Al Farra*
Beliau adalah seorang imam sekaligus seorang penulis. Berkuniyah Abu Zakaria dan bernama Yahya ibn Ziyad ibn Abdillah al Asadi. Beliau adalah seorang maula (bekas budak) dan berasal dari negeri Kuffah.
Nama besar Al Farra sebagai tokoh bahasa dan sastra arab tidak lepas dari peran besar gurunya, Ali ibnu Hamzah al Kisa'i rahimahullah. Melalui beliaulah, Al Farra banyak mengambil ilmu.
Perjalanan menuntut ilmu Al Farra sangat luar biasa, hal ini sebagaimana yang dipersaksikan oleh teman belajarnya, Hannad rahimahullahu, beliau menuturkan, "Dahulu Al Farra berkeliling bersama kami kepada para guru dan tidaklah kami melihat beliau menulis, kami menganggap bahwa beliau telah menghafalnya".
Murid Al Farra yang bernama Muhammad ibnul Jahm as Simary rahimahullahu berkata, "Aku tidak pernah melihat satu kalipun Al Farra membawa sebuah kitab kecuali satu kitab 'Yaafi wa Yaf'ah'". Oleh karenanya, tak heran jika Imam Adz Dzahabi menyatakan kedudukan Al Farra sebagai orang yang tsiqah.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sosok Al Farra tidak bisa dipisahkan dengan gurunya, Al Kisa'i. Keduanya adalah tokoh dari pembesar-pembesar yang dijadikan rujukan di dalam ilmu bahasa dan sastra arab, sampai Ibnul Anbari rahimahullahu berkata, "Kalau seandainya penduduk Baghdad dan penduduk Kuffah tidak ada ahli nahwu kecual Al Kisa'i dan Al Farra, niscaya sudah tercukupi".
Bahkan sebagian ada yang menyatakan, "Al Farra adalah amirul mukminin di dalam bidang nahwu".
Walau sebagian menganggap Al Farra lebih mengungguli gurunya, akan tetapi Al Farra sangat memuliakan gurunya, hal ini sebagaimana dinyatakan sendiri oleh muridnya Al Farra, Salamah ibn Ashim, beliau berkata, "Sesungguhnya aku kagum kepada Al Farra tatkala beliau begitu memuliakan Al Kisa'i padahal Al Farra lebih mengetahui ilmu nahwu dibanding Al Kisa'i (gurunya)."
Tentunya keunggulan Al Farra telah dipersaksikan oleh banyak orang, di antaranya Tsa'labah rahimahullahu, beliau berkata, "Jika bukan karena Al Farra -ba'dallah- niscaya tidak ada bahasa arab dan hilang karena beliaulah yang menghimpunnya di saat orang-orang mengubah bahasa arab semaunya dan masing-masing mengklaim sendiri (akan keaabsahannya)".
Tsumamah ibn Asyris rahimahullahu pernah merasakan langsung akan kecerdasan Al Farra, beliau menuturkan, "Aku melihat Al Farra dan akupun mengajaknya diskusi tentang ilmu bahasa, maka aku mendapati beliau adalah bahr (luas ilmunya), dan tentang nahwu, maka aku menyaksikan beliau seorang yang dapat mumpuni.
Ketika berdiskusi tentang ilmu fikih, maka aku mendapati beliau seorang yang mengetahui perselisihan-perselisihan ulama, dan tentang ilmu pengobatan, beliau adalah orang yang pintar, begitu pula dalam ilmu lain, seperti ilu sejarah kaum arab, syair dan ilmu perbintangan.
Aku pun memberitahu hal ini kepada Amirul Mukminin Al Makmun, maka beliau pun mencari Al Farra".
Setelah pihak istana bisa membawa beliau ke hadapan khalifah, maka sang khalifah menugaskan Al Farra untuk menyusun sebuah kitab yang bisa dimanfaatkan oleh orang banyak. Abu Budail al Wadhdhahi rahimahullah menukilkan bahwa Khalifah Al Makmun memerintahkan Al Farra untuk menulis setiap apa yang bisa dikumpulkan dari ushul (pondasi dasar) ilmu nahwu. Al Farra pun ditempatkan di dalam sebuah ruangan dan diberikan orang yang bertugas untuk melayani kebutuhannya agar bisa fokus di dalam menyelesaikan tugasnya. Tak hanya itu, khalifah memberikan pula orang-orang yang siap menulis imla-nya di lembar-lembar yang telah disediakan, hingga akhirnya, terusunlah sebuah karya yang dikehendaki.
Dikatakan pula ketika Al Farra membacakan salah satu kitabnya, Ma'anil Qur'an, berkumpulah manusia (untuk mengambil faidah) dan terdapat di antara kumpulan mereka sebanyak 80 qadhi, dan tersebut di dalam riwayat ketika Al Farra meng-imla-kan kitab tersebut, beliau membahas lafazh "al hamdu" dengan seratus lembar banyaknya".
Salamah rahimahullah berkata, "Al Farra meng-imla-kan kitab-kitabnya semua dengan hafalannya".
Dengan kehebatan Al Farra di dalam ilmu bahasa arabnya, membuat sang khalifah ingin agar anak-anaknya belajar kepada Al Farra. Maka dikirimlah dua putra khalifah kepada Al Farra untuk ditalqin-kan (diajarkan) ilmu nahwu kepada mereka. Mereka pun belajar, hingga terdengar kabar tentang perlakuan anak-anaknya kepada Al Farra, kedua putranya saling berebut untuk menyiapkan sandal Al Farra ketika beliau berdiri ingin pergi, mereka juga selalu mendahulukan Al Farra di dalam urusannya. Maka Khalifah Makmun mengomentari hal ini dengan positif, beliau rahimahullah berkata, "Tidaklah seseorang menjadi sombong dari tawadhu-nya dia kepada pengusanya, kepada ayahnya dan kepada pengajarnya (gurunya)."
Imam Adz Dzahabi menyatakan bahwa tulisan-tulisan Al Farra jika dihimpun akan terukur sekitar 3000 lembar.
Dikatakan bahwa Al Farra wafat di tengah perjalanannya menuju haji di tahun 207 H pada umur 63 tahun, rahimahullahu.
(Silahkan lihat Siyar Alamun Nubala karya Imam Adz Dzahabi 10/118-121).
* Dibaca Al Farro