Minggu, 10 November 2024

Lisanmu Itu Lho !


Ucapan yang keluar dari seseorang adalah bukti dari isi hatinya. Hati tak bisa dilihat namun hati bisa dinilai dengan tanda-tandanya. Di antara salah satu tanda yang bisa menilai isi hati seseorang, adalah ucapan atau lisannya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,

أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ Perlindungan Lingkungan dan Perlindungan Lingkungan أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

"Ketahuilah, di dalam jasad itu ada sekerat daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ingatlah, bahwa segumpal daging itu adalah al qalbu (hati).." (HR. Bukhari dan Muslim).

Fenomena yang terjadi saat ini adalah merebaknya bahasa-bahasa kasar dan kotor di kalangan anak-anak. Entah, dari situlah mereka dapat memperbendaharaan kata-kata itu.

Anak-anak rentan terhadap niru-meniru. Oleh karena itu lingkungan atau tontonan sangat berpengaruh terhadap akhlak dan perilaku anak. Kata-kata: ban *t, anj g, gob**k atau kata-kata lainnya yang kami berat untuk mengetiknya, sangat perih terdengar. Menyayat hati. Apakah sudah hilang tuturan kata yang baik dan sopan pada generasi muda ini..

Di sisi lain, mereka sangat mudah untuk mencela, mencerca, memberi tahu orang lain dengan kata-kata kasarnya. Padahal Rasulullah bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang tidak menyadari apa dampak negatifnya, akan membuatnya terlempar ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Mari kita mulai dari diri kita, janganlah kita mudah untuk mengucapkan tidak baik. Pilihlah bahasa-bahasa yang baik dalam berkomunikasi. Kita tidak tahu, barangkali ada anak-anak yang sedang di sekitar, mendengar bahasa-bahasa tidak baik dari percakapan kita. Bukankah seorang mukmin harus baik dalam menjaga lisannya? Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ الْفَاحِشِ وَلاَ الْبَذِيءِ

“Seorang mukmin itu bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, suka berkata keji, dan suka berkata kotor.” (HR. Tirmidzi, hadits yang disahihkan oleh Syaikh Al Albani).

Ketika kita sudah membiasakan bertuturkata yang baik, maka semoga Allah menjaga putra-putri kita juga dari tuturan kata yang tidak pantas, aamiin.

Setelah Hidup Ini Ada Dua Tempat di Kehidupan Selanjutnya. Pilih yang Mana?


Tenang dan tetap fokus merupakan sikap baik yang tidak semua orang bisa capai. Terlebih lagi ketika datang hantaman dan goncangan yang sebelumnya tak ada, bahkan mungkin tidak terpikirkan. 


Frustasi dan terpuruk akan menjadi akhir dari sikap emosi dan lepas kendali yang sebelumnya telah terluap. Oleh karena itu tetap kalem dan berpikir positif adalah titik awal seseorang dalam mencapai ketenangan di dalam pikiran dan tetap fokus terhadap langkah dan solusi terbaik pada permasalahan.


Salah satu kisah yang mungkin bisa menginspirasi hal ini adalah sebuah kisah yang telah dicontohkan shahabat Anas ibnun Nadhr radhiallahuanhu dalam Perang Uhud.


Syawwal, pada tahun 3 Hijriah. Di saat tengah Perang Uhud terjadi, kaum musyrikin Quraisy berhasil menguasai medan perang, kaum muslimin serentak mundur, mencari perlindungan. Anas ibnun Nadhr radhiallahuanhu bertanya kepada mereka yang mundur, "Apa yang kalian lakukan?". "Rasulullah telah terbunuh", jawab mereka. Lalu Anas ibnun Nadhr berkata, "Lantas apa yang akan kalian lakukan sepeninggal beliau (Rasulullah)? Bangkitlah kalian dan gugurlah di atas apa yang beliau wafat!".


Kemudian para shahabat pun berbalik arah, mereka segera kembali maju menerjang musuh. Tak lama kemudian, Anas ibnun Nadhr bertemu dengan Sa'ad ibnu Mu'adz radhiallahuanhu. Lalu Anas pun berkata kepada Sa'ad, "Wahai Sa'ad, demi Allah sesungguhnya Aku menemukan aroma al jannah di bawah Uhud". Maka Anas pun maju ke tengah peperangan hingga ia hilang dan terdapat 70 luka di sekujur badannya". (Lihat Al Fushul, Ibnu Katsir, hal. 116, cet. Maktabatul Ma'arif KSA).


Kisah di atas merupakan potret seorang sahabat yang masih mampu tenang dan fokus terhadap tujuan hidup. Ketika berita hoax akan wafatnya Rasulullah di medan Uhud ditebarkan oleh pasukan Musyrikin, maka sebagian para shahabat tercengang dan terpukul. Siapa yang tidak tergoncang ketika dikabarkan orang yang paling dicintainya telah tiada? Terlebih lagi seorang komandan di tengah perang. 


Di tengah serangan balik yang hebat dari kalangan musyrikin, sebagian shahabat ada memutuskan untuk mundur ke belakang, karena memang keadaan yang sulit waktu itu. Mendapat serangan dan tak ada sang komandan yang mengarahkan pertempuran, menjadi sebuah alasan kuat bagi mereka yang mundur.


Namun lihatlah kisah di atas! Anas ibnun Nadhr radhiallahuanhu dengan tegar, tetap tenang dan fokus. Mengingatkan bahwa apa tujuan hidup kita sebenarnya? Bukankah hidup kita ini untuk meraih kebahagiaan hakiki di akhirat? Bukankah kita telah mengikrarkan diri untuk setia dalam mengikuti Rasulullah? 


Lalu, kenapa kita lari di saat Rasulullah telah wafat? Marilah kita mati di atas jalan Rasulullah wafat, yaitu di jalan Islam yang selamat! Demikian pola pikir cerdas seorang Anas ibnun Nadhr. Sehingga Allah pun membuktikan kejujuran ucapan beliau dengan amal nyata, yakni maju menerobos ke tengah campuh perang sehingga Allah taala mengabulkan apa yang diinginkan, yakni dengan mati syahid di atas jalannya Rasulullah menutup umurnya. Di jalan perjuangan Islam.


Pembaca, hidup di dunia bukanlah tujuan kita. Ada kehidupan yang kekal setelah kehidupan sekarang. Kehidupan yang hanya ada dua pilihan. Neraka atau surga. Maka, jika kita menemukan masalah dan ketidaknyamanan hidup, ingatlah ini adalah sebuah kewajaran. Semua akan menuntut kedewasaan kita. Semakin kita bisa mengendalikan emosi dan menstabilkan pikiran, maka solusi dan jalan keluar akan lebih cepat datang, ba'dallah tentunya. 


Oleh karenanya, mari kita introspeksi diri, sudahkah kita jujur dengan tujuan hidup kita? Amal apa yang telah, sedang dan yang akan kita lakukan di dalam membuktikannya? Ingat, setelah hidup ini ada dua tempat pilihan di kehidupan lain. Kita mau yang mana?


Wallahu alam, semoga bermanfaat.

Hidayah, Jangan Lengah dan Jangan Lelah


Di setiap majelis, sebagai pembuka khutbah seringkali kita mendengar rangkaian khutbatul hajah. Dari rangkaian khutbatul hajah tersebut terdapat petikan kalimat,


ﻣَﻦْ ﻳَﻬْﺪِﻩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓَﻼَ ﻣُﻀِﻞَّ ﻟَﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻀْﻠِﻞ ْ ﻓَﻼَ ﻫَﺎﺩِﻱَ ﻟَﻪُ


“Barangsiapa yang Allah berikan petunjuk, maka tidak ada yang dapat mengirimnya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepadanya..”


Kalimat di atas bukanlah berposisi sebagai pemanis atau pembuka majelis saja tetapi lebih dari itu, kalimat ini adalah kalimat yang penting dan dalam maknanya, dan sudah seharusnya kita resapi bersama kemudian kita dijadikan sebuah prinsip hidup di dalam dada.


Kisah hidup Shahabat Salman Al Farisi radhiallahuanhu adalah salah satu contoh yang bisa kita ambil kisahnya dari penjabaran kalimat khutbatul hajah di atas. Beliau adalah seorang yang dahulunya tidak mengenal Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, namun ketika hidayah itu Allah kehendaki datang untuk dirinya, maka betapa mudahnya jalan-jalan menuju hidayah tersebut sampai. 


Begitu pula sebaliknya, jika kita melihat kisah paman Rasulullah yang bernama Abu Thalib, dia sejak kecil sudah mengenal beliau Shallallahu Alaihi Wasallam. Bahkan dialah yang mendidik dan membesarkan Rasulullah hingga diangkat menjadi nabi. Akan tetapi mengapa di akhir hayat Abu Thalib, begitu sulitnya lisan untuk bisa mendorong mengucapkan lailahaillallah, padahal dia adalah orang yang menerima, membela bahkan ikut merasakan getirnya dakwah Islam di masa awal pengutusan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam nabi menjadi. Mengapa lisannya kelu untuk bersyahadat? Benarlah apa yang telah difirmankan Allah taala,


إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى يَشَ آء ُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ


“Sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) tidak akan dapat memberikan petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al Qashash : 56).


Inilah hidayah. Tidak bisa dipesan, tidak bisa dititipkan dan tidak bisa dipastikan. Semua atas kehendak Allah dan manusia tidak bisa mencampurkan urusan ini, karena Allah adalah Dzat yang Maha Hikmah. Hanya Allah yang berhak memilih siapa saja orang-orang yang pantas menerima hidayahNya. 


Bagi kita, maka memberi nasehat dan mengajak orang-orang untuk bisa menerima hidayah ini, adalah salah satu usaha sederet yang bisa kita lakukan. Tidak lebih. Orang-orang yang kita sayangi dan sayangi, walaupun siang malam kita berdakwah, tapi jika hidayah itu belum turun kepada mereka, maka kita hanya bisa terus dan terus usaha dan doa. Sekali lagi, urusan hidayah itu adalah mutlak dan murni urusan Allah subhanahu wa ta'ala.


Sekarang, bagi kita yang telah mendapat nikmat hidayah ini, apakah kita hanya menerima saja tanpa ada usaha untuk mempertahankannya? Tentu saja tidak! Kita harus ada upaya untuk terus berada di atas hidayah ini. 


Jangan sampai terlintas di benak kita untuk mundur dari manisnya hidayah ini!

Mundur dari ilmu.

Mundur dari dakwah. 

Mundur dari ibadah.

Mundur dari semua aktivitas dan kegiatan dakwah. 


Memang. Lelah, letih dan capek dalam aktivitas dakwah adalah suatu kepastian. Tapi ketahuilah, semua itu akan memberikanmu sebuah nilai ibadah. Adapun kekurangan harta atau kesempitan ruang gerak usaha di dalam upayanya untuk tetap di dalam aktifitas dakwah, sadarlah wahai teman, itu juga merupakan suatu kemestian. Tapi jika itu dijalani oleh seorang yang tetap teguh di dalan aktivitas dakwahnya, maka yakinlah, Allah pasti akan menjaminnya dan Allah pasti akan menjaganya di dunia dan di akhirat. Allah tidak akan menelantarkan hamba-hambaNya yang membela agamaNya.


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ


"Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad: 7)


(Tulisan terhasil dari catatan tausiyah bada ashar bersama Al Ustadz Abu Nasim Mukhtar hafizhahullahu ta'ala di Mahad Riyadhul Jannah-Cileungsi, 18 Dzulqadah 1443H / 18 Juni 2022)

Keutamaan Menunggu Shalat Selanjutnya setelah Selesai Shalat


Asy Syaikh Muhammad ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata,

انتظار الصلاة بعد الصلاة:
يعني ان الانسان من شدة شوقـه الى الصلوات كل مافرغ من صلاة فاذا قلبه متعلق بالصلاة الاخرى ينتظرها, فان هذا يدل على ايمانه ومحبتة وشوقـه الى هذا الصلوات العظيمـة التي قال عنها رسول الله صلى الله صلى الله عليه وسلم, "وجعلت قرة عيني في الصلاة". فاذا كان الانسان ينتظر الصلاة بعد الصلاة فان هذا مما يرفع الله به الدرجات ويكفر به الخطايا والسيئـات

Menunggu shalat setelah shalat yakni bahwasanya seorang insan tengah sangat rindunya pada shalat-shalat. Setiap ia selesai shalat, maka hatinya akan terpaut dengan shalat yang selanjutnya ia pun menunggunya.

Maka yang demikian ini, menunjukkan atas imannya, kecintaan dan kerinduannya kepada shalat-shalat yang agung ini dengan apa yang telah disabdakan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, "Dan dijadikan padaku sebagai penyejuk mataku pada perkara shalat".

Oleh karenanya jika seorang insan menunggu shalat setelah shalat, sesungguhnya inilah yang akan membuat Allah menaikkan derajat dan yang akan menghapuskan dosa dan kesalahan-kesalahan.

(Syarh Riyadhish Shalihin, Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal 400).

Zaman Tersebarnya Kebodohan Membutuhkan Kelemah Lembutan di dalam Menasehati

 Syaikhul Waalid Ibnu Baaz rahimahullahu berkata,


"هذا العصر: عصر الرفق والصبر والحكمة، وليس عصر الشدة. الناس أكثرهم في جهل وفي غفلة وإيثار للدنيا، فلا بد من الصبر،  ولا بد من الرفق؛ حتى تصل الدعوة، وحتى يبلغ الناس، وحتى يعلموا، ونسأل الله للجميع الهداية"

"Zaman ini adalah zaman (yang mwmbutuhkan) kelemahlembutan, sabar dan hikmah, bukan zamannya keras/kaku. Kebanyakan manusia berada di dalam kebodohan, tenggelam pada kelalaian dan lebih mementingkan dunia, maka sudah semestinya untuk bersabar, sudah seharusnya untuk berlemah lembut, sampai dakwah tersampaikan dan sampai manusia mengetahui/mengilmui. Kami memohon kepada Allah al hidayah untuk semuanya".

(Al Fatawaa Ibn Baaz, 8/376)

Berwudhu dalam Keadaan Terlihat Auratnya. Apakah Boleh?



Pertanyaan

ﻳﻈﻦ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻭﺃﻦ ﻚ ، هل هذا صحيح ؟

Sebagian besar manusia mengira bahwasannya tidak boleh berwudhu dalam keadaan kamu terungkap auratnya, apakah ini benar?

Al Imam Ibnu Baz rahimahullah berkata,

ﻟﻴﺲ ﺳﺘﺮ ﺍﻟﻌﻮﺭﺓ ﺷﺮﻃًﺎ ﻓﻲ ﺻﺤﺔ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ

“Menutup Aurat bukanlah syarat pada sahnya wudhu”.

(Majmu al Fatawa Ibnu Baz 10/101).

Minggu, 13 Agustus 2023

Efek Negatif Menyia-nyiakan Shalat



Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,

" كل المشاكل التي تُصيب الإنسان من الخواطر والوساوس والتهاون كله بسبب إضاعة الصلاة ".
[جلسات رمضانية(١٩/٢)]

"Setiap permasalahan yang mengenai seorang insan berupa kesulitan-kesulitan, was-was dan kerendahan, semuanya disebabkan karena penyia-nyian shalat".

(Jalasaat Ramadhaniyyah, 2/19)

Mati dalam Thalabul Ilmi


Nabi shallahu alaihi wa sallam bersabda,

يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ

“Akan dibangkitkan setiap hamba di atas keadaan ia meninggalnya” (HR. Muslim).

Kita harus menyadari bahwa barangsiapa yang hidup di atas sesuatu maka ia akan mati di atas sesuatu tersebut, maksudnya ketika ada seseorang yang kebiasaannya melakukan suatu amalan, maka besar kemungkinannya ia menutup usia di atas amalan yang menjadi kebiasaannya tersebut.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

“Barang siapa yang akhir ucapannya ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud. Hadits dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).

Selintas betapa mudahnya mengamalkan kandungan hadits di atas. Tapi apakah yakin kita bisa melakukannya saat nafas telah di ujung kerongkongan? Dalam keadaan kita tidak tahu akhir kehidupan kita bagaimana dan sedang apa..?! Husnul khatimah kah atau su'ul khatimah?

Maka jika kita sudah sadar, bahwa sangat sulit untuk bisa memastikan pertanyaan di atas, tentu kita tidak bisa diam dan berpangku tangan, hal ini harus kita perjuangkan dan ada usaha untuk meraihnya.

Asy Syaikh Al Albani rahimahullahu di dalam karyanya yang berjudul 'Ahkamul Janaiz' (hal. 58) mengulas pembahasan tanda-tanda husnul khatimah, dan di antaranya adalah membawakan sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa mengucapkan laailahaillallah karena mencari wajah Allah (ikhlash) kemudian amalnya ditutup dengannya, maka ia masuk surga. Barangsiapa berpuasa karena mencari wajah Allah kemudian amalnya diakhiri dengannya, maka ia masuk surga. Barangsiapa bersedekah kemudian itu menjadi amalan terakhirnya, maka ia masuk surga.” (HR. Ahmad dan dinyatakan oleh Syaikh Al Albani bahwa sanad hadits ini shahih).

Syaikh Al Albani rahimahullahu memahami hadits di atas tidak menjadikan ketiga amalan yang tersebut sebagai pembatasan, namun ini berlaku umum. Apapun amalan shalih yang ikhlash ketika dilakukan seorang hamba menutup usianya, maka ia bisa diharapkan sebagai orang yang mati husnul khatimah.

Dari pijakan hadis di atas juga, sudah semestinya kita perhatian terhadap kebiasaan masing-masing. Mulai dalam mencari nafkah, problem keluarga, mendidik anak, kegiatan pondok, ta'awun ma'had, dan sejumlah kegiatan dan aktivitas harian lainnya, hendaknya semua harus diniatkan ikhlash mengharap wajah Allah semata, agar bernilai ibadah dan bukan sekedar rutinitas biasa tanpa pahala.

Sebaliknya, janganlah rasa bosan dan jenuh menghinggapi aktivitas ibadah kita. Futur dalam beramal adalah perkara yang berbahaya. Segeralah untuk memompa semangat baru. Carilah jenis amalan-amalan ibadah lain yang bisa dikerjakan di luar amalan-amalan yang biasa kita kerjakan. Ketika kita merasa jenuh menghafal, maka kita bisa mengganti dengan membaca. Ketika lemah dalam membaca, maka bisa kita ganti dengan mendengar, dan seterusnya. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa terus beramal, jangan beri celah kejelekkan untuk masuk mengisi kekosongan.

Ketika kita merasa turun semangat untuk thalabul ilmi, maka ingatlah, apa tujuanmu thalabul ilmi? Tujuan kita thalabul ilmi bukan dengan hasil akhirnya, tapi hendaknya lebih dititikberatkan kepada prosesnya. Hasil akhir bukan wewenang kita, tapi itu adalah ketentuan Allah semata. Kita hanya diwajibkan untuk menjalani prosesnya dan istiqamah di dalamnya, bahkan sampai akhir hayat kita.

Sulit memahami pelajaran, susah menambah menghafal, jenuh di pondok, tidak cocok dengan salah seorang teman, kurang tidur, sedikit makan, maka itu semua adalah warna-warni seorang thalabul ilmi. Baik santri ataupun yang bukan santri. Ketika semua itu ada, maka ingatlah semua mesti ada ujian dan rintangannya. Harus dihadapi dengan sabar dan doa.

Yakinlah semua kesulitan dan kesempitan di dalam proses thalabul ilmi adalah penuh ganjaran dan bertabur pahala. 

Sampai kapan kita thalabul ilmi? Maka jawablah seperti Imam Ahmad menjawab, "Sampai mati !". Iya, sampai mati. Perhatikanlah kisah Abu Zur'ah yang menutup usianya dengan mengucapkan kalimat laailahaillah. Ketika Abu Zur'ah sakit menjelang wafatnya, teman-temannya beliau ingin menalqinkannya dengan kalimat laailahaillallah, tapi mereka segan karena kedudukan beliau sebagai seorang imam ahlul hadits besar, maka salah seorang temannya membacakan untaian perawi yang menghantarkan kepada isi hadits tentang menalqinkan seorang yang ingin menutup usianya. Maka di tengah sanad hadits tersebut Abu Zur'ah melanjutkannya sampai terucaplah kalimat laailahaillallah tersebut di lisan Abu Zur'ah ketika jelang wafatnya, subhanallah.

Kisah di atas sudah semestinya bisa memotivasi kita untuk semangat dalam memperjuangkan akhir hayat ini dengan thalabul Ilmi.

Sungguh heran jika ada seorang yang berstatus thalabul Ilmi, baik santrinya maupun yang bukan santrinya, merasa bingung dengan kekosongan waktu ketika seorang pengajar atau ustadz yang akan mengisi di majelis ilmu tidak hadir. Padahal waktu kekosongan itu bisa dimanfaatkan dengan ibadah-ibadah lainnya. Kedudukan waktu bagi seorang thalabul Ilmi sangatlah berharga. Waktu adalah modal bagi seorang thalabul ilmi untuk ibadah dan berkarya. 

Betapa banyak contoh-contoh para ulama ahlussunnah yang mempunyai karya-karya fenomenal. Berjilid-jilid tulisan telah mereka sumbangkan untuk agama ini. Bagaimana itu terhasil? Tentu itu karena waktu-waktu yang mereka manfaatkan. Seorang thalabul Ilmi seharusnya merasa kekurangan waktu, dan jika ada waktu yang bisa untuk dibeli, niscaya mereka akan rela mengantri untuk membelinya, sebagaimana orang-orang yang di luar sana juga berharap demikian. Orang-orang yang kesehariannya sibuk dengan dunia, ingin juga membeli waktu untuk menambah penghasilan dan pemasukan income dunianya.

Jadi, thalabul ilmi sampai kapan? Thalabul ilmi sampai mati! Mati dalam Thalabul Ilmi.

(Tulisan terhasil dari catatan tausiyah bada shubuh bersama Al Ustadz Abu Nasim Mukhtar hafizhahullahu ta'ala di Mahad Riyadhul Jannah-Cileungsi, 18 Dzulqadah 1443H / 18 Juni 2022)

Tiga Sebab Istiqamah dan Meraih Surga

 

Perjalanan hidup seorang hamba mesti akan mendapatkan ujian dan cobaan. Allah yang Maha Hikmah memberikan ujian dan cobaan tersebut agar terbukti, apakah seorang hamba ini akan tetap Istiqamah ataukah ia akan gugur di tengah perjalanannya meniti jalan kemenangan, yaitu mendapatkan jannah-nya Allah subhanahu wa ta'ala.

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan ditinggalkan begitu saja ketika mengatakan, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji?. Sungguh, Kami telah uji orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui -dan sejatinya Allah telah mengetahui sebelumnya- mana orang-orang yang benar-benar jujur dan mengetahui mana orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabut: 2-3).

Maka pada kesempatan berikut ini, kami akan sampaikan beberapa perkara-perkara yang bisa mengistiqamahkan seorang hamba.

1. Bersyukur

Rasa syukur adalah salah satu sebab seorang hamba bisa Istiqamah, karena Allah telah menetapkan tambahan nikmat bagi hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur,

Allah ta’ala berfirman,

‎وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

"Dan (ingatlah), tatkala Rabb kalian menyatakan, 'Jikalau kalian bersyukur, maka pasti Kami akan benar-benar menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kamu mengingkari (nikmat), maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih’." (QS. Ibrahim: 7).

Oleh karenanya, jika seorang hamba telah melakukan ketaatan atau kebaikan, maka bersyukurlah atas hal tersebut, karena tidaklah itu terlaksana melainkan karena adanya taufik dari Allah semata. Ketika ia mensyukuri nikmat ini, maka Allah akan tambahkan ia untuk terus dan terus berada di atas ketaatannya sampai tutup usia.


2. Selalu melazimi majelis-majelis ilmu

Majelis ilmu adalah sebaik-baik majelis yang selayaknya seorang hamba menjaganya. Bukan diberikan dengan sisa waktu Anda atau karena adanya kelapangan semata, namun benar-benar terjadwal dan menjaganya.

Majelis ilmu di sini adalah majelis yang dibacakan kitabullah dan sunnah-sunnah NabiNya. Menggali tafsir dan mempelajari maknanya dari sumber para salafush shalih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

"Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkannya (tafsir dan maknanya)  melainkan akan turun kepada mereka as sakinah (ketenangan), dan mereka akan diliputi rahmat, juga mereka akan dinaungi para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisiNya". (HR. Muslim).

Hadits di atas menjelaskan kepada kita bahwa majelis-majelis ilmu adalah tempat diturunkannya ketenangan dan rahmat dari Allah ta'ala. Maka ketika rasa tenang dan Rahmat Allah didapat, niscaya tiada lagi perkara-perkara yang dapat menghempaskan seorang hamba dari jalan keselamatannya.


3. Selalu bersama orang-orang shalih

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,

الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

"Seorang itu akan bersama dengan yang dicintainya" (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketika seorang hamba memiliki teman dan mereka saling mencintai karena Allah, bukan karena dunia, maka pertemanan mereka akan terwarnai dengan saling nasehat menasehati di jalan al haq. Tatkala ada kesalahan atau kekeliruan, maka temannya tersebut akan mengingatkan dan meluruskannya. Hal inilah yang dapat membantu seseorang istiqamah.

Bahkan seorang teman yang shalih akan membantu temannya di akhirat kelak. Nanti di hadapan Allah, seorang teman yang shalih akan memberikan syafaat bagi temannya yang lain sehingga mereka dapat selamat dari azab Allah.

Dalam sebuah hadits yang panjang riwayat Bukhari dan Muslim, shahabat Abu Said al Khudri radhiallahuanhu membawakan sebuah hadits dari Rasulullah bahwa kelak di hari kiamat akan ada orang-orang yang memberikan syafaat dengan meminta kepada Allah agar teman-teman mereka yang masuk neraka untuk dikeluarkan. Mereka pun bersaksi kepada Allah dengan berkata, 

ربنا كانوا يصومون معنا ويصلون ويحجون

"Wahai Rabb kami, dahulu mereka berpuasa bersama kami, mereka juga shalat dan haji".

Maka Allah memenuhi syafaat mereka dengan mengatakan,

أخرجوا من عرفتم

"Keluarkan mereka (dari neraka) bagi orang-orang yang kalian kenal."

Dari hadits di atas hendaknya bisa memotivasi kita untuk selalu bersama orang-orang shalih dan mencari teman yang shalih. 

Sungguh, harta-harta seorang yang kaya ketika di dunianya disedekahkan kepada temannya yang miskin namun ia seorang yang shalih, tidaklah besar dan berarti jika dibandingkan dengan syafaat-syafat mereka kelak di hari kiamat. Bisa jadi harta-harta yang telah engkau berikan kepada mereka, akan membuat engkau dikenal olehnya, sehingga ia akan memberikan syafaatnya di hadapan Allah ta'ala.

Wallahu alam.

(Tulisan terhasil dari catatan tausiyah bada shubuh bersama Al Ustadz Abu Umar Ibrahim hafizhahullahu ta'ala di Mahad Riyadhul Jannah-Cileungsi, 5 Dzulqadah 1443H / 5 Juni 2022)

Ketetapan Allah dan RasulNya adalah Sebuah Kemestian, Bukan Pilihan!

 

Allah telah menganugerahkan akal kepada manusia sebagai pemuliaan bagi mereka. Akal digunakan sebagai alat berpikir dan sarana di dalam mentadaburi ayat-ayat Allah.

Akan tetapi akal bukanlah sebagai tolak ukur di dalam menimbang kebenaran atau kesalahan secara mutlak karena manusia memiliki sebuah penghalang akal, yakni hawa nafsu.

Hawa nafsu inilah seringnya bisa menutup akal-akal sehat manusia. Oleh karenanya, Allah sebagai Dzat yang Maha Bijaksana telah mengutus seorang rasul dari kalangan manusia itu sendiri. Rasul itu menjadi pembimbing dan pengarah bagi manusia ke jalan kebenaran dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Bagi yang tidak mau mengikuti Rasul maka ia akan celaka bagi orang yang mau mengikuti Rasul maka dia akan bahagia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى.

"Setiap ummatku akan masuk surga kecuali bagi yang enggan.” Mereka (para Shahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan itu?". Beliau menjawab, “Barangsiapa yang mentaatiku maka akan masuk surga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka ia telah enggan". (HR. Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bahwa ada sekelompok orang yang mentaati rasul dan ada sekelompok orang yang menentang rasul, padahal rasul tersebut adalah orang yang akan menyelamatkan manusia. Aneh bukan?!

Ini juga merupakan bukti bahwa akal semata tidak bisa dijadikan modal untuk mencari kebenaran, namun akal-akal kita harus ditundukkan di hadapan syariat Allah, bukan sebaliknya. Allah taala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzab: 36).

Ayat di atas merupakan bukti yang jelas juga bahwa ketetapan Allah dan RasulNya adalah suatu kemestian, bukan pilihan! Barakallahufiikum.

(Tulisan terhasil dari catatan tausiyah bada maghrib bersama Al Ustadz Abdurrahman Lombok hafizhahullahu ta'ala di Mahad Riyadhul Jannah-Cileungsi, 4 Dzulqadah 1443H / 4 Juni 2022)

As Sunnah, Anugerah Terindah

 

Rasulullah menyatakan bahwa Islam nanti akan asing sebagaimana awalnya, beliau bersabda,


بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ


"Islam datang dalam keadaan asing, akan kelak akan kembali dalam keadaan asing. Maka beruntunglah orang yang asing". (HR. Muslim).


Keterasingan di atas adalah karena as sunnah. Mereka yang tetap memegang sunnah nabi akan menjadi seperti orang yang asing. Namun keterasingan ini akan mengantarkan kebahagiaan bagi pemegangnya, maka jadilah as-sunnah sebagai anugerah terindah yang dimiliki oleh seorang hamba.


Dengan sunnah maka segalanya akan baik dan indah. Seorang yang berharta akan baik kehidupannya dengan sunnah. Seorang yang mempunyai jabatan akan baik ketika ia mengenal sunnah. Abu bakar bin Ayyas rahimahullahu menyatakan bahwa seorang yang memeluk Islam adalah mulia, dan orang tersebut akan mendapatkan kemuliaan yang lebih ketika di dalam Islamnya ia mengenal sunnah.


As sunnah identik dengan Al jamaah, karenanya akan didapati orang yang memegang sunnah selalu bersatu dan bersaudara, bahkan persaudaraan mereka jauh lebih erat ketimbang persaudaraan karena sebab nasab, karena ikatan mereka bukan di atas ikatan dunia, melainkan di atas satu pijakan, yaitu di atas sunnah. Dengan hal tersebut maka jangan heran jika didapati para ulama saling mengirimkan salam kepada para ahlussunnah. Walau jarak mereka berjauhan namun kedekatan mereka sangat erat, sebagaimana ungkapan Imam Ayyub as Sikhtiyani tatkala dirinya mendapati seorang ahlussunnah yang meninggal, maka seakan-akan bagian tubuh beliau ada yang hilang. Sungguh, ini merupakan ungkapan kedekatan yang luar biasa. 


Bersamaan dengan keindahan-keindahan sunnah tersebut, pemegang sunnah mesti akan mendapati musuh-musuh yang akan menghalangi dan menjauhkan dirinya kepada sunnah. Oleh karenanya bersabarlah wahai para ahlussunnah, karena kesabaran kita di dalam memegang as sunnah akan terganjar dengan keberuntungan. Kebahagiaan di dunia dan kemenangan di akhirat, insyaallah.


(Tulisan terhasil dari catatan tausiyah shubuh bersama Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf hafizhahullahu ta'ala di Mahad Riyadhul Jannah-Cileungsi, 4 Dzulqadah 1443H / 4 Juni 2022)


Mau Pilih Mana, Jalan Bahagia atau Jalan Celaka?

 

Ketika manusia diciptakan maka sesungguhnya ia telah ditetapkan akan kehidupannya, apakah ia termasuk orang yang bahagia ataukah orang yang celaka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ

"Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama 40 hari sebagai setetes mani (nuthfah), kemudian menjadi setetes darah (‘alaqah) selama itu (40 hari juga), kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama itu (40 hari juga). Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat, maka ditiupkan padanya ruh dan diperintahkan (oleh Allah) dengan menetapkan empat perkara, yaitu: rezekinya, ajalnya, amalnya dan celakanya atau bahagianya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Perkara kebahagiaan dan kecelakaan seorang hamba adalah rahasia Allah. Kita tidak bisa mengklaim diri sendiri dengan sebagai orang yang paling bahagia, karena sesungguhnya kebahagiaan itu telah terdapat tanda-tandanya. Ketika tanda-tanda tersebut ada, maka sangat besar kebahagiaan itu didapat.

Allah telah menitipkan sesuatu yang jika dijalani oleh manusia di dunia, maka ia akan meraih kebahagiaan. Titipan itu adalah syariat-syariat Allah. Semua syariat Allah yang ada merupakan tolak ukur seorang hamba di dalam meraih kebahagiaannya. Semakin seorang hamba tersebut berada di dalam syariatNya, niscaya kebahagiaan akan terliputi pada dirinya. Sebaliknya, semakin seorang hamba jauh dari syariat Allah, niscaya kebahagiaan yersebut akan terluput dari dirinya.

Dengan hikmahNya yang agung, Allah menciptakan di dunia ini orang-orang yang bahagia dan juga menciptakan orang-orang celaka. Orang-orang bahagia telah dimunculkan di dunia ini agar manusia bisa mencontoh mereka dan mentauladani mereka di dalam menapaki jalan kebahagiaan. Siapakah orang-orang bahagia itu? Orang-orang bahagia itu adalah para nabi dan para rasul beserta orang-orang yang menetapi jalan mereka.

Di sisi lain, Allah juga memunculkan orang-orang yang celaka. Dengan hikmahNya yang agung pula, mereka ada. Mereka diciptakan sebagai ujian bagi orang yang sedang menjalani jalan orang-orang yang bahagia. Orang-orang celaka tersebut tidak hanya melakukan amalan-amalan yang celaka, tetapi juga mereka berusaha mengajak dan membujuk orang-orang lain untuk bisa bersama di jalan celaka tersebut, dan meninggalkan jalan-jalan kebahagiaan.

Maka sadarlah bahwa jalan kebahagiaan ini adalah sesuatu yang penting. Oleh karenanya kita harus mementingkannya di atas kepentingan-kepentingan yang lain. Lalu bagaimana kita bisa menghiasi diri dengan syariat-syariat Allah? Tentunya tidak akan bisa seorang hamba mengetahui syariat-syariat Allah ini kecuali dengan menuntut ilmu agama Allah. Setelah ia belajar, maka ilmu tersebut diamalkan dan dipraktekkan. Mulailah dari diri kita, lalu keluarga kita. Ketika masing-masing kita dan keluarga telah berilmu dan beramal, maka dengan sendirinya insyaallah akan terbentuk sebuah masyarakat yang bahagia penuh barakah. Ingatlah dua perkara ini! Dua sumber kebahagiaan. Ilmu dan amal. Oleh karenanya, mau pilih mana, jalan bahagia atau jalan celaka? Barakallahufiikum.

(Tulisan terhasil diri catatan tausiyah shubuh bersama Al Ustadz Abdurrahman Lombok hafizhahullahu ta'ala di Mahad Riyadhul Jannah-Cileungsi, 3 Dzulqadah 1443H / 4 Juni 2022)

Sikap Seorang Mukmin ketika Mendapat Kezhaliman dari Orang Lain

 

Al Imam Adz Dzahabi rahimahullahu berkata,


"المؤمن إذا امتُحن صبر واتعظ واستغفر، ولم يتشاغل بذم من انتقم منه، فالله حَكَمٌ مقسط، ثم يحمد الله على سلامة دينه، ويعلم أن عقوبة الدنيا أهون وخير له"


"Seorang mukmin jika mendapatkan ujian/cobaan, maka ia akan bersabar dan mengambil pelajaran serta akan beristighfar. 


Ia tidak tersibukkan dengan perkara yang tercela untuk membalas dendam karena Allah adalah Hakim yang Maha Adil. 


Kemudian ia pun akan memuji Allah atas keselamatan agamanya dan mengetahui bahwa hukuman dunia itu lebih ringan dan lebih baik bagi dirinya (dibandingkan hukuman di akhirat)".


(Siyar Alamunnubala-Imam Adz Dzahabi, 8/81).


Jadikan Kebiasaan dan Kesibukan Kita adalah Ibadah, karena ketika Ajal Menjemput, Kebiasaan dan Kesibukan Kitalah yang Menutup Umur Kita

 

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata,

فمن كان مشغولاً بالله وبذكره ومحبته فى حال حياته، وجد ذلك أحوج ما هو إليه عند خروج روحه إلى الله

Barangsiapa yang tersibukkan dengan Allah, berdzikir kepada-Nya dan mencintai-Nya di sepanjang hidupnya, maka akan mendapat hal tersebut adalah sesuatu yang paling ia butuhkan saat ruhnya keluar menuju Allah ta'ala".

(Thariqul Hijratain, Ibnul Qayyim, hal. 308).

Seharusnya Orang Tuamu Tuannya dan Engkau Budaknya, Bukan Sebaliknya!

 



Pada surat Al Isra ayat  23, tepatnya pada lafazh,

وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا

"Dan bicaralah kepada kedua orang tuamu dengan tutur kata yang baik".

Seorang tabiin besar, Said ibnul Musayyib menjelaskan tafsir ayat ini dengan,

قَوْلُ العَبْدِ المُذْنِبِ لِلسَّيِّدِ الفَظِّ.

"Ucapan seorang budak yang bersalah kepada tuannya yang keras/kasar." (Lihat Tafsir Al Qurthuby).

Itulah permisalan yang digambarkan oleh Said ibnul Musayyib. Seorang anak hendaknya ketika berbicara atau berbincang dengan kedua orang tuanya, memposisikan dirinya layaknya seorang budak yang melakukan kesalahan di hadapan tuannya yang horor dan killer. Tentulah bisa kita bayangkan bagaimana si budak itu akan berperilaku dan bertutur.

Ibnu Asakir dalam Tarikh Ad Dimasqi (53/216) mencontohkan bagaimana sosok seorang Muhammad ibnu Sirrin rahimahullahu ketika berbincang dengan ibunya. Dinyatakan sendiri oleh saudarinya, Hafshah bintu Sirrin,

وما رأيته رافعًا صوته عليها، كان إذا كلَّمها كالمصغي إليها

Aku tidak pernah melihat dia (Muhammad bin Sirrin) meninggikan suara di hadapan ibunya. Jika ia berbincang dengan ibunya maka ia seperti orang yang benar-benar memperhatikan (fokus)".

Bahkan dalam Ath Thabaqatul Kubra karya Ibnu Sa'ad (7/148), dibawakan sebuah riwayat,

أنَّه إذا كان عند أمِّه لو رآه رجلٌ لا يعرفه ظنَّ أنَّ به مرضًا من خفض كلامه عندها

Bahwasanya ia (Muhammad ibnu Sirrin) jika di hadapan ibunya, maka orang yang tidak mengenalnya akan mengira ia (Muhammad bin Sirrin) sedang sakit dikarenakan sangat lirihnya suara beliau di sisi ibunya".

Allahul musta'an, betapa jauhnya kita dengan amalan para salaf ini.

Betapa seringnya kita membentak orang tua. Menyalahkannya, bahkan mencercanya sampai terhina. Oleh siapa? Oleh kita, anaknya sendiri!

Di hadapan orang lain kita bisa menahan lisan dan sikap. Tapi mengapa di hadapan orang tua sendiri, kita orang yang paling kejam dan bengis?

قَوْلُ العَبْدِ المُذْنِبِ لِلسَّيِّدِ الفَظِّ.

"Ucapan seorang budak yang bersalah kepada tuannya yang keras/kasar."

Seakan-akan berbalik. Bukan kita berposisi sebagai budaknya, tetapi kita yang berposisi sebagai tuannya, innalilahi wa innailaihi raji'un.

Mari benahi diri. Semoga bermanfaat.

Memberikan yang Terbaik untuk Orang Tua di Hari Ied

 

Hisyam ibn Hasan berkata, bahwa Hafshah bintu Sirrin (saudari Muhamad ibn Sirrin) bercerita tentang saudaranya Muhammad ibn Sirrin,

كانت والدة محمد حجازية، وكان يعجبها الصبغ، وكان محمد إذا اشترى لها ثوبًا اشترى ألين ما يجد، فإذا كان عيد صبغ لها ثيابًا

Ibunda Muhammad ibn Sirrin adalah seorang hijaziyyah (dari negeri Hijaz), dan beliau senang dengan kain yang berwarna. Maka jika Muhammad ibn Sirrin membelikan ibunya sebuah kain, niscaya akan dibelikan kain yang paling lembut sepanjang yang beliau dapatkan. Jika tiba hari ied, maka beliau akan mewarnai pakaian ibunya". (Lihat Tarikh Ad Dimasyqi karya Ibnu Asakir 53/216).

Jika kita sudah tahu apa yang menjadi kesukaan atau kesenangan orang tua kita, maka penuhilah hal tersebut. Terlebih di hari ied, karena mereka lebih berhak dan lebih utama untuk diberikan kebahagiaan di hari ied.

Tentu kesenangan atau kesukaan masing-masing orang tua berbeda-beda. Kitalah yang harus cari tahu. Jika kita mampu mewujudkannya, segeralah menjemput pahala yang besar ini. Berikanlah yang terbaik untuk kedua orang tuamu. Semoga engkau mendapat keridhaan Allah ta'ala karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

"Keridhaan Rabb tergantung pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Rabb tergantung pada kemurkaan orang tua” (HR. Tirmidzy, dishahihkan oleh Imam Al Albani).

Semoga bermanfaat.

Selamat Mudik


Menyoal mudik, tentulah, orang tua yang terpaut jarak dan waktu yang jauh, sangat rindu ingin bertemu buah hatinya yang sedang di negeri rantau. Walau mungkin tidak terucap, namun kerinduan melihat sosok anaknya real -bukan di videocall- adalah suatu harapan di hati. Oleh karenanya, sambutlah kesempatan liburmu dengan mengunjungi mereka.

Janganlah rutinitas mudik tahunan sebagai beban dan berlalu begitu saja, akan tetapi niatkan untuk mewujudkan harapan orang tuamu yang rindu akan kedatangan anaknya, semoga dengan niat tersebut Allah ta'ala mengganjar perjalananmu sebagai ibadah birrul walidain.

Maka jika mudikmu diniatkan ibadah, tentulah tak ada keluh kesah di dalam menjalankannya. Jadikan macet, letih, kurang tidur dan kesempitan-kesempitan lainnya sebagai kafarah dosa untukmu. Nikmati saja. Bukankah Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ ؛ وَلَا نَصَبٍ ؛ وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ ؛ وَلَا غَمٍّ ؛ وَلَا أَذًى – حَتَّى الشَّوْكَةُ يَشَاكُهَا – إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit, lelah, kegundahan, kesedihan, kegalauan, atau sesuatu yang menyakiti, sampai pun duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menjadikan hal tersebut sebagai kaffarah (penggugur) bagi dosa-dosanya.” (HR. Bukhari Muslim).

Jangan lupa, jalani peraturan pemerintah terkait aturan mudik, karena menaati peraturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan syariat, ada nilai ibadah juga di sisi Allah ta'ala.

Juga, Jjika tujuan mudikmu untuk ibadah, maka jadikanlah proses di dalam menjalankannya tidak terkotori oleh kemaksiatan-kemaksiatan, berupa meninggalkan shalat, misuh-misuh/marah-marah sepanjang perjalanan, menerjang pelanggaran lalu lintas dan lainnya.

Harapannya, semoga mudikmu mendapat keridhan dan barakah dari Allah ta'ala, aamiin.
Selamat mudik.

Suaramu Itu Lho, Jaga di Hadapan Orang Tuamu!

 

Abu Ishaq ar Raqi al Hanbali menceritakan tentang sosok Abdullah ibnu 'Aun rahimahullahu, 


ونادته أمه فأجابها , فعلا صوته صوتها , فأعتق رقبتين


Ibunya pernah memanggil beliau (Ibnu Aun) dan ketika menjawabnya ternyata suara beliau melebihi/meninggi dari suara ibunya, maka beliau pun membebaskan dua orang budak". (Lihat Siyar Alamunnubala karya Imam Adz Dzahaby 6/366).


Wahai para pembaca yang masih memiliki orang tua, perhatikanlah bagaimana tebusan mahal di sisi seorang tabiin yang mulia Abdullah ibnu Aun atas kesalahan berupa meninggikan suara di hadapan seorang ibu, padahal kita yakini bahwa perbuatannya pastilah tidak disengaja. Namun di sisi seorang Al Imam Al Qudwah Alim negeri Bashrah, memandang "ketidaksengajaan" itu merupakan suatu yang besar sehingga harus ditebus dengan membebaskan dua orang budak, subhanallah.


Bagaimana dengan kita? Kira-kira berapa budak yang harus dibebaskan tiap harinya?


Mari Ingat Mati




Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda,

" أكثروا ذكر هادم اللَّذات: الموت".

"Perbanyaklah oleh kalian pengingat yang menghancurkan kelezatan-kelezatan: al maut (kematian)" (HR. Tirmidzy dan beliau meng-hasan-kannya).

Imam Al Qurthuby rahimahullah berkata,

"من أكثر ذكر الموت أكرم بثلاثة أشياء: تعجيل التوبة، وقناعة القلب، ونشاط العبادة. ومن نسي الموت عوقب بثلاثة أشياء: تسويف التوبة، وترك الرضى بالكفاف، والكسل في العبادة".

Barang siapa yang banyak mengingat kematian maka akan termuliakan dengan 3 perkara ini:
1. Menyegerakan bertaubat
2. Merasa cukup pada hati
3. Semangat dalam ibadah.

Barangsiapa yang melupakan kematian amaka akan dihukum dengan tiga perkata ini:
1. Menunda-nunda taubat
2. Meninggalkan ridha dalam hal kecukupan (tidak merasa cukup dengan apa yang ia miliki)
3. Malas dalam ibadah

(At Tadzkirah-Imam Al Qurthuby, hal. 126)

Ketika Jawaban atau Solusi Seorang Alim Nggak Sesuai Keinginan

 

Pas bingung, bertanya kepada seorang alim. Ketika dapat jawabnya, ternyata jawabannya tidak sesuai yang diharapkan, bahkan menyelisihi hawa nafsunya.

Gimana ya?

Asy Syaikh ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata,

‏قال العلماء رحمهم الله إذا سأل المستفتي عالماً مطمئنا لقوله معتقدا فيه الحق فإنه يلزمه العمل به ولا يستفتى غيره لأن الله قال (فسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون) والفائدة من سؤالهم الأخذ بما يقولون وإلا لكان ذلك عبثاً.

"Para ulama rahimahumullahu berkata: jika ada seseorang yang meminta fatwa bertanya kepada seorang alim yang ia tenang dengan jawabannya (ia percayai/tsiqah terhadapnya), dan jawaban seorang alim tersebut ternyata bersandarkan kepada al haq (kebenaran), maka seorang yang meminta fatwa tersebut harus beramal dengan fatwa itu dan jangan mencari fatwa yang lain, karena Allah subhanahu wa ta'ala berfirman: "Maka bertanyalah kalian kepada ahlu dzikri (orang berilmu) jika kalian tidak mengetahui".

Dan faidah dari pertanyaan mereka adalah mengambil dengan apa yang telah difatwakan kepada mereka, jika tidak demikian, maka yang seperti itu adalah suatu bentuk main-main".

(Tafsir Surat An Nisa-Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal. 276)