Selasa, 31 Oktober 2017

Terjemah Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras 6

Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah berkata, "Di masa-masa akhir periode pertama hijriyah banyak didapati para tabiin, maka Al khalifah ar Rasyid Umar ibn Abdil Aziz rahimahullah memerintahkan mereka untuk menyusun sunnah-sunnah dan beliau menulis kepada para ulama di segenap penjuru, "Lihatlah segala apa yang telah kalian miliki (dari sunnah-sunnah dan atsar-atsar) kemudian tulislah menjadi satu, karena aku takut akan tersia-siakan ilmu sedangkan ulama akan pergi (wafat)." (Fathul Bari 1/204)

Maka banyak dari kalangan tabiin merealisasikan (perintah tersebut).

Kemudian munculah Imam negeri hijrah, Malik ibn Anas menyusun kitab Al Muwaththa dengan pengarahan dari khalifah al abbasiyyah Abu Jafar al Manshur agar di dalam kitab tersebut dimuat (hadits dan atsar) yang terpilih dengan penuh kecermatan. Imam Malik tidaklah meriwayatkan kecuali memang dari orang-oarng yang dikenal dhabt (kredibilitas) dan kemutkinannya (tajamnya hafalan), beliau berkata, "Sungguh, aku telah menemui sebanyak tujuh puluh syaikh yang berada di masjid rasulullah (masjidil haram) dan sesungguhnya satu-satu dari mereka niscaya akan amanah ketika diberikan titipan harta, akan tetapi aku tidak meriwayatkan sesuatu apapun dari mereka karena mereka bukankah orang yang ahli terhadap ilmu (hadits) ini." (Ad Dibajul Mazhab 1/21).

Adalah Kitab Al Muwaththa inilah yang merupakan kitab pertama kali yang menyusun khusus tentang hadits-hadits dan kebanyakan dari riwayat-riwayatnya berasal dari pembesar-pembesar tabiin semisal Az Zuhri, Salim ibn Abdillah ibn Umar, Nafi maula ibnu Umar dan Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr dan yang selain dari mereka."

Sumber
Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras, hal. 27, cet. Darul Istiqamah 2010

#terjemah_alhadits_khalil_harras

Terjemah Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras 5

Pencatatan As Sunnah

Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah berkata, "Adapun pencatatan hadits sesungguhnya telah dimulai sejak di zaman kenabian dimana terdapat seorang shahabat yang mulia yaitu Abdullah ibn Amr ibnul Ash radhiallahu anhu yang menulis setiap apa yang telah beliau dengar dari Rasulullah shallallahu alaihibwasallam, oleh karenanya Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, "Tidak didapati seorang shahabat rasulullah yang paling banyak haditsnya dibandingkan aku kecuali Abdullah ibn Amr ibnil Ash karena beliau dahulu menulis, sedangkan aku tidak menulis." (HR. Bukhari dan Muslim).

Abdullah ibn Amr pernah menamakan catatan-catatan teraebut dengan nama "shahifah ash shadiqah."

Demikian juga dengan Ali ibn Abi Thalib radhiallahu anhu, dahulu beliau pernah memiliki sebuah shahifah (catatan lembaran) dan di dalam shahifah tersebut terdapat pembahasan hukum tentang melepaskan tawanan, diyat dan tidak bolehnya seorang muslim dibunuh oleh orang kafir (dalam qishash).

Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan suatu hadits,
《من قتل له قتيل فهو بخير النظرين》
Artinya:
“Barangsiapa yang (anggota keluarganya) dibunuh, maka dia boleh memilih dengan dua pilihan.” (HR. Bukhari). Maka ada seseorang yang berasal dari negeri Yaman yang dikenal dengan pangilan Abu Syah berkata, "Tuliskanlah untukku wahai rasulullah". Maka Rasulullah berkata, "Tuliskanlah untuk Abu Syah".

Rasulullah juga dahulu menulis kepada para raja dan penguasa dimana hal ini teranggap juga sebagai hadits yang tertulis.

Nabi shallallahu alaihi wasallam tidaklah melarang untuk menulis hadits dengan pelarangan yang mutlak, akan tetapi bagi sebagian para shahabatnya hal ini diberikan keringanan.

Setelah wafatnya Nabi alaihishalatu wasallam hadits pun masih terjaga di dada-dada para shahabatnya, begitupun juga dengan para shahabat-shahabatnya yang masih kecil seperti Ibnu Abbas, Anas ibn Malik, Jabir ibn Abdillah dan lainnya, mereka dahulu mengumpulkan hadits-hadits dari para shahabat-shahabat nabi yang dewasa yang bertujuan agar dapat mengumpulkan segala apa yang telah didengarnya sendiri. Ketika telah dibukanya negeri-negeri dan berpencar-pencarnya para shahabat nabi di berbagai daerah, mereka pun berbondong-bondong untuk mengambil riwayat-riwayat hadits di sisi para shahabat yang dewasa agar bisa diajarkan kepada para tabiin".

Sumber
Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras, hal. 26, cet. Darul Istiqamah 2010

#terjemah_alhadits_khalil_harras

Terjemah Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras 4

Sekarang, sebelum kita masuk untuk membahas perkara-perkara yang tengah ditebarkan oleh orang-orang yang memusuhi sunnah dalam rangka mengotori sunnah yang suci, kami ingin terlebih dahulu mengenalkan apa itu sunnah?
Dan bagaimana caranya sunnah itu bisa tersusun sempurna?
Dan bagaimana juga cara penjagaan ulama dalam membawa dan menunaikan sunnah?
Dan bagaimana pula kedudukan sunnah di dalam syariat?
Dan bagaimana kedudukan ahlu hadits di antara para ulama?
Maka kami katakan, dengan pertolongan dan taufik dari Allah:

Al hadits adalah segala yang disandarkan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam berupa ucapan, perbuatan, taqrir (pendiaman/ persetujuan), sifat khalqi (bentuk tubuh) atau khuluqi (perangai/kepribadian).

Contoh dari ucapan adalah: Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, "Sesungguhnya amalan itu hanyalah (teranggap) dengan niatnya dan setiap orang terganrung dengan apa yang diniatkannya". (HR. Bukhari)

Adapun contoh dari perbuatan adalah: Kaab bin Malik radhiallahu anhu berkata, "Dahulu Nabi shallallahu alaihi wasallam jika baru datang dari safar (perjalanan jauh) memulai (sebelum langsung pulang ke rumahnya) dengan mendatangi masjid kemudian shalat di dalamnya". (HR. Muslim). Ini adalah sebuah hadits karena mengandung suatu perbuatan yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Contoh dari taqrir adalah: Ucapan Jabir ibn Samurah radhiallahu anhu , "Aku telah duduk bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam lebih dari seratus kali dan para shahabat kala itu saling melantunkan syair dan bercerita tentang perkara-perkara di masa-masa jahiliyyah dahulu dan nabi pun terdiam, dan terkadang nabi ikut (bercerita) bersama mereka". (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Imam al Albani dalam Mukhtashar Syamail).

Contoh dari sifat khalqi adalah: Ucapan Ali ibn Abi Thalib radhiallahu anhu dalam menyifati nabi, "Beliau bukanlah orang yang tinggi tapi tidak pendek, kedua telapak tanggan dan kedua kakinya tebal dan keras, kepala dan bahunya bidang, bulu dadanya panjang,.. dst" (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Imam al Albani dalam Mukhtashar Syamail).

Contoh sifat khuluqi adalah: Ucapan Aisyah radhiallahu anha, "Rasulullah bukanlah orang yang fahisy (perbuatan keji) dan tidaklah pernah berbuat fahisy, tidak berbuat gaduh di pasar, tidak membalas kejelekan dengan kejelekan pula, akan tetapi beliau memaafkan dan berdamai."

Sumber
Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras, hal. 24-25, cet. Darul Istiqamah 2010

#terjemah_alhadits_khalil_harras

Terjemah Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras 3

Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah berkata, "Perhatikanlah sikap yang mengherankan dari kaum khawarij ini! Sesungguhnya merekalah yang meminta kepada Abdullah ibn Khabbab rahimahullah untuk meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari ayahnya dan dari rasulullah, tapi ketika beliau melakukannya mereka malah membunuhnya.

Maka tidaklah mungkin bisa ditafsirkan sikap yang seperti ini kecuali salah satu dari dua kemungkinan, (pertama) bisa jadi orang-orang khawarij itu membenarkan (hadits itu), akan tetapi malah menyelisihinya. Maka kalau demikian, mereka menjadi orang-orang yang menyakiti Allah dan rasulNya. Maka dengan ini, mereka akan mendapatkan ancaman Allah ta'ala: "Barang siapa yang menyakiti Allah dan rasulNya maka sesungguhnya Allah maha keras siksanya". (Al Anfal: 13).

Atau bisa jadi (kemungkinan kedua) mereka mendustakan hadits, akan tetapi dari sisi mana mereka mau (menvonis) dusta? Apakah Abdullah seorang tabiin yang mulia? Atau ayahnya yang merupakan salah satu seorang shahabat nabi di awal-awal keislaman yang menanggung ujian di jalan Allah? Atau malah rasulullah (yang berdusta)? Maka mereka telah kufur dengan pendustaan tersebut!

Dengan sikap yang diperbuat oleh khawarij terhadap sunnah itulah akhirnya menjadi sebab sesatnya mereka, karena mereka telah menggunakan akal dan hawa nafsu di dalam beragama, serta banyaknya penolakan mereka terhadap hadits-hadits yang shahih, seperti hadits rajam, mengusap dua khuf dan selainnya.

Juga dengan keadaan mereka yang meremehkan sunnah dan mengikuti faham mu'tazilah, terlebih dengan penyimpangan-penyimpangan yang menjadi prinsip kemuta'zilahannya seperti hadits-hadits tentang sifat-sifat keadaan di hari kiamat, al qadha wal qadar dan semisalnya. Kemudian juga sikap mereka yang terus menerus memusuhi sunnah di setiap zamannya, dengan membuat berbagai konspirasi dan menulis tulisan-tulisan untuk menunaikan aksinya.

Akan tetapi Allah lah yang menjaga kitab-Nya dari perubahan dan penyelewengan, dan Allah juga lah yang menjaga sunnah nabi-Nya dari ulah-ulah tangan mereka yang hina, karena Allah telah menjadikan kedudukan sunnah nabi-Nya sebagai penjelas dan penafsir kitab-Nya. As Sunnah juga sebagai pengkhusus dari apa-apa yang masih bersifat umum pada Al Quran, pengqayid dari yang mutlak, penjelas dari yang masih samar, perinci dari yang masih bersifat umum.

Allah telah memerintahkan kepada nabi-Nya dengan al bayan sebagaimana telah diperintahkan dengan al balagh, Allah taala berfirman,

《وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون》
Artinya: "Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr agar kamu dapat menerangkan kepada manusia tentang perkara yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan". (An Nahl: 44)"

Sumber
Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras, hal 22-23, cet. Darul Istiqamah 2010

#terjemah_alhadits_khalil_harras

Terjemah Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras 2


Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah berkata, "Orang-orang khawarij yang memberontak kepada pemerintahan Ali ibn Abi Thalib setelah adanya masalah tahkim (datangnya Ibnu Abbas radhiallahu anhuma untuk berdialog dalam rangka menyadarkan mereka) dimana telah datang banyak hadits yang mencela mereka sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sabdakan, "Mereka keluar dari islam sebagaimana anak panah yang (tembus) keluar (mengenai target) dari buruannya, tidaklah iman mereka melewati kerongkongan-kerongkongannya." (HR. Bukhari) mereka ini adalah termasuk orang-orang yang paling memusuhi hadits, sampai (dikisahkan) ketika mereka berhasil menangkap Abdullah ibn Habbab ibnil Arrat radhiallahu anhu, mereka pun meminta Abdullah untuk meriwayatkan kepada mereka sebuah hadits yang didengarnya dari ayahandanya, Habbab ibnul Arrat dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Abdullah berkata kepada mereka, "Aku mendengar ayahandaku berkata, bahwa rasulullah bersabda, "Akan terjadi suatu fitnah, dimana orang yang duduk itu lebih baik dibandingkan orang yang berdiri, dan orang yang berdiri lebih baik dibanding orang yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik dibanding orang yang berlari. Maka jadilah seorang hamba Allah yang terbunuh dan jangan menjadi hamba Allah yang membunuh." (HR. Bukhari).

Orang-orang khawarij pun berkata kepada Abdullah, "Apakah Engkau benar-benar mendengar hadits ini dari ayahmu?" Abdullah menjawab, "Ya benar." Maka mereka pun langsung membunuh Abdullah di tepi sungai Daljah sampai darahnya memerahi air sungai, mereka juga membunuh dan merobek perut istrinya Abdullah yang sedang hamil. (HR. Musnad Abi Ya'la).

Ketika hal itu diketahui oleh Ali ibn Abi Thalib, beliau segera mengirim pasukan untuk memerangi mereka yang telah membunuh Abdullah ibn Habbab ibnil Arrat.

Ketika itu mereka berkata, "Kamilah semua yang membunuh." Maka Ali menjawab, "Kalau begitu sekarang saatnya berperang." Campuh perang pun terjadi di Nahrawan dan banyak di kalangan mereka (khawarij) yang terbunuh."

Sumber
Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras, hal 21-22, cet. Darul Istiqamah 2010

#terjemah_alhadits_khalil_harras

Senin, 30 Oktober 2017

Bermusyawarah adalah Jalan Para Salaf


Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, "Dahulu para qurra (penghafal Al Quran) adalah teman di majelis-majelisnya Umar ibnul Khaththab dan kawan dalam bermusyawarah baik yang kalangan tuanya maupun yang mudanya."
(HR. Bukhari)

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata juga, "Sesungguhnya dahulu aku benar-benar bertanya tentang satu perkara kepada tiga puluh para shahabat nabi."
(Siyar a'lamun Nubala-Imam Adz Dzahabi 3/344).

Imam Malik rahimahullah berkata, "Jika dahulu saja para shahabat rasulullah ketika mereka mendapati berbagai permasalahan tidaklah menjawab salah seorang dari mereka dari satu permasalahan sampai mereka melihat pendapat shahabatnya yang lain, padahal mereka adalah orang-orang dianugerahi kekokohan ilmu, taufik dan kesucian, lalu bagaimana dengan kita yang diliputi dosa-dosa dan berbagai kesalahan pada hati kita? "
(Adabul Mufti wal Mustafti-Ibnu Shalah, hal. 80)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Dahulu Umar ibnul Khtaththab radhiallahu anhu ketika mendapati dirinya suatu permasalahan, maka beliau bermusyawarah dengan para shahabat yang ada, tapi terkadang beliau mengumpulkan semua untuk memusyawarahkan bersama sampai-sampai Ibnu Abbas pun diikut sertakan padahal ketika itu Ibnu Abbas termasuk yang umurnya masih muda."
(I'lamul Muwaqi'in-Ibnul Qayyim 4/256).

Mengajak kepada Sunnah dan Melarang dari Bidah adalah Ibadah


Said ibnu Jubair rahimahullah menyatakan bahwa Ibnu Abbas radhiallahu anhu memandang kepada seorang ahlussunnah yang mengajak kepada sunnah dan melarang dari kebid'ahan adalah sebuah amalan ibadah."

(Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 26-27, cet. Darul Wasitiyyah 2015)

Bermusyawarah ketika Mendapatkan Perkara yang Rumit


Maimun ibn Mihran rahimahullah berkata, "Dahulu Abu Bakr ash Shiddiq jika ingin memutuskan suatu perkara maka beliau melihat kepada kitabullah (Al Quran), jika terdapat jawaban di dalamnya maka beliau memutuskan dengan hal itu.

Jika beliau mengetahui jawabannya ada pada sunnah rasulullah, maka beliaupun menetapkan keputusannya dengan itu.

Jika beliau tidak mengetahui, maka beliau keluar dan bertanya kepada kaum muslimin (para shahabat nabi) tentang sunnah, jika perkaranya rumit, maka beliau memanggil tokoh-tokoh muslimin (para shahabat nabi) dan ulama-ulamanya untuk bermusyawarah bersama."

(HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar di dalam al Fath)

Ikhlashlah dalam Mengajar dan Berdakwah


Al Imam Abdurrahman As Sady rahimahullahu berkata, "Sudah menjadi sebuah keharusan atas seorang pengajar dan seorang dai ilallah untuk mengerahkan keikhlashan yang sempurna di dalam proses kegiatan mengajarnya dan dakwahnya, dan jangan menjadikan itu semua sebagai sarana untuk mendapatkan harta, kedudukan dan manfaat (dunia)."

(Taisir Lathifil Mannan-Syaikh As Sady, hal. 222)

channel telegram khusus catatan faidah ulama dari hadits-hadits.

Info
Bismillah,
Alhamdulillah, telah dibuat channel khusus catatan faidah ulama dari hadits-hadits.

Bagi teman-teman yang mau lihat-lihat, tafadhal kunjungi channel link kami di telegram.me/PetikanFaidahHadits

Semoga bermanfaat, Jazakallahukhaira

#info

Kedermawanan Rasulullah


Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, "Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah seorang yang kedermawanannya menyentuh ke seluruh macamnya, beliau mencurahkan ilmu, harta dan jiwanya karena Allah di dalam menebarkan agama-Nya dan hidayah kepada manusia.

Serta memberikan manfaat kepada manusia di setiap jalan berupa memberikan makanan kepada orang yang lapar dan memberikan nasehat kepada orang-orang yang jahil serta membantu manusia di dalam menunaikan kebutuhan-kebutuhan mereka dan meringankan beban mereka."

(Lathaiful Maarif-Ibnu Rajab, hal. 173-174).

channel telegram khusus catatan faidah kitabul jami dari Bulughul Maram.

Info
Bismillah,
Alhamdulillah, telah dibuat channel khusus catatan faidah kitabul jami dari Bulughul Maram.

Bagi teman-teman yang mau lihat-lihat, tafadhal kunjungi channel link kami di telegram.me/KitabulJamiBulughulMaram

Semoga bermanfaat, Jazakallahukhaira

#info

Jangan Lupakan untuk Menyebut Gurumu ketika Menyampaikan Faidah yang Berasal Darinya


Imam Asy Suyuthi rahimahullah berkata, "Termasuk dari keberkahan ilmu dan bentuk rasa syukur adalah menisbatkan ilmu kepada yang mengatakannya."
(Al Mazhar fi Ulumil Lughah)

Ibnul Jauzi rahimahullah ketika menyebutkan keutamaan dari Al Wazir ibnu Hubairah rahimahullah mengatakan, "Beliau ketika memberikan sesuatu faidah, maka berkata: Aku mendapatkan faidah ini dari Fulan."
(Adz Dzail ala Thabaqatil Hanabilah 1/255)

(Dinukil dari An Nubadz fi Adabi Thalabil Ilmi-Hamd Ibrahim al Utsman, hal. 199-200).

Awas, Jangan Menjadi Jongosnya Iblis!


Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Iblis mempunyai wakil (jongos) di bumi, yaitu orang-orang yang menghalang-halangi manusia dari menuntut ilmu dan bertafaqquh fid diin (mendalami ilmu agama).

Mereka ini lebih berbahaya dari setan-setan jenis manusia dan jin, karena mereka telah memalingkan hati-hati (seorang hamba) dengan hidayah Allah dan jalan Allah."

(Miftahu Daris Saadah-Ibnul Qayyim al Jauziyah, 1/160).

Al Kibr dan Al Ujub di Sisi Imam Ibnul Mubarak


Abu Wahb al Marwazi rahimahullah pernah bertanya kepada Al Imam Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah tentang apa itu al kibr (sombong), maka beliau menjawab, "Al kibr (sombong) adalah ketika engkau merendahkan manusia."

Lalu beliau ditanya kembali tentang apa itu al ujub, maka beliau menjawab, "Al Ujub adalah ketika engkau menganggap bahwa di sisimu ada sesuatu (keutamaan) yang tidak ada pada manusia."

(Tadzkiratul Huffazh-Khathib al Baghdadi, 1/378).

Tiga Adab yang Paling Utama Atas Seorang Alim


Imam Ibnu Abdilbar rahimahullah berkata, "Termasuk adab yang paling utama dari seorang yang berilmu (alim) adalah ketawadhuannya dan meninggalkan ujub (bangga diri) terhadap ilmunya serta menjauh dari sifat cinta ketenaran."

(Jamiu Bayanil Ilmi wa Fadhlihi-Ibnu Abdilbar, hal. 223)

Selasa, 17 Oktober 2017

Seorang Pengajar Hendaknya Berakhlak Mulia

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "Para pengajar wajib untuk mencontohkan akhlak yang utama nan mulia di hadapan para anak didiknya, dan hendaknya mereka menjauhi setiap akhlak yang rendah nan tercela, karena seorang pengajar itu mengajarkan akhlak sebagaimana dirinya mengajarkan ilmu-ilmu."

(Lihat Adh Dhiyaul Lami-Syaikh Utsaimin, hal. 15, cet. Maktabatush Shafa 2005).

Senin, 16 Oktober 2017

Menjauh dari Ketenaran


Imam Al Baihaqi rahimahullah berkata, "Ketahuilah bahwa pokok dari sebuah ketenaran adalah suka jika ucapannya tersebar dan terkenal dan ini merupakan bahaya yang besar, keselamatan itu terdapat pada ketidaktenaran.

Para ahlul ilmi tidaklah menginginkan kemasyhuran dan tidak menyodorkan diri-dirinya kepada ketenaran, dan juga tidak menempuh sebab-sebab untuk menjadi terkenal.

Namun jika mereka terkenal karena kehendak Allah, mereka pun berlari menjauh dari itu dan menetapi jalan untuk tidak menjadi terkenal."

(Az Zuhd al Kabir-Imam Al Baihaqi, hal. 122)

Teruslah Menuntut Ilmu


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

《لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ ثم َتَرَكَ》
Artinya:
Janganlah seperti si Fulan. Dahulu ia rajin shalat malam, sekarang ia meninggalkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan faidah terkait hadits ini, beliau berkata, "Di antara faidah dari hadits ini adalah pentingnya dan besarnya perkara seorang insan yang dirinya telah memulai menuntut ilmu syar'i, kemudian Allah bukakan (kemudahan ilmu) bagi dirinya dengan apa yang Allah bukakan, tapi kemudian dia tinggalkan (tidak lagi menuntut ilmu).

Sesungguhnya ini adalah kufur nikmat terhadap apa yang Allah telah berikan kepadanya.

Maka jika engkau telah memulai menuntut ilmu, hendaknya dirutini secara terus menerus kecuali jika memang ada sesuatu hal yang menyibukkan dari perkara darurat, jika tidak ada, maka teruslah menuntut ilmu..."

(Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin 7/61)

Amalkan Ilmumu


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Wahai para pengajar jika engkau telah mengetahui suatu permasalahan agama maka beramalah dengannya, jika tidak maka apa gunanya ilmu itu!

Bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang belajar ilmu kedokteran akan tetapi dia tidak mau mengobati, baik terhadap dirinya sendiri atau kepada orang lain, apa faidahnya kalau begitu?!

Demikian juga dengan ilmu-ilmu syariat yang tidak diamalkan, dimana ini seharusnya tentu lebih-lebih lagi perkaranya, karena jika engkau telah mengamalkannya maka itu merupakan ilmu yang paling bermanfaat untukmu, namun jika engkau menyelisihi ilmumu niscaya ilmu itu akan menjadi penghujat atas dirimu sendiri."

(Lihat Adh Dhiyaul Lami-Syaikh Utsaimin, hal. 15, cet. Maktabatush Shafa 2005).

Bahaya Laten Hawa Nafsu


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Seorang insan wajib untuk berhati-hati dari hawa nafsu karena bisa jadi dia telah selamat dari penyembahan kepada patung, pohon dan kuburan serta telah mengetahui tauhid dan sunnah akan tetapi dia tidak selamat dari mengikuti hawa nafsunya.

Ini adalah musibah yang besar!

Maka wajib bagi seorang muslim untuk waspada dari hawa nafsunya, yakni ketika menjadikan hawa nafsunya sebagai yang diikuti dari apa-apa yang datang dari Rasulullah shallalahu alaihi wasallam."

(Syarah Syarhus Sunnah-Syaikh Fauzan, hal. 33, cet. Maktabah Hadyi Muhammadi 2013).

Beban Berat yang Kita Tidak Akan Sanggup Memikulnya



Pernahkah Anda memikul beras satu karung besar di punggung Anda? Tentunya sangat berat dan melelahkan. Akan tetapi tahukah Anda, ada yang lebih berat dari itu yang kelak akan Anda panggul di punggung Anda, apakah itu?

Seorang Tabi'in yang bernama Maimun bin Mihran rahimahullah berkata, "Wahai bani adam, ringankanlah beban di punggungmu, karena punggungmu tidak akan mampu untuk memikul setiap beban yang diberikan dari berupa kezhaliman, memakan harta orang dan mencela. Lantas, apakah semua itu akankah engkau pikul di atas punggungmu? Oleh karenanya ringankanlah beban di punggungmu. Sesungguhnya amal-amal kalian itu sedikit. Maka ikhlashlah (semata karena Allah) apa yang sedikit tersebut." (Hilyatul Aulia-Abu Nu'aim al Ashbahani 7/30-31).

Jika Anda tidak mampu memanggul kezhaliman berupa memakan harta orang tanpa hak, maka mengapa Anda masih tidak jujur dalam berniaga? Mengapa Anda masih khianat terhadap harta atasan Anda?

Jika Anda tidak mampu memanggul kezhaliman berupa dosa mencela, maka mengapa Anda masih suka bersuuzhan (berburuk sangka) terhadap saudara Anda seiman? Mengapa Anda mudah memvonis jelek terhadap saudara Anda semuslim?

Astaghfirullahal 'azhim.. betapa berat beban punggung ini kelak di hari kiamat jika kita tidak segera bertaubat.

Orang yang Berakal Tidak Melecehkan Seorang pun


Imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata, "Seorang yang berakal tidaklah melecehkan seorang pun, karena barang siapa yang melecehkan penguasanya maka rusaklah dunianya, barang siapa yang melecehkan orang-orang yang bertakwa maka binasalah agamanya, barang siapa yang melecehkan saudaranya maka hilanglah kewibawaannya dan barang siapa yang melecehkan manusia maka hilanglah penjagaannya."

(Raudhatul Uqala-Ibnu Hibban, dinukil dari Al Muntaqa min Kitabi Raudhatil Uqala wa Nuzhatil Fudhala, hal. 14, cet. Darul Istiqamah 2010).

Apa itu Shidqul 'Azhimah?


Syaikh Hafizh al Hakami rahimahullahu menjawab, "Shidqul 'Azhimah adalah meninggalkan rasa malas dan angan-angan serta mengerahkan segenap kemampuan untuk berlaku jujur di dalam ucapannya dengan amalannya. Allah taala berfirman,

《يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُون * كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ》
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu katakan apa yang kamu tidak kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah ketika kamu mengatakan apa-apa yang kamu tidak kerjakan". (QS. Ash Shaf: 2 dan 3).

(A'lamus Sunnah Al Mansyurah-Syaikh Hafizh al Hakami, hal. 7, cet. Darul Furqan 2011)

Semangat untuk Mengulang-ulang Hafalan


Imam Al A'masy rahimahullah berkata, "Dahulu Ismail ibn Raja mengumpulkan anak-anak yang belajar di kuttab (sejenis TPA) kemudian beliau membaca hadits-hadits kepada mereka (murajaah) agar hadits-hadits yang telah beliau hafal tidak lupa."

(Kitabul Ilmi-Ibnu Qutaibah ad Dainuri, dinukil dari Tahdzibnya hal. 39, cet. Darul Atsar 2007)

Tidak Mencela ketika Mengajar, Tidak Meremehkan ketika Belajar


Sufyan ibnu Uyainah rahimahullah berkata, "Disukai bagi seorang alim jika mengajarkan (ilmu) tidak mencela (muridnya) dan jika diajari tidak meremehkan (gurunya)."

(Kitabul Ilmi-Ibnu Qutaibah ad Dainuri, dinukil dari Tahdzibnya hal. 19, cet. Darul Atsar 2007)

Tetap Perhatian Walau Sudah 1000 Kali Mendengar



Imam Az Zurnuji rahimahullah berkata, "Seyogyanya bagi seorang penuntut ilmu untuk mendengarkan ilmu dan hikmah dengan pengagunggan dan penghormatan, walaupun dia telah mendengar satu permasalahan atau satu kalimat (yang sama) sebanyak seribu kali."

Dikatakan (oleh para ulama), "Barang siapa yang tidak mengagungkan ilmu setelah (mendengarnya) sebanyak seribu kali seperti pengagunggannya ketika di kali yang pertama, maka dia bukanlah seorang ahlul ilmi."

(Ta'limul Muta'allim-Az Zurnuji, hal. 82, cet. Darush Shahabah 2013).

Antara Ilmu dan Harta


Ali ibn Abi Thalib berkata, "Wahai Kumail, ilmu itu lebih baik daripada harta, karena ilmu akan menjagamu dan harta engkaulah yang menjaganya. Harta akan habis ketika diinfakkan (dibelanjakan) dan ilmu akan bertambah jika diinfakkan (diajarkan)."

(Kitabul Ilmi-Ibnu Qutaibah ad Dainuri, dinukil dari Tahdzibnya hal. 15, cet. Darul Atsar 2007)

Orang yang Tidak Butuh Biasanya Orang yang Dekat



Kaab al Akbar berkata kepada suatu kaum dari penduduk Syam, "Bagaimana pendapat kalian tentang Abu Muslim al Khaulani?" Mereka menjawab, "Betapa bagusnya pandangan kami terhadap beliau dan kami mengambil (manfaat) darinya."

Maka Kaab berkata, "Sesungguhnya manusia yang paling tidak butuh kepada orang hikmah adalah keluarganya. Sesungguhnya bisa dipermisalkan akan hal itu adalah adanya sebuah mata air yang melimpah airnya yang terdapat di tengah sebuah kaum, orang-orang asing sangat bersemangat untuk mengambil airnya sedangkan orang-orang yang dekat merasa tidak butuh. Yang memperjelas hal keduanya itu adalah ketika air dari mata air tersebut mengucur dan mengenai orang-orang yang memanfaatkannya, adapun yang lainnya (yang tidak kebagian), mereka saling menyesal."

(Kitabul Ilmi-Ibnu Qutaibah ad Dainuri, dinukil dari Tahdzibnya hal. 11, cet. Darul Atsar 2007)

Berbicaranya Orang yang Berakal


Imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata, "Seorang yang berakal itu:
Tidak memulai bicara kecuali jika ditanya,
Tidak banyak berdialog/debat kecuali memang dapat menerima (bagi yang kalah hujjah),
Tidak cepat menjawab kecuali sudah pasti (benarnya)."

(Raudhatul Uqala-Ibnu Hibban, dinukil dari Al Muntaqa min Kitabi Raudhatil Uqala wa Nuzhatil Fudhala, hal. 14, cet. Darul Istiqamah 2010).

Bagaimana cerminan akidah pada kehidupan dan perangai seorang muslim?


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu menjawab, "Sebagaimana saya terangkan, jika akidahnya benar maka benar pula amalannya seorang muslim, karena akidah yang benar akan membawa seorang muslim kepada amalan-amalan shalih dan akan menghantarkan kepada keabaikan dan kepada perbuatan-perbuatan yang terpuji.

Oleh karenanya jika seseorang bersyahadat laa ilaha illallah dengan syahadat yang terbangun di atas ilmu dan yakin serta mengetahui konsekuensinya, maka hal itu akan menghantarkan kepada amalan-amalan yang shalih karena syahadat laa ilaha illallah bukanlah semata-mata hanya diucapkan di lisan saja, akan tetapi harus diyakini dan diamalkan.

Tidaklah benar syahadat ini dan tidak juga bermanfaat kecuali jika ditunaikan konsekuensinya berupa amalan-amalan shalih. Maka, tunaikanlah rukun-rukun islam dan rukun-rukun iman serta apa-apa yang bisa menambahnya dari perintah-perintah agama, syariat-syariat, sunnah-sunnah dan amalan-amalan penyempurna lainnya."

(Terjemah bebas dari Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh al Fauzan, jil. 1, hal. 25-26, cet. Darul Bashirah 2009).

Jangan Langsung Menyikapi


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, " Seorang insan dipuji atas niat baiknya, akan tetapi terkadang tidak terpuji atas jelek perbuatannya, kecuali jika dirinya seorang yang dikenal sebagai seseorang yang suka menasehati dan membimbing, karena hendaknya dia diberikan udzur atas perbuatannya yang jelek tersebut dan juga dicarikan udzur atas hal itu.

Juga yang seharusnya kita tidak menyikapi dirinya karena perbuatan jeleknya tersebut dengan sikap yang tidak hikmah, bahkan tidak boleh serta merta langsung menyikapi dan menjelek-jelekkan dirinya dengan sesuatu yang dia tidak kerjakan.

Akan tetapi hendaknya dia diberikan udzur lalu dijelaskan perkaranya kemudian dinasehati dan dibimbing serta ucapkanlah kepadanya, "Wahai akhi, ini ucapanmu atau perbuatanmu adalah bagus dan benar di sisimu, akan tetapi tidak tepat (jika diucapkan atau dikerjakan) di keadaannya atau di tempatnya atau di waktunya."

(Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 36, cet. Dar Ibnil Jauzi 2006)

channel telegram khusus terjemahan kitab-kitab tipis

Info
Bismillah,
Alhamdulillah, telah dibuat channel khusus terjemahan kitab-kitab tipis secara berurut, insya Allah.

Bagi teman-teman yang mau mengunjungi, tafadhal gabung di salah satu channel link kami ini telegram.me/TerjemahKutaib

Jazakallahukhaira

Waktu Bukan untuk Dihabiskan, Akan Tetapi untuk Dimanfaatkan


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Waktu yang teranggap murah di sisi mayoritas manusia ini, terasa lama bagi mereka. Hingga mereka merasa jenuh dan berkata, "Kami ingin menghabiskan waktu", mereka pun pergi ke tempat-tempat permainan atau bepergian keluar untuk mengisi liburan dan waktu. Atau ada juga yang diisi dengan gelak tawa dan canda untuk menghabiskan waktu.

Maka mereka yang telah membuang-buang waktu dan yang menyia-nyiakannya niscaya akan menjadi orang-orang yang merugi dan menyesal di hari kiamat. Waktu adalah sumber kebahagiaan, jika mereka menjaganya.

(Syarah Tsalatsatil Ushul-Syaikh Shalih Fauzan. Dinukil dari Jami Syuruh ats Tsalatsatil Ushul, hal. 42, cet. Ibnul Jauzi 2012).

Pengaruh dari Keyakinan bahwa Allah Bersamamu


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Jika engkau beriman bahwa Allah itu bersamamu, mengetahuimu, melihatmu dan yakin tidak ada sesuatu apapun yang bisa tersembunyi darimu, maka sesungguhnya perasaan ini akan menguatkan rasa takutmu kepada Allah. Maka pada titik keadaan seperti ini, engkau telah menyempurnakan rasa muraqabah (merasa diawasi Allah).

Karena sesungguhnya jika seandainya engkau berada di kamarmu yang gelap dan tidak ada seorangpun di sisimu, engkau pun berkata bahwa Allah azza wa jalla bersamanu dan Dia di atas arsy-Nya, niscaya engkau akan takut kepada-Nya dan tidak akan berbuat sesuatu yang membuat murka-Nya."

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 130, cet. Maktabatush Shaffa 2005)

Apa Tanda Kecintaan Seorang Hamba kepada Rabb-nya?


Syaikh Hafizh al Hakami rahimahullau menjawab, "Tandanya adalah:
Hamba tersebut mencintai segala yang dicintai Allah
Membenci apa yang dibenci Allah
Mengerjakan perintah-perintah Allah
Menjauhi larangan-larangan Allah
Berloyalitas dengan Wali-wali Allah
Membenci musuh-musuh Allah.

Oleh karenanya tali iman yang kuat adalah cinta karena Allah dan benci juga karena Allah."

(A'lamus Sunnah Al Mansyurah-Syaikh Hafizh al Hakami, hal. 6, cet. Darul Furqan 2011)

Janganlah Menyembah Hawa Nafsu


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Syirik tidaklah terbatas pada penyembahan patung atau berhala saja, bahkan di sana ada yang lain, yaitu hawa nafsu.

Seorang insan yang tidak menyembah patung, pepohonan, bebatuan dan kuburan, akan tetapi dia mengikuti hawa nafsunya, maka seperti ini dia adalah hamba dari hawa nafsunya.

Maka seorang insan wajib untuk berhati-hati dan janganlah mengikuti kecuali dengan apa yang mencocoki Al Kitab (Al Qur'an) dan As Sunnah."

(Syarah Syarhus Sunnah-Syaikh Fauzan, hal. 32, cet. Maktabah Hadyi Muhammadi 2013).

Hindari Perbedaan dalam Berteman Selama tidak Menyelisihi Syariat


Abul Barakat Badruddin Muhammad al Ghazi rahimahullah berkata, "Di antara adab berteman adalah meminimalkan perselisihan terhadap saudaranya dan (berusaha untuk) senantiasa mencocoki mereka di dalam perkara yang diperkenankan oleh ilmu dan syariat. Berkata Abu Utsman: mencocoki saudaranya itu lebih baik dibandingkan dengan mengasihaninya."

(Adabul Isyrah-Abul Barakat, hal. 17, cet. 1968)

Mengajak kepada Kebaikan Niscaya akan Mendapat Gangguan


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Sudah lumrah, bahwa siapa saja yang berdakwah kepada manusia, mengajak kepada perkara yang maruf dan melarang dari perkara yang mungkar, maka sesungguhnya dia tengah menyodorkan dirinya kepada gangguan dan kesusahan, karena mayoritas manusia tidaklah menginginkan kebaikan, bahkan yang mereka inginkan adalah berbagai macam syahwat yang haram dan hawa nafsu yang batil.

Jika ada seorang yang datang untuk mendakwahinya kepada jalan Allah dan ingin mengembalikan mereka dari (kejelekan) syahwat-syahwatnya, niscaya di antara mereka akan menolaknya baik dengan ucapan maupun perbuatan.

Maka sudah menjadi kewajiban atas orang yang berdakwah kepada jalan Allah dan orang yang menginginkan wajah Allah untuk bersabar terhadap gangguan dan tetap lanjut untuk berdakwah kepada jalan Allah.

Teladan kita di dalam hal ini adalah para rasul alaihim shalatu wasalam, dan sebaik-baik mereka dan penutupnya adalah Muhammad shallallahu alaihi wasallam."

(Syarah Tsalatsatil Ushul-Syaikh Shalih Fauzan. Dinukil dari Jami Syuruh ats Tsalatsatil Ushul, hal. 40, cet. Ibnul Jauzi 2012).

Jadikan Ilmumu Bermanfaat Juga bagi Orang Lain


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Seorang insan tidak boleh merasa cukup ketika dia telah belajar dan beramal untuk dirinya, sedangkan dia tidak berdakwah kepada Allah.

Akan tetapi dia hendaknya mengajak juga kepada orang lain agar (ilmunya) dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan bermanfaat juga bagi orang lain, karena ilmu ini adalah sebuah amanah dan bukanlah ilmu yang engkau miliki ini dijadikan sebuah simpanan yang tiada guna bagi manusia. Manusia itu butuh kepada ilmu.

Maka wajib bagi dirimu untuk menyampaikan dan menjelaskan serta mendakwahkan manusia kepada kebaikan.

Ilmu yang Allah anugerahkan kepada engkau ini, bukanlah sebagai wakaf untukmu semata, sesungguhnya ilmu ini adalah untukmu dan juga untuk orang lain, maka janganlah engkau tahan ilmu itu dari dirimu sehingga manusia terhalang dari manfaat ilmu yang engkau simpan sendiri, bahkan yang seharusnya yang engkau lakukan adalah menyampaikannya dan menjelaskannya kepada manusia."

(Syarah Tsalatsatil Ushul-Syaikh Shalih Fauzan. Dinukil dari Jami Syuruh ats Tsalatsatil Ushul, hal. 39, cet. Ibnul Jauzi 2012).

Bertanya tentang Bagaimana Cara Allah Beristiwa itu adalah Bid'ah


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, "Hal itu ada dua sisi.
Sisi yang pertama:
Bahwasa pertanyaan tentang ini adalah pertanyaan tentang agama dan akidah, tidak ada pada perkara ini keterangan dari kalangan para shahabat nabi.

Tidak ada satu pun di kalangan mereka bertanya kepada nabi shallallahu alaihi wasallam tentang bagaimana caranya Allah beristiwa, padahal mereka adalah orang-orang yang paling antusias tergadap sesuatu yang berkaitan dengan Allah taala. Terlebih, ketika itu ada yang mungkin bisa diminta jawabannya yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Jika sebabnya ada dan penghalangnya telah hilang, maka mesti adanya sesuatu. Akan tetapi para shahabat nabi tidak menanyakannya, mereka tidak bertanya, "Wahai rasulullah bagaimana cara beristiwanya?". Hal itu terjadi karena adab para shahabat nabi kepada Allah dan rasul-Nya, serta ilmu yang ada pada mereka bahwa hal itu (bertanya tentang cara beristiwa) tidak akan mungkin dapat dicerna (indera) dan tidak akan ada keinginan-keinginan (membahas masalah) yang seperti ini melainkan datang dari orang-orang yang menyimpang.

Oleh karenanya kami katakan bahwa pertanyaan tentang ini (bagaimana cara beristiwanya Allah) adalah bid'ah.

Sisi yang kedua:
Bahwa bertanya tentang hal ini adalah termasuk dari ciri-ciri ahlu bid'ah. Mereka bertanya, "Bagaimana cara beristiwanya Allah?", "Bagaimana caranya Allah turun?", "Bagaimana caranya Allah datang?", "Bagaimana rupa tangannya Allah?", "Bagaimana rupa wajahnya Allah?", dan pertanyaan-pertanyaan yang semisalnya.

Tidaklah seorang pun yang bertanya tentang bagaimana caranya kecuali dia adalah ahlu bid'ah."

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 121-122, cet. Maktabatush Shaffa 2005)

Apakah Allah Beristiwa di Atas Arsy-Nya Sebelum Langit dan Dunia Diciptakan?


Allah berfirman,

《إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأمْرَ 》
Artinya:
"Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan." (QS. Yunus: 3)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata tentang ayat ini, "Yakni setelah menciptakan langit dan bumi, Allah beristiwa di atas arsy. Maka, apakah sebelum diciptakan (langit dan bumi) Allah beristiwa juga atau tidak?
Jawabnya, jika kita katakan tidak, maka kita salah. Jika kita katakan iya, maka kita salah juga, karena Allah mengkabarkan bahwa berisitiwanya ke atas arsy-Nya hanya setelah penciptaan langit dan bumi, dan berhenti (tidak dikabarkan) bagaimana (kejadian) sebelumnya. Maka kita wajib diam (tentang hal ini) dan kami katakan (atas jawaban pertanyaan ini dengan) wallahu alam.

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 119, cet. Maktabatush Shaffa 2005)

Bermusyawarahlah dengan Ahlinya


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "(Hendaknya) bermusyawarah dengan ahlul ilmi dan meminta pendapatnya. Setiap insan itu tergantung (pada permasalahannya), contohnya: jika engka ingin melakukan sesuatu yang menyangkut urusan agama maka bermusyawarahlah dengan ahlul ilmi, karena mereka lebih tahu dengan perkara agama dibandingkan yang lainnya.

Jika engkau ingin membeli rumah maka bermusyawarahlah dengan seorang yang memahami di daerah itu, jika engkau ingin membeli kendaraan maka bermusyawarahlah dengan orang yang ahli mekanik kendaraan dan demikianlah seterusnya."

(Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 34, cet. Dar Ibnil Jauzi 2006)

Berikanlah Kebahagiaan bagi Orang Sakit


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "... Jika engkau lihat bahwa orang yang sakit itu menyukai dirimu untuk tinggal lama di sisinya (menemaninya) maka berlama-lamalah sejenak bersamanya dan (dengan tindakan ini) engkau tengah di atas kebaikan dan mendapat pahala.

Berlama-lamalah engkau di sisinya dan berikanlah kesenangan padanya, boleh jadi ketika engkau memberikan kebahagiaan kepada hatinya, bisa menjadikan sebab untuk kesembuhannya karena kebahagiaannya orang yang sakit dan kelapangan dadanya merupakan penyebab terbesar kesembuhan."

(Disadur bebas dari Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 33, cet. Dar Ibnil Jauzi 2006)

Efek Dahsyat dari Menjenguk Orang Sakit


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Di dalam amalan menjenguk orang sakit terdapat faidah yaitu teraihnya kecintaan dan kasih sayang, karena ketika ada seorang menjenguk, maka orang yang sakit tersebut niscaya akan selalu mengingat orang yang menjenguknya, dan setiap dia teringat akan hal ini maka akan timbul kecintaan kepadanya.

Ini merupakan kenyataan yang banyak terjadi, yaitu ketika orang yang sakit itu sembuh dan bertemu denganmu, maka dia akan didapati berterima kasih kepadamu dan engkau dapati juga hatinya terasa lapang karena sebab engkau dahulu menjenguknya."

(Disadur bebas dari Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 32, cet. Dar Ibnil Jauzi 2006)

Agar Pengeluaran Nafkahmu Bernilai


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda

《إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فيِ امْرَأَتِكَ》
Artinya: "Sesungguhnya tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah dengan niat untuk mencari wajah Allah, kecuali engkau akan diberi pahala, sampai pun apa-apa yang engkau berikan ke mulut isterimu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata tentang hadits di atas, "Yakni sampai pun suapan (makanan) yang engkau suapkan kepada istrimu, maka akan diberikan pahala jika diniatkan untuk meraih wajah Allah, padahal bersamaan dengan itu, menafkahi istri adalah memang perkara yang wajib (atas suami)..."

Syaikh rahimahullah melanjutkan, "... Dan demikian juga jika engkau nafkahi anak-anakmu, ibumu dan ayahmu, bahkan kepada dirimu sendiri, jika memang nafkah yang dikeluarkan itu semua engkau niatkan untuk mendapat wajah Allah, maka Allah akan mengganjarmu (dengan pahala)."

(Disadur dari Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 30, cet. Dar Ibnil Jauzi 2006)

Puasa itu Menyehatkan Badan


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Hadits nabi,
《صوموا تصحوا》
Artinya:
"Berpuasalah kalian, niscaya kalian akan sehat."

Diriwayatkan dari nabi dan terdapat di sebagian kitab-kitab sunnah.

Jika memang pada sanadnya tidak kuat, akan tetapi maknanya shahih karena di dalam puasa ada manfaat kesehatan bagi badan, yaitu mencegah sesuatu yang bisa menyebakan sakit, dan ini telah tersaksikan oleh para ahli pengobatan dan pengalaman nyata."

(Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh al Fauzan, jil. 2, hal. 225, cet. Darul Bashirah 2009).

Perhatikan Waktumu di Bulan Ramadhan


Syaikh Muqbil ibn Hadi rahimahullah berkata, "Waktu itu lebih berharga dibandingkan emas, karena nanti kita akan ditanya di hari kiamat, bahwa kelak tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba sampai ditanya tentang empat perkara, dan salah satunya adalah untuk apa dahulu umurnya dihabiskan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
《نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ》
Artinya:
"Dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu nikmat kesehatan dan waktu luang”. (HR. Bukhari).

Umur itu berjalan karena karunia dari Allah, maka sudah sepantasnya engkau digunakan umurmu untuk bertaqarrub kepada Allah dengan menghadiri majelis ilmu dan menuntut ilmu mengambil faidah, bisa jadi dengan satu faidah, bisa membuat hidupmu berubah.

Janganlah engkau anggap dirimu pada posisi sendiri dan menuntut ilmu di posisi yang lain, akan tetapi jadikanlah engkau dan menuntut ilmu itu berada di posisi yang satu . Taufik itu datang dari sisi Allah dan hidayah itu berada di Tangan Allah, maka sudah sepantasnya bagi kita untuk kembali kepada Allah di bulan yang barakah ini dan memberikan haknya Ramadhan berupa kebaikan."

(Ijabatus Sail-Syaikh Muqbil ibn Hadi, hal. 168, cet. Maktabah Shana al Atsariyah 2016).

Jangan Sembarangan Menisbatkan kepada Agama Allah


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Agama bukanlah apa-apa yang dianggap baik oleh seseorang atau pendapat seseorang, karena ini sesungguhnya bukan agama Allah, ini adalah agama buatan manusia yang diada-adakan olehnya.

Adapun agama Allah adalah apa-apa yang disyariatkan-Nya.

Dan segala pendapat orang dengan pemikiran-pemikiran mereka bukanlah agama Allah, ini hanya agama hasil pemikiran.

Janganlah seseorang sembarangan menisbatkan kepada agama Allah, kecuali memang itu telah disyariatkan oleh Allah melalui lisan rasul-Nya shallahu alaihi wasallam."

(Syarah Syarhus Sunnah-Syaikh Fauzan, hal. 30, cet. Maktabah Hadyi Muhammadi 2013).

Aroma Mulut Orang yang Berpuasa


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

《والذي نفس محمد بيده لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ》
Artinya:
“Demi Dzat (Allah) yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak misk.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Makna 'khuluf fami ash shaaim' adalah aroma tidak sedap yang timbul di penghujung hari dikarenakan rasa lapar dan disebabkan kosongnya perut, maka dengan itu timbullah aroma tidak sedap yang terkadang mengganggu teman duduk.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkabarkan bahwa aroma tidak sedap yang kita tidak suka tersebut tenyata di sisi Allah itu lebih wangi dibandingkan aroma wangi misk karena puasa adalah tameng."

(Ijabatus Sail-Syaikh Muqbil ibn Hadi, hal. 163, cet. Maktabah Shana al Atsariyah 2016).

Tauhid adalah Perkara Penting di Dalam Beragama


Syaikh Abdurrahman ibn Qashim rahimahullah berkata, "Sesungguhnya ilmu tentang tauhid adalah ilmu yang mulia dan agung dan ini sudah menjadi hal yang semestinya.

Bahkan menjadi kewajiban atas setiap individu yang berakal, baik laki-laki maupun wanita untuk bersungguh-sungguh di dalam mempelajarinya dan mengetahuinya agar dia bisa beragama di atas bashirah (keterangan yang jelas)."

(Lihat Syarah Al Aqidah As Safariniyyah-Syaikh Abdurrahman ibn Qasim. Dinukil dari Jami Syuruh Al Aqidah As Safariniyah, hal. 61, cet. Dar Ibnul Jauzi 2008).

Kemuliaan Al Quran


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Kemuliaan pada Al Quran meliputi:
1. Banyaknya pahala di dalam membacanya
2. Banyaknya kebaikan di dalam mengamalkannya
3. Keindahannya."

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 106, cet. Maktabatush Shaffa 2005)