Daurah Solo
Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Tanggal 29, 30 dan 31 Desember 2017
Label
Faidah Ringan Seputar Akhlak
(300)
Faidah Ringan Seputar Ilmu
(195)
Faidah Ringan Seputar Akidah
(111)
Faidah Ringan Seputar Ibadah
(107)
Faidah Ringan Seputar Manhaj
(94)
Faidah Ringan Seputar Fikih Ibadah
(71)
Faidah Ringan Seputar Keluarga
(56)
Hatiku Berbisik
(52)
Faidah Ringan Seputar Kisah
(38)
Faidah Ringan Seputar Ramadhan
(26)
Faidah Ringan Seputar Rijal
(25)
kajian remaja
(15)
Faidah Ringan Seputar Al Qur'an
(12)
Faidah Taklim
(12)
kajian akhlak
(12)
Petikan Faidah Hadits
(11)
Faidah Ringan Riyadhush Shalihin
(8)
Faidah Ringan Seputar Sirah Nabi
(8)
kajian hati
(8)
Faidah Ringan Seputar Hati
(7)
wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami
(6)
info kajian
(5)
Doa
(4)
Info Buku dan Kitab
(4)
Faidah Ringan Hadits Arbain
(2)
Faidah Ringan Hadits Kitabul Jami
(2)
Terjemah Mukhtashar Sirah Rasul
(2)
BUKU TAMU
(1)
download kitab pdf
(1)
Jumat, 29 Desember 2017
Minggu, 24 Desember 2017
Menuntut Ilmu Sampai Mati! Serius?
Ibnul Mubarak rahimahullahu pernah ditanya, "Sampai kapan engkau menulis hadits?", maka beliau menjawab, "Sampai aku tidak mendengar lagi sebuah kata yang bisa aku ambil manfaatnya."
Sedangkan Imam Ahmad ibn Hanbal rahimahullahu berkata lain ketika ditanya, "Sampai kapan engkau menulis dari perawi-perawi itu (untuk mendapat) sebuah hadits?", beliau menjawab, "Sampai mati!".
Dalam ucapannya yang lain, Imam Ahmad ibn Hanbal rahimahullahu berujar, "Aku menuntut ilmu sampai aku dimasukan ke dalam kubur."
(Syarafa Ashabal Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 68).
Subhanallah, jawaban yang menampar bagi seorang yang telah merasa cukup dengan kemampuan dirinya dan mulai enggan duduk bersama orang alim untuk menimba ilmu. Seorang Ibnul Mubarak dan Imam Ahmad saja yang telah menjadi Imam di masanya, masih saja terus mencari ilmu, maka dimana posisi kita?
Walau tak sebanding -atau bahkan tidak bisa dibandingkan- dengan mereka, akan tetapi minimalnya ucapan Al Khathib al Baghdadi rahimahullahu ini bisa memberikan motivasi tersendiri untuk kita resapi, beliau berkata, "Sesungguhnya ketika engkau kelak bertemu Allah sebagai seorang thalibul ilmi itu lebih baik dibandingkan engkau bertemu Allah sebagai seorang yang meninggalkan dari thalibul ilmi karena telah merasa cukup dan berpaling dari ilmu."
(Al Faqih wal Mutafaqqih-Khathib ak Baghdadi, jil. 2, hal 85).
Tinggal pertanyaan itu saya tujukan kepada diri saya sendiri, "Sampai kapan kita menuntut ilmu?"
Sampai mati..? Serius..?
Allahu mustaan. Semoga Allah mudahkan, amin.
Jadikan Makan dan Minummu Suatu yang Luar Biasa
Makan dan minum adalah suatu kebutuhan yang mutlak, oleh karenanya banyak orang yang menganggap hal ini adalah suatu perkara yang biasa, akan tetapi islam sebagai agama yang mulia tidaklah menganggap demikian, perkara makan dan minum sejatinya bisa menjadi suatu hal yang luar biasa. Ya, luar biasa!
Apa itu?
Ternyata aktifitas makan dan minum kita bisa menjadi suatu ibadah di sisi Allah. Luar biasa bukan!
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu 'anhu menyampaikan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
Artinya:
“Sesungguhnya tidaklah engkau menginfakkan suatu nafkah, dimana nafkah tersebut engkau tujukan untuk mengharapkan wajah Allah kecuali akan mendapatkan pahala, sampai pun segala yang engkau berikan (suapkan) kepada mulut istrimu.” (HR. Bukhari).
Abu Bakr ash Shiddiq radhiallahu 'anhu berkata,
"عَجِبْتُ لِلْمُؤْمِنِ أَنَّهُ يُؤْجَرُ فِي كُلِّ شَيْءٍ ، حَتَّى فِي اللُّقْمَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى فِيهِ"
(الزهد لوكيع بن الجراح, رقم الحديث: 96)
Artinya:
"Aku takjub dengan seorang mukmin, sesungguhnya dia diganjar (pahala) di setiap sesuatunya (amalan), sampai pun pada suapan (makanan) yang dia angkat ke dalam mulutnya."
(Az Zuhd-Imam Waki ibnul Jarrah, riwayat no. 96).
Oleh karenanya jangan sampai kita lupa ketika mengerjakan rutinitas ini bisa terlewat begitu saja tanpa nilai pahala, akan tetapi iringilah makan dan minum kita dengan niat agar ibadah bisa lancar dan dengan tata cara atau adab-adab yang telah dituntunkan di dalam sunnah rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Wallahu alam. Semoga bermanfaat.
Jangan Takut Menegur Anak
Umar bin Abi Salamah pernah bercerita tentang pengalaman masa kecilnya sewaktu masih diasuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertutur “Sewaktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah tanganku ke sana dan ke sini di atas nampan saat makan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
,《يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ》.
فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِى بَعْدُ
Artinya:
"Wahai anakku, sebutlah nama Allah, makanlah dengan menggunakan tangan kananmu dan santaplah makanan yang dekat di hadapanmu.”
Maka terus menerus demikian cara makanku setelah itu.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas merupakan salah satu pondasi utama seorang muslim dalam melakukan aktifitas makan berjamaah, akan tetapi yang menjadi perhatian kita di kesempatan ini adalah bagaimana suatu pengajaran nubuwah berupa teguran dan nasehat yang ditujukan kepada seorang anak ternyata akan membuahkan suatu pembentukkan karakter sejak dini.
Perhatikanlah hadits di atas, Umar ibn Abi Salamah dalam akhir hadits menyatakan bahwa dengan sebab teguran dan nasehat rasulullah, perilaku makan beliau yang pada awalnya kurang bagus, menjadi suatu kebiasan yang penuh barakah di sepanjang hidupnya.
Di dalam kisah lain, pernah suatu ketika cucu beliau shallallahu alaihi wasallam yang bernama Al Hasan ibnu Ali didapati sedang mengunyah sebuah kurma shadaqah, padahal syariat telah menetapkan bahwa Rasulullah dan keluarganya tidak diperbolehkan untuk memakan harta shadaqah, maka saat itu juga Nabi melarangnya seraya mengatakan,
《كِخْ كِخْ ارْمِ بِهَا أَمَاعَلِمْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ》
Artinya
"Kikh kikh, buanglah kurma itu! Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak memakan harta shadaqah."
(HR. Muslim)
Sekali lagi, hadits di atas mengajari kita untuk tak segan melarang anak terhadap suatu perbuatan yang tidak patut, akan tetapi tentunya lebih bijak bagi kita untuk menyebutkan pula kepada mereka tentang sebab pelarangan tersebut dari sisi syariat, sehingga mereka akan terbiasa untuk beragama dengan dalil-dalil yang ilmiyah.
Oleh karenanya janganlah pernah bosan untuk menegur dan mengajari seorang anak kepada adab-adab yang mulia, Abul Ahwash rahimahullah seorang tabi'in murid dari shahabat Abdullah ibn Mas'ud radhiallahu anhu berkata bahwa gurunya (Abdullah ibn Mas'ud) pernah berpesan,
"تَعَوَّدُوا الْخَيْرَ، فَإِنَّ الْخَيْرَ بِالْعَادَةِ"
(الزهد لوكيع بن الجراح, الأثر: ٣٢)
Artinya:
"Biasakanlah oleh kalian perkara kebaikan, karena sesungguhnya kebaikan itu dengan (adanya) pembiasaan."
(Az Zuhd-Imam Waki' Ibnul Jarrah, atsar no. 32)
Semoga bermanfaat.
Menaati Kedua Orang Tua di antara Perkara yang Sunnah dan yang Wajib
Hisyam ad Dustuwari pernah berkata bahwa Al Hasan al Bashri pernah ditanya tentang seorang lelaki yang disuruh oleh ibunya untuk berbuka dari puasa sunnahnya, maka beliau menjawab, "Hendaknya lelaki tersebut berbuka dan dia tidak ada kewajiban mengqadhanya, bahkan dia tetap mendapat pahala puasa sekaligus pahala berbakti kepada ibunya.
Tapi jika ibunya berkata, "Janganlah engkau keluar untuk shalat (berjamaah ke masjid)", maka tidak ada ketaatan kepada ibunya terhadap perkara yang wajib ini."
(Al Bir wash Shilah-Imam al Marwazi, atsar no 61)
Mendahulukan Perintah Ibu
Abu Syihab Musa ibn Nafi rahimahullahu,
"دَخَلْتُ عَلَى سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ بِمَكَّةَ وَقَدْ أَخَذَهُ صُدَاعٌ شَدِيدٌ ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِمَّنْ عِنْدَهُ : هَلْ لَكَ أَنْ نَأْتِيَكَ بِرَجُلٍ يَرْقِيكَ مِنْ هَذِهِ الشَّقِيقَةِ ؟ قَالَ : لَا حَاجَةَ لِي فِي الرُّقَى."
(حلية الأولياء: رقم الحديث: 5897)
"Aku menemui Said ibn Jubair di Makkah dan beliau terkena sakit kepala yang hebat. Maka seorang lelaki yang berada di sisinya berkata, "Apakah engkau berkenan jika kami datangkan seorang yang dapat meruqiyah sakit kepalamu?"
Beliau menjawab, "Aku tidak membutuhkan ruqiyah."
(Hilyatul Aulia-Abu Nu'aim Al Ashfahani, riwayat no. 5897).
Di dalam riwayat lain Said ibn Jubair rahimahullahu mengisahkan,
"لُدِغْتُ ، فَأَمَرَتْنِي أُمِّي أَنْ أَسْتَرْقِيَ ، فَكَرِهْتُ أَنْ أُعْصِيَهَا ، فَنَاوَلْتُ الرُّقَا بِيَدِي الَّتِي لَمْ تُلْدَغْ" .
(البر والصلة للمروزي, رقم الحديث: 57)
"Aku disengat (oleh binatang berbisa), ibuku menyuruhku untuk meruqiyahnya, aku pun enggan untuk mendurhakainya, maka aku meruqiyah dengan tanganku yang tidak disengat."
(Al Bir wash Shilah-Imam al Mawardi, riwayat no. 57)
Silahkan Anda qiyaskan pada kehidupan Anda!
Semoga Allah mudahkan kita tuk menjadi anak yang berbakti dan terjauh dari sikap durhaka terhadap kedua orang tua kita, amin.
Jangan Merasa Aman dari Dosa yang Pernah Dilakukan
Abdullah ibnu Mas'ud radhiallahu anhu berkata,
"إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيَعْمَلُ السَّيِّئَةَ فَيُشَدَّدُ عَلَيْهِ بِهَا عِنْدَ مَوْتِهِ لِيَكُونَ بِهَا ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ لَيَعْمَلُ الْحَسَنَةَ ، فَيُخَفَّفُ بِهَا عَلَيْهِ عِنْدَ مَوْتِهِ لِيَكُونَ بِهَا".
الزهد لوكيع بن الجراح, رقم الحديث: 89
"Sesungguhnya seorang mukmin akan mengamalkan sebuah kejelekkan, maka dia akan merasa sesak dengan dosa itu di saat maut (terasa) mendatanginya.
Dan sesungguhnya seorang yang fajir akan mengamalkan sebuah kebaikan, maka dia akan merasa ringan dengan kebaikan itu di saat maut (terasa) mendatanginya."
(Az Zuhud-Imam Waki ibnul Jarrah, pada atsar ke 89)
Kematianlah yang Mereka Tunggu-Tunggu
Rabi' ibnu Khutsaim rahimahullahu berkata,
"مَا مِنْ غَائِبٍ يَنْتَظِرُهُ الْمُؤْمِنُ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الْمَوْتِ"
(الزهد لوكيع بن الجراحح: رقم الحديث 86)
"Tidak ada perkara ghaib (belum terjadi) yang ditunggu-tunggu oleh seorang mukmin yang lebih baik dibandingkan kematian".
(Az Zuhud-Imam Waki ibnul Jarrah, pada atsar ke 86)
Tempat Istirahatnya Seorang Mukmin
Masruq rahimahullahu berkata,
"مَا مِنْ بَيْتٍ خَيْرٌ لِلْمُؤْمِنِ مِنْ لَحْدٍ ، قَدِ اسْتَرَاحَ مِنْ هُمُومِ الدُّنْيَا ، وَأَمِنَ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ"
(الزهد لوكيع بن الجراح, رقم الحديث: 85)
"Tidaklah ada dari suatu tempat tinggal yang lebih baik bagi seorang mukmin dibandingkan liang lahat, (karena dia di sana) telah istirahat dari kesedihan-kesedihan dunia dan telah aman dari adzab Allah."
(Az Zuhud-Imam Waki ibnul Jarrah, pada atsar ke 85).
Sampai Berjalan pun, Harus Diperhatikan!
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ ، قَالَ : رَآنِي عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَأَنَا أَمْشِي ، إِلَى جَنْبِ أَبِي فَقَالَ : " لا تَمْشِ إِلَى جَنْبِ أَبِيكَ ، إِنَّمَا يَنْبَغِي لَكَ أَنْ تَمْشِيَ وَرَاءَهُ " ، قَالَ : فَإِنِّي أَتَوَكُّأُ عَلَى يَدِهِ , قَالَ : " فَهَاهُ " .
(البر والصلة للمروزي رقم الحديث: 23)
Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdil Qari rahimahullah berkata, "Umar ibn Abdil Aziz rahimahullah melihatku berjalan di samping ayahku, lalu beliau berkata, "Janganlah engkau berjalan di samping ayahmu, yang pantas kau ini hanya boleh berjalan di belakangnya!."
Aku pun menerangkan, "Sesungguhnya aku (melakukan hal ini karena) menjadi tumpuan tangan ayahku."
Maka beliau berkata, "Kalau begitu lakukanlah!"
(Al Bir wash Shilah-Imam al Marwazi, atsar no 23)
Mendidik Anak untuk Menangis karena Dosa-Dosannya
Al Qasim ibn Abdirrahman rahimahullah berkata bahwa Ayahnya, Abdurrahman ibn Abdillah ibn Mas'ud pernah dinasehati oleh Ayahnya,
"يَا بُنَيَّ، ابْكِ مِنْ ذِكْرِ خَطِيئَتِكَ"
(الزهد لوكيع بن الجراح)
"Wahai anakku, menangislah karena mengingat dosa-dosamu."
(Az Zuhd-Imam Waki' Ibnul Jarrah)
Jangan Tinggalkan Kedua Orang Tuamu Jika Mereka Masih Membutuhkanmu
عَنْ هِشَامٍ ، عَنِ الْحَسَنِ فِي الرَّجُلِ يَكُونُ لَهُ وَالِدَانِ أَيَخْرُجُ لِلتِّجَارَةِ ؟
قَالَ: "إِنْ كَانَتْ لَهُ مِنْهَا مَنْدُوحَةٌ فَلا يَخْرُجْ" .
(البر والصلة للمروزي رقم الحديث: 22)
Abu Abdillah Hisyam ibnu Hassan al Azdi rahimahullahu menerangkan bahwa Al Hasan al Bashri suatu ketika pernah ditanya tentang seorang lelaki yang masih memiliki kedua orang tua, apakah dia boleh untuk keluar (kota/negeri) dalam rangka berdagang (kerja atau bisnis)?
Maka beliau menjawab, "Jika lelaki tersebut seorang yang dibutuhkan (oleh kedua orang tuanya) maka janganlah dia pergi (meninggalkan kedua orang tuanya)".
(Al Bir wash Shilah-Imam al Marwazi, atsar no 22)
Sedikit Asal Cukup Itu Lebih Baik Dibanding Banyak Tapi Membinasakan
Abu Darda radhiallahu anhu berkata,
"اعْبُدُوا اللَّهَ كَأَنَّكُمْ تَرَوْنَهُ ، وَعُدُّوا أَنْفُسَكُمْ فِي الْمَوْتَى ، وَاعْلَمُوا أَنَّ قَلِيلا يُغْنِيكُمْ خَيْرٌ مِنْ كَثِيرٍ يُلْهِيكُمْ ، وَاعْلَمُوا أَنَّ الْبِرَّ لا يَبْلَى ، وَأَنَّ الإِثْمَ لا يُنْسَى" . (الزهد لوكيع بن الجراح)
Artinya:
"Beribadahlah kalian kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan persiapkanlah diri-diri kalian untuk (menghadapi) kematian.
Ketahuilah oleh kalian bahwa yang sedikit tapi bisa mencukupi itu lebih baik dibandingkan banyak tapi membinasakan.
Ketahuilah bahwa kebaikan itu tidak akan tersia-siakan dan sebuah dosa tidak akan dilupakan (akan ada hisabnya)."
(Az Zuhd-Imam Waki' Ibnul Jarrah)
Tiga Perangai dari Tanda Kebaikan
Muhammad ibn Ka'ab al Quradhi rahimahullah berkata,
"إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا , زَهَّدَهُ فِي الدُّنْيَا ، وَفَقَّهَهُ فِي الدِّينِ ، وَبَصَّرَهُ عُيُوبَهُ ، وَمَنْ أُوتِيهِنَّ أُوتِيَ خَيْرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ" .
(الزهد لوكيع بن الجراح)
Artinya:
"Jika Allah menghendaki seorang hamba dengan kebaikan, maka:
Allah akan membuat dirinya zuhud kepada dunia, difakihkan terhadap ilmu agama dan diluaskan pandangannya. Barang siapa yang diberikan semua perkara ini, maka dia telah diberi kebaikan di dunia dan di akhirat."
(Az Zuhd-Imam Waki' Ibnul Jarrah)
Mewaspadai Setan
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, "Ketahuilah ketika bani adam diciptakan, di dalam dirinya telah ada al hawa dan asy syahwat yang bisa digunakan untuk mengambil sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya.
Allah juga telah meletakkan sifat al ghadb (amarah) yang bisa digunakan untuk melindunginya dari perkara yang akan mengganggu.
Manusia juga diberikan al aqlu (akal) layaknya orang yang mengajarinya untuk berbuat adil terhadap perkara yang dibutuhkan dan yang dijauhkan.
Adapun setan, dia diciptakan dalam keadaan sebagai penghasut (provokator) *untuk berlaku berlebih-lebihan* di dalam perkara yang dibutuhkan dan yang dijauhkan.
Maka seorang yang berakal wajib untuk bersikap waspada kepada permusuhan yang telah dipancangkan oleh setan sejak zaman Nabi Adam, dimana setan ini menghabiskan umurnya untuk merusak keadaan bani adam.
Allah taala telah memerintahkan agar mewaspadai setan,
《وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ》
Artinya:
"Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu."
(QS. Al Baqarah: 168)
(Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 45, cet. Darul Wasitiyyah 2015)
Ketaatan adalah Sumber Kecintaan Allah dan Kecintaan Makhluk
Abu Darda radhiallahu anhu pernah menulis sebuah surat kepada Maslamah ibn Makhlad rahimahullahu yang isinya adalah sebagai berikut:
'Amma ba'du,
Sesungguhnya seorang hamba jika beramal suatu ketaatan kepada Allah, niscaya Allah akan cinta kepadanya. Jika dia telah dicintai Allah maka Allah akan membuat makhluk cinta kepadanya.
Tapi jika orang tersebut bermaksiat kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya. Jika dia telah dimurkai Allah niscaya Allah akan membuat makhluk benci kepadanya."
(Az Zuhd-Imam Ahmad ibn Hanbal, hal. 184, cet. Darul Aqidah 2010)
Menyalami dan Menjabat Tangan Ahlul Bid'ah Bukan Hal yang Remeh di Sisi Salaf
Said ibn Amir rahimahullah berkata,
"مَرِضَ سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ فَبَكَى فِي مَرَضِهِ بُكَاءً شَدِيدًا ،
فَقِيلَ لَهُ : مَا يُبْكِيكَ أَتَجْزَعُ مِنَ الْمَوْتِ ؟
قَالَ : " لا ، وَلَكِنْ مَرَرْتُ عَلَى قَدَرِيٍّ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ، فَأَخَافُ أَنْ يُحَاسِبَنِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ "
Artinya:
"Suatu hari Sulaiman at Taimi terjatuh sakit, di dalam sakitnya beliau menangis dengan sangat, maka beliau ditanya, "Mengapa engkau menangis? Apakah engkau takut dengan al maut?". Beliau menjawab, "Tidak, akan tetapi aku pernah melewati seorang qadari (orang yang berpemahanan qadariyah), aku pun menyalaminya, maka aku takut kalau Rabb-ku akan menghisabku karenanya."
Sufyan ats Tsauri rahimahullahu berkata,
"من سمع مبتدع، لم ينفعه الله بما سمع، ومن صفحه فقد نقص الاسلام عروة عروة"
Artinya:
"Barang siapa yang mendengar dari seorang mubtadi (ahlul bid'ah) niscaya Allah tidak akan memberikan manfaat dengan apa yang dia dengar. Barang siapa yang menjabat tangannya, maka sesungguhnya dia telah melemahkan (tali) islam seutas demi seutas.".
(Atsar dinukil dari Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 33-34, cet. Darul Wasitiyyah 2015)
"مَرِضَ سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ فَبَكَى فِي مَرَضِهِ بُكَاءً شَدِيدًا ،
فَقِيلَ لَهُ : مَا يُبْكِيكَ أَتَجْزَعُ مِنَ الْمَوْتِ ؟
قَالَ : " لا ، وَلَكِنْ مَرَرْتُ عَلَى قَدَرِيٍّ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ، فَأَخَافُ أَنْ يُحَاسِبَنِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ "
Artinya:
"Suatu hari Sulaiman at Taimi terjatuh sakit, di dalam sakitnya beliau menangis dengan sangat, maka beliau ditanya, "Mengapa engkau menangis? Apakah engkau takut dengan al maut?". Beliau menjawab, "Tidak, akan tetapi aku pernah melewati seorang qadari (orang yang berpemahanan qadariyah), aku pun menyalaminya, maka aku takut kalau Rabb-ku akan menghisabku karenanya."
Sufyan ats Tsauri rahimahullahu berkata,
"من سمع مبتدع، لم ينفعه الله بما سمع، ومن صفحه فقد نقص الاسلام عروة عروة"
Artinya:
"Barang siapa yang mendengar dari seorang mubtadi (ahlul bid'ah) niscaya Allah tidak akan memberikan manfaat dengan apa yang dia dengar. Barang siapa yang menjabat tangannya, maka sesungguhnya dia telah melemahkan (tali) islam seutas demi seutas.".
(Atsar dinukil dari Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 33-34, cet. Darul Wasitiyyah 2015)
Rabu, 20 Desember 2017
Selasa, 19 Desember 2017
Bijak dalam Berkomentar di Medsos
Fenomena ber-medsos di dunia maya (media sosial) bagi sebagian orang sepertinya telah menjadi salah suatu bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Walaupun hanya di dunia maya, seorang netizen (pengguna aktif medsos internet) yang baik hendaknya tetap bisa mengaplikasikan adab-adab dalam bergaul dan bermuamalah dengan sesama netizen lainnya, terlebih di dalam suatu komunitas grup.
Jika kita ingin mengupas secara rinci tentang apa saja adab-adab dalam ber-medsos, maka sesungguhnya membutuhkan banyak pembahasan dan kajian, akan tetapi cukuplah ilmu-ilmu yang telah disusun oleh para ulama salaf yang membahas tentang adab-adab islami dalam berinteraksi di dunia nyata bisa menjadi acuan utama di dalam bermuamalah di dunia maya.
Di antara adab mulia yang telah digariskan oleh syariat yang mulia ini adalah sebagaimana yang telah disabdakan oleh nabi shallallahu alaihi wasallam,
《مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت》
Artinya:
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas memberikan kepada kita kepada suatu pelajaran penting bahwa seorang yang aktif berselancar di grup-grup medsos hendaknya tetap bertutur kata dan berkomentar dengan cara yang baik, karena tulisan kita sejatinya adalah ucapan kita, oleh karenanya bicaralah seperlunya jika memang dibutuhkan. Ibrahim at Taimi rahimahullah berkata,
"المؤمن إذا أراد أن يتكلم نظر؛ فإن كان كلامه له تكلم، وإن كان عليه أمسك عنه، والفاجر إنما لسانه رسلاً رسلاً"
(الصمت لابن أبي الدنيا: 247).
Artinya:
"Seorang mukmin ketika ingin berbicara hendaknya meninjau: jika ucapannya itu membawa kebaikan untuknya maka dia bicara, jika ucapannya malah membawa kejelekkan untuk dirinya maka dia menahan (tidak bicara). Hanya saja seorang yang fajir itu adalah yang lisannya mudah keluar tanpa perhitungan."
(Ash Shamt- Ibnu Abi Dunia, 7/250)
Netizen yang baik adalah seorang yang tidak banyak bicara sesuatu yang tak ada manfaatnya dan tidak mudah berkomentar atau menimpali suatu postingan. Seorang netizen hendaknya khawatir akan ketergelincirannya, Umar ibnul Khaththab radhiallahu anhu mengingatkan,
"من كثر كلامه كثر سقَطُه، ومن كثر سقَطُه كثرت ذنوبه، ومن كثرت ذنوبه كانت النار أولى به"
[جامع العلوم والحكم: ص161].
Artinya:
"Barang siapa yang banyak bicaranya niscaya akan banyak tergelincir, dan barang siapa yang banyak ketergelincirannya niscaya akan banyak dosanya, dan barang siapa yang banyak dosanya maka neraka itu lebih pantas untuknya."
(Jami'ul Ulum wal Hikam-Ibnu Rajab, hal. 161).
Semoga bermanfaat, terkhusus untuk penulisnya sendiri. Amin.
Pilih Dia karena Agamanya!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
《تُنْكَحُ المَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَافَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ》
Artinya:
"Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, nasabnya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang mempunyai agama (yang baik), niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim)."
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Janganlah engkau melihat kepada kecantikannya saja, jangan pula kepada harta dan derajat kedudukannya di sisi manusia saja, akan tetapi lihatlah kepada agamanya, karena (baiknya) agama akan mengumpulkan seluruh kebaikan.
Selain agamanya, seorang wanita tidaklah dipuji karenanya, kecantikan kadang akan membawa kepada tipu daya, hartanya akan membawa kepada sikap melampaui batas dan tingginya kedudukan akan membawanya kepada sikap sombong terhadap lelaki.
Adapun seorang wanita yang memiliki agama (yang baik), sesungguhnya dia tidaklah datang kecuali dengan kebaikan. Jika darinya diberikan anugerah berupa keturunan yang shalih maka sesungguhnya itu adalah hasil dari bimbingan dan pendidikan mereka yang di atas kebaikan."
(Taujihatu Muhimmah ila Syababil Ummah-Syaikh Shalih Fauzan, dinukil dari Rasail Ulamais Sunnah ila Syababil Ummah, hal. 12, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).
Dekat dengan Ahlul Ahwa = Jauh dari Allah
Sallam ibn Abi Muthi' rahimahullah bercerita tentang Ayyub as Sikhtiyani, bahwa beliau pernah didatangi oleh seorang lelaki dari kalangan ahlul ahwa dan berkata, "Aku ingin menyampaikan beberapa kalimat kepadamu." Maka Ayyub menjawab, "Tidak, walau setengah kalimat!"
-selesai-
Tegas dalam bersikap, itulah prinsip yang kini kian hari kian terkikis pada sebagian kaum muslimin. Lalu, mengapa Ayyub as Sikhtiyani sedemikian tegasnya kepada ahlul ahwa?
Dalam ucapannya yang lain, beliau berkata, "Tidaklah shahibu bid'ah bersungguh-sungguh dalam menambah, melainkan hanya menambahkan kejauhan dari Allah."
-selesai-
Itulah makar ahlul ahwa, menjauhkan seorang hamba dari Allah. Oleh karenanya seorang yang ingin selamat agama dan manhaj-nya, hendaknya jangan coba-coba mendekat kepada fitnah kepada ahlul fitan. Semakin dekat dekat dirimu dengan ahlul ahwa, maka semakin jauh dirimu dari Allah. Nas'alullaha salamah wal 'afiyah.
(Atsar dinukil dari Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 33, cet. Darul Wasitiyyah 2015)
Memilih Wanita Shalihah Agar Anak Menjadi Shalih
قال الله تعالى:
《وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا》
Artinya:
"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua (kedua orang tuamu) dengan rasa rahmah dan ucapkanlah: "Wahai Rabb-ku, rahmatilah mereka berdua sebagaimana mereka mengasuhku sewaktu aku masih kecil." (Al Isra': 24)
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Seorang anak yang mendoakan mereka (kedua orang tuanya) adalah karena sebab hasil tarbiyah shalihah (pendidikan lurus), sehingga anak tersebut tumbuh di atas kebaikan, dan inilah yang menjadi sebab kebahagiaannya. Maka balasan bagi perbuatan ihsannya kedua orang tua adalah mendapatkan ihsan pula (dari anak-anaknya).
Bertolak dari sini, engkau wajib untuk memperhatikan anak-anakmu, dan sesungguhnya jika seorang lelaki ingin menikah hendaknya memilih seorang wanita shalihah, karena termasuk dari keutamaannya adalah kelak dia akan mendidik anak-anaknya di atas kebaikan, karena dia adalah tempat penyimpanan benih dan keturunan, oleh karenanya pilihlah istri yang shalihah."
(Taujihatu Muhimmah ila Syababil Ummah-Syaikh Shalih Fauzan, dinukil dari Rasail Ulamais Sunnah ila Syababil Ummah, hal. 12, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).
Minggu, 17 Desember 2017
Meraih Ridha Allah Melalui Ridha Kedua Orang Tua
Pernahkah kita melihat dan memperhatikan bagaimana kehidupan kedua orang tua terhadap anak-anaknya?
Siang malam sang ibu tak kan kenal lelah tuk mengerahkan seluruh waktu dan tenaganya untuk mengasuh. Mulai dari memandikan, menyuapi makan, menjadi teman bermain, menemani tidur, mencuci pakaian hingga membesikan kotoran, semua dilakukan tulus tanpa mengeluh dan berharap pamrih.
Sang ayahpun tak kalah lelah, di pagi hari dia sudah memutar kepala untuk mencari penghasilan, semua tenaga dan pikiran dikerahkan agar rezeki bisa dibawa pulang. Ketika petang menjelang, di tengah kepayahannya, sang ayah tetap siaga tuk menjaga dan melindungi keluarga di rumahnya.
Kehidupan di atas adalah sedikit gambaran ketika keduanya membesarkan dan mendidik kita juga. Semua dilakukan mereka tanpa keluhan dan paksaan, tak ada keinginan selain harapan agar kelak dirimu menjadi penyejuk pandangan mereka di masa tua.
Oleh karenanya pantaslah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
Artinya:
"Keridhaan Rabb terdapat pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb terdapat ada kemurkaan orang tua". (HR. Tirmidzy, hadits dishahihkan oleh Imam Al Albani).
Mari sejenak merenung, apakah kita sudah membuat kedua orang tua kita merasa ridha? Ataukah selama ini kita malah selalu membuat murka kedua orang tua kita?
Menangislah! Sesungguhnya kita telah sering menyakiti mereka dan membuat jengkel mereka. Tak ada jalan lain tuk perbaiki diri kecuali bertaubat kepada Allah dan memulai memanjakan hari-hari tua mereka.
Ya Allah mudahkanlah hambamu tuk bisa meraih keridhaan mereka, yang dengan sebab itu Engkau pun ridha kepadaku. Amin.
Menikah atau Puasa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
《يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاء》
Artinya:
"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah hendaknya ia menikah, karena dengan itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka atasnya untuk berpuasa karena sesungguhnya puasa itu akan menjadi tameng untuk dirinya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Seorang pemuda diperintahkan untuk menjaga farj-nya, bisa dengan cara menikah jika dia mampu atau bisa dengan cara melemahkan dan menurunkan syahwatnya, yakni dengan berpuasa, karena adanya kekhawatiran mereka akan terjatuh ke dalam fitnah, dan ini termasuk dari semangatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap (kebaikan) umatnya."
(Taujihatu Muhimmah ila Syababil Ummah-Syaikh Shalih Fauzan, dinukil dari Rasail Ulamais Sunnah ila Syababil Ummah, hal. 9-10, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).
Tahdzirlah Orang Sesat dan Mintalah Keselamatan
Muhammad ibn Dawud al Haidany pernah berkata kepada kepada Sufyan ibn Uyainah tentang Ibrahim ibn Abi Yahya, seorang yang berpemahaman qadariyah. Muhammad ibn Dawud berkata kepada Sufyan, "Sesungguhnya orang ini (Ibrahim) berbicara tentang takdir."
Maka Sufyan berkata, "Beritahukan manusia tentang hal ini dan mintalah kepada Allah keselamatan."
(Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 32, cet. Darul Wasitiyyah 2015)
Sampai Kapan Men-jomblo?
Hidup belum mapan karena tempat tinggal masih di kontrakan, penghasilan pun pas-pasan, jangankan tabungan, kadang rezeki yang datang mesti dialokasikan untuk lunasi hutang.
Inilah suatu gambaran lumrah dari sebuah kenyataan seorang bujang. Ingin hati melepas lajang, tapi apa daya anggapan masih serba kurang terus saja menyerang pikiran.
Ikhwati rahimakumullah, jika engkau ingin menikah dan kekhawatiran di atas kian menghadang, mari kita dengar firman Allah yang Maha Kaya,
《إِنَّ اللهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ》
Artinya:
"Sesungguhnya Allah memberi rezeki bagi siapa saja yang Allah kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. Ali Imran: 37).
Ingat, kemapanan bukanlah kemauan utama seorang wanita yang shalihah, akan tetapi keshalihanlah yang terpenting.
Lelaki shalih dan jantan adalah lelaki yang mengorientasikan nikahnya untuk ibadah dan menjaga kehormatan, karena dia yakin dengan amalan inilah dia akan ditolong oleh Allah, berdasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
《ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ: اَلْمُكَـاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ.》
Artinya:
“Tiga golongan yang sudah semestinya akan ditolong oleh Allah, (1) seorang budak yang mencicil tebusan agar dirinya bisa bebas, (2) seorang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan, dan (3) seorang yang berjihad fi sabilillah.” (HR. Tirmidzy, hadits dihasankan oleh Imam al Albani).
Seorang lelaki yang sudah ingin menikah semestinya meletakkan syarat mapan dan cukup itu menjadi nomor yang kesekian, yang terpenting hendaknya dia menjadi lelaki jantan yang mau mencari nafkah dan mau sabar di dalam menjalankan.
Syariat ini telah menetapkan bahwa setiap hasil kerja yang di dapat, ketika diberikan kepada istri dan keluarganya dalam keadaan ikhlas karena Allah, niscaya hal itu akan bernilai menjadi sebuah pahala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
《إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ》
Artinya:
"Sesungguhnya tidaklah engkau menginfakkan sebuah nafkah yang ditujukan karena mengharapkan wajah Allah (ikhlash), melainkan akan diberi ganjaran (pahala) kepadamu, sampai pun makanan yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari).
Wahai para bujang, tunggu apa lagi? Sampai kapan men-jomblo? Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ» الْحَدِيثَ
Artinya:
"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah hendaknya ia menikah, karena dengan itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan." (HR. Bukhari dan Muslim).
Orang Merasa Aman di Sisi Kita adalah Suatu Anugerah
Ibnu Asakir dalam kitabnya Tarikh Dimasyqi menyebutkan bahwa Ali ibnul Husain rahimahullah pernah suatu hari memanggil budaknya hingga dua kali akan tetapi tidak memenuhi panggilannya, kemudian Ali ibnul Husain memanggil yang ketiga kalinya dan dia memenuhi panggilannya.
Ali ibnul Husain lalu bertanya, "Wahai anakku apakah engkau tadi mendengar panggilanku?"
"Ya, aku mendengarnya," jawab budaknya.
"Lalu mengapa engkau tidak memenuhi panggilanku?", tanya Ali ibnul Husain lagi.
Budak itu menjawab, "Aku berbuat demikian karena adanya rasa aman darimu."
Ali ibnul Husain pun berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan budakku merasa aman dariku."
(Mukhtashar Tarikh Dimasyqi, jil. 5, hal. 349)
Ali ibnul Husain lalu bertanya, "Wahai anakku apakah engkau tadi mendengar panggilanku?"
"Ya, aku mendengarnya," jawab budaknya.
"Lalu mengapa engkau tidak memenuhi panggilanku?", tanya Ali ibnul Husain lagi.
Budak itu menjawab, "Aku berbuat demikian karena adanya rasa aman darimu."
Ali ibnul Husain pun berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan budakku merasa aman dariku."
(Mukhtashar Tarikh Dimasyqi, jil. 5, hal. 349)
Ukuran Tinggi dan Rendahnya Nilai Seseorang
Muawiyah ibnu Abi Sufyan radhiallahu anhu berkata, "Sesungguhnya setinggi-tingginya manusia itu ternilai dengan pemaafannya padahal dia mampu untuk menghukum, dan sekurang-kurangnya manusia akalnya adalah yang menzhalimi orang-orang yang berada di bawahnya."
(Tarikh Khulafa-Imam As Suyuthi, jil. 1, hal. 229)
(Tarikh Khulafa-Imam As Suyuthi, jil. 1, hal. 229)
Jika Dia Meninggal di Atas Sunnah, Maka Jangan Ditangisi karena Itu adalah Kebaikan Baginya
Mu'tamir ibnu Sulaiman berkata, "Aku menemui ayahku dan ketika itu aku sedang patah hati, ayahku bertanya, "Ada apa denganmu?"
Aku pun menjawab, "Temanku ada yang meninggal"
Ayahku bertanya lagi, "Apakah dia meninggal di atas sunnah?"
"Benar", jawabku.
Lalu ayahku berkata, "Janganlah engkau bersedih atasnya."
(Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 28, cet. Darul Wasitiyyah 2015)
Aku pun menjawab, "Temanku ada yang meninggal"
Ayahku bertanya lagi, "Apakah dia meninggal di atas sunnah?"
"Benar", jawabku.
Lalu ayahku berkata, "Janganlah engkau bersedih atasnya."
(Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 28, cet. Darul Wasitiyyah 2015)
Menjadi Kids Zaman Now yang Lebih Baik
Seorang siswa sekolah dasar didapati tengah memposting selfi dirinya sedang menangis, sepertinya dia sedang dirudung duka yang sangat, ada apakah gerangan? Tangisan plus ratapan dramatis ternyata bukan karena dimarahi pak guru atau mendapat nilai jelek, akan tetapi karena dia tengah diputus cintanya oleh sang kekasih, masya Allah.
Di status lainnya, ada seorang pasangan yang berselfi mesra, kata-kata romantis dengan panggilan papa dan mama mengesankan pembacanya bahwa ini adalah sepasang suami dan istri, akan tetapi jauh dari dugaan, pasangan papa mama ini ternyata adalah anak-anak SD yang baru beberapa tahun kemaren masih lugu dan imut, Allahu mustaan.
Netizen (warga pengguna aktif internet) yang menyaksikan keedanan ini hanya bisa menggeleng-geleng kepala dan mengelus dada, tanpa panjang komen, netizen pun dipaksa tuk memaklumi fenomena ini, karena mereka adalah kids zaman now.
Pembaca rahimakumullah, mengapa budaya maksiat yang bernama pacaran ini tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu untuk dikonsumsi oleh anak-anak bau kencur tersebut? Perlahan tapi pasti, pergeseran budaya maksiat ini telah menyentuh ranah kids zaman now.
Lalu kira-kira apa yang menjadi pemicu hal ini terjadi?
Pembaca rahimakumullahu, dari beberapa sebab yang ada, ternyata faktor tayangan atau tontonanlah yang kuat mendorong mereka untuk melakukan hal-hal di atas. Berbagai tayangan cinema yang menampilkan indahnya kisah asmara sekolah selalu dijejalkan ke benaknya para kids zaman now ini, disamping tabiat mereka yang masih labil, mereka pun sebenarnya tengah berada di fase peniruan. Oleh karenanya tak heran jika muncul keinginan mereka tuk meniru dan menjadi pelaku kebahagiaan laknat itu (baca: pacaran).
Oleh karenanya, di antara solusi dasar atas permasalahan ini adalah adanya peran aktif orang tua dan para pendidik untuk mengajarkan nilai-nilai agama yang lurus, selaras berlandaskan Al Qur'an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman generasi salaf.
Adalah Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, seorang shahabat nabi yang menjadi salah satu rujukan umat di masanya merupakan salah satu contoh dari keberhasilan pedidikan yang diajarkan Nabi shallahu alaihi wasallam, ketika beliau masih kisaran umur sepuluh tahunan, beliau bercerita,
كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: 《يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْبِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ》
Artinya:
"Suatu hari aku berada di belakang (dibonceng) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata,“Wahai Nak, sesungguhnya aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa kalimat:
Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu.
Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu.
Jika engkau ingin meminta, maka mintalah kepada Allah.
Jika engkau ingin meminta tolong, maka minta tolonglah kepada Allah.
Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberikanmu sesuatu manfaat, niscaya manfaat itu tidak akan mengenaimu kecuali menimpa dengan apa yang telah Allah tetapkan untukmu.
Jika mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, niscaya bahaya itu tidak akan mengenaimu kecuali menimpa dengan apa yang memang telah Allah tetapkan untuk dirimu.
Telah diangkat pena dan telah mengering lembaran (takdir).”
(HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Imam al Albani).
Inilah beberapa pengajaran agama yang ditanamkan Rasulullah kepada seorang anak umuran sekolah dasar, apakah itu?
Aqidah ash shahihah!
Ya, seorang anak hendaknya sejak dini di ajari ilmu akidah yang lurus, di antara bentuk pengajarannya adalah sebagaimana yang tercantum pada poin-poin hadits di atas:
1. Menjaga hak-hak Allah dengan melakukan ketaatan dan menjauhi larangan Allah, tidak seperti kids zaman now yang mungkin karena kurang keilmuan dan keimanannya malah bangga jika bermaksiat, seperti pacaran, mabuk-mabukkan dsb.
2. Selalu menjadikan Allah sebagai tempat mengadu dan meminta, dengan ini akan menempa jiwa kids zaman now tuk tidak mudah lebay mendramatisir postingan-postingan keluhannya di medsos.
3. Optimis dan berani dalam melangkah tuk menempuh sebab-sebab positif karena memahami bahwa manfaat dan bahaya telah ditetapkan oleh Allah, jika ini telah ada pada jiwa kids zaman now, insya Allah penyakit galau tidak akan menjadi suatu hal yang dibiarkan berlarut, apalagi sampai membuat tindakan konyol semacam bunuh diri dll.
Semoga Allah menjaga generasi kita dari kejelekkan dan menjadikan kita dan mereka sebagai hamba-hamba Allah yang mentauhidkan-Nya, amin.
Kids Zaman Now
Istilah yang disematkan kepada anak-anak remaja (baca: ABG) kekinian yang tengah populer di media sosial.
Perilaku dan gaya kids zaman now yang tersebar di medsos, biasanya menampilkan kebiasaan dan kelakuan nyeleneh yang mungkin tidak dilakukan di era remaja sebelumnya.
Di antara trademark kids zaman now adalah bangganya mereka ketika bisa menampilkan selfi mesra bersama pasangannya (baca: pacar), padahal mereka masih seumuran anak sekolah dasar (SD), laa haula wala quwwata illa billah. Kadang tak sebatas itu, kita akan merasa geli tapi miris ketika kata-kata romantis bertabur di status-status medsos pasangan bau kencur ini, sekali lagi ini dilakukan oleh anak umuran SD, memanglah kids zaman now..!
Di status yang lain, kids zaman now kerap memposting selfinya dengan bangga ketika mereka bisa bergaya dengan rokok di mulutnya atau botol khamr di tangannya, pikirnya dia telah hebat dan pantas tuk menyandang kids zaman now!
Pembaca rahimakumullahu, tentunya kenyataan di atas adalah fenomena yang menyedihkan, lalu, salah siapakah? Mungkin kurang tepat jika kita kambing hitamkan kepada kids zaman now ini sepenuhnya, di samping kelabilan jiwa yang ada pada umuran mereka, kurangnya penanaman akidah tauhid sejak dini juga menjadi sebab mengapa kids zaman now melakukan aksi-aksi negatif di atas.
Pengajaran akidah dan tauhid sejatinya adalah pondasi kokoh dalam pembentukkan karakter positif seorang anak, dan ini merupakan tanggung jawab dan kewajiban kedua orang tua dan para pendidiknya.
Ketika seorang anak diajari akidah dan tauhid, niscaya dia akan mengetahui hakikat tujuan hidupnya, yakni beribadah hanya kepada Allah saja, dan ini adalah pondasi dan pokok dasar dalam akidah, yakni memahamkan kepada seorang anak tentang firman Allah taala,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya:
"Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk mengibadahi-Ku".
(QS. Adz Dzariyat: 56)
Jika kids zaman now telah memahami pondasi yang agung ini, maka harapan akan indah dan positifnya mereka dalam berperilaku akan bisa lebih kita harapkan sebagai penyejuk pandangan generasi old-nya sekarang, insya Allah.
Teruslah tuk Menambah Ilmu
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, "Seutama-utama perkara adalah menambah ilmu, karena barang siapa yang mengenteng-entengkan terhadap suatu perkara yang telah dia tahu dengan anggapan telah merasa cukup, niscaya dia akan terperdaya dengan dirinya sendiri, dan jadilah pengagungan terhadap dirinya sendiri itu akan menghalangi dia untuk bisa mengambil manfaat (ilmu)."
(Shayyidul Khathir-Ibnul Jauzi, hak. 158, cet. Darul Kitabil Arabi)
Sifat Merasa Cukup yang Tidak pada Tempatnya
Imam Al Mawardi rahimahullahu berkata, "Janganlah merasa cukup dari ilmu yang telah engkau tahu, karena merasa cukup itu di dalamnya terdapat zuhud, dan di dalam zuhud terdapat sifat meninggalkan, dan meninggalkan ilmu akan membuat bodoh."
(Adabud Dunia wad Diin-Imam Al Mawardi, hal. 125, cet. Dar Ihyail Ulum)
(Adabud Dunia wad Diin-Imam Al Mawardi, hal. 125, cet. Dar Ihyail Ulum)
Salah Satu Sebab dari Banyak Sebab Mengapa Zina Tidak Diperbolehkan
Pengharaman zina telah tegas divonis di dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Berikut ini di antara salah satu penjelasan dari rasulullah agar seseorang bisa menerima alasan mengapa zina itu tercela dan diharamkan di dalam islam. Mari kita simak hadits berikut ini:
《إن فتى شابا أتى النبيَّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ فقال: يا رسول الله، ائذن لي بالزنا!،
فأقبل القوم عليه فزجروه، وقالوا: مه مه،
فقال: ادنه، فدنا منه قريبا، قال: فجلس،
قال: أتحبه لأمك؟،
قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك،
قال: ولا الناس يحبونه لأمهاتهم،
قال: أفتحبه لابنتك؟،
قال: لا واللَّه، يا رسول اللَّه جعلني اللَّه فداك،
قال: ولا الناس يحبونه لبناتهم،
قال: أفتحبه لأختك؟
قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك،
قال: ولا الناس يحبونه لأخواتهم،
قال: أفتحبه لعمتك؟
قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك،
قال: ولا الناس يحبونه لعماتهم،
قال أفتحبه لخالتك؟
قال: لا واللَّه جعلني اللَّه فداك،
قال: ولا الناس يحبونه لخالاتهم
قال: فوضع يده عليه وقال: اللَّهمّاغفر ذنبه وطهر قلبه، وحَصِّنْ فرْجَه،
فلم يكن بعد ذلك الفتى يلتفت إلى شيء》
Artinya:
"Seorang pemuda datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah izinkan aku untuk berzina."
Para shahabat nabi yang ada ketika itu langsung menghadap ke arahnya dan menghardiknya, "Mah.. mah.."
Rasulullah kemudian berkata, "Dekatkan dia (kepadaku)". Maka pemuda itu didekatkan ke hadapan nabi kemudian dipersilahkan untuk duduk. Rasulullah lalu bertanya kepada pemuda itu, "Apakah engkau suka jika itu mengena pada ibumu?". Pemuda itu menjawab, "Tidak, demi Allah." "Kalo begitu, manusia pun tidak suka jika itu mengenai ibu-ibu mereka", terang rasulullah.
Lalu rasulullah bertanya lagi kepada pemuda itu, "Apakah engkau suka jika itu mengena pada anak perempuanmu?". Pemuda itu menjawab, "Tidak, demi Allah." "Kalo begitu, manusia pun tidak suka jika itu mengenai anak-anak perempuan mereka", terang rasulullah lagi.
Rasulullah bertanya lagi, "Apakah engkau suka jika itu mengena pada saudara perempuanmu?". Pemuda itu menjawab, "Tidak, demi Allah." "Kalo begitu, manusia pun tidak suka jika itu mengenai saudara-saudara perempuan mereka", terang rasulullah pula.
Kembali rasulullah bertanya, "Apakah engkau suka jika itu mengena pada amahnu (bibi dari keluarga ayah)?". Pemuda itu menjawab, "Tidak, demi Allah." "Kalo begitu, manusia pun tidak suka jika itu mengenai amah mereka", jelas rasulullah.
Kembali rasulullah bertanya, "Apakah engkau suka jika itu mengena pada khalahmu (bibi dari keluarga ibu)?". Pemuda itu menjawab, "Tidak, demi Allah." "Kalo begitu, manusia pun tidak suka jika itu mengenai khalah mereka", terang rasulullah lagi.
Maka rasulullah meletakkan tangannya kepada pemuda tersebut dan mendoakannya, "Yaa Allah ampunilah dosa-dosanya dan bersihkanlah hatinya serta jagalah farj-nya (kemaluannya)."
Setelah kejadian tersebut maka pemuda itu tidak lagi menoleh-noleh kepada sesuatu apapun."
(HR. Ahmad dari shahabat Abu Umamah radhiallahu anhu, hadits dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah, no. 370).
Semakin Tidak Tahu, Semakin Semangat
Yahya ibn Said al Qaththan rahimahullahu berkata tentang Sufyan ats Tsauri rahimahullahu, "Tidaklah aku mengetahui ada orang yang paling hafal dibandingkan dia, jika aku bertanya tentang suatu permasalahan atau tentang suatu hadits yang beliau tidak mengetahuinya, maka beliau pun semakin semangat (untuk mencari tahu)."
(Tadzkiratul Huffazh-Imam Adz Dzahabi, jil. 1, hal. 204, cet. Dar Ihyaut Turats al Arabi)
Kafirnya Orang yang Meninggalkan Shalat
Syaikh
Abdurrahman As Sady rahimahullahu berkata, "Shalat adalah amalan yang paling afdhal setelah dua kalimat syahadat, barang siapa yang menentang akan kewajibannya maka dia kafir dengan dasar ijma (kesepakatan).
Telah berselisih tentang hukum kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena sebab meremehkan (dalam penunaiannya), Imam Ahmad dan jumhur (mayoritas ulama) berpendapat kafirnya orang tersebut, dan pendapat ini adalah ijma para shahabat nabi.
Oleh karenanya Abdullah ibn Syaqiq rahimahullahu berkata, "Dahulu para shahabat nabi tidaklah memandang ada sesuatu yang ditinggalkan bisa menjadikannya kufur kecuali masalah shalat", ini adalah pendapat shahih yang sudah seharusnya seseorang tidaklah berpendapat kecuali dengan pendapat ini, dan memang pendapat ini selaras dengan apa yang ditunjukkan oleh nash-nash yang ada."
(Disadur dari Ta'liqat ala Umdatil Ahkam-Syaikh Abdurahman As Sady, hal. 78, cet. Darul Atsar 2012)
Nasehat Imam Al Auza'i untuk Mengikuti Salaf
Imam Al Auza'i rahimahullah berkata, "Sabarkanlah dirimu di atas sunnah, berhentilah dimana kaum tersebut (para shahabat nabi) berhenti, ucapkanlah dengan apa yang telah mereka ucapkan, cukuplah dengan apa yang telah cukup bagi mereka, jalanilah di jalan pendahulumu yang shalih karena itu akan melapangkanmu sebagaimana mereka telah lapang dengan hal itu."
(Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 27, cet. Darul Wasitiyyah 2015)
(Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 27, cet. Darul Wasitiyyah 2015)
Langganan:
Postingan (Atom)