Sabtu, 02 Februari 2013

JANGAN MERASA AMAN DENGAN IMANMU SEKARANG

Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kepada kita untuk beriman, lalu dengan keimanan tersebut kita dituntut untuk memantapkan. Bahkan tak sampai di situ, Allah ‘azza wa jalla menyatakan agar keimanan yang telah kita mantapkan hendaknya dipegang dan dikokohkan sampai ajal bertandang. 
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Ali Imran: 102)

Namun yang jadi persoalan, apakah kita bisa memastikan tatkala keimanan tersebut telah hinggap dan memantap akan senantiasakah di bawa sampai mati? di saat tak ada satupun yang bisa memastikan kapan dan di mana ajalnya datang, padahal Allah subhanahu wa ta’ala pada ayat di atas menyatakan “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” ?

Perhatikan pula sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Sesungguhnya ada salah seorang yang dirinya selalu beramal dengan amalan (calon) penduduk surga, hingga  (tergambar) seakan-akan dirinya dan surga berjarak satu hasta. Akan tetapi ketentuan Allah berkendak lain, dia  pun beramal (di akhir ajalnya) dengan amalan (calon) penduduk neraka hingga kemudian Allah memasukkan dirinya ke dalam neraka” (HR. Bukhari dan muslim)

Subhanallah! Apakah gerangan yang bisa membuat demikian?

Yang bisa membuat semua ini terjadi adalah ketika jeleknya niat seorang tatkala beramal. Khalayak hanya melihat orang tersebut secara apa yang telah tampak oleh kasat mata, hingga publik menilai dengan sepak terjang amalannya, dia calon penghuni surga. Tersembunyi di dalam hatinya niatan-niatan jelek. Riya (ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar), ‘ujub (merasa bangga diri) kian menghiasi setiap amalannya. Hingga suatu saat Allah menampakkan itu semua di saat dirinya  akan menutup hidup. Na’udzubillah. (Lihat penjelasan Imam Ibnu Rajab terhadap hadits ini)

Dia pun mengakhiri ajalnya dengan su’ul khatimah. Dan tampaklah dengan itu semua, tersingkap apa yang tertutup dari kejelekan batinnya.

Demikianlah besarnya ancaman su’ul khatimah. Mengintai setiap jiwa yang memang terciptakan lemah. Di saat syubhat dan syahwat kian menyambar kuat, hatipun rusak menghantar kepada azab yang dahsyat.

Adalah shahabat nabi, Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tatkala beliau menjelang wafatnya. Beliau berkata: “Tidaklah seseorang harus merasa takut akan dirinya kecuali tatkala hilang imannya di akhir menjelang tutup umurnya”.

Demikian pula tatkala Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah di saat menjelang wafatnya, beliau menangis. Ditanyakan kepada beliau: “Wahai Abu Abdillah, apakah gerangan yang kau tangisi, dosa-dosakah?”. Imam ast-Tsauri menjawab: “Bukan, yang ku tangisi tiada lain karena khawatirnya diriku di saat mautku datang, maka di saat itu pula imanku hilang”.

Allahu akbar! Dimana kedudukan kita pada kisah ini?
Apakah memang kita ini selalu panjang angan sehingga taubat selalu menjadi agenda yang tertunda?
Atau apakah hawa nafsu kita memang terlalu besar sehingga maksiat terasa lezat ?
Ataukah memang telah parah sakitnya hati-hati ini?

Benarlah apa yang telah dikatakan oleh shahabat nabi Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang berkata: “Dua hal yang kutakutkan atas diri ini. Panjangnya angan yang membuat penundaan taubat dan besarnya hawa nafsu yang menghalangi penerimaan al-haq”

Semoga dengan catatan ringan ini Allah senantiasa menghidupkan hati-hati ini tuk bisa semangat beribadah dengan ikhlash dan istiqamah di atas agama-Nya dan istiqamah di atas sunnah nabi-Nya. Dan kami pun berdo’a sebagaimana do’a seorang imam besar di zamannya, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Yaa Allah, matikan kami di atas Islam dan Sunnah”

Yang mengharap hidayah dan taufiq-Nya selalu,
Hanyaikhwanbiasa di catatankajianku.blogspot.com

*Tertulis catatan ini setelah mendengarkan kajian nasehat dari Ust. Abdullah al-Jakarti hafizhahullah di Ma’had Riyadhul Jannah, Dzulqa’dah 1433H.

Tidak ada komentar: