Pantang tuk Menjadi Anak Punk
(Versi Edit di Whatsapp)
Pernahkah anda melihat seorang yang berpenampilan lusuh dengan model rambut mohawk warna-warni, berkaos hitam lusuh, bercelana jins ketat, bersepatu boot ala tentara dilengkapi hiasan spike, rantai dan emblem khas semodel swastika atau model salip terbalik ?
Penampakkan makhluk aneh ini mungkin di daerah perkotaan sudah bukan pemandangan baru lagi.
Namun ternyata makhluk-makhluk aneh ini sudah mulai merebak ke pelosok-pelosok desa.
Allahu musta’an.
Pembaca yang budiman, mereka rela me ‘make up’ penampilannya demi menjalankan sebuah ekspresi naluri yang terbiaskan melalui sebuah wadah komunitas yang bernama punk.
Dibalik penampilan eksentrik seorang punker -baik dari sekedar kelas ikut-ikutan sampai kelas militan- ternyata mereka menyimpan sebuah ideologi yang khas.
Ideologi yang bermuara kepada kebebasan hidup, kesetaraan dan anti kemapanan.
Punk yang sebut sebagai salah satu pecahan aliran musik rock, asal muasalnya adalah merupakan reaksi akar rumput kaum muda pinggiran di Inggris yang muak dan bosan dengan rusaknya keadaan tatanan sosial dan sistem kapitalis penguasanya yang kian hari kian melahirkan tindak kriminalitas dan pengangguran.
Sikap protes ini mereka tumpahkan melalui lirik-lirik tajam dengan iringan musik ‘tiga jurus’ yang menghasilkan sebuah tempat curahan tersendiri dalam bentuk aksinya.
Jadilah punk sebagai musik sekaligus budaya.
Ada juga yang menganggap bahwa budaya punk tumbuh dari sekelompok pemuda ‘glue sniffer’ yang senang akan polah anarkisme dalam setiap kehidupannya.
‘Glue sniffer’ adalah sebutan bagi pecandu lem berbau tajam sebagai alternatif mahalnya minuman keras.
Pembaca yang budiman, seiring waktu berjalan, ternyata budaya punk kini kian merambah pesat ke negara-negara muslim.
Tak terlewat di negeri kita.
Tak heran, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sungguh, kalian akan mengikuti jalan yang ditempuh oleh orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta. Sampai seandainya mereka masuk ke dalam lubang Dhab [sejenis biawak] pasti kalian akan mengikuti mereka”.
Kami para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah apakah mereka dari kalangan Yahudi dan Nashrani?”.
Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka”.
[HR. Bukhari no. 7319]
Pembaca yang budiman, remaja kisaran umur belasan sampai dua puluh tahunan menjadi komoditi utama dalam menyuburkan budaya ini.
Tak salah, mengingat remaja ABG yang memiliki tingkat rasa ingin tahu yang tinggi, labil dan kurang banyak ‘makan garam’ kehidupan.
Di mata seorang punker sungguh indah hidup bebas tanpa aturan, tidak terkungkung norma-norma sosial dan tidak terbatasi oleh sistem yang mereka anggap kapital.
Di sisi mereka kesenangan hidup hanyalah bisa didapat sesaat setelah menghisap ganja atau ketika reaksi alkohol bekerja.
Padahal menjalani hidup seperti ini justru akan menambah kesengsaraan mereka.
Mereka tidak sadar bahwa ‘kenikmatan’ sesaat yang mereka rasakan sejatinya akan memupuskan harapan masa depan dunianya dan masa depan akhiratnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihra baginya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tiada lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya”.
[Al-Furqan: 43-44]
Pembaca yang budiman, mereka pikir menjadi anak punk adalah sebuah solusi yang jitu dalam menampung apresiasi.
Padahal jika mau jujur, lambat laun seorang punker akan menyerah dan kalah dengan ‘solusi’nya.
Kumpul-kumpul sambil nge-fly, memainkan musik punk di konser-konser lokal dan segala riot yang mencacati tatanan sosial, pada saatnya akan terhempas diterjang usia kedewasaan.
“Punk Not Dead” ternyata hanya sekedar semboyan semu yang terlumat pada kenyataan hidup.
