Minggu, 10 November 2024

Lisanmu Itu Lho !


Ucapan yang keluar dari seseorang adalah bukti dari isi hatinya. Hati tak bisa dilihat namun hati bisa dinilai dengan tanda-tandanya. Di antara salah satu tanda yang bisa menilai isi hati seseorang, adalah ucapan atau lisannya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,

أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ Perlindungan Lingkungan dan Perlindungan Lingkungan أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

"Ketahuilah, di dalam jasad itu ada sekerat daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ingatlah, bahwa segumpal daging itu adalah al qalbu (hati).." (HR. Bukhari dan Muslim).

Fenomena yang terjadi saat ini adalah merebaknya bahasa-bahasa kasar dan kotor di kalangan anak-anak. Entah, dari situlah mereka dapat memperbendaharaan kata-kata itu.

Anak-anak rentan terhadap niru-meniru. Oleh karena itu lingkungan atau tontonan sangat berpengaruh terhadap akhlak dan perilaku anak. Kata-kata: ban *t, anj g, gob**k atau kata-kata lainnya yang kami berat untuk mengetiknya, sangat perih terdengar. Menyayat hati. Apakah sudah hilang tuturan kata yang baik dan sopan pada generasi muda ini..

Di sisi lain, mereka sangat mudah untuk mencela, mencerca, memberi tahu orang lain dengan kata-kata kasarnya. Padahal Rasulullah bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang tidak menyadari apa dampak negatifnya, akan membuatnya terlempar ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Mari kita mulai dari diri kita, janganlah kita mudah untuk mengucapkan tidak baik. Pilihlah bahasa-bahasa yang baik dalam berkomunikasi. Kita tidak tahu, barangkali ada anak-anak yang sedang di sekitar, mendengar bahasa-bahasa tidak baik dari percakapan kita. Bukankah seorang mukmin harus baik dalam menjaga lisannya? Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ الْفَاحِشِ وَلاَ الْبَذِيءِ

“Seorang mukmin itu bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, suka berkata keji, dan suka berkata kotor.” (HR. Tirmidzi, hadits yang disahihkan oleh Syaikh Al Albani).

Ketika kita sudah membiasakan bertuturkata yang baik, maka semoga Allah menjaga putra-putri kita juga dari tuturan kata yang tidak pantas, aamiin.

Setelah Hidup Ini Ada Dua Tempat di Kehidupan Selanjutnya. Pilih yang Mana?


Tenang dan tetap fokus merupakan sikap baik yang tidak semua orang bisa capai. Terlebih lagi ketika datang hantaman dan goncangan yang sebelumnya tak ada, bahkan mungkin tidak terpikirkan. 


Frustasi dan terpuruk akan menjadi akhir dari sikap emosi dan lepas kendali yang sebelumnya telah terluap. Oleh karena itu tetap kalem dan berpikir positif adalah titik awal seseorang dalam mencapai ketenangan di dalam pikiran dan tetap fokus terhadap langkah dan solusi terbaik pada permasalahan.


Salah satu kisah yang mungkin bisa menginspirasi hal ini adalah sebuah kisah yang telah dicontohkan shahabat Anas ibnun Nadhr radhiallahuanhu dalam Perang Uhud.


Syawwal, pada tahun 3 Hijriah. Di saat tengah Perang Uhud terjadi, kaum musyrikin Quraisy berhasil menguasai medan perang, kaum muslimin serentak mundur, mencari perlindungan. Anas ibnun Nadhr radhiallahuanhu bertanya kepada mereka yang mundur, "Apa yang kalian lakukan?". "Rasulullah telah terbunuh", jawab mereka. Lalu Anas ibnun Nadhr berkata, "Lantas apa yang akan kalian lakukan sepeninggal beliau (Rasulullah)? Bangkitlah kalian dan gugurlah di atas apa yang beliau wafat!".


Kemudian para shahabat pun berbalik arah, mereka segera kembali maju menerjang musuh. Tak lama kemudian, Anas ibnun Nadhr bertemu dengan Sa'ad ibnu Mu'adz radhiallahuanhu. Lalu Anas pun berkata kepada Sa'ad, "Wahai Sa'ad, demi Allah sesungguhnya Aku menemukan aroma al jannah di bawah Uhud". Maka Anas pun maju ke tengah peperangan hingga ia hilang dan terdapat 70 luka di sekujur badannya". (Lihat Al Fushul, Ibnu Katsir, hal. 116, cet. Maktabatul Ma'arif KSA).


Kisah di atas merupakan potret seorang sahabat yang masih mampu tenang dan fokus terhadap tujuan hidup. Ketika berita hoax akan wafatnya Rasulullah di medan Uhud ditebarkan oleh pasukan Musyrikin, maka sebagian para shahabat tercengang dan terpukul. Siapa yang tidak tergoncang ketika dikabarkan orang yang paling dicintainya telah tiada? Terlebih lagi seorang komandan di tengah perang. 


Di tengah serangan balik yang hebat dari kalangan musyrikin, sebagian shahabat ada memutuskan untuk mundur ke belakang, karena memang keadaan yang sulit waktu itu. Mendapat serangan dan tak ada sang komandan yang mengarahkan pertempuran, menjadi sebuah alasan kuat bagi mereka yang mundur.


Namun lihatlah kisah di atas! Anas ibnun Nadhr radhiallahuanhu dengan tegar, tetap tenang dan fokus. Mengingatkan bahwa apa tujuan hidup kita sebenarnya? Bukankah hidup kita ini untuk meraih kebahagiaan hakiki di akhirat? Bukankah kita telah mengikrarkan diri untuk setia dalam mengikuti Rasulullah? 


Lalu, kenapa kita lari di saat Rasulullah telah wafat? Marilah kita mati di atas jalan Rasulullah wafat, yaitu di jalan Islam yang selamat! Demikian pola pikir cerdas seorang Anas ibnun Nadhr. Sehingga Allah pun membuktikan kejujuran ucapan beliau dengan amal nyata, yakni maju menerobos ke tengah campuh perang sehingga Allah taala mengabulkan apa yang diinginkan, yakni dengan mati syahid di atas jalannya Rasulullah menutup umurnya. Di jalan perjuangan Islam.


Pembaca, hidup di dunia bukanlah tujuan kita. Ada kehidupan yang kekal setelah kehidupan sekarang. Kehidupan yang hanya ada dua pilihan. Neraka atau surga. Maka, jika kita menemukan masalah dan ketidaknyamanan hidup, ingatlah ini adalah sebuah kewajaran. Semua akan menuntut kedewasaan kita. Semakin kita bisa mengendalikan emosi dan menstabilkan pikiran, maka solusi dan jalan keluar akan lebih cepat datang, ba'dallah tentunya. 


Oleh karenanya, mari kita introspeksi diri, sudahkah kita jujur dengan tujuan hidup kita? Amal apa yang telah, sedang dan yang akan kita lakukan di dalam membuktikannya? Ingat, setelah hidup ini ada dua tempat pilihan di kehidupan lain. Kita mau yang mana?


Wallahu alam, semoga bermanfaat.

Hidayah, Jangan Lengah dan Jangan Lelah


Di setiap majelis, sebagai pembuka khutbah seringkali kita mendengar rangkaian khutbatul hajah. Dari rangkaian khutbatul hajah tersebut terdapat petikan kalimat,


ﻣَﻦْ ﻳَﻬْﺪِﻩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓَﻼَ ﻣُﻀِﻞَّ ﻟَﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻀْﻠِﻞ ْ ﻓَﻼَ ﻫَﺎﺩِﻱَ ﻟَﻪُ


“Barangsiapa yang Allah berikan petunjuk, maka tidak ada yang dapat mengirimnya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepadanya..”


Kalimat di atas bukanlah berposisi sebagai pemanis atau pembuka majelis saja tetapi lebih dari itu, kalimat ini adalah kalimat yang penting dan dalam maknanya, dan sudah seharusnya kita resapi bersama kemudian kita dijadikan sebuah prinsip hidup di dalam dada.


Kisah hidup Shahabat Salman Al Farisi radhiallahuanhu adalah salah satu contoh yang bisa kita ambil kisahnya dari penjabaran kalimat khutbatul hajah di atas. Beliau adalah seorang yang dahulunya tidak mengenal Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, namun ketika hidayah itu Allah kehendaki datang untuk dirinya, maka betapa mudahnya jalan-jalan menuju hidayah tersebut sampai. 


Begitu pula sebaliknya, jika kita melihat kisah paman Rasulullah yang bernama Abu Thalib, dia sejak kecil sudah mengenal beliau Shallallahu Alaihi Wasallam. Bahkan dialah yang mendidik dan membesarkan Rasulullah hingga diangkat menjadi nabi. Akan tetapi mengapa di akhir hayat Abu Thalib, begitu sulitnya lisan untuk bisa mendorong mengucapkan lailahaillallah, padahal dia adalah orang yang menerima, membela bahkan ikut merasakan getirnya dakwah Islam di masa awal pengutusan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam nabi menjadi. Mengapa lisannya kelu untuk bersyahadat? Benarlah apa yang telah difirmankan Allah taala,


إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى يَشَ آء ُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ


“Sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) tidak akan dapat memberikan petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al Qashash : 56).


Inilah hidayah. Tidak bisa dipesan, tidak bisa dititipkan dan tidak bisa dipastikan. Semua atas kehendak Allah dan manusia tidak bisa mencampurkan urusan ini, karena Allah adalah Dzat yang Maha Hikmah. Hanya Allah yang berhak memilih siapa saja orang-orang yang pantas menerima hidayahNya. 


Bagi kita, maka memberi nasehat dan mengajak orang-orang untuk bisa menerima hidayah ini, adalah salah satu usaha sederet yang bisa kita lakukan. Tidak lebih. Orang-orang yang kita sayangi dan sayangi, walaupun siang malam kita berdakwah, tapi jika hidayah itu belum turun kepada mereka, maka kita hanya bisa terus dan terus usaha dan doa. Sekali lagi, urusan hidayah itu adalah mutlak dan murni urusan Allah subhanahu wa ta'ala.


Sekarang, bagi kita yang telah mendapat nikmat hidayah ini, apakah kita hanya menerima saja tanpa ada usaha untuk mempertahankannya? Tentu saja tidak! Kita harus ada upaya untuk terus berada di atas hidayah ini. 


Jangan sampai terlintas di benak kita untuk mundur dari manisnya hidayah ini!

Mundur dari ilmu.

Mundur dari dakwah. 

Mundur dari ibadah.

Mundur dari semua aktivitas dan kegiatan dakwah. 


Memang. Lelah, letih dan capek dalam aktivitas dakwah adalah suatu kepastian. Tapi ketahuilah, semua itu akan memberikanmu sebuah nilai ibadah. Adapun kekurangan harta atau kesempitan ruang gerak usaha di dalam upayanya untuk tetap di dalam aktifitas dakwah, sadarlah wahai teman, itu juga merupakan suatu kemestian. Tapi jika itu dijalani oleh seorang yang tetap teguh di dalan aktivitas dakwahnya, maka yakinlah, Allah pasti akan menjaminnya dan Allah pasti akan menjaganya di dunia dan di akhirat. Allah tidak akan menelantarkan hamba-hambaNya yang membela agamaNya.


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ


"Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad: 7)


(Tulisan terhasil dari catatan tausiyah bada ashar bersama Al Ustadz Abu Nasim Mukhtar hafizhahullahu ta'ala di Mahad Riyadhul Jannah-Cileungsi, 18 Dzulqadah 1443H / 18 Juni 2022)

Keutamaan Menunggu Shalat Selanjutnya setelah Selesai Shalat


Asy Syaikh Muhammad ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata,

انتظار الصلاة بعد الصلاة:
يعني ان الانسان من شدة شوقـه الى الصلوات كل مافرغ من صلاة فاذا قلبه متعلق بالصلاة الاخرى ينتظرها, فان هذا يدل على ايمانه ومحبتة وشوقـه الى هذا الصلوات العظيمـة التي قال عنها رسول الله صلى الله صلى الله عليه وسلم, "وجعلت قرة عيني في الصلاة". فاذا كان الانسان ينتظر الصلاة بعد الصلاة فان هذا مما يرفع الله به الدرجات ويكفر به الخطايا والسيئـات

Menunggu shalat setelah shalat yakni bahwasanya seorang insan tengah sangat rindunya pada shalat-shalat. Setiap ia selesai shalat, maka hatinya akan terpaut dengan shalat yang selanjutnya ia pun menunggunya.

Maka yang demikian ini, menunjukkan atas imannya, kecintaan dan kerinduannya kepada shalat-shalat yang agung ini dengan apa yang telah disabdakan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, "Dan dijadikan padaku sebagai penyejuk mataku pada perkara shalat".

Oleh karenanya jika seorang insan menunggu shalat setelah shalat, sesungguhnya inilah yang akan membuat Allah menaikkan derajat dan yang akan menghapuskan dosa dan kesalahan-kesalahan.

(Syarh Riyadhish Shalihin, Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal 400).

Zaman Tersebarnya Kebodohan Membutuhkan Kelemah Lembutan di dalam Menasehati

 Syaikhul Waalid Ibnu Baaz rahimahullahu berkata,


"هذا العصر: عصر الرفق والصبر والحكمة، وليس عصر الشدة. الناس أكثرهم في جهل وفي غفلة وإيثار للدنيا، فلا بد من الصبر،  ولا بد من الرفق؛ حتى تصل الدعوة، وحتى يبلغ الناس، وحتى يعلموا، ونسأل الله للجميع الهداية"

"Zaman ini adalah zaman (yang mwmbutuhkan) kelemahlembutan, sabar dan hikmah, bukan zamannya keras/kaku. Kebanyakan manusia berada di dalam kebodohan, tenggelam pada kelalaian dan lebih mementingkan dunia, maka sudah semestinya untuk bersabar, sudah seharusnya untuk berlemah lembut, sampai dakwah tersampaikan dan sampai manusia mengetahui/mengilmui. Kami memohon kepada Allah al hidayah untuk semuanya".

(Al Fatawaa Ibn Baaz, 8/376)

Berwudhu dalam Keadaan Terlihat Auratnya. Apakah Boleh?



Pertanyaan

ﻳﻈﻦ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻭﺃﻦ ﻚ ، هل هذا صحيح ؟

Sebagian besar manusia mengira bahwasannya tidak boleh berwudhu dalam keadaan kamu terungkap auratnya, apakah ini benar?

Al Imam Ibnu Baz rahimahullah berkata,

ﻟﻴﺲ ﺳﺘﺮ ﺍﻟﻌﻮﺭﺓ ﺷﺮﻃًﺎ ﻓﻲ ﺻﺤﺔ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ

“Menutup Aurat bukanlah syarat pada sahnya wudhu”.

(Majmu al Fatawa Ibnu Baz 10/101).