Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kepada kita untuk
beriman, lalu dengan keimanan tersebut kita dituntut untuk memantapkan. Bahkan
tak sampai di situ, Allah ‘azza wa jalla menyatakan agar keimanan yang telah
kita mantapkan hendaknya dipegang dan dikokohkan sampai ajal bertandang.
Perhatikan pula sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Sesungguhnya ada salah seorang yang dirinya selalu beramal dengan amalan (calon) penduduk surga, hingga (tergambar) seakan-akan dirinya dan surga berjarak satu hasta. Akan tetapi ketentuan Allah berkendak lain, dia pun beramal (di akhir ajalnya) dengan amalan (calon) penduduk neraka hingga kemudian Allah memasukkan dirinya ke dalam neraka” (HR. Bukhari dan muslim)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam”. (Ali Imran: 102)
Namun yang jadi persoalan, apakah kita bisa memastikan tatkala
keimanan tersebut telah hinggap dan memantap akan senantiasakah di bawa sampai
mati? di saat tak ada satupun yang bisa memastikan kapan dan di mana ajalnya datang,
padahal Allah subhanahu wa ta’ala pada ayat di atas menyatakan “Dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”
?
Perhatikan pula sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Sesungguhnya ada salah seorang yang dirinya selalu beramal dengan amalan (calon) penduduk surga, hingga (tergambar) seakan-akan dirinya dan surga berjarak satu hasta. Akan tetapi ketentuan Allah berkendak lain, dia pun beramal (di akhir ajalnya) dengan amalan (calon) penduduk neraka hingga kemudian Allah memasukkan dirinya ke dalam neraka” (HR. Bukhari dan muslim)
Subhanallah! Apakah gerangan yang bisa membuat demikian?
Yang bisa membuat semua ini terjadi adalah ketika jeleknya niat
seorang tatkala beramal. Khalayak hanya melihat orang tersebut secara apa yang telah
tampak oleh kasat mata, hingga publik menilai dengan sepak terjang amalannya,
dia calon penghuni surga. Tersembunyi di dalam hatinya niatan-niatan jelek.
Riya (ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar), ‘ujub (merasa bangga diri) kian menghiasi
setiap amalannya. Hingga suatu saat Allah menampakkan itu semua di saat dirinya
akan menutup hidup. Na’udzubillah. (Lihat
penjelasan Imam Ibnu Rajab terhadap hadits ini)
Dia pun mengakhiri ajalnya dengan su’ul khatimah. Dan tampaklah
dengan itu semua, tersingkap apa yang tertutup dari kejelekan batinnya.
Demikianlah besarnya ancaman su’ul khatimah. Mengintai setiap jiwa
yang memang terciptakan lemah. Di saat syubhat dan syahwat kian menyambar kuat,
hatipun rusak menghantar kepada azab yang dahsyat.
Adalah shahabat nabi, Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tatkala beliau
menjelang wafatnya. Beliau berkata: “Tidaklah seseorang harus merasa
takut akan dirinya kecuali tatkala hilang imannya di akhir menjelang tutup
umurnya”.
Demikian pula tatkala Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah di saat
menjelang wafatnya, beliau menangis. Ditanyakan kepada beliau: “Wahai Abu
Abdillah, apakah gerangan yang kau tangisi, dosa-dosakah?”. Imam ast-Tsauri
menjawab: “Bukan, yang ku tangisi tiada lain karena khawatirnya diriku di
saat mautku datang, maka di saat itu pula imanku hilang”.
Allahu akbar! Dimana kedudukan kita pada kisah ini?
Apakah memang kita ini selalu panjang angan sehingga taubat selalu
menjadi agenda yang tertunda?
Atau apakah hawa nafsu kita memang terlalu besar sehingga maksiat
terasa lezat ?
Ataukah memang telah parah sakitnya hati-hati ini?
Benarlah apa yang telah dikatakan oleh shahabat nabi Ali bin Abi
Thalib radhiallahu ‘anhu yang berkata: “Dua hal yang kutakutkan atas diri
ini. Panjangnya angan yang membuat penundaan taubat dan besarnya hawa nafsu
yang menghalangi penerimaan al-haq”
Semoga dengan catatan ringan ini Allah senantiasa menghidupkan
hati-hati ini tuk bisa semangat beribadah dengan ikhlash dan istiqamah di atas
agama-Nya dan istiqamah di atas sunnah nabi-Nya. Dan kami pun berdo’a
sebagaimana do’a seorang imam besar di zamannya, Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah: “Yaa Allah, matikan kami di atas Islam dan Sunnah”
Yang mengharap hidayah dan taufiq-Nya selalu,
Hanyaikhwanbiasa di catatankajianku.blogspot.com
*Tertulis catatan ini setelah mendengarkan kajian nasehat dari
Ust. Abdullah al-Jakarti hafizhahullah di Ma’had Riyadhul Jannah, Dzulqa’dah
1433H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar