Syaikh Shalih alu Syaikh hafizhahullah berkata, Di antara sebab terjadinya dan tersebarnya kebid'ahan adalah sikap istihsan (menganggap baik) akal di dalam menimbang nash syari.
Syariat ini adalah perkara yang sudah sempurna, maka tidak boleh untuk istihsan (menganggap baik) terhadap akal pada ranah ibadah, karena bentuk peribadahan pada asalnya adalah tidak diketahui illat-nya (sebabnya).
Mengapa dijadikan shalat zhuhur itu empat rakaat dan shalat maghrib tiga rakaat? Mengapa magrib tiga rakaat dan setengah setelahnya, isya empat rakaat? Mengapa ada penentuan di dalam bertasbih begini dan begitu? Ini adalah ibadah ibadah yang tidak diketahui illat-nya.
Oleh karenanya, wajib bagi seseorang di dalam peribadahan untuk berhenti pada nash syari, karena pada hal itu (pertanyaan-pertanyaan yang terkait di atas) sesungguhnya tiada illat yang jelas untuk diketahui. Maka para ulama pun berkata, "Ibadah-ibadah ialah sesuatu yang tidak diketahui illat-nya", yakni pada keumumannya, dan hikmah bukanlah illat.
Hikmah tersifati dengan keterbatasan, adapun illat adalah perkara yang menghasilkan dari sana suatu hukum-hukum untuk menilai suatu permasalahan dengan menggabungkan antara permasalahan satu dengan permasalahan lain yang terdapat nash-nya.
Maka, illat perkara lain, dan hukum-hukum perkara yang lain juga (tidak sama).
(Disadur dari Al Bida', wa Bayanu Haqiqatuha wa Atsarul Bida' fi Hayatil Muslim-Syaikh Shalih alu Syaikh, hal. 21, dinukil dari Majmu Rasail wa Durus fi Dzammil Bida' wa Khatharul Ibtida', cet Dar Ibnil Jauzi 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar