Label
Faidah Ringan Seputar Akhlak
(300)
Faidah Ringan Seputar Ilmu
(195)
Faidah Ringan Seputar Akidah
(111)
Faidah Ringan Seputar Ibadah
(107)
Faidah Ringan Seputar Manhaj
(94)
Faidah Ringan Seputar Fikih Ibadah
(71)
Faidah Ringan Seputar Keluarga
(56)
Hatiku Berbisik
(52)
Faidah Ringan Seputar Kisah
(38)
Faidah Ringan Seputar Ramadhan
(26)
Faidah Ringan Seputar Rijal
(25)
kajian remaja
(15)
Faidah Ringan Seputar Al Qur'an
(12)
Faidah Taklim
(12)
kajian akhlak
(12)
Petikan Faidah Hadits
(11)
Faidah Ringan Riyadhush Shalihin
(8)
Faidah Ringan Seputar Sirah Nabi
(8)
kajian hati
(8)
Faidah Ringan Seputar Hati
(7)
wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami
(6)
info kajian
(5)
Doa
(4)
Info Buku dan Kitab
(4)
Faidah Ringan Hadits Arbain
(2)
Faidah Ringan Hadits Kitabul Jami
(2)
Terjemah Mukhtashar Sirah Rasul
(2)
BUKU TAMU
(1)
download kitab pdf
(1)
Senin, 17 Desember 2018
Petikan Kesungguhan Abu Bakr al Khiyath an Nahwi dalam Belajar
Abu Hilal Al Hasan ibn Abdillah al Askari rahimahullahu berkata, "Abu Bakr al Khiyath an Nahwi selalu belajar di setiap waktunya, sampaipun ketika di jalan. Teradang dia sampai terjungkal ke tebing atau menabrak ketika berkendaraan dengan hewannya.
Dihikayatkan dari sebagian orang (teman-temannya) bahwasanya dia selalu mengikat badannya dengan tali ketika ingin belajar jika malam telah tiba, khawatir kalau-kalau dia nanti terjatuh tatkala dirinya diserang kantuk.
Sebagian teman-temannya juga mengatakan bahwasanya dia (Abu Bakr al Khiyath an Nahwi) pernah ditanya, "Bagaimana engkau bisa meraih ketinggian derajat ilmu yang seperti ini dan engkau menjadi seorang yang diutamakan?"
Dia menjawab, "Dengan tidur ketika belajar (karena terlalu lama belajar sampai tertidur) dan makan ketika membaca (karena terlalu suka membaca, sampai makanpun sambil membaca).
(Al Hatsu ala Thalabil Ilmi wal Ijtihadi fi Jam'ihi- Abu Hilal Al Hasan ibn Abdillah al Askari, hal. 40, cet. Maktabah Ibni Taimiyyah 1991)
Duka Palu di Akhir September
Di tengah euforia hari jadi kota Palu yang ke 40, pemerintah setempat menyuguhkan perayaan Festival Pesona Palu Nomoni 3. Dilansir dari berbagai media, festival ini ditargetkan bisa mampu menyedot 800 ribu wisatawan dengan 500 ribu diantaranya merupakan wisatawan mancanegara.
Festival yang sedianya akan dilakukan di Pantai Talise dari tanggal 28 hingga 30 September 2018 ini, akan diisi dengan berbagai pagelaran dan pertunjukan seni dan budaya. Dari beragai sumber berita, di festival ini banyak dilakukan praktek-praktek ibadah yang dipersembahkan kepada selain Allah ta'ala (syirik), padahal kesyirikan adalah dosa besar yang mengundang musibah, sebagaimana hal ini telah diperingatkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu ketika menyitir ucapan shahabat nabi Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
,مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَة
Artinya
ٍ“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.”
(Al Jawabul Kaafi/Ad Dau wad Dawa)
Benarlah, tiba-tiba perayaan yang kiranya jadi cerita suka cita bagi orang-orang yang menghadirinya, ternyata malah menjadi cerita horor yang menyeramkan, mengelamkan satu lembar sejarah duka kota Palu dan bangsa Indonesia.
Semua yang hadir memadati Pantai Talise, baik Masyarakat kota Palunya, para penyuguh acara festivalnya, para turisnya dan tamu-tamu undangannya terhentak kaget dengan apa yang terjadi. Gempa berkekuatan 7,7 SR yang terjadi kala jelang waktu maghrib, selain memporak porandakan bangunan dan gedung-gedung kota Palu ternyata membawa kelanjutan malapetaka lainnya. Gulungan dahsyat tsunami menyapu ratusan rumah dan orang-orang yang berada di radius 0,5 km.
Akan tetapi ternyata gempa dahsyat itu tak hanya berefek pada datangnya tsunami di kisaran pesisir pantai saja, gempa yang terjadi di tempat lain ternyata tak kalah hebatnya. Tanah yang awalnya keras dipijak, saat itu tiba-tiba menjadi gembur bak lumpur, fenomena yang disebut likuifaksi ini mengakibatkan Petobo dan Balaroa hilang seketika di telan bumi tanpa kompromi. Semua lenyap tanpa sisa, Allahu akbar.
Eksodus yang dilakukan masyarakat Palu menjadi suatu yang dimaklumi, karena rasa takut dan trauma akut telah memaksa mereka tuk meninggalkan negeri Palu. Bagi para korban bencana yang tidak mampu pergi, akhirnya harus terpaksa tetap sabar untuk tinggal di barak-barak pengungsian sembari menunggu datang baiknya nasib.
Kini sudah tiga pekan berlalu, korban yang tinggal di pengungsian sedikit demi sedikit mulai merangkak bangkit. Tapi belum kering air mata ini, tiba-tiba dikejutkan lagi oleh fenomema hujan lebat yang melanda Palu, sehingga mengakibatkan meluapnya air. Banjir dan longsor tak terbendung hingga menutup akses jalan datangnya bantuan pangan, Allahul musta'an.
Wahai kaum muslimin, demikianlah musibah, tidaklah terjadi begitu saja. Allah ta'ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Artinya:
"Dan apa saja musibah yang menimpamu maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)."
(QS. Asy Syuraa: 30)
Lalu bagaimanakah sikap kita? Akankah kita diam dan hanya menonton tangis mereka? Tidak! Kita adalah satu tubuh, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Artinya:
“Orang-orang mukmin di dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).”
(HR. Al Bukhari – Muslim).
Tunggu apa lagi? Ayo berbuat, ayo doakan mereka dengan kebaikan. Jika ada kelapangan rezeki sisihkanlah sebagiannya untuk mereka, karena uluran tangan kita sangat berharga bagi mereka, wallahu alam.
Tingkatan Takwa
Syaikh Ubaid al Jabiri hafizhahullahu berkata, "...Sesungguhnya tingkatan takwa ada tiga:
Tingkatan yang pertama adalah mengerjakan perintah-perintah Allah.
Tingkatan yang kedua adalah meninggalkan al mahdzurat, dikatakan al mahdzurat yakni perkara-perkara yang haram dan mungkar.
Tingkatan ketiga adalah menjaga diri dari syubhat yang mengaburkan hakikat keadaan, apakah itu dari yang halal ataukah dari yang haram."
(Majmu'atur Rasail al Jabiriyyah [Syarhu Hadits Ittaqillaha Haitsuma Kunta], hal. 25-26, cet. Miratsun Nabawi)
Pernah Dibahas Bukan Alasan Jadi Malas
"Ingin taklim tapi ga semangat ya.. soalnya bahasan kajiannya udah pernah dikaji sih.."
Pernahkah ini terbesit di dalam pikiran kita? Jika iya, maka perhatikan sedikit kutipan para ulama salaf belajar di bawah ini.
Ibnul Jauzi rahimahullahu menyebutkan, "Dahulu Abu Ishaq asy Syairazi mengulang-ulang pelajarannya sebanyak 100 kali, sedangkan Al Kiya (salah seorang ulama Asy Syafi'iyah) mengulang-ulang pelajarannya sebanyak 70 kali.
Al Hasan ibn Abi Bakr an Naisaburi al Faqih berkata kepada kami, Tidaklah tercapai hafalanku seperti ini (kuat) sampai diulang sebanyak 50 kali.
-selesai-
Pembaca rahimakumullahu, baru sekali atau dua kali belajar, masa sudah malas? Belum 50 kali!
Lagi pula kita niat thalabul ilmi untuk ibadah bukan? Oleh karenanya jangan meremehkan majelis ilmu ya.. Yuk ngaji!
(Nukilan-nukilan di atas disadur dari Al Hatsu ala Hifzhil Ilmi-Ibnul Jauzi, dinukil dari Al Jami fil Hatsi ala Hifzhil Ilmi, hal. 254, Maktabah Ibni Taimiyyah 1991).
Pentingnya Mengulang-ulang Hafalan atau Ilmu
Al Hasan telah menghikayatkan kepada kami bahwa ada seorang yang fakih banyak mengulang-ulang hafalannya di rumahnya, maka seorang nenek-nenek yang membantu dia di rumahnya berkata, "Demi Allah aku pun sudah hafal (karena dia selalu mendengar seorang fakih tersebut mengulang-ulang hafalannya)."
Lalu seorang fakih ini berkata, "Coba setorkan kepadaku!." Lalu nenek itu menyetorkannya.
Setelah beberapa hari, seorang fakih itu memanggil nenek itu, "Wahai nenek, tolong setorkan kembali apa yang tempo hari engkau telah setorkan kepadaku..!"
Nenek itu berkata, "Aku tidak hafal lagi"
Maka seorang fakih itu berkata, "Demikianlah wahai nenek, aku mengulang-ulang hafalanku agar aku tidak terkena seperti apa yang engkau alami ini (lupa)."
-selesai-
Pembaca rahimakumullah, inilah salah satu metode dalam menjaga hafalan, yakni selalu mengulangi hafalan atau pelajarannya setiap saat, agar ilmu yang telah kita dapat tidak langsung berlalu begitu saja.
Jangan sampai sudah babak belur menghafal Al Quran atau Hadits Arbain, tapi malah tidak dimurajaah-murajaah lagi, kalau lupa kan rugi.. ya gak?
(Kisah di atas disadur dari Al Hatsu ala Hifzhil Ilmi-Ibnul Jauzi, dinukil dari Al Jami fil Hatsi ala Hifzhil Ilmi, hal. 254, Maktabah Ibni Taimiyyah 1991).
Apakah Mimisan Membatalkan Wudhu?
Syaikh Muqbil ibn Hadi al Wadi'i rahimahullahu menjawab, "Mimisan (keluar darah dari hidung) tidaklah membatalkan wudhu karena tidak ada dalil yang menyatakan bahwa mimisan itu membatalkan wudhu.
Telah ada hadits yang dhaif (lemah) bahwa mimisan dapat membatalkan wudhu, tapi ini tidak benar bahwa hadits itu berasal dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Dahulu para shahabat rasul shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan shalat dalam keadaan mereka terluka (yang mengeluarkan darah).
Maka mimisan tidaklah membatalkan wudhu, akan tetapi jika nanti dikhawatirkan hal tersebut dapat mengotori masjid, maka hendaknya dia keluar dan mencucinya, lalu dia bisa kembali dan mulai melakukan shalat, Allahul musta'an"
(Ijabatus Sail ala Ahammil Masail-Syaikh Muqbil al Wadi'i, hal. 36, cet. Maktabah Shana al Atsariyah 2015)
Jangan Baca Buku-Buku Ahlul Bidah
Asy Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullah berkata, "Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu dan ikhlas di dalam menjalankannya karena Allah.
Muliakanlah ulama sunnah dan ambillah faidah dari ilmu-ilmu mereka.
Jauhilah kitab-kitab para ahlul bidah yang di dalamnya terdapat pemikiran-pemikiran yang penuh dengan bidah dan sesat serta menyimpang.
Banyak di kalangan pemuda yang tertipu berkata, "Baca saja (kitab-kitab ahlul bidah itu) dan ambillah kebenarannya dan tingalkan kebatilannya."
Padahal para pemuda itu miskin dan mereka tidak punya apa-apa. Mereka tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, maka (ketika dia membaca kitab-kitab ahlul bidah) terjatuhlah mereka kepada kebatilan dalam keadaan mereka anggap itu sebuah kebenaran.
Bahkan mereka memerangi kebenaran yang mereka anggap itu sebuah kebatilan, dan ini terjadi pada kebanyakan manusia karena sebab adanya perangkap (syubhat) ini."
(Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Al Allamah Rabi ibn Hadi al Madkhali, juz 2, hal. 16, cet. Dar Al Imam Ahmad 2014).
Menempuh Sebab dalam Meraih Kebaikan pada Anak
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "... Janganlah kita menuntut kebaikan dari anak-anak kita dalam keadaan kita lalai dari mereka, akan tetapi hendaknya kita menempuh sebab-sebab yang dapat membuat baik mereka.
Adapun jika kita menuntut dari anak-anak kita kebaikan tanpa adanya usaha dari kita dalam menempuh sebab-sebabnya, maka ini suatu kesia-siaan."
(Taujihatu Muhimmah ila Syababil Ummah-Syaikh Shalih Fauzan, dinukil dari Rasail Ulamais Sunnah ila Syababil Ummah, hal. 14, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).
Ketika Ilmu Dunia tanpa Diiringi Ilmu Agama
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Jika seorang memiliki ilmu dunia saja maka ini tidaklah bermanfaat kecuali hanya sebatas untuk komoditi bisnis saja, tidaklah bisa memberikan rasa khasyah (takut) kepada Allah, bahkan seringnya malah membuat lalai dirinya dari Allah.
Maka ilmu duniawi mesti diarahkan oleh ilmu syari (ilmu agama) agar dia bisa memberikan manfaat, jika tidak demikian maka yang ada bisa menjadi suatu yang membahayakan."
Teman Baik adalah yang Suka Menolong
Menolong adalah suatu yang dituntut di dalam pergaulan, akan tetapi banyak yang salah kaprah di dalam pelaksanaannya.
Di dalam islam, menolong teman adalah suatu yang dianjurkan, baik ketika dia dizhalimi atau dia berlaku zhalim.
Kalo dia dizhalimi kita tolong, tapi bagaimana jika teman kita zhalim? Masa kita tolong juga? Bagaimana ini?!
Mari simak pengajaran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إذا كان مَظْلُومًا فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ إن كان ظَالِمًا؟ فقال تحجره أو تمنعه من الظلم فإن ذلك نصره
Artinya:
"Tolonglah saudaramu ketika dia berbuat zhalim atau ketika dia dizhalimi.”
Mereka (para shahabat nabi) bertanya, "Wahai Rasulullah, aku menolongnya jika dia dalam keadaan dizhalimi, tapi bagaimana aku bisa menolongnya jika dia berbuat zhalim?"
Beliau bersabda, ”Halangilah dia atau cegahlah dia untuk berbuat zhalim, karena itulah bentuk pertolongannya.” (HR. Muslim)
Nah, begitulah bentuk pertolongan kita terhadap teman atau saudara kita yang tengah berbuat zhalim, karena hal inilah yang mungkin bisa kita jadikan patokan siapa teman sejati yang selalu menolong, dengan siapa teman jahat yang menjerumuskan.
Semoga Allah taala menganugerahkan teman-teman yang baik dan shalih kepada kita, amin.
Rivalitas Kelewat Batas (Sebuah Renungan bagi Seorang Suporter Bola)
Pukulan dan tendangan bertubi-tubi mendarat di tubuhnya, hantaman kayu, pipa dan balok pun dirasanya. Darah pun mengucur keluar, tak lama, nyawa dia pun ikut keluar.
Pengeroyokan yang dilakukan oleh suporter tim kota kembang kepada salah seorang suporter tim ibu kota ini sempat viral di medsos, kecaman dan kutukan menghujani tindakan brutal ini. Hanya karena alasan rivalitas, nyawa seseorang menjadi remeh. Inilah buah dari fanatisme yang tercela.
Ketika sebuah klub bola menjadi tolak ukur sebuah loyalitas, akal sehat pun kandas ditelan kefanatikan tanpa batas. Sepak bola yang seharusnya disikapi hanya sekedar permainan, tiba-tiba menjadi sebuah momen yang sarat dengan pelanggaran. Mulai dari kerusuhan, penjarahan bahkan sampai pada tingkat saling hantam yang mengancam nyawa.
Yel-yel dukungan klub kebanggaan pun dikumandangkan, syair-syair kebencian diumbar, slogan-slogan rasis menggema tiada habis, berpadu satu menjadi sebuah kefanatikan pada diri seorang suporter bola.
Pembaca rahimakumullahu, fanatisme ala jahiliyah model ini sangat dikecam dalam islam, Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu pernah bercerita,
كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى غَزَاةٍ فَكَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ الأَنْصَارِىُّ يَا لَلأَنْصَارِ وَقَالَ الْمُهَاجِرِىُّ يَا لَلْمُهَاجِرِينَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا بَالُ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ. فَقَالَ دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ
Artinya,
”Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam di Gazah, Lalu ada seorang lelaki dari kaum Muhajirin yang memukul pantat seorang lelaki dari kaum Anshar.
Maka orang Anshar tadi pun berteriak: ‘Wahai orang Anshar (tolong aku)’.
Orang muhajirin tersebut pun berteriak pula: ‘Wahai orang muhajirin (tolong aku).’
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun bersabda: ‘Seruan Jahiliyyah macam apa ini?!.'
Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah memukul pantat seorang dari kaum Anshar.’
Beliau bersabda: ‘Tinggalkan hal itu, karena itu adalah busuk/jelek.’” (HR. Al Bukhari).
Tak heran jika perilaku fanatisme suporter model seperti ini terhukumi jelek, oleh karenanya Rasulullah melarang shahabat-shahabatnya terjatuh kepada hal ini.
Pembaca rahimakumullahu, fanatik buta terhadap klub bola merupakan perkara yang tercela, terlebih jika sampai menjadi aksi kekerasan yang menghilangkan nyawa. Bukankah rivalitas antar klub bola seharusnya hanya sebatas 90 menit di arena hijau? Semoga tidak ada lagi nyawa-nyawa lain yang hilang karena sebab kefanatikan tercela ini, amin.
Memantik Himmah di dalam thalabul ilmi
Syaikh Shalih ibn Abdil Aziz alu Syaikh hafizhahullahu berkata, "Bagaimanakah bisa terwujud suatu himmah (tekad yang kuat) di dalam menuntut ilmu?
Maka jawabnya, himmah itu bukanlah hasil dari sekedar teori belaka, tapi itu merupakan hasil nyata berupa amal yang bisa ditiru, dan ini bisa didapatkan dari pembacaan biografi para ulama.
Perhatikanlah biografi kehidupan para ulama yang terkenal atau yang lainnya! Di antara kitab-kitab yang memuat biografi ahlu ilmi adalah kitab "Tadzkiratul Huffazh" karya Imam Adz Dzahabi, juga kitab karya beliau pula "Siyar alamun Nubala" dan kitab-kitab lainnya yang menampilkan biografi kehidupan mereka, tentu kitab-kitab yang lainnya sangatlah banyak dan sangat sulit untuk menyebutkannya satu persatu di kesempatan ini."
(Fadhlul Ilmi wat Talim wa Shifatu Ahlihi-Syaikh Shalih ibn Abdil Aziz alu Syaikh, hal. 10, cet. Maktabah Ath Thabari)
Anak Laki-Laki dan Perempuan Dipisah Ranjang Tidurnya
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "... Demikian juga dengan mendekatkan anak-anak di dalam tidur mereka, janganlah mereka dibiarkan saling berdekatan (ketika tidur) agar syahwat di antara mereka tidak terpantik sehingga (menjadi sebab) terjadinya kerusakan.
Hendaknya mereka saling menjauh di masing-masing ranjangnya dan jangan dibiarkan mereka tidur (bersama) di satu ranjang.
Ini adalah bentuk penjagaan, dan menjaga itu lebih baik dari pada mengobati."
(Taujihatu Muhimmah ila Syababil Ummah-Syaikh Shalih Fauzan, dinukil dari Rasail Ulamais Sunnah ila Syababil Ummah, hal. 14, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).
Menuntut Ilmu tapi Tetap Bergaul dengan Manusia
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk memberikan porsi yang cukup untuk ilmu dengan segenap waktu dan kesungguhan yang kita bisa.
Dan selebihnya kita berikan untuk memperhatikan urusan lainnya semisal: bergaul dengan manusia dalam rangka kemaslahatan, atau mendakwahi manusia kepada kebaikan, dan perkara-perkara dan amalan-amalan lainnya.
Akan tetapi hendaknya yang dijadikan prioritas utama dari waktumu adalah untuk thalabul ilmi."
(Disadur dari Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh al Fauzan, jil. 1, hal. 32. cet. Darul Bashirah 2009).
Teruslah Menuntut Ilmu Sampai Allah Memberikan Keikhlasan
Apa makna sebagian salaf yang menyatakan: Kami menuntut ilmu untuk selain Allah maka ilmu pun enggan, kecuali harus untuk Allah saja?
Asy Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullah menjawab, "Maknanya adalah awal niatnya tidak benar akan tetapi ilmu itu pun membimbing, dan Allah memberinya hidayah keikhlasan untuk ibadah yang agung ini (menuntut ilmu).
Terkadang ada seorang insan yang masuk ke dalam islam dalam rangka menginginkan dunia, tapi kemudian Allah memberikan kepadanya kebaikan, hingga dia menjadi tinggi di dalam islam dan baik keislamannya..."
(Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Al Allamah Rabi ibn Hadi al Madkhali, juz 2, hal. 12, cet. Dar Al Imam Ahmad 2014).
Menerima Nasehat Lebih Aku Cintai dibandingkam Dunia dan Seisinya
Syaikh Muqbil ibn Hadi al Wadi'i rahimahullahu berkata, "Seorang ahlussunnah tidak akan mengaku-aku dirinya dengan sifat kesempurnaan, mereka adalah orang-orang yang siap untuk menerima nasehat.
Nasehat yang datang kepadaku dari Negeri Najd, Shan'a, Jazair atau dari negeri lainnya, itu lebih aku cintai ketimbang dunia dan seisinya untuk aku menerimanya, karena agama itu adalah nasehat.
Kami menyadari bahwa sesungguhnya kami adalah seorang thalibul ilmi yang bisa jadi kami benar, kami salah, kami jahil dan kami tahu."
(Ijabatus Sail ala Ahammil Masail-Syaikh Muqbil al Wadi'i, hal. 29, cet. Maktabah Shana al Atsariyah 2015)
Nasehat untuk Semangat Thalabul Ilmi
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Barang siapa di antara kalian yang dirinya lapang untuk menuntut ilmu dan mendapatkan ilmu, maka lakukanlah, karena ilmu sangat ditekankan di zaman ini, di mana keberadaan para fuqaha agama sangat sedikit dan para thalabud dunia sangatlah banyak dengan berbagai sarana dan rayuannya.
Barang siapa yang tidak mampu maka berusahalah untuk berdzikir dan bermajelislah dengan ahlul ilmi serta mintalah faidah kepada mereka..."
(Lihat Adh Dhiyaul Lami-Syaikh Utsaimin, hal. 21, cet. Maktabatush Shafa 2005).
Bersiap tuk Menyambut Akhirat
Syaikh Shalih ibn Abdilaziz alu Syaikh hafizhahullahu berkata, "Tidak ragu lagi bahwa setiap muslim yang bersyahadat laailaha illallah wa anna muhammadan rasulallah pasti menginginkan dengan keislamannya agar dia selamat di dunia dan di akhirat, karena sesungguhnya bertemu Allah dan menjalani hari hisab (perhitungan amal) serta menjalani kejadian-kejadian yang nanti akan ditemui di hari kiamat adalah urusannya sangat besar dan besar.
Maka hendaknya seorang muslim harus semangat dalam segala perkara untuk menjumpai hari tersebut atau meringankan timbangannya."
(Al Bida wa Bayanu Haqiqatiha wa Atsarul Bida fi Hayatil Muslim-Syaikh Shalih alu Syaikh, dinukil dari Majmu Rasail wad Durus fi Dzammil Bida, hal. 10, cet. Ibnul Jauzi 2006)
Kesungguhan Ulama dalam Mencari Ilmu
Syaikh Shalih ibn Abdil Aziz alu Syaikh hafizhahullahu berkata, "Seorang thalabul ilmi harus menelaah perjalanan hidup para ulama, karena tanpa mengetahui sirah ulama, engkau akan turun semangat dan tak akan mengetahui apa itu himmah (tekad) dan tak mengetahui banyaknya pengorbanan mereka.
Engkau tak akan mengetahui bagaimana perjalanan panjang mereka, baik dengan kaki-kakinya atau dengan keledainya yang ditempuh selama berbulan-bulan lamanya.
Ada di antara mereka yang sampai menjumpai kematian, mendapati kesusahan yang sangat, dan ada juga yang sampai kehilangan perbekalannya.
Adapun di hari ini, kita berada di sebaik-baiknya kendaraan dan bisa berhubungan dengan perantaraan yang memudahkan, tapi bersamaan dengan itu, kita masih mengeluh dari sisi waktu dan mengaduh dari banyak perkara.
Maka dengan menelaah perjalanan hidup generasi-generasi yang awal, kita akan mengetahui bahwasanya mereka adalah ulama yang mempunyai himmah (tekad) setelah mendapat taufiq dari Allah, dengan iringan kesungguhan dan jihad."
(Fadhlul Ilmi wat Talim wa Shifatu Ahlihi-Syaikh Shalih ibn Abdil Aziz alu Syaikh, hal. 10, cet. Maktabah Ath Thabari)
Al Quran, Kemudian Bahasa Arab, Lalu Ilmu Hadits
Syaikh Muqbil ibn Hadi al Wadi'i rahimahullahu berkata, "Seorang ahlussunnah -bihamdillah- mereka memulai dengan menghafal Al Quran, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
خَيُركُم مَن تَعلٌمَ القُرانَ وَعَلٌمَهَ
Artinya:
"Sebaik-baik kalian adalah siapa yang belajar Al Quran dan yang mengajarkannya."
(HR. Bukhari)
Kemudian setelah itu mereka belajar dengan hal yang bisa menegakkan lisannya, yakni dengan bahasa arab.
Bahasa arab perkaranya sangat agung, karena musuh-musuh islam tengah membuat keragu-raguan (beragama) melalui sisi ini.
Kemudian setelah ini, Allah menghidupkan di tengah-tengah mereka (ahlussunnah) dengan suatu perkara yang dahulu asing di negeri ini (Yaman), dan karunia ini hanya milik Allah, bukan karena kekuatan kita, bukan karena keberanian kita, bukan pula karena banyaknya harta kita, ketahuilah bahwa karunia ini adalah ilmu hadits.
Sesungguhnya dahulu kami hidup di negeri yang tidak tahu menahu tentang ilmu hadits sebelumnya..."
(Ijabatus Sail ala Ahammil Masail-Syaikh Muqbil al Wadi'i, hal. 21, cet. Maktabah Shana al Atsariyah 2015)
Ilmu Dunia akan Membuat Sombong dan Ujub
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Ilmu syari akan menambah pengembannya menjadi seorang yang tawadhu dan merasa rendah di hadapan Allah taala, adapun ilmu yang sifatnya penemuan dan pembuatan (ilmu dunia) mayoritasnya akan menambah sombong, congkak dan ujub (bangga diri) sebagaimana negara-negara industri hari ini, semisal negara komunis dan lainnya".
(Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh al Fauzan, jil. 1, hal. 31, cet. Darul Bashirah 2009).
Ilmu Syar'i akan Melahirkan Sifat Khasyah (Takut)
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "... Inilah ilmu yang melahirkan al khasyah (rasa takut), karena ilmu ini menggabungkan antara lisan dan kalbu.
Ilmu terbagi menjadi dua macam:
1. Ilmu lisan, ini sebagai hujjah atas seorang saja
2. Ilmu yang di hati, inilah yang mewariskan sifat khasyah kepada Allah ta'ala, yakni ilmu syar'i yang diamalkan oleh pengembannya dan amalnya tersebut dipersembahkan ikhlash hanya kepada Allah ta'ala saja, sehingga ilmu syar'i ini akan menambahkan bagi pengembannya sifat tawadhu dan perendahan diri kepada Allah ta'ala."
(Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh al Fauzan, jil. 1, hal. 31, cet. Darul Bashirah 2009).
Selasa, 06 November 2018
Ciri-Ciri Ilmu yang Tidak Bermanfaat
Syaikh Muhammad Jamil Zainu rahimahullahu menerangkan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat adalah, "Ilmu yang tidak diamalkan, tidak disampaikan (didakwahkan) kepada orang lain dan yang tidak bisa merubah akhlaknya."
(Nida'u ilal Murabbiyin wal Murabbiyat li Taujihil Banin wal Banat-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 6, cet. Maktabah Salsabil 2006)
Anjuran tuk Membaca Kisah-Kisah Ulama
Syaikh Shalih ibn Abdil Aziz alu Syaikh hafizhahullahu berkata, "Hendaklah engkau lihat akan perjalanan hidup ahlu ilmi dari kalangan shahabat dan orang-orang yang setelahnya.
Ketika engkau menelaah akan akhlak mereka, kehidupan mereka serta amalan-amalan mereka, niscaya hal itu akan memotivasi dirimu dan menyemangatimu dalam thalabul ilmi."
(Fadhlul Ilmi wat Talim wa Shifatu Ahlihi-Syaikh Shalih ibn Abdil Aziz alu Syaikh, hal. 8, cet. Maktabah Ath Thabari)
Ingat, Ajal itu Datang Tiba-tiba!
Aun ibn Abdillah rahimahullahu berkata, "Betapa banyak orang yang mendapati hari tapi tidak mampu menyempurnakannya, yang menunggu esok tapi tidak menemuinya.
Jika seandainya engkau melihat kepada perkara ajal dan fenomena yang ada, niscaya kalian akan membenci angan-angan dan kecongkakkan."
(Sanadnya shahih dalam Az Zuhud-Imam Ibnul Mubarak, hal. 62, cet. Ibnul Jauzi 2011)
Salah Satu Bentuk Itsar Abu Bakr ash Shiddiq radhiallahu anhu
Rafi ibn Abi Rafi ath Tha'i radhiallahu anhu berkata, "Aku pernah menemani Abu Bakr Ash Shidiq radhiallahu anhu di perang dzatu salasil, beliau membawa kain untuk dipakai (membalut tubuhnya) di saat naik kendaraan, ketika beliau turun (bergantian) kainnya pun dipakaikan kepadaku."
(Sanadnya shahih dalam Az Zuhud-Imam Ahmad ibn Hanbal, hal. 149, cet. Darul Aqidah 2010)
Pangkal dari Segala Penyimpangan adalah Bid'ah
Syaikh Shalih ibn Abdilaziz alu Syaikh hafizhahullahu berkata, "Setiap penyimpangan di dalam agama sebabnya adalah karena munculnya bid'ah (amalan tiada dalilnya) yang tidak ada sebelumnya di masa hidupnya Nabi shallallahu alaihi wasallam, semisal keyakinan (menyimpang), amalan syirik, amalan-amalan yang menghantarkan kepada kesyirikan dan berbagai macam amalan bid'ah yang semuanya itu disangka oleh pelakunya sebagai amalan yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah ta'ala."
(Al Bida wa Bayanu Haqiqatiha wa Atsarul Bida fi Hayatil Muslim-Syaikh Shalih alu Syaikh, dinukil dari Majmu Rasail wad Durus fi Dzammil Bida, hal. 9, cet. Ibnul Jauzi 2006)
Tidak Ada Ulama adalah Musibah Besar
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Sesungguhnya hilangnya ulama di zaman yang seperti ini akan membuat musibah semakin berlipat, karena ulama yang memberikan peringatan di tengah-tengah manusia sangatlah sedikit, sedangkan yang banyak adalah orang-orang jahil yang memberikan kebimbangan dan kerancuan."
(Lihat Adh Dhiyaul Lami-Syaikh Utsaimin, hal. 20, cet. Maktabatush Shafa 2005).
Sesuatu yang Ekstrim akan Berujung kepada Kebinasaan
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Setiap sesuatu jika lebih dari kadar batasannya maka dia akan menjadi ekstrim, jika tidak dikontrol atau ditahan maka berujung kepada kehancuran, bahkan kehancurannya akan berefek luas dan menyeluruh, terkadang juga kehancurannya akan mengenai kepada hati pelakunya sendiri.
Tidakkah kita perhatikan dengan sekte khawarij (teroris) yang memiliki iman akan cintanya mereka kepada kaum muslimin untuk berada di atas al haq, akan tetapi hal ini telah melampaui batas sehingga mereka pun malah mengkafirkan kaum muslimin dan penguasanya, mereka pun akhirnya memberontak."
(Syarah Hilyati Thalibil Ilmi-Syaikh Utsaimin, hal. 10, cet. Dar Ibnil Khathab 2013)
Seorang Alim Harus Sehat dari Penyakit Cinta Harta
Yahya ibn Yaman al 'Ijli rahimahullahu berkata, "Aku mendengar Sufyan ats Tsauri berkata, "Seorang alim adalah dokter bagi umat dan harta adalah penyakitnya, jika penyakit itu menjangkiti kepada dirinya (seorang alim) maka bagaimana dia bisa mengobati orang lain?"
(Atsar shahih. Jamiu Bayanil Ilmi wa Fadhlih-Ibnu Abdilbar, dinukil dari Mukhtashar-nya hal. 180, cet. Darul Khair Beirut 1996).
Sebab Terbesar dari Bencana yang Melanda
Syaikh Muqbil ibn Hadi al Wadi'i rahimahullahu berkata, "Sesungguhnya berbagai fitnah, bala dan musibah yang melanda kaum muslimin di seluruh negeri islam, sebab yang terbesarnya adalah karena berpalingnya mereka dari ulama."
(Ijabatus Sail ala Ahammil Masail-Syaikh Muqbil al Wadi'i, hal. 20, cet. Maktabah Shana al Atsariyah 2015)
Jumat, 24 Agustus 2018
Menjadi Thalibul Ilmi yang Berani
Bagaimana agar seorang bisa menjadi seorang thalabul ilmi yang pemberani membela al haq dan tidak takut ketika di jalan Allah walau orang-orang mencelanya?
Asy Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullah menjawab, "Ini adalah keistimewaan khusus, Allah lah yg memberikan hal ini hanya kepada siapa yang dikehendakiNya, dan tidak ada seorang pun yang belajar tentang keberanian, keberanian adalah suatu anugerah.
Orang yang penakut tetaplah jadi penakut walaupun dia diberikan seluruh persenjataan yang ada, dia tidak akan merasa ada tanggung jawab di hadapan Allah bahwa kaum mukminin dibebankan untuk memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang kepada yang munkar serta untuk berdakwah kepada Allah, FirmanNya,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
Artinya:
"Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan". (Ali Imran: 104)
Yakni yang mengajak kepada ilmu dan taklim (belajar)."
(Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Al Allamah Rabi ibn Hadi al Madkhali, juz 2, hal. 7, cet. Dar Al Imam Ahmad 2014).
Menuntut Ilmu adalah Sebab Seorang Bisa Bermuhasabah
Syaikh Shalih ibn Abdil Aziz alu Syaikh hafizhahullahu berkata, "Jika seorang hamba yang mukmin menuntut ilmu maka sesungguhnya dia berada di dalam kebaikan yang banyak karena dia akan bermuhasabah terhadap apa yang menimpa dirinya dan terhadap apa yang nanti dia dapat dari menuntut ilmunya, maka dengan itu jadilah aktifitas thalabul ilminya menjadi suatu ibadah."
(Fadhlul Ilmi wat Talim wa Shifatu Ahlihi-Syaikh Shalih ibn Abdil Aziz alu Syaikh, hal. 4, cet. Maktabah Ath Thabari)
Niat Ikhlas dalam Menuntut Ilmu adalah Agar Dia Bisa Ibadah dengan Ilmunya
Syaikh Shalih ibn Abdil Aziz alu Syaikh hafizhahullahu berkata, "... Telah kami sebutkan kepada kalian berulang-ulang bahwa para ulama, di antaranya Imam Ahmad ibn Hanbal dan selainnya telah menyebutkan bahwa niat ikhlas di dalam thalabul ilmi adalah menuntut ilmu yang ditujukan untuk mengangkat kejahilan dari dirinya, yakni dengan niat agar bisa berbadah kepada Allah di atas ilmunya ...".
(Fadhlul Ilmi wat Talim wa Shifatu Ahlihi-Syaikh Shalih ibn Abdil Aziz alu Syaikh, hal. 4, cet. Maktabah Ath Thabari)
Tiga Saudara Sepersusuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari Ibu Susu Tsuwaibah
Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lahir, beliau disusui oleh seorang wanita yang bernama Tsuwaibah, yakni budak perempuannya Abu Lahab.
Disamping menyusui Rasulullah, Tsuwaibah menyusui juga Hamzah ibn Abdil Muthalib, Abu Salamah al Makhzumi dan putranya Tsuwaibah sendiri yang bernama Masruh.
Maka jadilah ketiganya sebagai saudara-saudara susunya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari ibu susunya, Tsuwaibah.
(Silahkan lihat Mukhtashar Sirah Nabi-Imam Abdul Ghani al Maqdisi, hal. 27, cet. Manaratul Islam 2013).
Ilmu itu Teranggap Jika Bermanfaat
Imam Asy Syafi'i raimahullahu berkata, "Bukanlah ilmu itu dengan apa yang dihafal, akan tetapi ilmu itu dengan apa yang bisa bermanfaat."
(Shahih, dinukil dari Tadzkiratus Sami wal Mutaallim-Ibnu Jama'ah rahimahullahu, hal. 38 Cet. Darul Basyairil Islamiyyah Beirut 2012)
Ilmu itu Untuk Menegakkan Ibadah
Ayyub as Sikhtiyani rahimahullah berkata, "Abu Qilabah pernah berkata kepadaku, "Wahai Ayyub, jika Allah telah memberikanmu ilmu, maka jadikan ilmu itu sebagai (sebab tuk menegakkan) ibadah dan janganlah ambisimu terhadap ilmumu untuk sekedar berbangga-bangga".
(Sanadnya hasan, Jamiu Bayanil Ilmi wa Fadhlih-Ibnu Abdilbar, dinukil dari Mukhtashar-nya hal. 179, cet. Darul Khair Beirut 1996).
Ogah Dikencingi Setan Lagi
Sadarkah kita, selama ini ternyata telinga kita sering dikencingi si setan laknat, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan kepada orang yang tidur di malam hari hingga masuk waktu shubuh dan tidak shalat malam dengan sabdanya
ذَلِكَ الشَّيْطَانُ بَالَ فِى أُذُنَيْهِ
Artinya,
"Demikianlah setan telah mengencingi di kedua telinganya."
(HR. An Nasa’i dan Ibnu Majah, hadits ini dinyatakan shahih oleh Imam al Albani dalam Shahihut Targhib)
Agar telinga kita tidak dikencingi si setan lagi, mari kita simak hadits di bawah ini,
عَقِدَ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَاهُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْتَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلان
Artinya,
"Setan membuat ikatan di tengkuk salah seorang dari kalian ketika tidur dengan tiga ikatan. Setiap ikatannya setan akan mengatakan kepadanya, “Malam masih panjang, maka terus tidurlah!”.
Jika dia bangun lalu berdzikir pada Allah, maka lepaslah satu ikatannya.
Kemudian jika dia berwudhu, maka lepaslah satu ikatan lagi.
Kemudian jika dia mengerjakan shalat, maka lepaslah ikatannya semua.
Maka di pagi hari dia akan berada di dalam semangat dan baik jiwanya, namun jika dia tidak melakukan hal ini, maka jiwanya akan jelek dan akan malas.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ayo semangat bangun malam tuk melaksanakan shalat malam, walau tidak sampai 11 rakaat tapi yang penting rutin, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Artinya,
"Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit."
(HR. Muslim).
Semoga bermanfaat buat semua, terkhusus kepada penulisnya sendiri, amin.
Alasan Kami Berjenggot
Ketika ditanyakan kepada kami, "Mengapa kamu kok pakai jenggot?"
Maka cukup kami katakan bahwa ada hadits shahih yang memerintahkan kita demikian, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
Artinya,
"Pendekkanlah oleh kalian kumis-kumis dan biarkanlah jenggot (jangan dicukur)."
(HR. Muslim)
Juga shahabat nabi Ibnu Umar radhiallahu anhuma mengatakan,
أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ، وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ.
Artinya,
"Bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk memotong kumis-kumis dan membiarkan jenggot-jenggot."
(HR. Muslim)
Simple, gitu aja.
Karena kami takut dengan ayat Allah di bawah ini,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya,
"Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintahnya (perintah rasul) itu takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih.”
(QS. An Nur: 63).
Pesan Terbuka dari Calon Mantumu untuk Calon Mertuaku
Untuk para orang tua atau wali akhwat-akhwat manis yang siap nikah, mohon izinkan kami para ikhwan-ikhwan ganteng (calon mantumu), menyampaikan dua pesan,
1. Mohon jangan semata-mata lihat penampilan, penghasilan dan pangkat kami, karena walaupun semua serba pas-pasan tapi alhamdulillah kami sadar akan wajibnya bekerja untuk menafkahi keluarga, Allah berfirman,
《إِنَّ اللهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ》
Artinya:
"Sesungguhnya Allah memberi rezeki bagi siapa saja yang Allah kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. Ali Imran: 37).
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
《ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ: اَلْمُكَـاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ.》
Artinya:
“Tiga golongan yang sudah semestinya akan ditolong oleh Allah, (1) seorang budak yang mencicil tebusan agar dirinya bisa bebas, (2) seorang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan, dan (3) seorang yang berjihad fi sabilillah.” (HR. Tirmidzy, hadits dihasankan oleh Imam al Albani).
《إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ》
Artinya:
"Sesungguhnya tidaklah engkau menginfakkan sebuah nafkah yang ditujukan karena mengharapkan wajah Allah (ikhlash), melainkan akan diberi ganjaran (pahala) kepadamu, sampai pun makanan yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari).
2. Karena perintah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadits ini,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
Artinya:
"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah hendaknya ia menikah, karena dengan itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan." (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka kami minta tolong agar maharnya jangan yang memberatkan kami, Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu, berkata, "Di antara kebaikan seorang wanita adalah ringan maharnya, dahulu Said ibnul Musayyab menikahi putrinya dengan dua dirham dan Umar ibnul Khaththab pernah berpesan, "Janganlah kalian (wahai para wanita) berlebih-lebihan di dalam (menentukan) mahar."
(Mukhtashar Minhajil Qashidin-Ibnu Qudamah, hal. 70, cet. Darul Aqidah).
Mungkin sementara hanya dua itu pesan kami, untuk selebihnya mungkin menyusul kalau ada kesempatan lagi, insya Allah.
Jazakallahukhaira wa barakallahufik.
Mendukung Pemerintah tuk Tindak Tegas Para Begal
Begal, sosok yang membuat merinding kaum muslimin akhir-akhir ini. Media yang ada, seakan tak habis-habisnya memberitakan aksi mengerikan ini. Betapa tidak, aksi begal yang 'ngetrend' saat ini adalah main tusuk dan main tembak korbannya sembarangan, jika sebatas dirampas motor atau mobilnya, maka masih mending urusannya, tapi ketika kenekatan si begal sudah pada taraf menghabisi korbannya, maka ini sudah luar biasa.
Tindak apapun yang menyentuh ranah darah, harta dan kehormatan seorang muslim dengan cara yang zhalim adalah haram, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika beliau berkhutbah di haji-nya,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
Artinya,
Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian itu haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini (hari arafah), di bulan kalian ini (bulan Dzulhijjah/bulan haji) dan di kota kalian ini (Makkah).
(HR. Muslim)
Ketika seorang mengambil harta seorang muslim, baik dengan cara membegal, menipu, menjambret, mencopet, mencuri, merampok dsb, maka hukumannya adalah sebagaimana firman Allah taala,
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗوَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya,
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah oleh kalian tangan keduanya sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(Al Maidah: 38-39)
Terlebih ketika si begal membunuh korbannya, maka Allah taala berfirman tentang hal ini,
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Artinya,
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar baginya.
(QS. An Nisa: 93)
Dalam ayat di atas, bagi pembunuh seorang mukmin mempunyai ancaman berlapis, yakni:
1. Masuk neraka jahannam,
2. Kekal (lama) di dalamnya
3. Mendapat murka Allah
4. Mendapat laknat Allah
5. Disiapkan adzab besar di hari kiamat
Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاءِ وَأَهْلَ الأَرْضِ اجْتَمَعُوا عَلَى قَتْلِ مُسْلِم ٍلَكَبَّهَمُ اللهُ جَمِيعًا عَلَى وُجُوهِهِمْ فِي النَّار
Artinya,
Jika seandainya penduduk langit dan penduduk bumi, merela berkumpul untuk membunuh seorang muslim, sungguh Allah akan menyungkurkan mereka semua di atas wajah-wakah mereka kelak di neraka. (HR. Thabrani, dan Imam al-Albani menshahihkan hadits ini di dalam Shahihut Targhib 2443).
Oleh karenanya, sebagai rakyat Indonesia, kami sangat mendukung langkah penguasa kita ketika Kapolri Jendral Tito Karnavian berkata selepas kunjungan di area Pelabuhan Bakauheni Lampung, Senin (11/06/2917), "Saya minta seluruh kapolres dapat mengatasi kasus pembegalan, kalau tidak bisa atasi begal, maka kapolresnya yang saya begal. Pahamkan maksud saya!".
Beliau juga menegaskan, "Kapolres semua harus buat tim khusus tangkapin dulu mereka, kalau masih belum bisa juga, silahkan minta bantuan kapolda untuk menurunkan anggotanya yang bersenjata guna atasi begal ini."
Selain meminta bantuan Kapolda, lanjut Kapolri, mintalah bantuan kepada Danrem, karena ini demi kepentingan banyak publik.
“Kelompok begal-begal bisa aja ditangkap dengan cara lembut, kalau masih melawan tindak tegas,” pungkasnya.
Bravo Polri dan TNI, kami mendukung kalian!
Jomblo Sang Single Fighter
Dia harus merapihkan kamar tidurnya sendiri, mencuci pakaiannya sediri, bikin kopi sendiri, nyeduh mie instan sendiri, makan dan minumnya pun sendiri.
Mau pergi aktifitas sendiri, tiada orang yang melepas kepergiannya. Ketika pulang hanya sendiri di rumahnya, dan akhirnya tidur pun sendiri juga benar-benar 'single fighter' sejati sang jomblo ini.
Benarlah apa yang dikatakan Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu, beliau berkata, "Di antara faidah-faidah nikah adalah: Merehatkan hati dari pengaturan rumahnya, melapangkan diri dari kesibukan memasak, mengurusi perabotan, tempat tidur, mencuci pakaian dan menyiapkan perlengkapan aktifitas hidup.
Karena sesungguhnya seorang insan akan terasa berat untuk mengurusi semuanya ketika sendirian, kalaupun dia mampu melakukannya sendiri (tanpa peran istri), niscaya waktunya akan banyak terbuang dan dirinya tidak akan mempunyai waktu banyak untuk berilmu dan beramal.
Maka dengan peran ini seorang istri yang shalihah sejatinya tengah membantu agama (suaminya) dan jika sebab ini (menikah) tidak ada (pada seorang lelaki) niscaya hatinya akan sibuk (dengan urusan-urusan rumah)."
(Mukhtashar Minhajil Qashidin-Ibnu Qudamah, hal. 68, cet. Darul Aqidah).
Jadi, kapan menikah akhi? Masa semua serba sendiri? Sudah mau Syawal lho.
Maho, Konslet dan Ngaco
Belanda, Kanada, Spanyol, Selandia Baru, Denmark, Prancis, Jerman, Brazil, Amerika, Scotlandia dan negara-negara lainnya telah melegalkan pernikahan sesama jenis, aneh tapi nyata dan memang terjadi.
Maho alias manusia homo adalah suatu percontohan mutlak yang fitrahnya yang telah konslet oleh busuknya sebuah hawa nafsu, padahal Allah telah berfirman,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآب
Artinya,
ِDijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)
(QS. Ali Imran: 14)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا
Artinya,
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu (jenis manusia), dan yang menciptakan istri dari jenisnya (manusia).
(An-Nisa:1)
Ayat di atas menunjukkan bahwa fitrah manusia itu menyukai pasangannya, lelaki kepada wanita dan wanita kepada lelaki, Allah berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
Artinya,
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian pasangan (istri-istri) dari jenis kalian sendiri (jenis manusia), agar kalian merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang".(Ar-Rum: 21)
Naluri sebagai manusia normal adalah mencintai lawan jenisnya, bukankah ketika Adam merasa kesepian lalu Allah ciptakan Hawa untuk menemaninya? Tidak hanya itu, dengan adanya Adam dan Hawa maka terlahirlah keturunan demi keturunan sehingga keberlangsungan manusia pun terjaga, oleh karenanya Allah berfirman,
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْأَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ“
Artinya: Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (lelaki dan wanita) dari jenis kamu sendiri (manusia) dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”
[An-Nahl : 72]
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyatakan,
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
وفي رواية: إِنِّى مُكَاثِرٌ الأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya,
Nikahilah perempuan yang al wadud (penyayang) dan al walud (subur/banyak anak), karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat lain.
Dalam riwayat lain:
Karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan para nabi di hari kiamat.
( HR Abu Dawud, Nasai dan Hakim, dishahihkan oleh Imam al-Albani.
Ya, salah satu hikmah pernikahan adalah menghasilkan keturunan, Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, "Di antara faidah-faidah nikah adalah: Adanya anak, karena tujuan dari hal ini adalah terjaganya keturunan, dan di dalam perkara ini telah selaras dengan apa yang menjadi kecintaan Allah, yakni agar terjaganya keberlangsungan manusia."
(Mukhtashar Minhajul Qashidin-Ibnu Qudamah, hal. 68, cet. Darul Aqidah).
Apa jadinya negara jika dihuni oleh orang-orang maho yang ngaco pikirannya dan konslet fitrahnya. Semoga Allah lindungi Indonesia Raya dari para maho dan pembela maho. Amin.
Wallahu alam.
Para Ulama Menuntut Ilmu Hadits bukanlah untuk Dunia
Imam Abdurrazaq rahimahullahu menuturkan bahwa beliau pernah mendengar Imam Ma'mar rahimahullahu berkata, "Tiada dari barang dagangan yang paling tidak laku untuk dijual oleh pemiliknya melainkan hadits ini."
(Sanadnya shahih, di nukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 134, cet. Darul Furqan 2008).
Ada Balasan pada setiap Perbuatan
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata, "Sudah sepantasnya bagi seorang yang berakal untuk mewaspadai akan terjadinya balasan dari suatu perbuatan, karena Ibnu Sirrin pernah berkata, "Aku dahulu pernah mencela seorang dengan memangil: wahai orang yang bangkrut!, maka aku pun menjadi bangkrut setelah melewati masa 40 tahun.
Dan Ibnul Jala'a berkata, "Suatu hari guruku melihatku sedang memandang kepada seorang amrad (anak laki-laki yang cakep), maka beliau berkata (mengingkari), "Apa-apaan ini? Niscaya akan hilang apa yang ada di dirimu." Maka aku pun menjadi lupa dengan hafalan Al Quranku setelah melewati masa 40 tahun.
Dan kebalikan dari hal ini, bahwasanya setiap orang yang beramal dengan amalan kebaikan dan benar niatnya, maka tunggulah balasan kebaikannya walau pada rentang waktu yang lama."
(Shayyidul Khatir-Ibnul Jauzi, hal 18, cet. Darut Taqwa 2013).
Mengapa Satu yang Fakih bisa Melebihi Seribu yang Abid?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Sesungguhnya satu orang yang fakih (berilmu, beramal dan berdakwah, pent) itu lebih dibenci setan ketimbang seribu orang abid (orang yang hanya sibuk beribadah saja, pent) ini dikarenakan seorang abid itu manfaatnya hanya sebatas pada dirinya saja, adapun seorang yang fakih maka dia telah menjaga agama Allah dan telah memberikan manfaat bagi hamba-hamba Allah, dialah yang menunjukkan umat kepada perkara kebaikan dan yang membimbing umat kepada jalan yang mulia nan terpuji, adapun setan, dialah yang menunjukkan umat kepada perkara kejelekkan."
(Lihat Adh Dhiyaul Lami-Syaikh Utsaimin, hal. 20, cet. Maktabatush Shafa 2005).
Taubat dan Cinta akan Melapangkan Hati
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, "Di antara sebab lapangnya hati adalah al ibanah (bertaubat) kepada Allah taala, mencintai-Nya dengan segenap hati, kembali kepada Allah dan bersenang-senang dengan mengibadahi-Nya.
Tidak ada sesuatu apapun yang paling bisa melapangkan hati seorang hamba dari itu, sampai-sampai terkadang dia akan berkata, "Jika aku di dalam surga dalam keadaan yang seperti ini, maka kalau begitu sesungguhnya aku di dalam kehidupan yang baik".
Adapun bagi al mahabbah (rasa cinta) terdapat pengaruh yang luar biasa di dalam melapangkan dada serta membuat nyaman sebuah jiwa dan hati, hal ini tidak akan diketahui kecuali oleh orang-orang yang telah merasakannya langsung.
Setiap kali kecintaan (kepada Allah) itu semakin menguat dan meningkat, maka hati pun akan menjadi semakin terasa lapang dan luas, dan tidaklah terasa sempit melainkan hanya di dalam pandangan orang-orang yang kosong dan hampa akan hal ini, maka orang-orang yang seperti ini pandangannya memang telah terkotori dan sifat panas telah mencampuri ruhnya."
(Disadur dari Li Asbabi Syarhi ash Shadhr-Imam Ibnul Qayyim, hal. 32, cet. Dar Sabilil Muminin 2009).
Manakah yang lebih afdhal (utama) antara akhlak mulia yang memang merupakan tabiat asli, atau akhlak mulia yang terhasilkan karena hasil latihan?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menerangkan, "... Akhlak yang mulia bisa ada karena memang menjadi asal tabiat seseorang atau teraih karena hasil dari melatih diri.
Tak ragu lagi, bahwa akhlak mulia yang telah menjadi asal bawaan itu lebih baik dibandingkan dengan akhlak mulia yang diraih karena hasil latihan, karena jika telah menjadi watak asal seseorang, niscaya dia akan menjadi orang yang berkarakter baik yang tidak perlu lagi terasa berat dan berusaha keras tuk melatih diri.
Orang yang tabiatnya berakhlak mulia adalah keutamaan dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendakiNya."
(Kitabul Ilmi [Husnul Khuluq wa Ahammiyatihi li Thalibil Ilmi]-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 218, cet. Maktabatul Islamiyyah 2005)
Yang Dihafal, itulah Ilmu!
Abu Hilal Al Hasan ibn Abdillah al Askari rahimahullahu berkata, "Jika ilmu yang engkau kumpulkan itu sedikit tapi dalam keadaan terhafal, maka akan banyak manfaatnya, akan tetapi jika banyak tapi tidak terhafal, maka akan sedikit manfaatnya.
Adh Dharrab telah menyampaikan kepadaku bahwa beliau mendengar Abul Abbas an Naffath rahimahullahu berkata, "Ilmunya al Ashma'i itu berada di dalam penjagaan, karena dahulu dia menghafal."
Dahulu kitab-kitabnya Abu Amru ibnul A'la sepenuh rumahnya, tapi kemudian terbakar, maka seluruh ilmu yang dahulu dia ambil sampai akhir umurnya adalah apa yang ada dari hafalannya."
(Al Hatsu ala Thalabil Ilmi wal Ijtihadi fi Jam'ihi- Abu Hilal Al Hasan ibn Abdillah al Askari, hal. 38, cet. Maktabah Ibni Taimiyyah 1991)
Allah ada di Setiap Benda, Benarkah?
Sesungguhnya orang-orang berkata bahwa Allah itu ada di setiap benda, bagaimanakah cara kita menasehati mereka?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjawab, "Wajib bagi kita untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa Allah itu istiwa (naik) di atas arsy-Nya.
Wajib pula bagi mereka (orang yang berkeyakinan Allah ada di setiap benda) untuk menyucikan lisan-lisannya dari pernyataan-pernyataan yang seperti ini, tapi tentunya (memahamkan) ini membutuhkan proses dan waktu, jika mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa (dengan keyakinan ini)."
Di sisi kami walhamdulillah tidaklah didapati ucapan yang seperti ini, akan tetapi mungkin orang-orang yang seperti ini ada di sisi kalian yakni orang-orang yang masih ada pada dirinya pemahaman sufi, dan kami telah katakan sebelumnya bahwa orang-orang sufi itu berkeyakinan bahwa mereka bisa melihat Allah di dalam diri seorang pemuda yang ganteng, -Maha Tinggi Allah dengan apa yang mereka katakan terhadap Dzat Yang Maha Tinggi dan Maha Besar-.
Ini tidak boleh diucapkan! akan tetapi katakanlah bahwa Allah taala Maha Mengetahui dan Maha Meliputi."
(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 142, cet. Maktabatush Shaffa 2005)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjawab, "Wajib bagi kita untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa Allah itu istiwa (naik) di atas arsy-Nya.
Wajib pula bagi mereka (orang yang berkeyakinan Allah ada di setiap benda) untuk menyucikan lisan-lisannya dari pernyataan-pernyataan yang seperti ini, tapi tentunya (memahamkan) ini membutuhkan proses dan waktu, jika mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa (dengan keyakinan ini)."
Di sisi kami walhamdulillah tidaklah didapati ucapan yang seperti ini, akan tetapi mungkin orang-orang yang seperti ini ada di sisi kalian yakni orang-orang yang masih ada pada dirinya pemahaman sufi, dan kami telah katakan sebelumnya bahwa orang-orang sufi itu berkeyakinan bahwa mereka bisa melihat Allah di dalam diri seorang pemuda yang ganteng, -Maha Tinggi Allah dengan apa yang mereka katakan terhadap Dzat Yang Maha Tinggi dan Maha Besar-.
Ini tidak boleh diucapkan! akan tetapi katakanlah bahwa Allah taala Maha Mengetahui dan Maha Meliputi."
(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 142, cet. Maktabatush Shaffa 2005)
Jangan Meremehkan Majelis Ilmu Agama
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Seorang insan tidak boleh meremehkan untuk menghadiri dan menempuh usaha dalam mendatangi majelis-majelis ilmu agama, karena bisa jadi di majelis ilmu dia akan mendapatkan sebuah faidah yang bisa menjadi sebab dirinya masuk ke dalam surga, dia mendengar sebuah kalimat yang menjadikannya masuk surga dan selamat dari api neraka, dan berpalingnya seorang dari menghadiri majelis-majelis ilmu agama maka itu adalah bahaya yang besar..."
(Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh al Fauzan, jil. 1, hal. 29, cet. Darul Bashirah 2009).
Mengubur Mayat di Masjid adalah Sebab Kesyirikan
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Menguburkan mayat di dalam masjid-masjid telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pula telah melarang menjadikan masjid-masjid sebagai kuburan, dan dilaknat bagi orang-orang yang berbuat demikian, hal ini merupakan peringatan keras terhadap umatnya.
Juga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyebutkan, bahwa ini merupakan perbuatannya orang-orang yahudi dan nashrani, karena hal ini adalah wasilah (perantara) perbuatan syirik kepada Allah taala."
Membangun masjid-masjid di atas kuburan dan menguburkan orang mati di dalam masjid adalah wasilah kepada perbuatan syirik kepada Allah karena sebab penghuni kubur ini.
Orang-orang nanti akan berkeyakinan bahwa penghuni kubur yang dikubur di dalam masjid ini bisa memberikan manfaat atau bisa menolak bahaya terhadap mereka, atau bisa juga orang-orang akan berkeyakinan bahwa sang penghuni kubur adalah orang yang mempunyai kekhususan sehingga mengharuskan mereka untuk bertaqarrub dengan melakukan ketaatan-ketaatan yang diperuntukkan kepada selain Allah."
(Disadur dari Fatawa Arkanil Islam wal Aqidah-Syaikh Utsaimin, hal. 24, cet. Maktabatush Shaffa 2007)
Selasa, 26 Juni 2018
Meremehkan Shalat akan Menghinakan Dirimu
Al Hasan al Bashri rahimahullahu berkata, "Wahai anak adam bagaimana kemuliaan dari agamamu akan diraih jika engkau telah meremehkan shalatmu?"
(Mausuah Ibnu Abi Dunia-Imam Ibnu Abi Dunia, jil. 1 hal. 341, cet. Al Maktabah al Ashriyyah Beirut).
Ketika Ada Syubhat, Maka Wajib Belajar
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Terkadang seorang insan itu tidaklah diberikan udzur atas kebodohannya, yakni ketika dia dalam posisi yang memungkinkan untuk belajar akan tetapi dia malah tidak mau melakukannya, padahal pada dirinya telah terdapat syubhat.
Contohnya seorang yang dikatakan kepadanya: "ini haram", padahal dia meyakini bahwa itu adalah halal, maka minimalnya dia telah mendapat syubhat, dalam keadaan yang seperti ini dirinya harus belajar agar dia bisa mendapatkan hukum dengan yakin."
(Lihat Syarhul Mumti-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 6, hal. 193-194).
Wahai Anakku Bukanlah Banyak Hadits, tapi Adab Mulia
Abu Muhammad Hubaib ibn Syahid al Bashri rahimahullahu pernah berpesan kepada anaknya, "Wahai anakku, merekalah para fuqaha dan ulama, belajarlah dari mereka, ambilah adab-adab dari mereka, karena yang demikian itu lebih aku sukai dibandingkan dengan banyaknya hadits."
(Sanadnya hasan, dinukil dari Tadzkiratus Sami wal Mutaallim-Ibnu Jama'ah rahimahullahu, hal. 32 Cet. Darul Basyairil Islamiyyah Beirut 2012)
Gambaran Lamanya Shalat Salah Seorang Salaf
Yahya ibn Wasab rahimahullahu pernah mengkhabarkan bahwa Ibnu Zubair radhiallahu anhu selalu sujud (ketika shalat malam) sampai burung-burung turun ke atas punggungnya, tidaklah burung-burung itu mengira (punggung Ibnu Zubair) kecuali dianggap sebuah bongkahan tembok."
(Az Zuhud-Imam Ahmad ibn Hanbal, hal. 358, cet. Dar Ibni Rajab).
Jangan Pernah Meremehkan Perkara Shalat
Umar radhiallahu anhu berkata, "Jika kalian melihat seorang menyia-nyiakan (meremehkan) shalat, maka demi Allah, keadaan dia terhadap perkara-perkara lain yang menjadi hak Allah akan lebih parah lagi untuk ditelantarkan."
(Mausuah Ibnu Abi Dunia-Imam Ibnu Abi Dunia, jil. 1 hal. 340, cet. Al Maktabah al Ashriyyah Beirut).
Orang Akan Butuh Kepadamu Jika...
Alqamah rahimahullahu menukilkan ucapan gurunya, Abdullah ibn Mas'ud radhiallahu anhu, beliau berkata, "Tidaklah seorang itu merasa butuh kepada Allah melainkan Allah akan jadikan manusia merasa butuh kepadanya.
Tidaklah seorang beramal dengan ilmu yang telah Allah berikan kepadanya, kecuali manusia akan butuh dengan apa yang ada di sisinya."
(Jamiu Bayanil Ilmi wa Fadhlih-Ibnu Abdilbar, dinukil dari Mukhtashar-nya hal. 178, cet. Darul Khair Beirut 1996).
Duduk Bersama Ahlul Hadits Lebih Disukai Dibandingkan dengan Bersama Keluarga
Sufyan ibn Uyainah berkata bahwa Mutharrif rahimahullahu pernah mengatakan, "Aku lebih menyukai duduk-duduk dengan kalian (para ahlul hadits) dibandingkan aku bersama keluargaku."
(Sanadnya shahih, dinukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 132, cet. Darul Furqan 2008).
Ikatlah Ilmu, Lalu Sampaikan
Sulaim ibn Amir rahimahullahu bercerita, "Dahulu ketika kami belajar kepada Abu Umamah al Bahili radhiallahu anhu, beliau menyampaikan hadits yang banyak kepada kami dengan apa yang telah beliau dapat dari rasulullah.
Jika telah selesai, maka beliau berkata, "Ikatlah oleh kalian (catat/hafalkan) lalu sampaikanlah dariku sebagaimana aku telah menyampaikannya kepada kalian!."
(Sanadnya hasan, dinukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 124, cet. Darul Furqan 2008).
Mendidik Anak untuk Sejak Dini Menghafal
Seorang yang mempunyai perangai yang baik dan yang sempurna akalnya maka dia akan memperhatikan anaknya.
Barang siapa yang diberikan rezeki dengan seorang anak, maka bersungguh-sungguhlah dalam mendidiknya, setelah itu barulah berharap taufik dari Allah taala.
Sudah sepantasnya bagi orang tua untuk membiasakan anak-anaknya untuk bisa bersih dan berthaharah (bersuci), juga mengenalkan adab-adab yang baik.
Jika anak sudah mencapai usia lima tahun, maka ajarilah dia dengan menghafal ilmu agama.. -ada teks yang dilewat-
...Karena menghafal di waktu kecil itu bagaikan mengukir di atas batu.
Ketika seorang anak sudah mencapai usia baligh dan dia didapati tidak memiliki tekad yang kuat untuk semangat terhadap ilmu agama, maka anak seperti ini tidaklah akan sukses (pada umumnya)."
(Disadur dari Al Hatsu ala Hifzhil Ilmi-Ibnul Jauzi, dinukil dari Al Jami fil Hatsi ala Hifzhil Ilmi, hal. 239, Maktabah Ibni Taimiyyah 1991).
Tidak Menyebarkan Ilmu, Maka Ilmu itu tidaklah Bermanfaat
Ibnu Hibban rahimahullahu berkata, "Tidaklah aku melihat seorangpun yang bakhil terhadap ilmunya, melainkan akan berakibat tidak bermanfaat ilmunya sebagaimana tidak bermanfaatnya sebuah air yang tergenang di bumi selama tidak dimanfaatkan.
Tidaklah akan ada emas merah selama emas itu tidak dikeluarkan dari tempat pertambangannya, tidak akan pula ada sebuah mutiara yang bernilai mahal selama mutiara itu tidak dikeluarkan dari dalam lautan, demikian juga akan al ilmu, tidaklah bermanfaat ilmu itu selama ilmu tersebut didiamkan dan tidak disebarkan atau dibagikan faidahnya."
(Raudhatul Uqala-Ibnu Hibban, dinukil dari Al Muntaqa min Kitabi Raudhatil Uqala wa Nuzhatil Fudhala, hal. 21, cet. Darul Istiqamah 2010).
Sedikitnya Thalabul Ilmi yang Istiqamah
Abu Daud ath Thayalisi rahimahullah bercerita, "Pada suatu hari aku berada di pintu rumahnya Syubah dan tak jauh di sana terlihat ada sebuah masjid yang penuh dengan anak-anak kecil yang sedang belajar.
Ketika Syubah keluar rumah, beliau pun bersandar kepadaku dan berkata, "Wahai Sulaiman apakah menurutmu semua anak-anak yang sedang belajar itu kelak akan menjadi seorang muhaddits (ahlu hadits)?"
Aku menjawab, "Tidak."
Maka Syubah berkata, "Engkau benar, bahkan tidak sampai lima orang."
Aku langsung menimpali, "Lima?!"
Syubah menegaskan, "Ya, salah seorang dari mereka belajar di waktu kecil, tapi ketika sudah besar mereka malah meninggalkannya, salah seorang dari mereka belajar di waktu kecil, tapi ketika sudah besar, mereka malah tersibukkan dengan sesuatu yang merusak."
Beliau mengulang-ulang kata itu kepadaku.
Aku (Abu Daud ath Thayalisi) berkata, "Aku pun memperhatikan keadaan setelah itu dan ternyata benar, tidaklah mencapai lima orang dari mereka yang menjadi muhaddits."
(Disadur dari Al Hatsu ala Hifzhil Hadits-Khathib al Baghdadi, dinukil dari Al Jami fil Hatsi ala Hifzhil Ilmi, hal. 66, Maktabah Ibni Taimiyyah 1991).
Efek Negatif ketika Thalabul Ilmi tidak Bertujuan untuk Beramal
Ibnu Hibban rahimahullahu berkata, "Seorang yang berakal adalah seorang yang tidak menyibukkan diri dengan thalabul ilmi kecuali dengan maksud untuk mengamalkannya, karena barang siapa yang melakukan thalabul ilmi untuk sesuatu yang lain dari maksud yang telah kami sifatkan (yakni mengamalkan ilmu), niscaya akan bertambahlah kesombongan dan kecongkakkannya serta dia akan menjadi orang yang meninggalkan amal dan menyia-nyiakan dirinya (untuk beramal)."
(Raudhatul Uqala-Ibnu Hibban, dinukil dari Al Muntaqa min Kitabi Raudhatil Uqala wa Nuzhatil Fudhala, hal. 20, cet. Darul Istiqamah 2010).
Jangan Merasa Pede dan Merasa Cukup dengan Ilmumu
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata, "Suatu musibah yang besar adalah ketika seorang insan merasa ridha dengan keadaan dirinya dan merasa cukup dengan ilmunya, dan ini adalah ujian yang telah merata pada keadaan mayoritas orang.
Maka engkau bisa lihat hal ini pada orang-orang yahudi atau nashara yang memandang bahwa mereka adalah orang-orang yang berada di atas kebenaran, mereka tidak mau menelaah, tidak juga mau melihat kepada dalil nubuwah nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Jika mereka diperdengarkan dengan sesuatu yang bisa melembutkan hatinya semisal Al Quran yang mulia, mereka pun lari menghindar supaya tidak mendengarnya.
Demikian juga kepada orang yang telah memiliki hawa nafsu yang kuat, bisa berupa karena dia seorang yang mengikuti mazhab bapaknya dan keluarganya, atau bisa berupa adanya pendapat pribadi yang dia anggap benar, tanpa melihat dalil lain yang bisa membantahnya dan tidak mau melihat bahasan ulama yang sesungguhnya akan memberikan kepadanya pencerahan akan kesalahannya."
(Shayyidul Khathir-Ibnul Jauzi, hal. 374)
Sampaikanlah Hadits.. Kemarin, Sekarang dan Besok
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, "Saling bermudzakarahlah kalian terhadap hadits ini dan jangan sampai terlupa, karena kedudukan hadits bukanlah seperti Al Quran. Al Quran itu terkumpul dan terhafal/terjaga. Jika kalian tidak raling bermudzakarah terhadap hadits ini, niscaya hadits itu akan terlupakan oleh kalian.
Janganlah salah seorang dari kalian berkata, aku telah menyampaikan hadits ini kemarin dan untuk hari ini aku tidak meyampaikannya, akan tetapi sampaikanlah hadits itu kemarin, sekarang dan besok."
(Sanadnya hasan, dinukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 122, cet. Darul Furqan 2008).
Mengeraskan Suara ketika Menghafal
Abu Hilal Al Hasan ibn Abdillah al Askari rahimahullahu berkata, "Seyogyanya bagi seorang yang belajar untuk mengangkat suaranya ketika belajar sampai suaranya terdengar oleh dirinya sendiri, karena apa yang dia dengar oleh telinganya akan membekas di dalam hatinya.
Oleh karenanya seorang manusia akan lebih teringat dengan apa yang dia dengar dibandingkan dengan apa yang dia lihat."
(Al Hatsu ala Thalabil Ilmi wal Ijtihadi fi Jam'ihi- Abu Hilal Al Hasan ibn Abdillah al Askari, hal. 37, cet. Maktabah Ibni Taimiyyah 1991)
Tangga dari Ilmu
Ibnu Hibban rahimahullahu menyampaikan bahwa Sufyan ats Tsauri rahimahullahu pernah berkata, "Awal dari ilmu adalah diam, kemudian mendengarkan, lalu menghafal, kemudian mengamalkan dan selanjutnya menyebarkannya."
(Raudhatul Uqala-Ibnu Hibban, dinukil dari Al Muntaqa min Kitabi Raudhatil Uqala wa Nuzhatil Fudhala, hal. 20, cet. Darul Istiqamah 2010).
Menuntut Ilmu juga Butuh kepada Tawakal
Syaikh Abdullah Shalfiq hafizhahullahu berkata, "Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
Artinya:
"Jika seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah pasti akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung, yang pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang."
(HR. Tirmidzi dan Ahmad dari hadits Umar ibnul Khatthab radiallahu anhu, hadits dishahihkan oleh Imam al Albani).
Seagung-agungnya rezeki adalah al ilmu.
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang senantiasa bertawakal dan selalu meminta pertolongan kepada Rabbnya di dalam semua urusannya."
(Ar Rakaizul Asyr li Tahshilil Ilmi-Syaikh Abdullah ibn Salfiq azh Zhafiri hafizhahullahu, hal. 10, cet. Darush Shahabah 2014).
Menjaga Hadits dengan Selalu Memudzakarah-nya.
Ali ibn Abi Thalib radhiallahu anhu berkata, "Saling kunjung-mengunjungilah kalian dan saling bermudzakarah hadits-lah kalian, karena jika kalian tidak melakukannya, niscaya hadits itu akan hilang."
(Sanadnya shahih, dinukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 121, cet. Darul Furqan 2008).
Dunia Hanya Sekedar Sarana
Asy Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu berkata, "Apabila seorang hamba menjadi budaknya dinar dan dirham, menjadi hamba bagi dunia, maka celakalah hamba tersebut.
Namun apabila (dia menjadikan dunia itu) sebagai pembantu dan (dia mampu) menundukkannya, serta menjadikan dunia itu diposisikan hanya sebagai tunggangan yang mengantar seperti burung merpati sebagaimana burung itu membantunya dalam menunaikan hajatnya, maka inilah senikmat-nikmatnya seorang hamba."
(Az Zuhdu fid Dunia war Raghbah fil Akhirah-Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu, hal. 15, cet. Al Miratsun Nabawi 2012).
Inilah Ulama yang Menjadikan Membaca Hadits sebagai Obat
Muhammad ibn Makhlad rahimahullahu berkata kepada Abul Hasan ad Daruquthni rahimahullahu, "Dahulu Ahmad ibn Manshur ar Ramadi rahimahullahu jika dirinya terasa mengeluhkan sesuatu (gundah), maka beliau berkata, "Datangkanlah oleh kalian para ashabul hadits", ketika mereka datang maka beliau berkata, "Bacakanlah kepadaku sebuah hadits!"
(Sanadnya shahih, di nukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 113, cet. Darul Furqan 2008).
Adanya Ulama adalah Suatu Kenikmatan yang Menjaga Agama Ini
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada Allah taala, dan ketahuilah bahwasanya termasuk sebesar-besarnya kenikmatan atas kalian adalah dijaganya agama ini oleh orang-orang yang mukhlisin (ikhlas), yaitu para ulama, dimana mereka adalah:
Menjadi contoh bagi manusia untuk diteladani,
Menjadi pemimpin yang membimbing manusia,
Merupakan sumber rujukan pengetahuan bagi umat,
Menjadi cahaya yang menerangi manusia dari gelapnya kezhaliman.
Maka sesungguhnya keberadaan mereka (para ulama) bagi umat adalah sebagai penjaga agama."
(Lihat Adh Dhiyaul Lami-Syaikh Utsaimin, hal. 19, cet. Maktabatush Shafa 2005).
Minggu, 15 April 2018
Apa hukum sebagian orang yang ketika mendapat kesulitan, dia menyeru, "Wahai Muhammad", "Wahai Ali" atau "Wahai Jailani"?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjawab, "Jika hal itu dimaksudkan oleh mereka sebagai sebuah panjatan doa dan meminta tolong, maka dia seorang musyrik yang keluar dari agamanya.
Wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah dan mempersembahkan panjatan doanya hanya kepada Allah saja, sebagaimana firman Allah taala ini,
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُون
Artinya:
"Siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang sedang mengalami kesempitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kejelekkan dan yang menjadikan kalian sebagai khalifah di muka bumi? Apakah ada sesembahan yang lain kecuali Allah? Teramat sedikitlah kamu ini mengingat-Nya" (QS. An Naml: 62).
Adapun keadaan orang itu, sama statusnya seperti orang musyrik, yakni sebagai orang dungu yang menyia-nyiakan dirinya, Allah berfirman,
وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ ۚ
Artinya:
"Dan siapa yang membenci agamanya Nabi Ibrahim melainkan dia adalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri" (QS. Al Baqarah: 130)
Dan firman-Nya,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya:
"Dan siapakah yang lebih sesat dibandingkan orang-orang yang berdoa selain selain Allah, dimana mereka adalah orang-orang yang tidak mampu mengabulkan doanya sampai hari kiamat" (QS. Al Ahqaf: 5)"
(Dinukil dan disadur dari Al Manahil Lafzhiyyah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 36-37, cet. Dar Ibnil Jauzi 2011)
Ulama Dunia dan Ulama Akhirat
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata, "... Pembeda antara dua kelompok (ulama akhirat dan ulama dunia) adalah, bahwa ulama dunia memperhatikan ketenaran, suka kepada banyaknya orang (yang mengikutinya) dan suka sanjungan.
Adapun ulama akhirat, mereka terjauh dari hal tersebut dan lebih mendahulukan orang lain terhadap hal-hal yang seperti itu. Mereka (para ulama akhirat) adalah orang-orang yang saling menakut-nakuti (kepada akhirat) dan orang-orang yang merahmati kepada orang yang menyakitinya..."
(Shayyidul Khatir-Ibnul Jauzi, hal 11, cet. Darut Taqwa 2013).
Perbandingan yang Dihasilkan antara Sebuah Hadits dengan Akal
Yunus ibn Sulaiman as Saqathi rahimahullahu berkata, "Aku memperhatikan di dalam sebuah urusan, mesti bersumber pada sebuah hadits atau akal.
Maka aku dapatkan di dalam sebuah hadits terkandung:
>Pengingatan kepada Rabb ta'ala baik akan rububiyahnya, kemuliaannya dan keagungannya
>Pengingatan kepada al arsy
>Penyifatan dari surga dan neraka
>Pengingatan kepada para nabi dan rasul
>Perkara halal dan haram
>Dorongan untuk menyambung silaturahmi kerabat dan seluruh hal-hal yang di dalamnya penuh dengan kebaikan.
Sedangkan aku perhatikan pada akal, terdapat di dalamnya
Makar, pengkhiatan, tipu-tipuan, memutuskan tali silaturahmi dan seluruh hal-hal yang di dalamnya penuh dengan kejelekkan."
(Sanadnya shahih, di nukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 101, cet. Darul Furqan 2008).
Apa yang Dibaca ketika Iqamah?
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya, "Fadhilatusy Syaikh, kami mendengar dari sebagian manusia setelah dikumandangkan iqamah (qamat), mengucapkan, "aqamahallahu wa adamaha." Lalu apakah apa hikmah dari hal tersebut?"
Syaikh rahimahullahu menjawab, "Yang dimaksud dengan itu sepertinya berdasar kepada sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bahwasanya jika seorang muadzin mengucapkan: "qad qamatish shalah" maka ucapkanlah: "Aqamahallahu wa Adamaha.", akan tetapi hadits ini dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah".
(Dinukil dan disadur dari Al Manahil Lafzhiyyah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 28, cet. Dar Ibnil Jauzi 2011)
Hukum Melaknat Setan
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya: Apa hukum melaknat setan? Sebagaimana dengan sebagian orang yang berkata, "Terlaknatlah setan"
Syaikh rahimahullahu menjawab, "Yang utama bagi seorang insan adalah berusaha untuk melatih diri dengan adab yang telah dibimbing oleh Allah kepada hambaNya, yakni firman Allah,
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيم
Artinya:
"Jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan maka berlindunglah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (Al A'raf: 200).
Maka jika engkau berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, berarti engkau telah berlindung dengan Dzat Yang Maha Agung azza wa jalla, dan engkau pun akan selamat dari kejahatan setan.
Adapun jika engkau melaknat setan, maka engkau telah melaknat sesuatu yang memang telah dilaknat, maka laknatmu memang terkena kepadanya, dan tidak ada faidahnya hal ini dan engkau yang melakukannya juga tak ada faidahnya sedikitpun karena setan memang makhluk yang terlaknat baik engkau laknat dia atau tidak.
Juga tidaklah mungkin ucapan laknatmu kepada setan ini, lebih baik dibandingkan dengan apa yang Allah perintahkan.
Oleh karenanya aku (Syaikh Utsaimin) nasehatkan agar seorang insan berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Jika ada setan yang menggodamu, maka dia memanglah makhluk yang memberi was-was."
(Dinukil dan disadur dari Al Manahil Lafzhiyyah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 26, cet. Dar Ibnil Jauzi 2011)
Agama itu Dengan Atsar, Adapun Membuat Roti dengan Akal
Abdullah ibn Ahmad ibn Sibawaih rahimahullahu menerangkan bahwa ayahnya pernah berkata kepadanya, "Barang siapa yang menginginkan ilmu al qabr (apa-apa yang terjadi di alam kubur) maka wajib bagimu untuk mengikuti atsar. Dan barang siapa yang menginginkan ilmu tentang (membuat) roti, maka dengan akal! "
(Sanadnya shahih, di nukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 101, cet. Darul Furqan 2008).
Pacaran itu Berat, Kamu tidak Akan Kuat, Biar Aku (Nikahi Kamu) Saja
Pacaran itu berat, ya memang berat, berat di dunia dan lebih-lebih di akhirat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti para lelaki akan beratnya fitnahnya (godaan) wanita, beliau bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ“
Artinya:
Tidaklah aku tinggalkan suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi para lelaki sepeninggalku, selain fitnahnya (godaan) wanita.”
(HR. Bukhari dan Muslim dari Shahabat Usamah ibn Zaid radhiallahu anhu).
Selain berat menahan fitnahnya (godaannya), orang yang berpacaran akan terasa berat tuk menahan diri dari sesuatu yang diharamkan syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Artinya:
“Telah ditetapkan atas anak adam bagiannya dari berzina dan ini suatu yang mesti terjadi. Zinanya kedua mata adalah dengan memandang, zinanya kedua telinga adalah dengan mendengar, zinanya lisan adalah dengan berbicara, zinanya tangan adalah dengan meraba (menyentuh), zinanya kaki adalah dengan melangkah dan zinanya hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan, kemudian kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mendustakannya.”
(HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu).
Sudah jamak, bahwa semua jenis keharaman yang dimuat di dalam hadits di atas, biasanya menjadi amalan bagi orang yang berpacaran, padahal hanya berduaan saja tanpa melakukan apa-apa, sudah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sabdanya,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَم
Artinya:
"Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahramnya.”
(HR. Bukhari dari shahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma)
Masya Allah ternyata memang berat sekali pacaran itu, karena di dunia banyak pelanggaran syariat yang diterjang. Barang siapa yang melabrak larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya, maka ancaman siksa neraka akan diterima.
Adapun di akhirat, pacaran itu berat karena resiko ancaman dosanya, ingin tahu beratnya kaya apa? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا مَنْ لَهُ نَعْلَانِ وَشِرَاكَانِ مِنْ نَارٍ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ كَمَا يَغْلِ الْمِرْجَلُ مَا يَرَى أَنَّ أَحَدًا أَشَدُّ مِنْهُ عَذَابًا وَإِنَّهُ لَأَهْوَنُهُمْ عَذَابًا
Artinya:
"Sesungguhnya penduduk neraka yg paling ringan siksanya adalah orang yang memiliki dua sandal dan dua tali sandal dari api neraka, dimana otaknya akan mendidih karena panasnya sandal tersebut sebagaimana kuali yang mendidih. Orang tersebut merasa bahwa tidak ada seorang pun yg siksanya lebih pedih dibanding dirinya, padahal siksanya adalah siksaan yang paling ringan di antara mereka (penduduk neraka).
(HR. Muslim dari shahabat Numan ibn Basyir radhiallahu anhuma).
Subhanallah.. itu yang paling ringannya, lalu gimana kira-kira yang lebih dari itu? Nas'alullaha salamah.
Lalu kalo pacaran itu berat, apa solusinya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
Artinya:
"Kami tidak pernah memandang (kebaikan) bagi dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.”
(HR. Ibnu Majah no. 1920. Dishahihkan oleh Imam Al Albani).
Nikah. Benar, nikah. Ini lebih ringan ketimbang berpacaran, oleh karenanya pacaran itu berat, kamu tidak akan kuat, biar aku nikahi kamu saja.
Ahlul Bid'ah itu Membenci Hadits yang tidak Mendukung Bid'ahnya
Imam Al Auza'i rahimahullahu bertanya kepada shahabatnya, Abu Muhammad Baqiyah rahimahullahu, "Wahai Abu Muhammad, apa pendapatmu tentang suatu kaum yang didapati membenci hadits di antara mereka?"
Baqiyah rahimahullahu menjawab, "Tentu mereka adalah suatu kaum yang jelek."
Imam Al Auza'i lalu berkata, "Bukanlah termasuk dari pelaku bid'ah ketika mereka disampaikan sebuah hadits yang menyelisihi kebid'ahannya melainkan hadits tersebut akan dibencinya."
(Sanadnya hasan, di nukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 98-99, cet. Darul Furqan 2008).
Memaksakan Anak untuk Belajar Agama adalah Suatu Keharusan
Abdullah ibn Daud rahimahullah berkata, "Sudah sepantasnya bagi seorang lelaki (ayah) untuk memaksakan anaknya belajar ilmu hadits (agama)."
(Sanadnya shahih, di nukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 91, cet. Darul Furqan 2008).
Mengajari Anak-Anak kepada Ilmu Agama adalah Bentuk Penjagaan Agama
Miskin ibn Bukair rahimahullahu pernah bercerita, "Suatu hari lewatlah seorang lelaki di hadapan Imam al A'masy yang sedang mengajari hadits. Maka lelaki itu bertanya kepada Imam Al A'masy, "Apakah engkau mengajarkan hadits kepada anak-anak kecil itu?"
Imam Al A'masy menjawab, "Ya, anak-anak kecil itu sedang menjaga agamamu."
(Sanadnya hasan, di nukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 89, cet. Darul Furqan 2008).
Ilmu akan Melapangkan Hati
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, "Di antara sebab lapangnya hati adalah al ilmu, karena dengan ilmu, hati akan lapang dan akan hati akan terasa luas sampai-sampai luasnya bisa melebihi luasnya dunia.
Adapun kebodohan sejatinya hanya akan mewariskan kesempitan, keterbatasan dan kehimpitan.
Oleh karenanya semakin luas kadar ilmu seorang hamba, maka semakin lapang dan luaslah hatinya.
Dan bukanlah yang dimaksud dengan ilmu ini adalah setiap ilmu yang ada, akan tetapi ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang telah diwarisi dari rasul, yaitu ilmu yang bermanfaat (ilmu agama).
Maka orang yang memilikinya adalah orang yang paling lapang dadanya, yang paling luas hatinya, yang paling bagus akhlaknya dan yang paling baik kehidupannya."
(Disadur dari Li Asbabi Syarhi ash Shadhr-Imam Ibnul Qayyim, hal. 31, cet. Dar Sabilil Muminin 2009).
Penyebutan Ahlul Hadits di dalam Al Qur'an
Yazid ibn Harun rahimahullahu bertanya kepada Hammad ibn Zaid rahimahullahu, "Wahai Abu Ismail apakah Allah menyebutkan para ahlu hadits di dalam Al Qur'an?"
Hammad ibn Zaid menjawab, "Tentu ada, apakah engkau tidak membaca firman Allah,
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ
Artinya:
"Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali kepada kaumnya itu". (QS. At Taubah: 122).
Dalam ayat ini berlaku bagi setiap orang yang pergi melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu dan fikih, kemudian dia kembali kepada orang yang telah ditinggalkannya (kaumnya) dan dia pun mengajarkan ilmu tersebut".
(Sanadnya shahih, di nukil dari Syarafu Ashabil Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 83, cet. Darul Furqan 2008).
Minggu, 25 Maret 2018
Apa hukum ucapan: "Semoga Allah panjangkan hidupmu", atau "Semoga panjang umurmu"?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Tidak sepatutnya seorang untuk memutlakkan ucapan dengan panjang umur saja, karena panjangnya hidup seseorang kadang merupakan kebaikan, tapi kadang juga merupakan kejelekkan.
Sesungguhnya sejelek-jeleknya manusia adalah bagi yang panjang umurnya dan jelek amalannya, oleh karenanya jika mengucapkan: "Semoga Allah panjangkan hidupmu di atas ketaatan" atau yang semisalnya maka hal itu tidak mengapa."
(Dinukil dari Al Manahil Lafzhiyyah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 25, cet. Dar Ibnil Jauzi 2011)
Wahai Pemuda Belajarlah Cara Membidik
Syaikh Muhammad Jamil Zainu rahimahullahu berkata,
Allah berfirman,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
Artinya:
"Persiapkanlah oleh kalian apa yang bisa mampu dikerahkan dari kekuatan." (QS. Al Anfal: 60).
Tafsir dari kalimat الفوة (al quwwah) adalah sebagaimana yang ditujukan di dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,
ألا إنَّ القوةَ الرمي
<ثلاثا>
Artinya:
"Ketahuilah bahwa sesungguhnya kekuatan itu adalah membidik."
(HR. Muslim).
Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata, "Ditafsirkannya القوة (al quwwah/kekuatan) itu semata-mata dengan bidikan, adalah karena membidik itu lebih nampak pada kegiatan persiapannya dibandingkan dengan alat-alat perang lainnya, ini disebabkan karena pada sebuah bidikan terdapat suatu yang paling menyibukkan musuh dan merupakan senjata yang paling mudah dibawa..."
Maka aku (Syaikh Muhammad Jamil Zainu) katakan:
Sampaipun sekarang, sesungguhnya alat-alat perang di zaman ini pemakaiannya kembali lagi kepada masalah bidik membidik.
Oleh karenanya islam telah menghasung seorang muslim untuk mempelajari cara membidik, terlebih pada kaum mudanya, hendaknya mereka mempelajari cara membidik dengan selingan belajar berenang pula, hal ini dilakukan sebagai alternatif pengganti permainan-permainan lain yang akan menyibukkan mereka dari latihan membidik, Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang telah mempelajari teknik membidik tapi kemudian dia malah melupakannya, maka dia bukan golongan kami dan dia telah berbuat dosa." (HR. Muslim).
(Kaifa Nafhamul Qur'an- Syaikh Muhammad Jamil Zainu [dinukil dari Majmuah Rasail jil. 3, hal. 11, cet. Maktabah Ash Shahabah 2005]).
Menjauh dari Fitnah adalah Keselamatan
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata, "Barang siapa yang mendekat kepada fitnah maka keselamatan akan menjauh darinya, dan barang siapa yang mengaku-aku bisa bersabar (terhadap fitnah yang dia datangi) maka dia akan diwakilkan kepada dirinya sendiri (Allah tidak membantunya)."
(Shayyidul Khatir-Ibnul Jauzi, hal 8, cet. Darut Taqwa 2013).
Mengenal Wali Allah
Syaikh Muhammad Jamil Zainu rahimahullahu berkata,
Allah taala berfirman,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُون
Artinya:
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu (adalah orang yang) tidak ada rasa kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati." (QS. Yunus: 62).
Telah ditafsirkan dalam ayat selanjutnya bahwa makna wali-wali Allah itu adalah sebagaimana firman Allah,
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
Artinya:
"Yaitu orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa." (QS. Yunus: 63).
Aku katakan (Syaikh Muhammad Jamil Zainu):
Di dalam tafsir ini terdapat bantahan atas ucapan orang-orang yang menyatakan bahwa seorang wali itu adalah:
Orang-orang yang mengetahui perkara yang ghaib, atau
Orang yang mempunyai karamah-karamah, atau
Orang-orang yang dipasang di kuburannya kubah-kubah, atau
Yang lain-lainnya dari berbagai macam keyakinan yang batil.
Oleh karenanya setiap orang yang beriman kepada Allah yang menaati perintah-perintahNya dan yang menjaga diri dari perkara-perkara yang diharamkanNya, maka dia lah termasuk dari wali-wali Allah, dan mempunyai karamah bukanlah menjadi sebuah syarat."
(Kaifa Nafhamul Qur'an- Syaikh Muhammad Jamil Zainu [dinukil dari Majmuah Rasail jil. 3, hal. 10, cet. Maktabah Ash Shahabah 2005]).
Hukuman Berat yang Tidak Terasa
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata, "Sebesar-besarnya hukuman pada seseorang adalah ketika orang itu tidak merasa bahwa dirinya tengah dihukum.
Yang lebih parah dari itu adalah ketika seseorang merasa senang dengan hukumannya seperti senangnya dia dengan harta yang haram dan terus-menerusnya dia berada di dalam dosa.
Barang siapa yang keadaannya seperti ini, maka dia tak akan selamat dengan ketaatannya (kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Rabbnya, pent)."
(Shayyidul Khatir-Ibnul Jauzi, hal 5, cet. Darut Taqwa 2013).
Hati Adalah Raja
Ibnu Hibban rahimahullahu berkata, "Wajib bagi seorang yang berakal untuk tidak melupakan hatinya dalam meninggalkan sesuatu sebab yang dapat mengeraskan hati, karena lurusnya seorang raja akan lurus pula para tentaranya, dan rusaknya sang raja akan rusak pula tentara-tentaranya."
(Raudhatul Uqala-Ibnu Hibban, dinukil dari Al Muntaqa min Kitabi Raudhatil Uqala wa Nuzhatil Fudhala, hal. 17, cet. Darul Istiqamah)
Kartu Kuning untuk Sang Pemberi Kartu Kuning
Priiit...
Bersamaan dengan sempritan peluit , seorang anak muda berbatik merah mengangkat tangannya ke atas sambil mengacungkan sebuah buku berwarna kuning ke arah orang nomor satu di negeri ini, luar biasa..!
Aksi berani yang dilakukan oleh ketua Badan Eksekutif Mahasiswa sebuah kampus ternama di Depok itu memang sengaja diperbuat sebagai gambaran atas pemberian kartu kuning kepada sang presiden, karena beliau yang baru menjabat kurang lebih tiga tahunan itu dinilai telah kurang di dalam mengurusi beberapa poin permasalahan yang mereka tuntut penyelesaiannya.
Aksi pemberian kartu kuning di hari Jum'at lalu (2/2/2018) oleh ketua BEM kampus yang beralmamater kuning ini pun sontak menjadi viral di jagat maya, ada yang memuji dan ada juga yang mengkritisi, akan tetapi bagaimanakah syariat islam memandang hal ini?
Islam sebagai agama yang sempurna tentu telah mempunyai garis-garis yang jelas dalam hal ini. Di dalam ajaran syariat islam yang mulia, hubungan antara rakyat dengan penguasanya telah dimaktubkan indah di dalam Al Quranul Karim,
"يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم"
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” (An Nisa: 59)
Ayat di atas membimbing kita yang berpredikat sebagai seorang rakyat untuk selalu mendengar dan taat kepada penguasa atau pemerintah yang sah, dan memang begitulah kehidupan, ada penguasa yang memimpin dan ada rakyat yang mau dipimpin.
Lalu bagaimana jika seorang rakyat menemui penguasanya kurang bagus dalam kinerjanya atau semena-mena dalam tindakannya? Jawabannya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
"مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ"
Artinya:
Barang siapa yang melihat dari penguasanya sesuatu yang tidak dia sukai, maka hendaknya bersabar! Karena barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah walaupun sejengkal, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas tegas mengarahkan kita untuk sabar. Ya, sabar dan tetap menjadi seorang rakyat yang tetap taat.
Sebagai seorang manusia tentu akan menyadari bahwa tabiat dari seorang insan mesti punya banyak kekurangan dan kesalahan, terlebih seorang pemimpin dari sebuah negeri! Jika kita saja dalam memimpin sebuah organisasi semisal karang taruna atau memimpin sebuah rumah tangga saja pasti mendapati banyak kesulitan dan kekurangan, apatah lagi memimpin suatu negara luas terbentang yang terdiri dari puluhan -bahkan- ratusan pulau? Sungguh tak terbayangkan bagaimana rumit dan peliknya beban yang dipikul.
Akan tetapi apakah kita akan diam dengan berbagai kesalahan dan kekurangan para penguasa? Tentu tidak! Kita wajib mengingkarinya, tapi lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing, sabdanya,
"مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ"
Artinya:
"Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka janganlah dia menasehatinya dengan cara terang-terangan, akan tetapi hendaknya dia ambil tangan penguasa tersebut dan cara senyap menyepi. Jika dia (penguasa itu) menerima nasihat, maka itulah (yang diinginkan) namun jika dia tidak menerimanya maka yang menasihati telah melaksanakan kewajibannya.”(HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Imam Al Albani).
Maka jelaslah, jika sebuah nasehat atau aspirasi yang ingin disampaikan kepada penguasa itu dilakukan di depan umum tentu hal ini akan menjatuhkan dan membuat malu sang penguasa, apalagi dengan cara melakukan aksi menyemprit dan memberikan kartu kuning di depan umum, tentu ini lebih melecehkan dan menghinakan, pehatikan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam ini,
"مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللّه"
Artinya:
"Barangsiapa yang menghinakan pemimpin Allah (penguasa negeri) di bumi, niscaya Allah akan hinakan dia".
(H.R Tirmidzi dan dihasankan oleh Imam Al Albany).
Oleh karenanya, hati-hatilah dalam bertindak, jangan sampai kita yang berstatus sebagai seorang rakyat mendapat kartu kuning dari syariat yang mulia ini karena kebodohan dan kelancangan dalam bertindak.
Semoga kita semua diberikan hidayah oleh Allah, dan semoga para pemimpin kita juga diberikan hidayah serta penjagaan dari kejelekan-kejelekan, amin.
Seorang Ibnul Jauzi pun Menyesal
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata,
قال صلى الله عليه و سلم: "قيدوا العلم بالكتابة"
(السلسلة الصحيحة، رقم: 2026)
Artinya:
"Ikatlah ilmu oleh kalian dengan tulisan."
(HR. Al Hakim dan Al Bahaqi, dishahihkan oleh Imam Al Albani dalam As Silsilatus Silsilah 2026)
Betapa banyak yang telah terlintas di benakku sesuatu, akan tetapi aku tersibukkan untuk menetapkannya, maka hilanglah (apa yang telah terlintas sebelumnya), dan aku pun menyesalinya.."
(Shayyidul Khatir-Ibnul Jauzi, hal 5, cet. Darut Taqwa 2013).
Apa hukum bersumpah dengan nama Nabi shallallahu alaihi wasallam atau dengan ka'bah?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjawab, "Bersumpah dengan nama Nabi shallallahu alaihi wasallam hukumnya tidak boleh, bahkan itu termasuk dari jenis kesyirikan karena Nabi shallallahu alaihi wasallam dan ka'bah adalah makhluk, dan bersumpah dengan nama makhluk adalah termasuk jenis dari kesyirikan..."
(Dinukil dari Al Manahil Lafzhiyyah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 14, cet. Dar Ibnil Jauzi 2011)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjawab, "Membangun bangunan di atas kuburan hukumnya adalah haram!
Nabi shallallahu alaihi wasallam telah melarangnya ketika pada perbuatan tersebut bisa menghantarkan kepada pengagungan terhadap orang yang dikuburnya, dan juga hal ini bisa menjadi perantara dan pintu masuk untuk melakukan peribadahan kepada kuburan dan mengambil sesembahan bersama Allah (menyekutukan Allah/syirik), sebagaimana ini terjadi pada mayoritas dari bangunan-bangunan yang ada di atas kuburan.
Maka dengan itu, jadilah manusia terhadap penghuni kubur ini melakukan kesyirikan (menjadikan sekutu) kepada Allah.
Mereka berdoa kepada kepada Allah, tapi berdoa juga kepada penghuni kubur dan beristighatsah kepada penghuni kubur ketika ingin dihilangkan kesusahan-kesusahan yang ada, ini hukumnya adalah syirik akbar dan merupakan amalan yang bisa mengeluarkan pelakunya dari islam, Allahul musta"an."
(Disadur dari Fatawa Arkanil Islam wal Aqidah-Syaikh Utsaimin, hal. 23, cet. Maktabatush Shaffa 2007)
Menjadi Zuhud Walaupun Harta Melimpah
Asy Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu berkata, "Allah telah memerintahkan kita untuk mencari (penghasilan) yang halal, maka jauhilah perkara yang haram, jauhilah riba, riswah (menyuap) dan pajak.
Tutuplah setiap pintu-pintu keharaman dan bertawakalah kepada Allah di dalam mencari dunia sesuai dengan kebutuhan dan sekadar bisa menegakkan kehidupanmu.
Janganlah berlebih-lebihan dan berluas-luas dalam urusan dunia, ambillah bagian dunia sebatas apa yang bisa membantumu untuk melakukan ketaatan kepada Allah dan segala yang bisa tuk membantu saudaramu yang semuslim serta apa-apa yang dapat memungkinkan untuk menolong dalam menegakkan kalimat Allah azza wa jalla.
Maka barang siapa yang mengerahkan hartanya dan jiwanya di jalan Allah, maka insya Allah dia termasuk ahlu zuhud di dunia walaupun dia orang yang berharta.
(Az Zuhdu fid Dunia war Raghbah fil Akhirah-Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu, hal. 16, cet. Al Miratsun Nabawi 2012).
Tiga Perkara yang Lebih Utama Dibanding Emas dan Perak
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ : لَمَّا نَزَلَتْ "وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ"
قَالَ : كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ
فَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ : أُنْزِلَ فِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ مَا أُنْزِلَ ، لَوْ عَلِمْنَا أَيُّ الْمَالِ خَيْرٌ فَنَتَّخِذَهُ
فَقَالَ : أَفْضَلُهُ لِسَانٌ ذَاكِرٌ ، وَقَلْبٌ شَاكِرٌ ، وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلَى إِيمَانِهِ
.رواه الترمذي, وابن ماجه وعنده: تُعِينُ أَحَدَكُم عَلَى أَمْرِ الآخِرَة
والحديث حسَّنه الترمذي ، وصححه الألباني في " صحيح الترمذي " .
Artinya:
Dari Tsauban radhiallahu anhu, beliau berkata, "Ketika turun ayat Allah: Dan orang-orang yang menyembunyikan emas dan perak." (QS. At Taubah: 34).
Dahulu kami pernah bersama rasulullah di sebagian safarnya dan berkata sebagian dari para shahabatnya, "Telah diturunkan ayat tentang emas dan perak, kalau seandainya kami tahu ada sesuatu yang lebih berharga dibandingkan harta, tentulah kami akan mengambilnya."
Maka rasulullah berkata, "Seutama-utamanya lisan adalah lisan yang berdzikir dan hati yang bersyukur serta istri mukminah yang dapat membantu (suaminya) akan keimanannya."
(HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Pada lafazh Ibnu Majah disebutkan: "Yang dapat membantu salah seorang dari kalian terhadap urusan akhiratnya."
Hadits ini dinilai hasan oleh Imam Tirmidzi dan dishahihkan oleh Imam Al Albani di dalam "Shahih At Targhib."
Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa berdzikir itu lebih utama dibandingkan sedekah harta.
(Syarah Tuhfatidz Dzakirin-Asy Syaukani, hal. 21)
Syaikh Al Mubarakfury rahimahullahu menerangkan bahwa istri mukminah yang dapat membantu (suaminya) akan keimanannya, yakni yang membantu (suaminya) dalam agamanya dengan cara mengingatkan untuk shalat, puasa dan yang selain itu dari ibadah-ibadah. Juga yang dapat mencegah suaminya dari perbuatan zina dan seluruh perbuatan yang haram.
(Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan Tirmidzi-Al Mubarakfury jil. 8, hal. 390)
Jadikan Dunia tuk Meraih Ridha Allah
Asy Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu berkata, "Sebagian manusia ada yang menghadapkan dirinya kepada dunia dan berlebih-lebihan di dalamnya. Mereka juga lebih mementingkan dunia ketimbang akhirat.
Adapun seorang mukmin, dia jadikan dunia itu hanya sebagai tunggangan layaknya hewan ternak yang dia naiki atau layaknya sendal yang dia pakai, yakni (maksudnya) dia manfaatkan dan gunakan dunia itu untuk meraih keridhaan Allah dan untuk mendapatkan perkara yang baik di dalam kehidupannya sendiri dan orang lain (di dunia)."
(Az Zuhdu fid Dunia war Raghbah fil Akhirah-Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu, hal. 14, cet. Al Miratsun Nabawi 2012).
Meminta Perlindungan kepada Allah dari Godaan Setan
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata, "Dihikayatkan dari sebagian salaf bahwasanya mereka pernah bertanya kepada murid-muridnya, "Apa yang akan engkau lakukan terhadap setan jika dia menggodamu untuk berbuat dosa?".
Sang murid menjawab, "Aku akan berusaha melawannya."
Sang guru pun bertanya, "Jika setan itu kembali menggoda, bagaimana?"
Sang murid menjawab, "Aku akan berusaha melawannya."
Sang guru mengulangi dengan pertanyaan yang sama, "Bagaimana jika setan itu kembali menggoda?"
Sang murid menjawab dengan jawaban yang sama pula, "Aku akan berusaha melawannya."
Sang guru berujar, "Jika demikian, tentu akan panjang urusannya! Apa pendapatmu jika engkau tengah melewati sekelompok gembalaan kambing lalu tiba-tiba anjing penjaganya menyalak-nyalak sehingga engkau terhalang untuk lewat, kira-kira apa yang akan engkau lakukan?"
Sang murid pun menjawab, "Aku akan tetap melintas dan berusaha keras untuk melawan anjing tersebut."
Sang guru menjawab, "Itu akan melelahkanmu! Yang semestinya engkau lakukan adalah mendatangi pemilik gembalaan kambing tersebut (tentunya pemilik gembalaan kambing adalah pemilik anjing penjaganya) kemudian engkau meminta tolong kepadanya (untuk mengusir anjing yang menghadang). Cara ini akan mencukupkanmu."
(Disadur bebas dari Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 62, cet. Darul Wasitiyyah 2015)
Karena Thalabul Ilmi adalah Ibadah
Asy Syaikh Abdullah ibn Salfiq azh Zhafiri hafizhahullahu berkata, "Hendaklah seorang (penuntut ilmu) itu menjadikan niatnya karena Allah azza wa jalla di dalam thalabul ilminya dengan sebenar-benarnya ikhlash karena Allah, tidak menginginkan sum'ah (didengar orang), syuhrah (terkenal) dan tidak pula menginginkan sesuatu bagian dari perkara dunia.
Barang siapa yang menjadikan niatnya kerena Allah, niscaya Allah akan memberikan taufik kepadanya dan diberikan pahala atas hal itu (thalabul ilminya) karena thalabul ilmi adalah ibadah, bahkan termasuk seagung-agungnya ibadah."
(Ar Rakaizul Asyr li Tahshilil Ilmi-Syaikh Abdullah ibn Salfiq azh Zhafiri hafizhahullahu, hal. 11, cet. Darush Shahabah 2014).
Salah Kaprah tentang Zuhud
Asy Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu berkata, "Bukanlah zuhud terhadap dunia itu adalah meninggalkan sesuatu yang halal dan (tapi) tidak pula berarti menghambur-hamburkan harta, akan tetapi engkau jadikan apa yang di tangan Allah itu lebih terpercaya dibandingkan dengan apa yang di tanganmu, dan terus-menerus di dalam sikap pertengahan seperti inilah yang dituntut (oleh kita).
Sebagian manusia memahami bahwa sikap zuhud itu adalah menolak dunia secara mutlak dan meninggalkan untuk mencari penghasilan yang halal serta merendahkan diri kepada sikap pasrah dan menyandarkan kepada apa yang berada di tangan manusia (berharap pemberian orang), maka ini adalah perkara yang buruk lagi tercela, dan sama sekali bukan dari sikap zuhud."
(Az Zuhdu fid Dunia war Raghbah fil Akhirah-Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu, hal. 14, cet. Al Miratsun Nabawi 2012).
Langganan:
Postingan (Atom)