Demikianlah akhir hidup seorang punker yang telah terakui sendiri oleh pegiatnya.
Sebutlah Kent McLard, seorang punkers asal Amerika sekaligus manager rekaman dan bos penerbit majalah-majalah komunitas punk, ia berkata, “Menentang arus, menjadi seorang anarkis, tinggal di gedung kosong pada usia 20-an tampaknya menjadi sebuah hal yang menyenangkan. Tetapi pada usia 30-an, tampaknya akan lebih menyenangkan apabila kita justru menceburkan diri ke dalam arus dan mengikutinya”
Pembaca yang budiman, yang menjadi titik permasalahan, apakah demikian akhir dari sebuah perjalanan?
Apakah dengan kembali mengikuti arus hidup keduniawian?
Tidakkah mau seorang muslim untuk menjadikan hidupnya lebih bernilai dari sekedar meninggalkan kehidupan nge-punk?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun”.
[Al-Hadid: 16].
Waktu yang dihabiskan dengan ‘barang haram’ dan hingar bingar ‘suara setan’ menjadi sejarah hitam repertoar kehidupan.
Putus asa dan pesimis hidup pun menjadi buah pahit.
Tidakkah mau untuk menjalani jalan yang lebih indah?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah dengan semurni-murninya taubat. Mudah-mudahan Rabbmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”.
[At-Tahrim: 8]
Kembalilah kepada Islam, karena hanya dengan Islam kebahagiaan akan datang.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Barangsiapa yang mencari tuntunan selain Islam, maka tidak akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi”.
[Ali Imran: 85].
Pembaca yang budiman, melalui tulisan ini, perlu kiranya kita semua waspada dari segala bentuk penetrasi budaya punk yang kini mulai dicicipi kaum muda.
Lindungi orang-orang yang kita cintai dari virus punk.
Suarakan dengan lantang untuk “PANTANG TUK MENJADI ANAK PUNK”
Rujukan utama:Majalah Asy Syariah Vol. VII/No. 76/1432H/2011
Majalah Tasfiyah Edisi 07/Vol. 01/1432H/2011
Dan sumber lain.
(Versi Edit di Whatsapp)
Pernahkah anda melihat seorang yang berpenampilan lusuh dengan model rambut mohawk warna-warni, berkaos hitam lusuh, bercelana jins ketat, bersepatu boot ala tentara dilengkapi hiasan spike, rantai dan emblem khas semodel swastika atau model salip terbalik ?
Penampakkan makhluk aneh ini mungkin di daerah perkotaan sudah bukan pemandangan baru lagi.
Namun ternyata makhluk-makhluk aneh ini sudah mulai merebak ke pelosok-pelosok desa.
Allahu musta’an.
Pembaca yang budiman, mereka rela me ‘make up’ penampilannya demi menjalankan sebuah ekspresi naluri yang terbiaskan melalui sebuah wadah komunitas yang bernama punk.
Dibalik penampilan eksentrik seorang punker -baik dari sekedar kelas ikut-ikutan sampai kelas militan- ternyata mereka menyimpan sebuah ideologi yang khas.
Ideologi yang bermuara kepada kebebasan hidup, kesetaraan dan anti kemapanan.
Punk yang sebut sebagai salah satu pecahan aliran musik rock, asal muasalnya adalah merupakan reaksi akar rumput kaum muda pinggiran di Inggris yang muak dan bosan dengan rusaknya keadaan tatanan sosial dan sistem kapitalis penguasanya yang kian hari kian melahirkan tindak kriminalitas dan pengangguran.
Sikap protes ini mereka tumpahkan melalui lirik-lirik tajam dengan iringan musik ‘tiga jurus’ yang menghasilkan sebuah tempat curahan tersendiri dalam bentuk aksinya.
Jadilah punk sebagai musik sekaligus budaya.
Ada juga yang menganggap bahwa budaya punk tumbuh dari sekelompok pemuda ‘glue sniffer’ yang senang akan polah anarkisme dalam setiap kehidupannya.
‘Glue sniffer’ adalah sebutan bagi pecandu lem berbau tajam sebagai alternatif mahalnya minuman keras.
Pembaca yang budiman, seiring waktu berjalan, ternyata budaya punk kini kian merambah pesat ke negara-negara muslim.
Tak terlewat di negeri kita.
Tak heran, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sungguh, kalian akan mengikuti jalan yang ditempuh oleh orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta. Sampai seandainya mereka masuk ke dalam lubang Dhab [sejenis biawak] pasti kalian akan mengikuti mereka”.
Kami para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah apakah mereka dari kalangan Yahudi dan Nashrani?”.
Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka”.
[HR. Bukhari no. 7319]
Pembaca yang budiman, remaja kisaran umur belasan sampai dua puluh tahunan menjadi komoditi utama dalam menyuburkan budaya ini.
Tak salah, mengingat remaja ABG yang memiliki tingkat rasa ingin tahu yang tinggi, labil dan kurang banyak ‘makan garam’ kehidupan.
Di mata seorang punker sungguh indah hidup bebas tanpa aturan, tidak terkungkung norma-norma sosial dan tidak terbatasi oleh sistem yang mereka anggap kapital.
Di sisi mereka kesenangan hidup hanyalah bisa didapat sesaat setelah menghisap ganja atau ketika reaksi alkohol bekerja.
Padahal menjalani hidup seperti ini justru akan menambah kesengsaraan mereka.
Mereka tidak sadar bahwa ‘kenikmatan’ sesaat yang mereka rasakan sejatinya akan memupuskan harapan masa depan dunianya dan masa depan akhiratnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihra baginya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tiada lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya”.
[Al-Furqan: 43-44]
Pembaca yang budiman, mereka pikir menjadi anak punk adalah sebuah solusi yang jitu dalam menampung apresiasi.
Padahal jika mau jujur, lambat laun seorang punker akan menyerah dan kalah dengan ‘solusi’nya.
Kumpul-kumpul sambil nge-fly, memainkan musik punk di konser-konser lokal dan segala riot yang mencacati tatanan sosial, pada saatnya akan terhempas diterjang usia kedewasaan.
“Punk Not Dead” ternyata hanya sekedar semboyan semu yang terlumat pada kenyataan hidup.
Demikianlah akhir hidup seorang punker yang telah terakui sendiri oleh pegiatnya.
Sebutlah Kent McLard, seorang punkers asal Amerika sekaligus manager rekaman dan bos penerbit majalah-majalah komunitas punk, ia berkata, “Menentang arus, menjadi seorang anarkis, tinggal di gedung kosong pada usia 20-an tampaknya menjadi sebuah hal yang menyenangkan. Tetapi pada usia 30-an, tampaknya akan lebih menyenangkan apabila kita justru menceburkan diri ke dalam arus dan mengikutinya”
Pembaca yang budiman, yang menjadi titik permasalahan, apakah demikian akhir dari sebuah perjalanan?
Apakah dengan kembali mengikuti arus hidup keduniawian?
Tidakkah mau seorang muslim untuk menjadikan hidupnya lebih bernilai dari sekedar meninggalkan kehidupan nge-punk?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun”.
[Al-Hadid: 16].
Waktu yang dihabiskan dengan ‘barang haram’ dan hingar bingar ‘suara setan’ menjadi sejarah hitam repertoar kehidupan.
Putus asa dan pesimis hidup pun menjadi buah pahit.
Tidakkah mau untuk menjalani jalan yang lebih indah?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah dengan semurni-murninya taubat. Mudah-mudahan Rabbmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”.
[At-Tahrim: 8]
Kembalilah kepada Islam, karena hanya dengan Islam kebahagiaan akan datang.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Barangsiapa yang mencari tuntunan selain Islam, maka tidak akan diterima
[Ali Imran: 85].
Pembaca yang budiman, melalui tulisan ini, perlu kiranya kita semua waspada dari segala bentuk penetrasi budaya punk yang kini mulai dicicipi kaum muda.
Lindungi orang-orang yang kita cintai dari virus punk.
Suarakan dengan lantang untuk “PANTANG TUK MENJADI ANAK PUNK”
Rujukan utama:Majalah Asy Syariah Vol. VII/No. 76/1432H/2011
Majalah Tasfiyah Edisi 07/Vol. 01/1432H/2011
Dan sumber lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar