Minggu, 17 Desember 2017

Menikah atau Puasa


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

《يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاء》

Artinya:
"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah hendaknya ia menikah, karena dengan itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka atasnya untuk berpuasa karena sesungguhnya puasa itu akan menjadi tameng untuk dirinya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Seorang pemuda diperintahkan untuk menjaga farj-nya, bisa dengan cara menikah jika dia mampu atau bisa dengan cara melemahkan dan menurunkan syahwatnya, yakni dengan berpuasa, karena adanya kekhawatiran mereka akan terjatuh ke dalam fitnah, dan ini termasuk dari semangatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap (kebaikan) umatnya."

(Taujihatu Muhimmah ila Syababil Ummah-Syaikh Shalih Fauzan, dinukil dari Rasail Ulamais Sunnah ila Syababil Ummah, hal. 9-10, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).

Tidak ada komentar: