad ibnul Jahm as Simary rahimahullahu berkata, "Aku tidak pernah melihat satu kalipun Al Farra membawa sebuah kitab kecuali satu kitab 'Yaafi wa Yaf'ah'". Oleh karenanya, tak heran jika Imam Adz Dzahabi menyatakan kedudukan Al Farra sebagai orang yang tsiqah.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sosok Al Farra tidak bisa dipisahkan dengan gurunya, Al Kisa'i. Keduanya adalah tokoh dari pembesar-pembesar yang dijadikan rujukan di dalam ilmu bahasa dan sastra arab, sampai Ibnul Anbari rahimahullahu berkata, "Kalau seandainya penduduk Baghdad dan penduduk Kuffah tidak ada ahli nahwu kecual Al Kisa'i dan Al Farra, niscaya sudah tercukupi".

Bahkan sebagian ada yang menyatakan, "Al Farra adalah amirul mukminin di dalam bidang nahwu".

Walau sebagian menganggap Al Farra lebih mengungguli gurunya, akan tetapi Al Farra sangat memuliakan gurunya, hal ini sebagaimana dinyatakan sendiri oleh muridnya Al Farra, Salamah ibn Ashim, beliau berkata, "Sesungguhnya aku kagum kepada Al Farra tatkala beliau begitu memuliakan Al Kisa'i padahal Al Farra lebih mengetahui ilmu nahwu dibanding Al Kisa'i (gurunya)."

Tentunya keunggulan Al Farra telah dipersaksikan oleh banyak orang, di antaranya Tsa'labah rahimahullahu, beliau berkata, "Jika bukan karena Al Farra -ba'dallah- niscaya tidak ada bahasa arab dan hilang karena beliaulah yang menghimpunnya di saat orang-orang mengubah bahasa arab semaunya dan masing-masing mengklaim sendiri (akan keaabsahannya)".

Tsumamah ibn Asyris rahimahullahu pernah merasakan langsung akan kecerdasan Al Farra, beliau menuturkan, "Aku melihat Al Farra dan akupun mengajaknya diskusi tentang ilmu bahasa, maka aku mendapati beliau adalah bahr (luas ilmunya), dan tentang nahwu, maka aku menyaksikan beliau seorang yang dapat mumpuni.
Ketika berdiskusi tentang ilmu fikih, maka aku mendapati beliau seorang yang mengetahui perselisihan-perselisihan ulama, dan tentang ilmu pengobatan, beliau adalah orang yang pintar, begitu pula dalam ilmu lain, seperti ilu sejarah kaum arab, syair dan ilmu perbintangan.
Aku pun memberitahu hal ini kepada Amirul Mukminin Al Makmun, maka beliau pun mencari Al Farra".

Setelah pihak istana bisa membawa beliau ke hadapan khalifah, maka sang khalifah menugaskan Al Farra untuk menyusun sebuah kitab yang bisa dimanfaatkan oleh orang banyak. Abu Budail al Wadhdhahi rahimahullah menukilkan bahwa Khalifah Al Makmun memerintahkan Al Farra untuk menulis setiap apa yang bisa dikumpulkan dari ushul (pondasi dasar) ilmu nahwu. Al Farra pun ditempatkan di dalam sebuah ruangan dan diberikan orang yang bertugas untuk melayani kebutuhannya agar bisa fokus di dalam menyelesaikan tugasnya. Tak hanya itu, khalifah memberikan pula orang-orang yang siap menulis imla-nya di lembar-lembar yang telah disediakan, hingga akhirnya, terusunlah sebuah karya yang dikehendaki.

Dikatakan pula ketika Al Farra membacakan salah satu kitabnya, Ma'anil Qur'an, berkumpulah manusia (untuk mengambil faidah) dan terdapat di antara kumpulan mereka sebanyak 80 qadhi, dan tersebut di dalam riwayat ketika Al Farra meng-imla-kan kitab tersebut, beliau membahas lafazh "al hamdu" dengan seratus lembar banyaknya".

Salamah rahimahullah berkata, "Al Farra meng-imla-kan kitab-kitabnya semua dengan hafalannya".

Dengan kehebatan Al Farra di dalam ilmu bahasa arabnya, membuat sang khalifah ingin agar anak-anaknya belajar kepada Al Farra. Maka dikirimlah dua putra khalifah kepada Al Farra untuk ditalqin-kan (diajarkan) ilmu nahwu kepada mereka. Mereka pun belajar, hingga terdengar kabar tentang perlakuan anak-anaknya kepada Al Farra, kedua putranya saling berebut untuk menyiapkan sandal Al Farra ketika beliau berdiri ingin pergi, mereka juga selalu mendahulukan Al Farra di dalam urusannya. Maka Khalifah Makmun mengomentari hal ini dengan positif, beliau rahimahullah berkata, "Tidaklah seseorang menjadi sombong dari tawadhu-nya dia kepada pengusanya, kepada ayahnya dan kepada pengajarnya (gurunya)."

Imam Adz Dzahabi menyatakan bahwa tulisan-tulisan Al Farra jika dihimpun akan terukur sekitar 3000 lembar.

Dikatakan bahwa Al Farra wafat di tengah perjalanannya menuju haji di tahun 207 H pada umur 63 tahun, rahimahullahu.

(Silahkan lihat Siyar Alamun Nubala karya Imam Adz Dzahabi 10/118-121).

* Dibaca Al Farro

Hukum Wanita Memakai Baju Putih


Syaikh kami (Syaikh Muhammad ibn Ibrahim alu Syaikh) pernah ditanya tentang pakaian berwarna putih yang dikenakan oleh wanita

Maka Asy Syaikh menjawab, "Tidak mengapa jika ada hajat (keperluannya), jika tidak ada hajatnya, maka yang afdhal adalah meninggalkannya, terlebih jika pakaian tersebut menyerupai pakaian a'jam (pakaian yang kurang syar'i)".

(Fatawa wa Rasail Samahatu Asy Syaikh Muhammad ibn Ibrahim, juz 2, hal. 167, cet. Mathba'atul Hukumah bi Makkah al Mukarramah 1399H).

Warasy (ورش)*


Beliau adalah seorang syaikh qira'ah di negeri Mesir, beliau berkuniyah Abu Said atau Abu Amr, namanya Utsman ibn Said ibn Abdillah ibn Amr al Qibthi al Ifriqy (dari afrika).

Dikatakan bahwa Warasy dilahirkan pada tahun 110 H dan beliau merupakan seorang maula (bekas budaknya) keluarga Az Zubair radhiallahu anhu.

Warasy adalah seorang yang sering mengkhatamkan Al Quran dengan bacaan yang indah kepada Imam Nafi, dan beliaulah yang memberikan julukan warasy kepada Warasy karena sangat putihnya kulit beliau.

Dalam bahasa, makna kata al warasy adalah susu yang terbuat, tetapi ada yang mengatakan bahwa lafazh warasy merupakan sebutan bagi seekor burung yang bernama warasyan, kemudian pengucapannyapun disederhanakan menjadi warasy.

Akan julukannya, Warasy tidaklah merasa keberatan, bahkan beliau bangga akan sebutan itu karena yang memberikan adalah sang gurunya, beliau berkata, "Guruku, Nafi yang menamakan ini".

Warasy seorang yang mahir dalam berbahasa arab, tak hanya itu, beliau telah mencapai derajat yang tinggi pula dengan predikatnya sebagai tokoh di dalam hal qira'ah.

Beliau adalah seorang yang tsiqah (terpercaya) dalam masalah pengajaran huruf dan menjadi hujjah (sandaran argumen), akan tetapi dalam ilmu hadits, beliau tidaklah tampak meriwayatkan apapun, Imam Adz Dzahabi berkata, "Adapun ilmu hadits, tidaklah kami melihat sesuatu apapun dan aku telah meneliti biografinya di dalam khabar para qurra".

Yunus ibn Abdil A'la, salah seorang muridnya sekaligus guru dari Imam Muslim berkata, "Beliau seorang yang bagus bacaannya, indah suaranya dan jika membaca beliau meng-hamz-kan, me-mad-kan, men-tasydid-kan dan menjelaskan i'rabnya sehingga tidak membuat bosan bagi orang yang mendengarnya.

Dikatakan bahwasanya beliau kerap menyetorkan bacaannya kepada Nafi sebanyak 4 kali khatam di dalam satu bulan.

Beliau meninggal di Mesir pada tahun 197 H, rahimahullahu.

(Silahkan lihat Siyar Alamun Nubala-Imam Adz Dzahabi, 9/295-296).

* Dibaca waros

Jeleknya Namimah


Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata, "Di dalam namimah terdapat kejelekan yang sangat besar, karena namimah akan menghasilkan fitnah-fitnah di kalangan manusia, dan juga akan adanya permusuhan.

Namimah yaitu Zaid mengucapkan sesuatu (yang jelek) kepada Amr, kemudian disampaikanlah ucapan Zaid tersebut kepada Amr.

Atau bisa juga namimah dilakukan dari jamaah ke jamaah lainnya, dan dari kabilah ke kabilah lainnya dari (penyampaian penukilan) ucapan yang jelek, sehingga menghasilkan permusuhan, kebencian dan membuka pintu-pintu perseteruan. Inilah yang dinamakan namimah.

Setiap ucapan yang engkau nukilkan dari sekelompok kaum kepada kaum lainnya, atau dari seseorang kepada orang lain yang mereka tidak ridhai atau tidak suka dari penukilan itu, sehingga menyebabkan fitnah, maka ini disebut namimah".

Di dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لا يدخل الجنة نمام
Artinya,
"Tidak akan masuk surga orang yang suka bernamimah". (HR. Bukhari)

Namimah termasuk dari dosa-dosa besar, oleh karenanya bagi siapa yang melakukannya sangat pantas untuk diberikan hukuman di kuburnya, sebelum dia dapatkan hukuman dari api neraka, na'udzubillah".

(Al Ifham fi Syarhi Umdatil Ahkam-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu, hal. 55, cet. Manaratul Islam)

Mengenal Jenis dan Pembagian Najis


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Najis itu bisa berupa hukmiyyah atau ainiyyah.

Yang dimaksud dengan najis hukmiyyah adalah benda suci yang terkena najis, sehingga benda suci tersebut menjadi najis.

Adapun najis ainiyyah adalah benda najis yang tidak mungkin tersucikan selama-lamanya, karena memang dzat bendanya sudah najis, kecuali jika berupa istahalat (yakni telah berubah dari bentuk asalnya). Sebagian ulama dan sebagian pendapat pada fikih mazhab, memandang bahwa hal itu (istihalat) tidaklah najis". (Syarhul Mumti, jil. 1,hal. 233, cet. Dar Ibnil Jauzi 2009).


Di dalam Fiqhul Muyassar disebutkan, "Najis terbagi menjadi tiga macam:

Najis Mughalazah, yakni najisnya anjing dan yang sejenis keturunannya.

Najis mukhafafah, adalah najis anak kecil laki-laki yang belum diberi asupan makan (masih minum asi ekslusif)

Najis mutawashithah, adalah najis yang tersisa (dari kedua najis di atas), seperti air seni, kotoran manusia dan bangkai". (Fiqhul Muyassar, hal. 49, cet. Dar Alamis Salam 2009)

Babi dan Anjing adalah Najis, tapi Berbeda dalam Bersuci dari Najisnya


Al Imam Asy Syaukani rahimahullahu berkata, "Najis-najis di antaranya adalah: kotoran manusia secara mutlak, air seni manusia, kecuali milik bayi lelaki yang masih menyusui, air liur anjing, kotoran keledai, darah haidh dan daging babi". (Matan Durarul Bahiyyah fil Masailil Fiqhiyyah).

Syaikh Zaid ibn Hadi al Madkhali rahimahullah berkata, "Daging babi juga seperti daging anjing. Najisnya (babi) itu lebih parah dibanding najisnya anjing, maka jika seekor babi menjilat sebuah bejana atau salah seorang mengenai bagian dari badan babi, maka dia wajib mencuci karena sebab najisnya. Air liur babi itu najis dan bagian badannya juga najis". (Syarhu Duraril Bahiyyah fil Masailil Fiqhiyyah, hal. 40, cet. Miratsul Anbiya 2018).

Di dalam Fiqhul Muyassar disebutkan, "Adapun najisnya babi, maka yang shahih adalah seperti najis-najis yang lain, yakni cukup dicuci dengan satu kali cucian jika bisa hilang dzat najisnya, dan tidak disyaratkan untuk mencucinya sebanyak tujuh kali". (Fiqhul Muyassar, hal. 51, cet. Dar Alamis Salam 2009)

Salah Kaprah Memaknai Kemudahan di dalam Islam


Syaikh Muhammad ibn Ibrahim alu Syaikh rahimahullahu berkata, "Kemudahan syariat dan kelapangan dalam syariat maksudnya adalah, bahwa masing-masing syariat datang di atas kemudahan, seperti mengqashar shalat yang berjumlah empat rakaat dan yang semisal itu.

Ini adalah makna kemudahan dari syariat, dan bukanlah maknanya yaitu meninggalkan kewajiban dan melakukan keharaman-keharaman.

Bahkan yang wajib adalah mengerjakan perintah Allah sesuai dengan batasan-batasan syariat, karena sebagian orang-orang yang bodoh menjadikan hal ini dengan cara yang kaku (tidak semestinya). Ini adalah tipuan setan dan bencana dari apa yang telah menimpa mereka".

(Fatawa wa Rasail-Syaikh Muhammad ibn Ibrahim alu Syaikh, juz 2, hal. 27-28, cet. Mathba'atul Hukumah bi Makkah Al Mukarramah)