Label
Faidah Ringan Seputar Akhlak
(300)
Faidah Ringan Seputar Ilmu
(195)
Faidah Ringan Seputar Akidah
(111)
Faidah Ringan Seputar Ibadah
(107)
Faidah Ringan Seputar Manhaj
(94)
Faidah Ringan Seputar Fikih Ibadah
(71)
Faidah Ringan Seputar Keluarga
(56)
Hatiku Berbisik
(52)
Faidah Ringan Seputar Kisah
(38)
Faidah Ringan Seputar Ramadhan
(26)
Faidah Ringan Seputar Rijal
(25)
kajian remaja
(15)
Faidah Ringan Seputar Al Qur'an
(12)
Faidah Taklim
(12)
kajian akhlak
(12)
Petikan Faidah Hadits
(11)
Faidah Ringan Riyadhush Shalihin
(8)
Faidah Ringan Seputar Sirah Nabi
(8)
kajian hati
(8)
Faidah Ringan Seputar Hati
(7)
wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami
(6)
info kajian
(5)
Doa
(4)
Info Buku dan Kitab
(4)
Faidah Ringan Hadits Arbain
(2)
Faidah Ringan Hadits Kitabul Jami
(2)
Terjemah Mukhtashar Sirah Rasul
(2)
BUKU TAMU
(1)
download kitab pdf
(1)
Senin, 17 Desember 2018
Petikan Kesungguhan Abu Bakr al Khiyath an Nahwi dalam Belajar
Abu Hilal Al Hasan ibn Abdillah al Askari rahimahullahu berkata, "Abu Bakr al Khiyath an Nahwi selalu belajar di setiap waktunya, sampaipun ketika di jalan. Teradang dia sampai terjungkal ke tebing atau menabrak ketika berkendaraan dengan hewannya.
Dihikayatkan dari sebagian orang (teman-temannya) bahwasanya dia selalu mengikat badannya dengan tali ketika ingin belajar jika malam telah tiba, khawatir kalau-kalau dia nanti terjatuh tatkala dirinya diserang kantuk.
Sebagian teman-temannya juga mengatakan bahwasanya dia (Abu Bakr al Khiyath an Nahwi) pernah ditanya, "Bagaimana engkau bisa meraih ketinggian derajat ilmu yang seperti ini dan engkau menjadi seorang yang diutamakan?"
Dia menjawab, "Dengan tidur ketika belajar (karena terlalu lama belajar sampai tertidur) dan makan ketika membaca (karena terlalu suka membaca, sampai makanpun sambil membaca).
(Al Hatsu ala Thalabil Ilmi wal Ijtihadi fi Jam'ihi- Abu Hilal Al Hasan ibn Abdillah al Askari, hal. 40, cet. Maktabah Ibni Taimiyyah 1991)
Duka Palu di Akhir September
Di tengah euforia hari jadi kota Palu yang ke 40, pemerintah setempat menyuguhkan perayaan Festival Pesona Palu Nomoni 3. Dilansir dari berbagai media, festival ini ditargetkan bisa mampu menyedot 800 ribu wisatawan dengan 500 ribu diantaranya merupakan wisatawan mancanegara.
Festival yang sedianya akan dilakukan di Pantai Talise dari tanggal 28 hingga 30 September 2018 ini, akan diisi dengan berbagai pagelaran dan pertunjukan seni dan budaya. Dari beragai sumber berita, di festival ini banyak dilakukan praktek-praktek ibadah yang dipersembahkan kepada selain Allah ta'ala (syirik), padahal kesyirikan adalah dosa besar yang mengundang musibah, sebagaimana hal ini telah diperingatkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu ketika menyitir ucapan shahabat nabi Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
,مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَة
Artinya
ٍ“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.”
(Al Jawabul Kaafi/Ad Dau wad Dawa)
Benarlah, tiba-tiba perayaan yang kiranya jadi cerita suka cita bagi orang-orang yang menghadirinya, ternyata malah menjadi cerita horor yang menyeramkan, mengelamkan satu lembar sejarah duka kota Palu dan bangsa Indonesia.
Semua yang hadir memadati Pantai Talise, baik Masyarakat kota Palunya, para penyuguh acara festivalnya, para turisnya dan tamu-tamu undangannya terhentak kaget dengan apa yang terjadi. Gempa berkekuatan 7,7 SR yang terjadi kala jelang waktu maghrib, selain memporak porandakan bangunan dan gedung-gedung kota Palu ternyata membawa kelanjutan malapetaka lainnya. Gulungan dahsyat tsunami menyapu ratusan rumah dan orang-orang yang berada di radius 0,5 km.
Akan tetapi ternyata gempa dahsyat itu tak hanya berefek pada datangnya tsunami di kisaran pesisir pantai saja, gempa yang terjadi di tempat lain ternyata tak kalah hebatnya. Tanah yang awalnya keras dipijak, saat itu tiba-tiba menjadi gembur bak lumpur, fenomena yang disebut likuifaksi ini mengakibatkan Petobo dan Balaroa hilang seketika di telan bumi tanpa kompromi. Semua lenyap tanpa sisa, Allahu akbar.
Eksodus yang dilakukan masyarakat Palu menjadi suatu yang dimaklumi, karena rasa takut dan trauma akut telah memaksa mereka tuk meninggalkan negeri Palu. Bagi para korban bencana yang tidak mampu pergi, akhirnya harus terpaksa tetap sabar untuk tinggal di barak-barak pengungsian sembari menunggu datang baiknya nasib.
Kini sudah tiga pekan berlalu, korban yang tinggal di pengungsian sedikit demi sedikit mulai merangkak bangkit. Tapi belum kering air mata ini, tiba-tiba dikejutkan lagi oleh fenomema hujan lebat yang melanda Palu, sehingga mengakibatkan meluapnya air. Banjir dan longsor tak terbendung hingga menutup akses jalan datangnya bantuan pangan, Allahul musta'an.
Wahai kaum muslimin, demikianlah musibah, tidaklah terjadi begitu saja. Allah ta'ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Artinya:
"Dan apa saja musibah yang menimpamu maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)."
(QS. Asy Syuraa: 30)
Lalu bagaimanakah sikap kita? Akankah kita diam dan hanya menonton tangis mereka? Tidak! Kita adalah satu tubuh, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Artinya:
“Orang-orang mukmin di dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).”
(HR. Al Bukhari – Muslim).
Tunggu apa lagi? Ayo berbuat, ayo doakan mereka dengan kebaikan. Jika ada kelapangan rezeki sisihkanlah sebagiannya untuk mereka, karena uluran tangan kita sangat berharga bagi mereka, wallahu alam.
Tingkatan Takwa
Syaikh Ubaid al Jabiri hafizhahullahu berkata, "...Sesungguhnya tingkatan takwa ada tiga:
Tingkatan yang pertama adalah mengerjakan perintah-perintah Allah.
Tingkatan yang kedua adalah meninggalkan al mahdzurat, dikatakan al mahdzurat yakni perkara-perkara yang haram dan mungkar.
Tingkatan ketiga adalah menjaga diri dari syubhat yang mengaburkan hakikat keadaan, apakah itu dari yang halal ataukah dari yang haram."
(Majmu'atur Rasail al Jabiriyyah [Syarhu Hadits Ittaqillaha Haitsuma Kunta], hal. 25-26, cet. Miratsun Nabawi)
Pernah Dibahas Bukan Alasan Jadi Malas
"Ingin taklim tapi ga semangat ya.. soalnya bahasan kajiannya udah pernah dikaji sih.."
Pernahkah ini terbesit di dalam pikiran kita? Jika iya, maka perhatikan sedikit kutipan para ulama salaf belajar di bawah ini.
Ibnul Jauzi rahimahullahu menyebutkan, "Dahulu Abu Ishaq asy Syairazi mengulang-ulang pelajarannya sebanyak 100 kali, sedangkan Al Kiya (salah seorang ulama Asy Syafi'iyah) mengulang-ulang pelajarannya sebanyak 70 kali.
Al Hasan ibn Abi Bakr an Naisaburi al Faqih berkata kepada kami, Tidaklah tercapai hafalanku seperti ini (kuat) sampai diulang sebanyak 50 kali.
-selesai-
Pembaca rahimakumullahu, baru sekali atau dua kali belajar, masa sudah malas? Belum 50 kali!
Lagi pula kita niat thalabul ilmi untuk ibadah bukan? Oleh karenanya jangan meremehkan majelis ilmu ya.. Yuk ngaji!
(Nukilan-nukilan di atas disadur dari Al Hatsu ala Hifzhil Ilmi-Ibnul Jauzi, dinukil dari Al Jami fil Hatsi ala Hifzhil Ilmi, hal. 254, Maktabah Ibni Taimiyyah 1991).
Pentingnya Mengulang-ulang Hafalan atau Ilmu
Al Hasan telah menghikayatkan kepada kami bahwa ada seorang yang fakih banyak mengulang-ulang hafalannya di rumahnya, maka seorang nenek-nenek yang membantu dia di rumahnya berkata, "Demi Allah aku pun sudah hafal (karena dia selalu mendengar seorang fakih tersebut mengulang-ulang hafalannya)."
Lalu seorang fakih ini berkata, "Coba setorkan kepadaku!." Lalu nenek itu menyetorkannya.
Setelah beberapa hari, seorang fakih itu memanggil nenek itu, "Wahai nenek, tolong setorkan kembali apa yang tempo hari engkau telah setorkan kepadaku..!"
Nenek itu berkata, "Aku tidak hafal lagi"
Maka seorang fakih itu berkata, "Demikianlah wahai nenek, aku mengulang-ulang hafalanku agar aku tidak terkena seperti apa yang engkau alami ini (lupa)."
-selesai-
Pembaca rahimakumullah, inilah salah satu metode dalam menjaga hafalan, yakni selalu mengulangi hafalan atau pelajarannya setiap saat, agar ilmu yang telah kita dapat tidak langsung berlalu begitu saja.
Jangan sampai sudah babak belur menghafal Al Quran atau Hadits Arbain, tapi malah tidak dimurajaah-murajaah lagi, kalau lupa kan rugi.. ya gak?
(Kisah di atas disadur dari Al Hatsu ala Hifzhil Ilmi-Ibnul Jauzi, dinukil dari Al Jami fil Hatsi ala Hifzhil Ilmi, hal. 254, Maktabah Ibni Taimiyyah 1991).
Apakah Mimisan Membatalkan Wudhu?
Syaikh Muqbil ibn Hadi al Wadi'i rahimahullahu menjawab, "Mimisan (keluar darah dari hidung) tidaklah membatalkan wudhu karena tidak ada dalil yang menyatakan bahwa mimisan itu membatalkan wudhu.
Telah ada hadits yang dhaif (lemah) bahwa mimisan dapat membatalkan wudhu, tapi ini tidak benar bahwa hadits itu berasal dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Dahulu para shahabat rasul shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan shalat dalam keadaan mereka terluka (yang mengeluarkan darah).
Maka mimisan tidaklah membatalkan wudhu, akan tetapi jika nanti dikhawatirkan hal tersebut dapat mengotori masjid, maka hendaknya dia keluar dan mencucinya, lalu dia bisa kembali dan mulai melakukan shalat, Allahul musta'an"
(Ijabatus Sail ala Ahammil Masail-Syaikh Muqbil al Wadi'i, hal. 36, cet. Maktabah Shana al Atsariyah 2015)
Jangan Baca Buku-Buku Ahlul Bidah
Asy Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullah berkata, "Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu dan ikhlas di dalam menjalankannya karena Allah.
Muliakanlah ulama sunnah dan ambillah faidah dari ilmu-ilmu mereka.
Jauhilah kitab-kitab para ahlul bidah yang di dalamnya terdapat pemikiran-pemikiran yang penuh dengan bidah dan sesat serta menyimpang.
Banyak di kalangan pemuda yang tertipu berkata, "Baca saja (kitab-kitab ahlul bidah itu) dan ambillah kebenarannya dan tingalkan kebatilannya."
Padahal para pemuda itu miskin dan mereka tidak punya apa-apa. Mereka tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, maka (ketika dia membaca kitab-kitab ahlul bidah) terjatuhlah mereka kepada kebatilan dalam keadaan mereka anggap itu sebuah kebenaran.
Bahkan mereka memerangi kebenaran yang mereka anggap itu sebuah kebatilan, dan ini terjadi pada kebanyakan manusia karena sebab adanya perangkap (syubhat) ini."
(Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Al Allamah Rabi ibn Hadi al Madkhali, juz 2, hal. 16, cet. Dar Al Imam Ahmad 2014).
Menempuh Sebab dalam Meraih Kebaikan pada Anak
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "... Janganlah kita menuntut kebaikan dari anak-anak kita dalam keadaan kita lalai dari mereka, akan tetapi hendaknya kita menempuh sebab-sebab yang dapat membuat baik mereka.
Adapun jika kita menuntut dari anak-anak kita kebaikan tanpa adanya usaha dari kita dalam menempuh sebab-sebabnya, maka ini suatu kesia-siaan."
(Taujihatu Muhimmah ila Syababil Ummah-Syaikh Shalih Fauzan, dinukil dari Rasail Ulamais Sunnah ila Syababil Ummah, hal. 14, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).
Ketika Ilmu Dunia tanpa Diiringi Ilmu Agama
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Jika seorang memiliki ilmu dunia saja maka ini tidaklah bermanfaat kecuali hanya sebatas untuk komoditi bisnis saja, tidaklah bisa memberikan rasa khasyah (takut) kepada Allah, bahkan seringnya malah membuat lalai dirinya dari Allah.
Maka ilmu duniawi mesti diarahkan oleh ilmu syari (ilmu agama) agar dia bisa memberikan manfaat, jika tidak demikian maka yang ada bisa menjadi suatu yang membahayakan."
Teman Baik adalah yang Suka Menolong
Menolong adalah suatu yang dituntut di dalam pergaulan, akan tetapi banyak yang salah kaprah di dalam pelaksanaannya.
Di dalam islam, menolong teman adalah suatu yang dianjurkan, baik ketika dia dizhalimi atau dia berlaku zhalim.
Kalo dia dizhalimi kita tolong, tapi bagaimana jika teman kita zhalim? Masa kita tolong juga? Bagaimana ini?!
Mari simak pengajaran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إذا كان مَظْلُومًا فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ إن كان ظَالِمًا؟ فقال تحجره أو تمنعه من الظلم فإن ذلك نصره
Artinya:
"Tolonglah saudaramu ketika dia berbuat zhalim atau ketika dia dizhalimi.”
Mereka (para shahabat nabi) bertanya, "Wahai Rasulullah, aku menolongnya jika dia dalam keadaan dizhalimi, tapi bagaimana aku bisa menolongnya jika dia berbuat zhalim?"
Beliau bersabda, ”Halangilah dia atau cegahlah dia untuk berbuat zhalim, karena itulah bentuk pertolongannya.” (HR. Muslim)
Nah, begitulah bentuk pertolongan kita terhadap teman atau saudara kita yang tengah berbuat zhalim, karena hal inilah yang mungkin bisa kita jadikan patokan siapa teman sejati yang selalu menolong, dengan siapa teman jahat yang menjerumuskan.
Semoga Allah taala menganugerahkan teman-teman yang baik dan shalih kepada kita, amin.
Rivalitas Kelewat Batas (Sebuah Renungan bagi Seorang Suporter Bola)
Pukulan dan tendangan bertubi-tubi mendarat di tubuhnya, hantaman kayu, pipa dan balok pun dirasanya. Darah pun mengucur keluar, tak lama, nyawa dia pun ikut keluar.
Pengeroyokan yang dilakukan oleh suporter tim kota kembang kepada salah seorang suporter tim ibu kota ini sempat viral di medsos, kecaman dan kutukan menghujani tindakan brutal ini. Hanya karena alasan rivalitas, nyawa seseorang menjadi remeh. Inilah buah dari fanatisme yang tercela.
Ketika sebuah klub bola menjadi tolak ukur sebuah loyalitas, akal sehat pun kandas ditelan kefanatikan tanpa batas. Sepak bola yang seharusnya disikapi hanya sekedar permainan, tiba-tiba menjadi sebuah momen yang sarat dengan pelanggaran. Mulai dari kerusuhan, penjarahan bahkan sampai pada tingkat saling hantam yang mengancam nyawa.
Yel-yel dukungan klub kebanggaan pun dikumandangkan, syair-syair kebencian diumbar, slogan-slogan rasis menggema tiada habis, berpadu satu menjadi sebuah kefanatikan pada diri seorang suporter bola.
Pembaca rahimakumullahu, fanatisme ala jahiliyah model ini sangat dikecam dalam islam, Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu pernah bercerita,
كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى غَزَاةٍ فَكَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ الأَنْصَارِىُّ يَا لَلأَنْصَارِ وَقَالَ الْمُهَاجِرِىُّ يَا لَلْمُهَاجِرِينَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا بَالُ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ. فَقَالَ دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ
Artinya,
”Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam di Gazah, Lalu ada seorang lelaki dari kaum Muhajirin yang memukul pantat seorang lelaki dari kaum Anshar.
Maka orang Anshar tadi pun berteriak: ‘Wahai orang Anshar (tolong aku)’.
Orang muhajirin tersebut pun berteriak pula: ‘Wahai orang muhajirin (tolong aku).’
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun bersabda: ‘Seruan Jahiliyyah macam apa ini?!.'
Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah memukul pantat seorang dari kaum Anshar.’
Beliau bersabda: ‘Tinggalkan hal itu, karena itu adalah busuk/jelek.’” (HR. Al Bukhari).
Tak heran jika perilaku fanatisme suporter model seperti ini terhukumi jelek, oleh karenanya Rasulullah melarang shahabat-shahabatnya terjatuh kepada hal ini.
Pembaca rahimakumullahu, fanatik buta terhadap klub bola merupakan perkara yang tercela, terlebih jika sampai menjadi aksi kekerasan yang menghilangkan nyawa. Bukankah rivalitas antar klub bola seharusnya hanya sebatas 90 menit di arena hijau? Semoga tidak ada lagi nyawa-nyawa lain yang hilang karena sebab kefanatikan tercela ini, amin.
Memantik Himmah di dalam thalabul ilmi
Syaikh Shalih ibn Abdil Aziz alu Syaikh hafizhahullahu berkata, "Bagaimanakah bisa terwujud suatu himmah (tekad yang kuat) di dalam menuntut ilmu?
Maka jawabnya, himmah itu bukanlah hasil dari sekedar teori belaka, tapi itu merupakan hasil nyata berupa amal yang bisa ditiru, dan ini bisa didapatkan dari pembacaan biografi para ulama.
Perhatikanlah biografi kehidupan para ulama yang terkenal atau yang lainnya! Di antara kitab-kitab yang memuat biografi ahlu ilmi adalah kitab "Tadzkiratul Huffazh" karya Imam Adz Dzahabi, juga kitab karya beliau pula "Siyar alamun Nubala" dan kitab-kitab lainnya yang menampilkan biografi kehidupan mereka, tentu kitab-kitab yang lainnya sangatlah banyak dan sangat sulit untuk menyebutkannya satu persatu di kesempatan ini."
(Fadhlul Ilmi wat Talim wa Shifatu Ahlihi-Syaikh Shalih ibn Abdil Aziz alu Syaikh, hal. 10, cet. Maktabah Ath Thabari)
Anak Laki-Laki dan Perempuan Dipisah Ranjang Tidurnya
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "... Demikian juga dengan mendekatkan anak-anak di dalam tidur mereka, janganlah mereka dibiarkan saling berdekatan (ketika tidur) agar syahwat di antara mereka tidak terpantik sehingga (menjadi sebab) terjadinya kerusakan.
Hendaknya mereka saling menjauh di masing-masing ranjangnya dan jangan dibiarkan mereka tidur (bersama) di satu ranjang.
Ini adalah bentuk penjagaan, dan menjaga itu lebih baik dari pada mengobati."
(Taujihatu Muhimmah ila Syababil Ummah-Syaikh Shalih Fauzan, dinukil dari Rasail Ulamais Sunnah ila Syababil Ummah, hal. 14, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).
Menuntut Ilmu tapi Tetap Bergaul dengan Manusia
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk memberikan porsi yang cukup untuk ilmu dengan segenap waktu dan kesungguhan yang kita bisa.
Dan selebihnya kita berikan untuk memperhatikan urusan lainnya semisal: bergaul dengan manusia dalam rangka kemaslahatan, atau mendakwahi manusia kepada kebaikan, dan perkara-perkara dan amalan-amalan lainnya.
Akan tetapi hendaknya yang dijadikan prioritas utama dari waktumu adalah untuk thalabul ilmi."
(Disadur dari Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh al Fauzan, jil. 1, hal. 32. cet. Darul Bashirah 2009).
Teruslah Menuntut Ilmu Sampai Allah Memberikan Keikhlasan
Apa makna sebagian salaf yang menyatakan: Kami menuntut ilmu untuk selain Allah maka ilmu pun enggan, kecuali harus untuk Allah saja?
Asy Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullah menjawab, "Maknanya adalah awal niatnya tidak benar akan tetapi ilmu itu pun membimbing, dan Allah memberinya hidayah keikhlasan untuk ibadah yang agung ini (menuntut ilmu).
Terkadang ada seorang insan yang masuk ke dalam islam dalam rangka menginginkan dunia, tapi kemudian Allah memberikan kepadanya kebaikan, hingga dia menjadi tinggi di dalam islam dan baik keislamannya..."
(Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Al Allamah Rabi ibn Hadi al Madkhali, juz 2, hal. 12, cet. Dar Al Imam Ahmad 2014).
Menerima Nasehat Lebih Aku Cintai dibandingkam Dunia dan Seisinya
Syaikh Muqbil ibn Hadi al Wadi'i rahimahullahu berkata, "Seorang ahlussunnah tidak akan mengaku-aku dirinya dengan sifat kesempurnaan, mereka adalah orang-orang yang siap untuk menerima nasehat.
Nasehat yang datang kepadaku dari Negeri Najd, Shan'a, Jazair atau dari negeri lainnya, itu lebih aku cintai ketimbang dunia dan seisinya untuk aku menerimanya, karena agama itu adalah nasehat.
Kami menyadari bahwa sesungguhnya kami adalah seorang thalibul ilmi yang bisa jadi kami benar, kami salah, kami jahil dan kami tahu."
(Ijabatus Sail ala Ahammil Masail-Syaikh Muqbil al Wadi'i, hal. 29, cet. Maktabah Shana al Atsariyah 2015)
Nasehat untuk Semangat Thalabul Ilmi
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Barang siapa di antara kalian yang dirinya lapang untuk menuntut ilmu dan mendapatkan ilmu, maka lakukanlah, karena ilmu sangat ditekankan di zaman ini, di mana keberadaan para fuqaha agama sangat sedikit dan para thalabud dunia sangatlah banyak dengan berbagai sarana dan rayuannya.
Barang siapa yang tidak mampu maka berusahalah untuk berdzikir dan bermajelislah dengan ahlul ilmi serta mintalah faidah kepada mereka..."
(Lihat Adh Dhiyaul Lami-Syaikh Utsaimin, hal. 21, cet. Maktabatush Shafa 2005).
Bersiap tuk Menyambut Akhirat
Syaikh Shalih ibn Abdilaziz alu Syaikh hafizhahullahu berkata, "Tidak ragu lagi bahwa setiap muslim yang bersyahadat laailaha illallah wa anna muhammadan rasulallah pasti menginginkan dengan keislamannya agar dia selamat di dunia dan di akhirat, karena sesungguhnya bertemu Allah dan menjalani hari hisab (perhitungan amal) serta menjalani kejadian-kejadian yang nanti akan ditemui di hari kiamat adalah urusannya sangat besar dan besar.
Maka hendaknya seorang muslim harus semangat dalam segala perkara untuk menjumpai hari tersebut atau meringankan timbangannya."
(Al Bida wa Bayanu Haqiqatiha wa Atsarul Bida fi Hayatil Muslim-Syaikh Shalih alu Syaikh, dinukil dari Majmu Rasail wad Durus fi Dzammil Bida, hal. 10, cet. Ibnul Jauzi 2006)
Kesungguhan Ulama dalam Mencari Ilmu
Syaikh Shalih ibn Abdil Aziz alu Syaikh hafizhahullahu berkata, "Seorang thalabul ilmi harus menelaah perjalanan hidup para ulama, karena tanpa mengetahui sirah ulama, engkau akan turun semangat dan tak akan mengetahui apa itu himmah (tekad) dan tak mengetahui banyaknya pengorbanan mereka.
Engkau tak akan mengetahui bagaimana perjalanan panjang mereka, baik dengan kaki-kakinya atau dengan keledainya yang ditempuh selama berbulan-bulan lamanya.
Ada di antara mereka yang sampai menjumpai kematian, mendapati kesusahan yang sangat, dan ada juga yang sampai kehilangan perbekalannya.
Adapun di hari ini, kita berada di sebaik-baiknya kendaraan dan bisa berhubungan dengan perantaraan yang memudahkan, tapi bersamaan dengan itu, kita masih mengeluh dari sisi waktu dan mengaduh dari banyak perkara.
Maka dengan menelaah perjalanan hidup generasi-generasi yang awal, kita akan mengetahui bahwasanya mereka adalah ulama yang mempunyai himmah (tekad) setelah mendapat taufiq dari Allah, dengan iringan kesungguhan dan jihad."
(Fadhlul Ilmi wat Talim wa Shifatu Ahlihi-Syaikh Shalih ibn Abdil Aziz alu Syaikh, hal. 10, cet. Maktabah Ath Thabari)
Al Quran, Kemudian Bahasa Arab, Lalu Ilmu Hadits
Syaikh Muqbil ibn Hadi al Wadi'i rahimahullahu berkata, "Seorang ahlussunnah -bihamdillah- mereka memulai dengan menghafal Al Quran, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
خَيُركُم مَن تَعلٌمَ القُرانَ وَعَلٌمَهَ
Artinya:
"Sebaik-baik kalian adalah siapa yang belajar Al Quran dan yang mengajarkannya."
(HR. Bukhari)
Kemudian setelah itu mereka belajar dengan hal yang bisa menegakkan lisannya, yakni dengan bahasa arab.
Bahasa arab perkaranya sangat agung, karena musuh-musuh islam tengah membuat keragu-raguan (beragama) melalui sisi ini.
Kemudian setelah ini, Allah menghidupkan di tengah-tengah mereka (ahlussunnah) dengan suatu perkara yang dahulu asing di negeri ini (Yaman), dan karunia ini hanya milik Allah, bukan karena kekuatan kita, bukan karena keberanian kita, bukan pula karena banyaknya harta kita, ketahuilah bahwa karunia ini adalah ilmu hadits.
Sesungguhnya dahulu kami hidup di negeri yang tidak tahu menahu tentang ilmu hadits sebelumnya..."
(Ijabatus Sail ala Ahammil Masail-Syaikh Muqbil al Wadi'i, hal. 21, cet. Maktabah Shana al Atsariyah 2015)
Ilmu Dunia akan Membuat Sombong dan Ujub
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Ilmu syari akan menambah pengembannya menjadi seorang yang tawadhu dan merasa rendah di hadapan Allah taala, adapun ilmu yang sifatnya penemuan dan pembuatan (ilmu dunia) mayoritasnya akan menambah sombong, congkak dan ujub (bangga diri) sebagaimana negara-negara industri hari ini, semisal negara komunis dan lainnya".
(Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh al Fauzan, jil. 1, hal. 31, cet. Darul Bashirah 2009).
Ilmu Syar'i akan Melahirkan Sifat Khasyah (Takut)
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "... Inilah ilmu yang melahirkan al khasyah (rasa takut), karena ilmu ini menggabungkan antara lisan dan kalbu.
Ilmu terbagi menjadi dua macam:
1. Ilmu lisan, ini sebagai hujjah atas seorang saja
2. Ilmu yang di hati, inilah yang mewariskan sifat khasyah kepada Allah ta'ala, yakni ilmu syar'i yang diamalkan oleh pengembannya dan amalnya tersebut dipersembahkan ikhlash hanya kepada Allah ta'ala saja, sehingga ilmu syar'i ini akan menambahkan bagi pengembannya sifat tawadhu dan perendahan diri kepada Allah ta'ala."
(Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh al Fauzan, jil. 1, hal. 31, cet. Darul Bashirah 2009).
Langganan:
Postingan (Atom)