Minggu, 24 Desember 2017

Menuntut Ilmu Sampai Mati! Serius?


Ibnul Mubarak rahimahullahu pernah ditanya, "Sampai kapan engkau menulis hadits?", maka beliau menjawab, "Sampai aku tidak mendengar lagi sebuah kata yang bisa aku ambil manfaatnya."

Sedangkan Imam Ahmad ibn Hanbal rahimahullahu berkata lain ketika ditanya, "Sampai kapan engkau menulis dari perawi-perawi itu (untuk mendapat) sebuah hadits?", beliau menjawab, "Sampai mati!".

Dalam ucapannya yang lain, Imam Ahmad ibn Hanbal rahimahullahu berujar, "Aku menuntut ilmu sampai aku dimasukan ke dalam kubur."
(Syarafa Ashabal Hadits-Khathib al Baghdadi, hal. 68).

Subhanallah, jawaban yang menampar bagi seorang yang telah merasa cukup dengan kemampuan dirinya dan mulai enggan duduk bersama orang alim untuk menimba ilmu. Seorang Ibnul Mubarak dan Imam Ahmad saja yang telah menjadi Imam di masanya, masih saja terus mencari ilmu, maka dimana posisi kita?

Walau tak sebanding -atau bahkan tidak bisa dibandingkan- dengan mereka, akan tetapi minimalnya ucapan Al Khathib al Baghdadi rahimahullahu ini bisa memberikan motivasi tersendiri untuk kita resapi, beliau berkata, "Sesungguhnya ketika engkau kelak bertemu Allah sebagai seorang thalibul ilmi itu lebih baik dibandingkan engkau bertemu Allah sebagai seorang yang meninggalkan dari thalibul ilmi karena telah merasa cukup dan berpaling dari ilmu."
(Al Faqih wal Mutafaqqih-Khathib ak Baghdadi, jil. 2, hal 85).

Tinggal pertanyaan itu saya tujukan kepada diri saya sendiri, "Sampai kapan kita menuntut ilmu?"
Sampai mati..? Serius..?
Allahu mustaan. Semoga Allah mudahkan, amin.

Jadikan Makan dan Minummu Suatu yang Luar Biasa


Makan dan minum adalah suatu kebutuhan yang mutlak, oleh karenanya banyak orang yang menganggap hal ini adalah suatu perkara yang biasa, akan tetapi islam sebagai agama yang mulia tidaklah menganggap demikian, perkara makan dan minum sejatinya bisa menjadi suatu hal yang luar biasa. Ya, luar biasa!

Apa itu?

Ternyata aktifitas makan dan minum kita bisa menjadi suatu ibadah di sisi Allah. Luar biasa bukan!

Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu 'anhu menyampaikan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
Artinya:
“Sesungguhnya tidaklah engkau menginfakkan suatu nafkah, dimana nafkah tersebut engkau tujukan untuk mengharapkan wajah Allah kecuali akan mendapatkan pahala, sampai pun segala yang engkau berikan (suapkan) kepada mulut istrimu.” (HR. Bukhari).

Abu Bakr ash Shiddiq radhiallahu 'anhu berkata,

"عَجِبْتُ لِلْمُؤْمِنِ أَنَّهُ يُؤْجَرُ فِي كُلِّ شَيْءٍ ، حَتَّى فِي اللُّقْمَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى فِيهِ"
(الزهد لوكيع بن الجراح, رقم الحديث: 96)

Artinya:
"Aku takjub dengan seorang mukmin, sesungguhnya dia diganjar (pahala) di setiap sesuatunya (amalan), sampai pun pada suapan (makanan) yang dia angkat ke dalam mulutnya."
(Az Zuhd-Imam Waki ibnul Jarrah, riwayat no. 96).

Oleh karenanya jangan sampai kita lupa ketika mengerjakan rutinitas ini bisa terlewat begitu saja tanpa nilai pahala, akan tetapi iringilah makan dan minum kita dengan niat agar ibadah bisa lancar dan dengan tata cara atau adab-adab yang telah dituntunkan di dalam sunnah rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Wallahu alam. Semoga bermanfaat.

Jangan Takut Menegur Anak


Umar bin Abi Salamah pernah bercerita tentang pengalaman masa kecilnya sewaktu masih diasuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertutur “Sewaktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah tanganku ke sana dan ke sini di atas nampan saat makan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

,《يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ》.
فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِى بَعْدُ

Artinya:
"Wahai anakku, sebutlah nama Allah, makanlah dengan menggunakan tangan kananmu dan santaplah makanan yang dekat di hadapanmu.”
Maka terus menerus demikian cara makanku setelah itu.
(HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits di atas merupakan salah satu pondasi utama seorang muslim dalam melakukan aktifitas makan berjamaah, akan tetapi yang menjadi perhatian kita di kesempatan ini adalah bagaimana suatu pengajaran nubuwah berupa teguran dan nasehat yang ditujukan kepada seorang anak ternyata akan membuahkan suatu pembentukkan karakter sejak dini.

Perhatikanlah hadits di atas, Umar ibn Abi Salamah dalam akhir hadits menyatakan bahwa dengan sebab teguran dan nasehat rasulullah, perilaku makan beliau yang pada awalnya kurang bagus, menjadi suatu kebiasan yang penuh barakah di sepanjang hidupnya.

Di dalam kisah lain, pernah suatu ketika cucu beliau shallallahu alaihi wasallam yang bernama Al Hasan ibnu Ali didapati sedang mengunyah sebuah kurma shadaqah, padahal syariat telah menetapkan bahwa Rasulullah dan keluarganya tidak diperbolehkan untuk memakan harta shadaqah, maka saat itu juga Nabi melarangnya seraya mengatakan,

《كِخْ كِخْ ارْمِ بِهَا أَمَاعَلِمْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ》

Artinya
"Kikh kikh, buanglah kurma itu! Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak memakan harta shadaqah."
(HR. Muslim)

Sekali lagi, hadits di atas mengajari kita untuk tak segan melarang anak terhadap suatu perbuatan yang tidak patut, akan tetapi tentunya lebih bijak bagi kita untuk menyebutkan pula kepada mereka tentang sebab pelarangan tersebut dari sisi syariat, sehingga mereka akan terbiasa untuk beragama dengan dalil-dalil yang ilmiyah.

Oleh karenanya janganlah pernah bosan untuk menegur dan mengajari seorang anak kepada adab-adab yang mulia, Abul Ahwash rahimahullah seorang tabi'in murid dari shahabat Abdullah ibn Mas'ud radhiallahu anhu berkata bahwa gurunya (Abdullah ibn Mas'ud) pernah berpesan,

"تَعَوَّدُوا الْخَيْرَ، فَإِنَّ الْخَيْرَ بِالْعَادَةِ"
 (الزهد لوكيع بن الجراح, الأثر: ٣٢)

Artinya:
"Biasakanlah oleh kalian perkara kebaikan, karena sesungguhnya kebaikan itu dengan (adanya) pembiasaan."
(Az Zuhd-Imam Waki' Ibnul Jarrah, atsar no. 32)

Semoga bermanfaat.

Menaati Kedua Orang Tua di antara Perkara yang Sunnah dan yang Wajib


Hisyam ad Dustuwari pernah berkata bahwa Al Hasan al Bashri pernah ditanya tentang seorang lelaki yang disuruh oleh ibunya untuk berbuka dari puasa sunnahnya, maka beliau menjawab, "Hendaknya lelaki tersebut berbuka dan dia tidak ada kewajiban mengqadhanya, bahkan dia tetap mendapat pahala puasa sekaligus pahala berbakti kepada ibunya.

Tapi jika ibunya berkata, "Janganlah engkau keluar untuk shalat (berjamaah ke masjid)", maka tidak ada ketaatan kepada ibunya terhadap perkara yang wajib ini."

(Al Bir wash Shilah-Imam al Marwazi, atsar no 61)

Mendahulukan Perintah Ibu


Abu Syihab Musa ibn Nafi rahimahullahu,

"دَخَلْتُ عَلَى سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ بِمَكَّةَ وَقَدْ أَخَذَهُ صُدَاعٌ شَدِيدٌ ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِمَّنْ عِنْدَهُ : هَلْ لَكَ أَنْ نَأْتِيَكَ بِرَجُلٍ يَرْقِيكَ مِنْ هَذِهِ الشَّقِيقَةِ ؟ قَالَ : لَا حَاجَةَ لِي فِي الرُّقَى."
(حلية الأولياء: رقم الحديث: 5897)

"Aku menemui Said ibn Jubair di Makkah dan beliau terkena sakit kepala yang hebat. Maka seorang lelaki yang berada di sisinya berkata, "Apakah engkau berkenan jika kami datangkan seorang yang dapat meruqiyah sakit kepalamu?"
Beliau menjawab, "Aku tidak membutuhkan ruqiyah."
(Hilyatul Aulia-Abu Nu'aim Al Ashfahani, riwayat no. 5897).

Di dalam riwayat lain Said ibn Jubair rahimahullahu mengisahkan,

"لُدِغْتُ ، فَأَمَرَتْنِي أُمِّي أَنْ أَسْتَرْقِيَ ، فَكَرِهْتُ أَنْ أُعْصِيَهَا ، فَنَاوَلْتُ الرُّقَا بِيَدِي الَّتِي لَمْ تُلْدَغْ" .
(البر والصلة للمروزي, رقم الحديث: 57)

"Aku disengat (oleh binatang berbisa), ibuku menyuruhku untuk meruqiyahnya, aku pun enggan untuk mendurhakainya, maka aku meruqiyah dengan tanganku yang tidak disengat."
(Al Bir wash Shilah-Imam al Mawardi, riwayat no. 57)

Silahkan Anda qiyaskan pada kehidupan Anda!

Semoga Allah mudahkan kita tuk menjadi anak yang berbakti dan terjauh dari sikap durhaka terhadap kedua orang tua kita, amin.

Jangan Merasa Aman dari Dosa yang Pernah Dilakukan


Abdullah ibnu Mas'ud radhiallahu anhu berkata,

"إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيَعْمَلُ السَّيِّئَةَ فَيُشَدَّدُ عَلَيْهِ بِهَا عِنْدَ مَوْتِهِ لِيَكُونَ بِهَا ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ لَيَعْمَلُ الْحَسَنَةَ ، فَيُخَفَّفُ بِهَا عَلَيْهِ عِنْدَ مَوْتِهِ لِيَكُونَ بِهَا".
الزهد لوكيع بن الجراح, رقم الحديث: 89

"Sesungguhnya seorang mukmin akan mengamalkan sebuah kejelekkan, maka dia akan merasa sesak dengan dosa itu di saat maut (terasa) mendatanginya.

Dan sesungguhnya seorang yang fajir akan mengamalkan sebuah kebaikan, maka dia akan merasa ringan dengan kebaikan itu di saat maut (terasa) mendatanginya."

(Az Zuhud-Imam Waki ibnul Jarrah, pada atsar ke 89)

Kematianlah yang Mereka Tunggu-Tunggu


Rabi' ibnu Khutsaim rahimahullahu berkata,

"مَا مِنْ غَائِبٍ يَنْتَظِرُهُ الْمُؤْمِنُ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الْمَوْتِ" 
(الزهد لوكيع بن الجراحح: رقم الحديث 86)

"Tidak ada perkara ghaib (belum terjadi) yang ditunggu-tunggu oleh seorang mukmin yang lebih baik dibandingkan kematian".

(Az Zuhud-Imam Waki ibnul Jarrah, pada atsar ke 86)

Tempat Istirahatnya Seorang Mukmin


Masruq rahimahullahu berkata,

"مَا مِنْ بَيْتٍ خَيْرٌ لِلْمُؤْمِنِ مِنْ لَحْدٍ ، قَدِ اسْتَرَاحَ مِنْ هُمُومِ الدُّنْيَا ، وَأَمِنَ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ" 
(الزهد لوكيع بن الجراح, رقم الحديث: 85)

"Tidaklah ada dari suatu tempat tinggal yang lebih baik bagi seorang mukmin dibandingkan liang lahat, (karena dia di sana) telah istirahat dari kesedihan-kesedihan dunia dan telah aman dari adzab Allah."

(Az Zuhud-Imam Waki ibnul Jarrah, pada atsar ke 85).

Sampai Berjalan pun, Harus Diperhatikan!


عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ ، قَالَ : رَآنِي عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَأَنَا أَمْشِي ، إِلَى جَنْبِ أَبِي فَقَالَ : " لا تَمْشِ إِلَى جَنْبِ أَبِيكَ ، إِنَّمَا يَنْبَغِي لَكَ أَنْ تَمْشِيَ وَرَاءَهُ " ، قَالَ : فَإِنِّي أَتَوَكُّأُ عَلَى يَدِهِ , قَالَ : " فَهَاهُ " .
(البر والصلة للمروزي رقم الحديث: 23)

Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdil Qari rahimahullah berkata, "Umar ibn Abdil Aziz rahimahullah melihatku berjalan di samping ayahku, lalu beliau berkata, "Janganlah engkau berjalan di samping ayahmu, yang pantas kau ini hanya boleh berjalan di belakangnya!."

Aku pun menerangkan, "Sesungguhnya aku (melakukan hal ini karena) menjadi tumpuan tangan ayahku."

Maka beliau berkata, "Kalau begitu lakukanlah!"

(Al Bir wash Shilah-Imam al Marwazi, atsar no 23)

Mendidik Anak untuk Menangis karena Dosa-Dosannya


Al Qasim ibn Abdirrahman rahimahullah berkata bahwa Ayahnya, Abdurrahman ibn Abdillah ibn Mas'ud pernah dinasehati oleh Ayahnya,
 
"يَا بُنَيَّ، ابْكِ مِنْ ذِكْرِ خَطِيئَتِكَ"
(الزهد لوكيع بن الجراح)

"Wahai anakku, menangislah karena mengingat dosa-dosamu."

(Az Zuhd-Imam Waki' Ibnul Jarrah)

Jangan Tinggalkan Kedua Orang Tuamu Jika Mereka Masih Membutuhkanmu


عَنْ هِشَامٍ ، عَنِ الْحَسَنِ فِي الرَّجُلِ يَكُونُ لَهُ وَالِدَانِ أَيَخْرُجُ لِلتِّجَارَةِ ؟
قَالَ: "إِنْ كَانَتْ لَهُ مِنْهَا مَنْدُوحَةٌ فَلا يَخْرُجْ" .
(البر والصلة للمروزي رقم الحديث: 22)

Abu Abdillah Hisyam ibnu Hassan al Azdi rahimahullahu menerangkan bahwa Al Hasan al Bashri suatu ketika pernah ditanya tentang seorang lelaki yang masih memiliki kedua orang tua, apakah dia boleh untuk keluar (kota/negeri) dalam rangka berdagang (kerja atau bisnis)?

Maka beliau menjawab, "Jika lelaki tersebut seorang yang dibutuhkan (oleh kedua orang tuanya) maka janganlah dia pergi (meninggalkan kedua orang tuanya)".

(Al Bir wash Shilah-Imam al Marwazi, atsar no 22)

Sedikit Asal Cukup Itu Lebih Baik Dibanding Banyak Tapi Membinasakan


Abu Darda radhiallahu anhu berkata,

"اعْبُدُوا اللَّهَ كَأَنَّكُمْ تَرَوْنَهُ ، وَعُدُّوا أَنْفُسَكُمْ فِي الْمَوْتَى ، وَاعْلَمُوا أَنَّ قَلِيلا يُغْنِيكُمْ خَيْرٌ مِنْ كَثِيرٍ يُلْهِيكُمْ ، وَاعْلَمُوا أَنَّ الْبِرَّ لا يَبْلَى ، وَأَنَّ الإِثْمَ لا يُنْسَى" . (الزهد لوكيع بن الجراح)
Artinya:
"Beribadahlah kalian kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan persiapkanlah diri-diri kalian untuk (menghadapi) kematian.

Ketahuilah oleh kalian bahwa yang sedikit tapi bisa mencukupi itu lebih baik dibandingkan banyak tapi membinasakan.

Ketahuilah bahwa kebaikan itu tidak akan tersia-siakan dan sebuah dosa tidak akan dilupakan (akan ada hisabnya)."

(Az Zuhd-Imam Waki' Ibnul Jarrah)

Tiga Perangai dari Tanda Kebaikan


Muhammad ibn Ka'ab al Quradhi rahimahullah berkata,

"إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا , زَهَّدَهُ فِي الدُّنْيَا ، وَفَقَّهَهُ فِي الدِّينِ ، وَبَصَّرَهُ عُيُوبَهُ ، وَمَنْ أُوتِيهِنَّ أُوتِيَ خَيْرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ" .
(الزهد لوكيع بن الجراح)
Artinya:
"Jika Allah menghendaki seorang hamba dengan kebaikan, maka:
Allah akan membuat dirinya zuhud kepada dunia, difakihkan terhadap ilmu agama dan diluaskan pandangannya. Barang siapa yang diberikan semua perkara ini, maka dia telah diberi kebaikan di dunia dan di akhirat."

(Az Zuhd-Imam Waki' Ibnul Jarrah)

Mewaspadai Setan


Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, "Ketahuilah ketika bani adam diciptakan, di dalam dirinya telah ada al hawa dan asy syahwat yang bisa digunakan untuk mengambil sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya.

Allah juga telah meletakkan sifat al ghadb (amarah) yang bisa digunakan untuk melindunginya dari perkara yang akan mengganggu.

Manusia juga diberikan al aqlu (akal) layaknya orang yang mengajarinya untuk berbuat adil terhadap perkara yang dibutuhkan dan yang dijauhkan.

Adapun setan, dia diciptakan dalam keadaan sebagai penghasut (provokator) *untuk berlaku berlebih-lebihan* di dalam perkara yang dibutuhkan dan yang dijauhkan.

Maka seorang yang berakal wajib untuk bersikap waspada kepada permusuhan yang telah dipancangkan oleh setan sejak zaman Nabi Adam, dimana setan ini menghabiskan umurnya untuk merusak keadaan bani adam.

Allah taala telah memerintahkan agar mewaspadai setan,

《وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ》

Artinya:
"Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu."
(QS. Al Baqarah: 168)

(Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 45, cet. Darul Wasitiyyah 2015)

Ketaatan adalah Sumber Kecintaan Allah dan Kecintaan Makhluk


Abu Darda radhiallahu anhu pernah menulis sebuah surat kepada Maslamah ibn Makhlad rahimahullahu yang isinya adalah sebagai berikut:

'Amma ba'du,
Sesungguhnya seorang hamba jika beramal suatu ketaatan kepada Allah, niscaya Allah akan cinta kepadanya. Jika dia telah dicintai Allah maka Allah akan membuat makhluk cinta kepadanya.

Tapi jika orang tersebut bermaksiat kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya. Jika dia telah dimurkai Allah niscaya Allah akan membuat makhluk benci kepadanya."

(Az Zuhd-Imam Ahmad ibn Hanbal, hal. 184, cet. Darul Aqidah 2010)

Menyalami dan Menjabat Tangan Ahlul Bid'ah Bukan Hal yang Remeh di Sisi Salaf

Said ibn Amir rahimahullah berkata,

"مَرِضَ سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ فَبَكَى فِي مَرَضِهِ بُكَاءً شَدِيدًا ،
فَقِيلَ لَهُ : مَا يُبْكِيكَ أَتَجْزَعُ مِنَ الْمَوْتِ ؟
قَالَ : " لا ، وَلَكِنْ مَرَرْتُ عَلَى قَدَرِيٍّ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ، فَأَخَافُ أَنْ يُحَاسِبَنِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ " 

Artinya:
"Suatu hari Sulaiman at Taimi terjatuh sakit, di dalam sakitnya beliau menangis dengan sangat, maka beliau ditanya, "Mengapa engkau menangis? Apakah engkau takut dengan al maut?". Beliau menjawab, "Tidak, akan tetapi aku pernah melewati seorang qadari (orang yang berpemahanan qadariyah), aku pun menyalaminya, maka aku takut kalau Rabb-ku akan menghisabku karenanya."

Sufyan ats Tsauri rahimahullahu berkata,

"من سمع مبتدع، لم ينفعه الله بما سمع، ومن صفحه فقد نقص الاسلام عروة عروة"

Artinya:
"Barang siapa yang mendengar dari seorang mubtadi (ahlul bid'ah) niscaya Allah tidak akan memberikan manfaat dengan apa yang dia dengar. Barang siapa yang menjabat tangannya, maka sesungguhnya dia telah melemahkan (tali) islam seutas demi seutas.".

(Atsar dinukil dari Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 33-34, cet. Darul Wasitiyyah 2015)

Rabu, 20 Desember 2017

Selasa, 19 Desember 2017

Bijak dalam Berkomentar di Medsos


Fenomena ber-medsos di dunia maya (media sosial) bagi sebagian orang sepertinya telah menjadi salah suatu bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Walaupun hanya di dunia maya, seorang netizen (pengguna aktif medsos internet) yang baik hendaknya tetap bisa mengaplikasikan adab-adab dalam bergaul dan bermuamalah dengan sesama netizen lainnya, terlebih di dalam suatu komunitas grup.

Jika kita ingin mengupas secara rinci tentang apa saja adab-adab dalam ber-medsos, maka sesungguhnya membutuhkan banyak pembahasan dan kajian, akan tetapi cukuplah ilmu-ilmu yang telah disusun oleh para ulama salaf yang membahas tentang adab-adab islami dalam berinteraksi di dunia nyata bisa menjadi acuan utama di dalam bermuamalah di dunia maya.

Di antara adab mulia yang telah digariskan oleh syariat yang mulia ini adalah sebagaimana yang telah disabdakan oleh nabi shallallahu alaihi wasallam,

《مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت》

Artinya:
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits di atas memberikan kepada kita kepada suatu pelajaran penting bahwa seorang yang aktif berselancar di grup-grup medsos hendaknya tetap bertutur kata dan berkomentar dengan cara yang baik, karena tulisan kita sejatinya adalah ucapan kita, oleh karenanya bicaralah seperlunya jika memang dibutuhkan. Ibrahim at Taimi rahimahullah berkata,

"المؤمن إذا أراد أن يتكلم نظر؛ فإن كان كلامه له تكلم، وإن كان عليه أمسك عنه، والفاجر إنما لسانه رسلاً رسلاً"
(الصمت لابن أبي الدنيا: 247).

Artinya:
"Seorang mukmin ketika ingin berbicara hendaknya meninjau: jika ucapannya itu membawa kebaikan untuknya maka dia bicara, jika ucapannya malah membawa kejelekkan untuk dirinya maka dia menahan (tidak bicara). Hanya saja seorang yang fajir itu adalah yang lisannya mudah keluar tanpa perhitungan."
(Ash Shamt- Ibnu Abi Dunia, 7/250)

Netizen yang baik adalah seorang yang tidak banyak bicara sesuatu yang tak ada manfaatnya dan tidak mudah berkomentar atau menimpali suatu postingan. Seorang netizen hendaknya khawatir akan ketergelincirannya, Umar ibnul Khaththab radhiallahu anhu mengingatkan,

"من كثر كلامه كثر سقَطُه، ومن كثر سقَطُه كثرت ذنوبه، ومن كثرت ذنوبه كانت النار أولى به"
[جامع العلوم والحكم: ص161].

Artinya:
"Barang siapa yang banyak bicaranya niscaya akan banyak tergelincir, dan barang siapa yang banyak ketergelincirannya niscaya akan banyak dosanya, dan barang siapa yang banyak dosanya maka neraka itu lebih pantas untuknya."
(Jami'ul Ulum wal Hikam-Ibnu Rajab, hal. 161).

Semoga bermanfaat, terkhusus untuk penulisnya sendiri. Amin.

Pilih Dia karena Agamanya!


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

《تُنْكَحُ المَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَافَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ》

Artinya:
"Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, nasabnya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang mempunyai agama (yang baik), niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim)."

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Janganlah engkau melihat kepada kecantikannya saja, jangan pula kepada harta dan derajat kedudukannya di sisi manusia saja, akan tetapi lihatlah kepada agamanya, karena (baiknya) agama akan mengumpulkan seluruh kebaikan.

Selain agamanya, seorang wanita tidaklah dipuji karenanya, kecantikan kadang akan membawa kepada tipu daya, hartanya akan membawa kepada sikap melampaui batas dan tingginya kedudukan akan membawanya kepada sikap sombong terhadap lelaki.

Adapun seorang wanita yang memiliki agama (yang baik), sesungguhnya dia tidaklah datang kecuali dengan kebaikan. Jika darinya diberikan anugerah berupa keturunan yang shalih maka sesungguhnya itu adalah hasil dari bimbingan dan pendidikan mereka yang di atas kebaikan."

(Taujihatu Muhimmah ila Syababil Ummah-Syaikh Shalih Fauzan, dinukil dari Rasail Ulamais Sunnah ila Syababil Ummah, hal. 12, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).

Dekat dengan Ahlul Ahwa = Jauh dari Allah


Sallam ibn Abi Muthi' rahimahullah bercerita tentang Ayyub as Sikhtiyani, bahwa beliau pernah didatangi oleh seorang lelaki dari kalangan ahlul ahwa dan berkata, "Aku ingin menyampaikan beberapa kalimat kepadamu." Maka Ayyub menjawab, "Tidak, walau setengah kalimat!"
-selesai-

Tegas dalam bersikap, itulah prinsip yang kini kian hari kian terkikis pada sebagian kaum muslimin. Lalu, mengapa Ayyub as Sikhtiyani sedemikian tegasnya kepada ahlul ahwa?

Dalam ucapannya yang lain, beliau berkata, "Tidaklah shahibu bid'ah bersungguh-sungguh dalam menambah, melainkan hanya menambahkan kejauhan dari Allah."
-selesai-

Itulah makar ahlul ahwa, menjauhkan seorang hamba dari Allah. Oleh karenanya seorang yang ingin selamat agama dan manhaj-nya, hendaknya jangan coba-coba mendekat kepada fitnah kepada ahlul fitan. Semakin dekat dekat dirimu dengan ahlul ahwa, maka semakin jauh dirimu dari Allah. Nas'alullaha salamah wal 'afiyah.

(Atsar dinukil dari Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 33, cet. Darul Wasitiyyah 2015)

Memilih Wanita Shalihah Agar Anak Menjadi Shalih


قال الله تعالى:
《وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا》

Artinya:
"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua (kedua orang tuamu) dengan rasa rahmah dan ucapkanlah: "Wahai Rabb-ku, rahmatilah mereka berdua sebagaimana mereka mengasuhku sewaktu aku masih kecil." (Al Isra': 24)

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Seorang anak yang mendoakan mereka (kedua orang tuanya) adalah karena sebab hasil tarbiyah shalihah (pendidikan lurus), sehingga anak tersebut tumbuh di atas kebaikan, dan inilah yang menjadi sebab kebahagiaannya. Maka balasan bagi perbuatan ihsannya kedua orang tua adalah mendapatkan ihsan pula (dari anak-anaknya).

Bertolak dari sini, engkau wajib untuk memperhatikan anak-anakmu, dan sesungguhnya jika seorang lelaki ingin menikah hendaknya memilih seorang wanita shalihah, karena termasuk dari keutamaannya adalah kelak dia akan mendidik anak-anaknya di atas kebaikan, karena dia adalah tempat penyimpanan benih dan keturunan, oleh karenanya pilihlah istri yang shalihah."

(Taujihatu Muhimmah ila Syababil Ummah-Syaikh Shalih Fauzan, dinukil dari Rasail Ulamais Sunnah ila Syababil Ummah, hal. 12, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).

Minggu, 17 Desember 2017

Meraih Ridha Allah Melalui Ridha Kedua Orang Tua


Pernahkah kita melihat dan memperhatikan bagaimana kehidupan kedua orang tua terhadap anak-anaknya?

Siang malam sang ibu tak kan kenal lelah tuk mengerahkan seluruh waktu dan tenaganya untuk mengasuh. Mulai dari memandikan, menyuapi makan, menjadi teman bermain, menemani tidur, mencuci pakaian hingga membesikan kotoran, semua dilakukan tulus tanpa mengeluh dan berharap pamrih.

Sang ayahpun tak kalah lelah, di pagi hari dia sudah memutar kepala untuk mencari penghasilan, semua tenaga dan pikiran dikerahkan agar rezeki bisa dibawa pulang. Ketika petang menjelang, di tengah kepayahannya, sang ayah tetap siaga tuk menjaga dan melindungi keluarga di rumahnya.

Kehidupan di atas adalah sedikit gambaran ketika keduanya membesarkan dan mendidik kita juga. Semua dilakukan mereka tanpa keluhan dan paksaan, tak ada keinginan selain harapan agar kelak dirimu menjadi penyejuk pandangan mereka di masa tua.

Oleh karenanya pantaslah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ 

Artinya:
"Keridhaan Rabb terdapat pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb terdapat ada kemurkaan orang tua". (HR. Tirmidzy, hadits dishahihkan oleh Imam Al Albani).

Mari sejenak merenung, apakah kita sudah membuat kedua orang tua kita merasa ridha? Ataukah selama ini kita malah selalu membuat murka kedua orang tua kita?

Menangislah! Sesungguhnya kita telah sering menyakiti mereka dan membuat jengkel mereka. Tak ada jalan lain tuk perbaiki diri kecuali bertaubat kepada Allah dan memulai memanjakan hari-hari tua mereka.

Ya Allah mudahkanlah hambamu tuk bisa meraih keridhaan mereka, yang dengan sebab itu Engkau pun ridha kepadaku. Amin.

Menikah atau Puasa


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

《يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاء》

Artinya:
"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah hendaknya ia menikah, karena dengan itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka atasnya untuk berpuasa karena sesungguhnya puasa itu akan menjadi tameng untuk dirinya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Seorang pemuda diperintahkan untuk menjaga farj-nya, bisa dengan cara menikah jika dia mampu atau bisa dengan cara melemahkan dan menurunkan syahwatnya, yakni dengan berpuasa, karena adanya kekhawatiran mereka akan terjatuh ke dalam fitnah, dan ini termasuk dari semangatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap (kebaikan) umatnya."

(Taujihatu Muhimmah ila Syababil Ummah-Syaikh Shalih Fauzan, dinukil dari Rasail Ulamais Sunnah ila Syababil Ummah, hal. 9-10, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).

Tahdzirlah Orang Sesat dan Mintalah Keselamatan


Muhammad ibn Dawud al Haidany pernah berkata kepada kepada Sufyan ibn Uyainah tentang Ibrahim ibn Abi Yahya, seorang yang berpemahaman qadariyah. Muhammad ibn Dawud berkata kepada Sufyan, "Sesungguhnya orang ini (Ibrahim) berbicara tentang takdir."
Maka Sufyan berkata, "Beritahukan manusia tentang hal ini dan mintalah kepada Allah keselamatan."

(Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 32, cet. Darul Wasitiyyah 2015)

Sampai Kapan Men-jomblo?


Hidup belum mapan karena tempat tinggal masih di kontrakan, penghasilan pun pas-pasan, jangankan tabungan, kadang rezeki yang datang mesti dialokasikan untuk lunasi hutang.

Inilah suatu gambaran lumrah dari sebuah kenyataan seorang bujang. Ingin hati melepas lajang, tapi apa daya anggapan masih serba kurang terus saja menyerang pikiran.

Ikhwati rahimakumullah, jika engkau ingin menikah dan kekhawatiran di atas kian menghadang, mari kita dengar firman Allah yang Maha Kaya,

《إِنَّ اللهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ》

Artinya:
"Sesungguhnya Allah memberi rezeki bagi siapa saja yang Allah kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. Ali Imran: 37).

Ingat, kemapanan bukanlah kemauan utama seorang wanita yang shalihah, akan tetapi keshalihanlah yang terpenting.

Lelaki shalih dan jantan adalah lelaki yang mengorientasikan nikahnya untuk ibadah dan menjaga kehormatan, karena dia yakin dengan amalan inilah dia akan ditolong oleh Allah, berdasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

《ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ: اَلْمُكَـاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ.》

Artinya:
“Tiga golongan yang sudah semestinya akan ditolong oleh Allah, (1) seorang budak yang mencicil tebusan agar dirinya bisa bebas, (2) seorang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan, dan (3) seorang yang berjihad fi sabilillah.” (HR. Tirmidzy, hadits dihasankan oleh Imam al Albani).

Seorang lelaki yang sudah ingin menikah semestinya meletakkan syarat mapan dan cukup itu menjadi nomor yang kesekian, yang terpenting hendaknya dia menjadi lelaki jantan yang mau mencari nafkah dan mau sabar di dalam menjalankan.

Syariat ini telah menetapkan bahwa setiap hasil kerja yang di dapat, ketika diberikan kepada istri dan keluarganya dalam keadaan ikhlas karena Allah, niscaya hal itu akan bernilai menjadi sebuah pahala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

《إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ》

Artinya:
"Sesungguhnya tidaklah engkau menginfakkan sebuah nafkah yang ditujukan karena mengharapkan wajah Allah (ikhlash), melainkan akan diberi ganjaran (pahala) kepadamu, sampai pun makanan yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari).

Wahai para bujang, tunggu apa lagi? Sampai kapan men-jomblo? Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

«: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ» الْحَدِيثَ

Artinya:
"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah hendaknya ia menikah, karena dengan itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan." (HR. Bukhari dan Muslim).

Orang Merasa Aman di Sisi Kita adalah Suatu Anugerah

Ibnu Asakir dalam kitabnya Tarikh Dimasyqi menyebutkan bahwa Ali ibnul Husain rahimahullah pernah suatu hari memanggil budaknya hingga dua kali akan tetapi tidak memenuhi panggilannya, kemudian Ali ibnul Husain memanggil yang ketiga kalinya dan dia memenuhi panggilannya.

Ali ibnul Husain lalu bertanya, "Wahai anakku apakah engkau tadi mendengar panggilanku?"
"Ya, aku mendengarnya," jawab budaknya.
"Lalu mengapa engkau tidak memenuhi panggilanku?", tanya Ali ibnul Husain lagi.
Budak itu menjawab, "Aku berbuat demikian karena adanya rasa aman darimu."
Ali ibnul Husain pun berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan budakku merasa aman dariku."

(Mukhtashar Tarikh Dimasyqi, jil. 5, hal. 349)

Ukuran Tinggi dan Rendahnya Nilai Seseorang

Muawiyah ibnu Abi Sufyan radhiallahu anhu berkata, "Sesungguhnya setinggi-tingginya manusia itu ternilai dengan pemaafannya padahal dia mampu untuk menghukum, dan sekurang-kurangnya manusia akalnya adalah yang menzhalimi orang-orang yang berada di bawahnya."

(Tarikh Khulafa-Imam As Suyuthi, jil. 1, hal. 229)

Jika Dia Meninggal di Atas Sunnah, Maka Jangan Ditangisi karena Itu adalah Kebaikan Baginya

Mu'tamir ibnu Sulaiman berkata, "Aku menemui ayahku dan ketika itu aku sedang patah hati, ayahku bertanya, "Ada apa denganmu?"
Aku pun menjawab, "Temanku ada yang meninggal"
Ayahku bertanya lagi, "Apakah dia meninggal di atas sunnah?"
"Benar", jawabku.
Lalu ayahku berkata, "Janganlah engkau bersedih atasnya."

(Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 28, cet. Darul Wasitiyyah 2015)

Menjadi Kids Zaman Now yang Lebih Baik


Seorang siswa sekolah dasar didapati tengah memposting selfi dirinya sedang menangis, sepertinya dia sedang dirudung duka yang sangat, ada apakah gerangan? Tangisan plus ratapan dramatis ternyata bukan karena dimarahi pak guru atau mendapat nilai jelek, akan tetapi karena dia tengah diputus cintanya oleh sang kekasih, masya Allah.

Di status lainnya, ada seorang pasangan yang berselfi mesra, kata-kata romantis dengan panggilan papa dan mama mengesankan pembacanya bahwa ini adalah sepasang suami dan istri, akan tetapi jauh dari dugaan, pasangan papa mama ini ternyata adalah anak-anak SD yang baru beberapa tahun kemaren masih lugu dan imut, Allahu mustaan.

Netizen (warga pengguna aktif internet) yang menyaksikan keedanan ini hanya bisa menggeleng-geleng kepala dan mengelus dada, tanpa panjang komen, netizen pun dipaksa tuk memaklumi fenomena ini, karena mereka adalah kids zaman now.

Pembaca rahimakumullah, mengapa budaya maksiat yang bernama pacaran ini tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu untuk dikonsumsi oleh anak-anak bau kencur tersebut? Perlahan tapi pasti, pergeseran budaya maksiat ini telah menyentuh ranah kids zaman now.

Lalu kira-kira apa yang menjadi pemicu hal ini terjadi?

Pembaca rahimakumullahu, dari beberapa sebab yang ada, ternyata faktor tayangan atau tontonanlah yang kuat mendorong mereka untuk melakukan hal-hal di atas. Berbagai tayangan cinema yang menampilkan indahnya kisah asmara sekolah selalu dijejalkan ke benaknya para kids zaman now ini, disamping tabiat mereka yang masih labil, mereka pun sebenarnya tengah berada di fase peniruan. Oleh karenanya tak heran jika muncul keinginan mereka tuk meniru dan menjadi pelaku kebahagiaan laknat itu (baca: pacaran).

Oleh karenanya, di antara solusi dasar atas permasalahan ini adalah adanya peran aktif orang tua dan para pendidik untuk mengajarkan nilai-nilai agama yang lurus, selaras berlandaskan Al Qur'an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman generasi salaf.

Adalah Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, seorang shahabat nabi yang menjadi salah satu rujukan umat di masanya merupakan salah satu contoh dari keberhasilan pedidikan yang diajarkan Nabi shallahu alaihi wasallam, ketika beliau masih kisaran umur sepuluh tahunan, beliau bercerita,

كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: 《يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْبِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ》

Artinya:
"Suatu hari aku berada di belakang (dibonceng) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata,“Wahai Nak, sesungguhnya aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa kalimat:
Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu.
Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu.
Jika engkau ingin meminta, maka mintalah kepada Allah.
Jika engkau ingin meminta tolong, maka minta tolonglah kepada Allah.
Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberikanmu sesuatu manfaat, niscaya manfaat itu tidak akan mengenaimu kecuali menimpa dengan apa yang telah Allah tetapkan untukmu.
Jika mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, niscaya bahaya itu tidak akan mengenaimu kecuali menimpa dengan apa yang memang telah Allah tetapkan untuk dirimu.
Telah diangkat pena dan telah mengering lembaran (takdir).”
(HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Imam al Albani).

Inilah beberapa pengajaran agama yang ditanamkan Rasulullah kepada seorang anak umuran sekolah dasar, apakah itu?

Aqidah ash shahihah!

Ya, seorang anak hendaknya sejak dini di ajari ilmu akidah yang lurus, di antara bentuk pengajarannya adalah sebagaimana yang tercantum pada poin-poin hadits di atas:
1. Menjaga hak-hak Allah dengan melakukan ketaatan dan menjauhi larangan Allah, tidak seperti kids zaman now yang mungkin karena kurang keilmuan dan keimanannya malah bangga jika bermaksiat, seperti pacaran, mabuk-mabukkan dsb.
2. Selalu menjadikan Allah sebagai tempat mengadu dan meminta, dengan ini akan menempa jiwa kids zaman now tuk tidak mudah lebay mendramatisir postingan-postingan keluhannya di medsos.
3. Optimis dan berani dalam melangkah tuk menempuh sebab-sebab positif karena memahami bahwa manfaat dan bahaya telah ditetapkan oleh Allah, jika ini telah ada pada jiwa kids zaman now, insya Allah penyakit galau tidak akan menjadi suatu hal yang dibiarkan berlarut, apalagi sampai membuat tindakan konyol semacam bunuh diri dll.

Semoga Allah menjaga generasi kita dari kejelekkan dan menjadikan kita dan mereka sebagai hamba-hamba Allah yang mentauhidkan-Nya, amin.

Kids Zaman Now


Istilah yang disematkan kepada anak-anak remaja (baca: ABG) kekinian yang tengah populer di media sosial.

Perilaku dan gaya kids zaman now yang tersebar di medsos, biasanya menampilkan kebiasaan dan kelakuan nyeleneh yang mungkin tidak dilakukan di era remaja sebelumnya.

Di antara trademark kids zaman now adalah bangganya mereka ketika bisa menampilkan selfi mesra bersama pasangannya (baca: pacar), padahal mereka masih seumuran anak sekolah dasar (SD), laa haula wala quwwata illa billah. Kadang tak sebatas itu, kita akan merasa geli tapi miris ketika kata-kata romantis bertabur di status-status medsos pasangan bau kencur ini, sekali lagi ini dilakukan oleh anak umuran SD, memanglah kids zaman now..!

Di status yang lain, kids zaman now kerap memposting selfinya dengan bangga ketika mereka bisa bergaya dengan rokok di mulutnya atau botol khamr di tangannya, pikirnya dia telah hebat dan pantas tuk menyandang kids zaman now!

Pembaca rahimakumullahu, tentunya kenyataan di atas adalah fenomena yang menyedihkan, lalu, salah siapakah? Mungkin kurang tepat jika kita kambing hitamkan kepada kids zaman now ini sepenuhnya, di samping kelabilan jiwa yang ada pada umuran mereka, kurangnya penanaman akidah tauhid sejak dini juga menjadi sebab mengapa kids zaman now melakukan aksi-aksi negatif di atas.

Pengajaran akidah dan tauhid sejatinya adalah pondasi kokoh dalam pembentukkan karakter positif seorang anak, dan ini merupakan tanggung jawab dan kewajiban kedua orang tua dan para pendidiknya.

Ketika seorang anak diajari akidah dan tauhid, niscaya dia akan mengetahui hakikat tujuan hidupnya, yakni beribadah hanya kepada Allah saja, dan ini adalah pondasi dan pokok dasar dalam akidah, yakni memahamkan kepada seorang anak tentang firman Allah taala,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya:
"Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk mengibadahi-Ku".
(QS. Adz Dzariyat: 56)

Jika kids zaman now telah memahami pondasi yang agung ini, maka harapan akan indah dan positifnya mereka dalam berperilaku akan bisa lebih kita harapkan sebagai penyejuk pandangan generasi old-nya sekarang, insya Allah.

Teruslah tuk Menambah Ilmu


Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, "Seutama-utama perkara adalah menambah ilmu, karena barang siapa yang mengenteng-entengkan terhadap suatu perkara yang telah dia tahu dengan anggapan telah merasa cukup, niscaya dia akan terperdaya dengan dirinya sendiri, dan jadilah pengagungan terhadap dirinya sendiri itu akan menghalangi dia untuk bisa mengambil manfaat (ilmu)."

(Shayyidul Khathir-Ibnul Jauzi, hak. 158, cet. Darul Kitabil Arabi)

Sifat Merasa Cukup yang Tidak pada Tempatnya

Imam Al Mawardi rahimahullahu berkata, "Janganlah merasa cukup dari ilmu yang telah engkau tahu, karena merasa cukup itu di dalamnya terdapat zuhud, dan di dalam zuhud terdapat sifat meninggalkan, dan meninggalkan ilmu akan membuat bodoh."

(Adabud Dunia wad Diin-Imam Al Mawardi, hal. 125, cet. Dar Ihyail Ulum)

Salah Satu Sebab dari Banyak Sebab Mengapa Zina Tidak Diperbolehkan


Pengharaman zina telah tegas divonis di dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Berikut ini di antara salah satu penjelasan dari rasulullah agar seseorang bisa menerima alasan mengapa zina itu tercela dan diharamkan di dalam islam. Mari kita simak hadits berikut ini:

《إن فتى شابا أتى النبيَّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ فقال: يا رسول الله، ائذن لي بالزنا!،
فأقبل القوم عليه فزجروه، وقالوا: مه مه،
فقال: ادنه، فدنا منه قريبا، قال: فجلس،
قال: أتحبه لأمك؟،
قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك،
قال: ولا الناس يحبونه لأمهاتهم،
قال: أفتحبه لابنتك؟،
قال: لا واللَّه، يا رسول اللَّه جعلني اللَّه فداك،
قال: ولا الناس يحبونه لبناتهم،
قال: أفتحبه لأختك؟
قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك،
قال: ولا الناس يحبونه لأخواتهم،
قال: أفتحبه لعمتك؟
قال: لا واللَّه، جعلني اللَّه فداك،
قال: ولا الناس يحبونه لعماتهم،
قال أفتحبه لخالتك؟
قال: لا واللَّه جعلني اللَّه فداك،
قال: ولا الناس يحبونه لخالاتهم
قال: فوضع يده عليه وقال: اللَّهمّاغفر ذنبه وطهر قلبه، وحَصِّنْ فرْجَه،
فلم يكن بعد ذلك الفتى يلتفت إلى شيء》

Artinya:
"Seorang pemuda datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah izinkan aku untuk berzina."

Para shahabat nabi yang ada ketika itu langsung menghadap ke arahnya dan menghardiknya, "Mah.. mah.."

Rasulullah kemudian berkata, "Dekatkan dia (kepadaku)". Maka pemuda itu didekatkan ke hadapan nabi kemudian dipersilahkan untuk duduk. Rasulullah lalu bertanya kepada pemuda itu, "Apakah engkau suka jika itu mengena pada ibumu?". Pemuda itu menjawab, "Tidak, demi Allah." "Kalo begitu, manusia pun tidak suka jika itu mengenai ibu-ibu mereka", terang rasulullah.

Lalu rasulullah bertanya lagi kepada pemuda itu, "Apakah engkau suka jika itu mengena pada anak perempuanmu?". Pemuda itu menjawab, "Tidak, demi Allah." "Kalo begitu, manusia pun tidak suka jika itu mengenai anak-anak perempuan mereka", terang rasulullah lagi.

Rasulullah bertanya lagi, "Apakah engkau suka jika itu mengena pada saudara perempuanmu?". Pemuda itu menjawab, "Tidak, demi Allah." "Kalo begitu, manusia pun tidak suka jika itu mengenai saudara-saudara perempuan mereka", terang rasulullah pula.

Kembali rasulullah bertanya, "Apakah engkau suka jika itu mengena pada amahnu (bibi dari keluarga ayah)?". Pemuda itu menjawab, "Tidak, demi Allah." "Kalo begitu, manusia pun tidak suka jika itu mengenai amah mereka", jelas rasulullah.

Kembali rasulullah bertanya, "Apakah engkau suka jika itu mengena pada khalahmu (bibi dari keluarga ibu)?". Pemuda itu menjawab, "Tidak, demi Allah." "Kalo begitu, manusia pun tidak suka jika itu mengenai khalah mereka", terang rasulullah lagi.

Maka rasulullah meletakkan tangannya kepada pemuda tersebut dan mendoakannya, "Yaa Allah ampunilah dosa-dosanya dan bersihkanlah hatinya serta jagalah farj-nya (kemaluannya)."

Setelah kejadian tersebut maka pemuda itu tidak lagi menoleh-noleh kepada sesuatu apapun."

(HR. Ahmad dari shahabat Abu Umamah radhiallahu anhu, hadits dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah, no. 370).

Semakin Tidak Tahu, Semakin Semangat


Yahya ibn Said al Qaththan rahimahullahu berkata tentang Sufyan ats Tsauri rahimahullahu, "Tidaklah aku mengetahui ada orang yang paling hafal dibandingkan dia, jika aku bertanya tentang suatu permasalahan atau tentang suatu hadits yang beliau tidak mengetahuinya, maka beliau pun semakin semangat (untuk mencari tahu)."

(Tadzkiratul Huffazh-Imam Adz Dzahabi, jil. 1, hal. 204, cet. Dar Ihyaut Turats al Arabi)

Kafirnya Orang yang Meninggalkan Shalat


Syaikh
Abdurrahman As Sady rahimahullahu berkata, "Shalat adalah amalan yang paling afdhal setelah dua kalimat syahadat, barang siapa yang menentang akan kewajibannya maka dia kafir dengan dasar ijma (kesepakatan).

Telah berselisih tentang hukum kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena sebab meremehkan (dalam penunaiannya), Imam Ahmad dan jumhur (mayoritas ulama) berpendapat kafirnya orang tersebut, dan pendapat ini adalah ijma para shahabat nabi.

Oleh karenanya Abdullah ibn Syaqiq rahimahullahu berkata, "Dahulu para shahabat nabi tidaklah memandang ada sesuatu yang ditinggalkan bisa menjadikannya kufur kecuali masalah shalat", ini adalah pendapat shahih yang sudah seharusnya seseorang tidaklah berpendapat kecuali dengan pendapat ini, dan memang pendapat ini selaras dengan apa yang ditunjukkan oleh nash-nash yang ada."

(Disadur dari Ta'liqat ala Umdatil Ahkam-Syaikh Abdurahman As Sady, hal. 78, cet. Darul Atsar 2012)

Nasehat Imam Al Auza'i untuk Mengikuti Salaf

Imam Al Auza'i rahimahullah berkata, "Sabarkanlah dirimu di atas sunnah, berhentilah dimana kaum tersebut (para shahabat nabi) berhenti, ucapkanlah dengan apa yang telah mereka ucapkan, cukuplah dengan apa yang telah cukup bagi mereka, jalanilah di jalan pendahulumu yang shalih karena itu akan melapangkanmu sebagaimana mereka telah lapang dengan hal itu."

(Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 27, cet. Darul Wasitiyyah 2015)

Minggu, 26 November 2017

Mencela seorang muslim adalah kefasikan (6)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم :"سِبَابُ اَلْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ." مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Artinya:
Dari Ibnu Mas‘ud Radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Mencela seorang muslim adalah sebuah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Ibnu Hajar al Atsqalani rahimahullahu memberikan faidah terhadap hadits ini, di antaranya:

Kata "sibab" dalam hadits ini adalah lebih parah dibandingkan dengan kata "sabb", yakni seseorang yang mencela dengan sesuatu yang memang ada pada orang yang dicelanya atau tidak ada, hanya saja yang dimaukannya hanyalah semata-mata ingin mencelanya saja, demikian beliau terangkan dengan menukil ucapan di atas dari Ibrahim al Harbi.

Adapun makna kata "fusuq" secara syari adalah keluar dari ketaatan Allah dan rasulNya, yakni di dalam kebiasaan syari hal itu lebih parah dibandingkan sekedar kemaksiatan, oleh karenanya di dalam hadits ini adanya keterangan akan besarnya hak seorang muslim, dan bagi orang yang mencelanya tanpa hak (alasan yang benar) makan dihukumi sebagai perbuatan fasik, maka hal ini mengkonsekuensikan adanya bantahan terhadap faham murjiah.

Lafazh "kufrun" di dalam hadits ini hakikatnya bukan bermakna kafir yang keluar dari agama, akan tetapi dimutlakkan dengan kata kufur adalah dalam rangka pengungkapan bahasa yang tertinggi di dalam hal memperingatkan. Hal ini bersandar kepada apa yang telah ditetapkan dari kaidah-kaidah yang ada tentang hal ini, yakni bahwa amalan tersebut (membunuh seorang muslim) tidaklah menjadikan pelakunya keluar dari agama (kafir murtad), contohnya adalah hadits syafaat dan juga seperti firman Allah,

《إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ》
Artinya:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu (syirik)" (QS. An Nisa: 48)

Untuk faidah lainnya silahkan merujuk kepada kitab aslinya.

(Dinukil dan diringkas dari Fathul Bari-Ibnu Hajar, jil. 1 hal. 172-173, cet. Ad Darul Alamiyah 2013)

Channel Telegram
PetikanFaidahHadits

#mencela_muslim_adalah_kefasikan

Mencela seorang muslim adalah kefasikan (5)


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم :"سِبَابُ اَلْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ." مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Artinya:
Dari Ibnu Mas‘ud Radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Mencela seorang muslim adalah sebuah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Dari hadits ini jelaslah bahwa kefasikan itu derajatnya lebih rendah dibandingkan kekufuran, karena membunuh itu lebih besar dibandingkan sekedar mencela.

Mencela seorang muslim akan mengkonsekuensikan pelakunya kepada kefasikan dan membunuhnya akan mengkonsekuensikan pelakunya kepada kekufuran.

Lalu apakah kufur di sini adalah kekufuran yang mengeluarkan dari agamanya (murtad)?
Jawabnya adalah tidak, karena ucapan "kufrun" maknanya adalah "minal kufri" dan bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agamanya berdasarkan firman Allah taala,

《وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَاعَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ☆ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ》

Artinya:
"Jika terdapat dua kelompok dari *orang-orang mukmin saling berperang*, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua kelompok itu berbuat aniaya terhadap yang lainnya, maka perangilah kelompok yang berbuat aniaya itu sehingga kelompok itu kembali kepada perintah Allah, jika mereka telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat." (QS. Al Hujurat: 09-10).

(Dinukil dari Syarhu Shahih al Bukhari-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 113, cet. Maktabah Ath Thabari 2008).

Channel Telegram
PetikanFaidahHadits

#mencela_muslim_adalah_kefasikan

Mencela seorang muslim adalah kefasikan (3)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم :"سِبَابُ اَلْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ." مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Artinya:
Dari Ibnu Mas‘ud Radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Mencela seorang muslim adalah sebuah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali hafizhahullahu berkata, "Mencela seorang muslim tanpa hak, akan mengeluarkan seorang muslim dari lingkaran iman kepada lingkaran fasik."


Beliau hafizhahullah berkata pula, "Cukuplah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memutlakkan pada hadits ini dengan kata kufur, karena besarnya dosa ini (membunuh seorang muslim). Seorang muslim yang menginginkan wajah Allah dan negeri akhirat hendaknya memuliakan kaum muslimin, darahnya, hartanya dan kehormatannya, kecuali jika memang perkaranya dibolehkan oleh syariat."


Beliau hafizhahullah juga berkata, "Demikian juga dengan kehormatan seorang muslim, sesungguhnya ini tidak boleh dihalalkan kecuali jika memang sudah pantas untuk dihalalkan, seperti jika halnya seorang yang terjatuh kepada kebidahan dan perkaranya telah menyebar, maka hendaknya kita memperingatkannya dan menjelaskan tentang keadaannya.

Jika terdapat pendustaan atas nama Rasul shallallahu alaihi wasallam, maka terangkanlah kedustaannya dan ini adalah perkara besar yang Allah telah bolehkan sebagai bentuk penjagaan bagi agama-Nya dan sebagai bentuk penjagaan harta manusia, darah mereka dan kehormatannya.

Demikian juga jika terdapat seorang yang mempunyai hutang dan dia menahan-nahan untuk membayarnya dan enggan untuk membayarnya, maka dia ditahan dan diambil harta dari dirinya (untuk membayar)."

(Diringkas dari Al Ibtihaj bi Syarhi Kitabil Iman min Shahih Muslim ibnil Hajjaj-Syaikh Rabi ibn Hadi al Madkhali, hal. 62-67, cet. Darul Miratsin Nabawi 2015).

Channel Telegram
PetikanFaidahHadits

#mencela_muslim_adalah_kefasikan

Mencela seorang muslim adalah kefasikan (2)


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم :"سِبَابُ اَلْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ." مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Ibnu Mas‘ud Radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Mencela seorang muslim adalah sebuah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Hadits ini menunjukan adanya perbedaan antara fasik dan kufur, dan yang paling parahnya adalah kufur, akan tetapi terkadang kata fasik dimutlakkan juga kepada kufur, sebagaimana firman Allah,

《وَأَمَّا الَّذِينَ فَسَقُوا فَمَأْوَاهُمُ النَّارُ ۖ كُلَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا أُعِيدُوا فِيهَا وَقِيلَ لَهُمْ ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُون》
Artinya:
"Adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah di jahannam. Setiap kali mereka ingin keluar darinya, maka mereka pun dibalikkan kembali ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka, "Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya". (QS. As Sadjah: 20).

Mereka, tanpa ragu lagi adalah orang-orang kafir karena siapa yang mendustakan neraka adalah kafir. Allah menamakan mereka dengan fasik, akan tetapi fasik di sini adalah fasik akbar.

Lafazh "sibaabu" bermakna mencela dan menyoal aibnya serta menjelek-jelekkan di hadapan orangnya, adapun jika diperbuat bukan di hadapan orangnya, maka itu adalah ghibah.

Pada lafazh "qitaluhu kufrun" tidak dikatakan dengan "qitaluhu al kufru" (dengan alif lam), ini memberikan faidah bahwa membunuh seorang mukmin tidaklah mengeluarkan dari keimanan (murtad), akan tetapi ini adalah amalan yang bisa menghantarkan kepada kekufuran (kemurtadan)".


(Lihat Syarah Shahih Muslim-Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal. 184, cet. Al Maktabah al islamiyah 2008)

#mencela_muslim_adalah_kefasikan

Mencela seorang muslim adalah kefasikan (1)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم :"سِبَابُ اَلْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ." مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Ibnu Mas‘ud Radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Mencela seorang muslim adalah sebuah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Imam An Nawawi rahimahullah berkata, "As Sab adalah mencela dan membicarakan tentang kehormatan seorang muslim dengan sesuatu yang menjelekannya. Sedangkan al fisq dalam istilah syariat adalah keluar dari ketaatan.

Adapun makna hadits adalah bahwa mencela seorang muslim tanpa hak merupakan suatu keharaman berdasar kesepakatan umat, dan pelakunya adalah seorang fasik sebagaimana yang telah dikabarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Adapun membunuhnya tanpa hak, maka menurut pendapat ahlu haq, pelakunya tidak dikafirkan dengan jenis kafir yang dapat mengeluarkannya dari agama (menjadi murtad) sebagaimana hal ini telah diterangkan sebelumnya di banyak tempat pembahasan, kecuali jika pelakunya menganggap perbuatan membunuh adalah halal.

(Disadur dari Syarah Shahih Muslim-An Nawawi, juz 2, hal. 48, cet. Dar Ibnul Jauzi 2011)

#mencela_muslim_adalah_kefasikan

Jumat, 03 November 2017

Kajian Mengingat Kematian-Ust. Ayip



Bismillah,
Hadirilah kajian umum tuk ikhwan dan akhwat bersama Ust. Ayip Syafruddin dengan tema: MENGINGAT KEMATIAN pada hari Ahad 5 Nov 2017, bada Maghrib sd Selesai di Mahad Riyadhul Jannah, Cileungsi-Bogor.
Info 08567133567

Selasa, 31 Oktober 2017

Terjemah Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras 6

Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah berkata, "Di masa-masa akhir periode pertama hijriyah banyak didapati para tabiin, maka Al khalifah ar Rasyid Umar ibn Abdil Aziz rahimahullah memerintahkan mereka untuk menyusun sunnah-sunnah dan beliau menulis kepada para ulama di segenap penjuru, "Lihatlah segala apa yang telah kalian miliki (dari sunnah-sunnah dan atsar-atsar) kemudian tulislah menjadi satu, karena aku takut akan tersia-siakan ilmu sedangkan ulama akan pergi (wafat)." (Fathul Bari 1/204)

Maka banyak dari kalangan tabiin merealisasikan (perintah tersebut).

Kemudian munculah Imam negeri hijrah, Malik ibn Anas menyusun kitab Al Muwaththa dengan pengarahan dari khalifah al abbasiyyah Abu Jafar al Manshur agar di dalam kitab tersebut dimuat (hadits dan atsar) yang terpilih dengan penuh kecermatan. Imam Malik tidaklah meriwayatkan kecuali memang dari orang-oarng yang dikenal dhabt (kredibilitas) dan kemutkinannya (tajamnya hafalan), beliau berkata, "Sungguh, aku telah menemui sebanyak tujuh puluh syaikh yang berada di masjid rasulullah (masjidil haram) dan sesungguhnya satu-satu dari mereka niscaya akan amanah ketika diberikan titipan harta, akan tetapi aku tidak meriwayatkan sesuatu apapun dari mereka karena mereka bukankah orang yang ahli terhadap ilmu (hadits) ini." (Ad Dibajul Mazhab 1/21).

Adalah Kitab Al Muwaththa inilah yang merupakan kitab pertama kali yang menyusun khusus tentang hadits-hadits dan kebanyakan dari riwayat-riwayatnya berasal dari pembesar-pembesar tabiin semisal Az Zuhri, Salim ibn Abdillah ibn Umar, Nafi maula ibnu Umar dan Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr dan yang selain dari mereka."

Sumber
Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras, hal. 27, cet. Darul Istiqamah 2010

#terjemah_alhadits_khalil_harras

Terjemah Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras 5

Pencatatan As Sunnah

Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah berkata, "Adapun pencatatan hadits sesungguhnya telah dimulai sejak di zaman kenabian dimana terdapat seorang shahabat yang mulia yaitu Abdullah ibn Amr ibnul Ash radhiallahu anhu yang menulis setiap apa yang telah beliau dengar dari Rasulullah shallallahu alaihibwasallam, oleh karenanya Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, "Tidak didapati seorang shahabat rasulullah yang paling banyak haditsnya dibandingkan aku kecuali Abdullah ibn Amr ibnil Ash karena beliau dahulu menulis, sedangkan aku tidak menulis." (HR. Bukhari dan Muslim).

Abdullah ibn Amr pernah menamakan catatan-catatan teraebut dengan nama "shahifah ash shadiqah."

Demikian juga dengan Ali ibn Abi Thalib radhiallahu anhu, dahulu beliau pernah memiliki sebuah shahifah (catatan lembaran) dan di dalam shahifah tersebut terdapat pembahasan hukum tentang melepaskan tawanan, diyat dan tidak bolehnya seorang muslim dibunuh oleh orang kafir (dalam qishash).

Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan suatu hadits,
《من قتل له قتيل فهو بخير النظرين》
Artinya:
“Barangsiapa yang (anggota keluarganya) dibunuh, maka dia boleh memilih dengan dua pilihan.” (HR. Bukhari). Maka ada seseorang yang berasal dari negeri Yaman yang dikenal dengan pangilan Abu Syah berkata, "Tuliskanlah untukku wahai rasulullah". Maka Rasulullah berkata, "Tuliskanlah untuk Abu Syah".

Rasulullah juga dahulu menulis kepada para raja dan penguasa dimana hal ini teranggap juga sebagai hadits yang tertulis.

Nabi shallallahu alaihi wasallam tidaklah melarang untuk menulis hadits dengan pelarangan yang mutlak, akan tetapi bagi sebagian para shahabatnya hal ini diberikan keringanan.

Setelah wafatnya Nabi alaihishalatu wasallam hadits pun masih terjaga di dada-dada para shahabatnya, begitupun juga dengan para shahabat-shahabatnya yang masih kecil seperti Ibnu Abbas, Anas ibn Malik, Jabir ibn Abdillah dan lainnya, mereka dahulu mengumpulkan hadits-hadits dari para shahabat-shahabat nabi yang dewasa yang bertujuan agar dapat mengumpulkan segala apa yang telah didengarnya sendiri. Ketika telah dibukanya negeri-negeri dan berpencar-pencarnya para shahabat nabi di berbagai daerah, mereka pun berbondong-bondong untuk mengambil riwayat-riwayat hadits di sisi para shahabat yang dewasa agar bisa diajarkan kepada para tabiin".

Sumber
Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras, hal. 26, cet. Darul Istiqamah 2010

#terjemah_alhadits_khalil_harras

Terjemah Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras 4

Sekarang, sebelum kita masuk untuk membahas perkara-perkara yang tengah ditebarkan oleh orang-orang yang memusuhi sunnah dalam rangka mengotori sunnah yang suci, kami ingin terlebih dahulu mengenalkan apa itu sunnah?
Dan bagaimana caranya sunnah itu bisa tersusun sempurna?
Dan bagaimana juga cara penjagaan ulama dalam membawa dan menunaikan sunnah?
Dan bagaimana pula kedudukan sunnah di dalam syariat?
Dan bagaimana kedudukan ahlu hadits di antara para ulama?
Maka kami katakan, dengan pertolongan dan taufik dari Allah:

Al hadits adalah segala yang disandarkan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam berupa ucapan, perbuatan, taqrir (pendiaman/ persetujuan), sifat khalqi (bentuk tubuh) atau khuluqi (perangai/kepribadian).

Contoh dari ucapan adalah: Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, "Sesungguhnya amalan itu hanyalah (teranggap) dengan niatnya dan setiap orang terganrung dengan apa yang diniatkannya". (HR. Bukhari)

Adapun contoh dari perbuatan adalah: Kaab bin Malik radhiallahu anhu berkata, "Dahulu Nabi shallallahu alaihi wasallam jika baru datang dari safar (perjalanan jauh) memulai (sebelum langsung pulang ke rumahnya) dengan mendatangi masjid kemudian shalat di dalamnya". (HR. Muslim). Ini adalah sebuah hadits karena mengandung suatu perbuatan yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Contoh dari taqrir adalah: Ucapan Jabir ibn Samurah radhiallahu anhu , "Aku telah duduk bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam lebih dari seratus kali dan para shahabat kala itu saling melantunkan syair dan bercerita tentang perkara-perkara di masa-masa jahiliyyah dahulu dan nabi pun terdiam, dan terkadang nabi ikut (bercerita) bersama mereka". (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Imam al Albani dalam Mukhtashar Syamail).

Contoh dari sifat khalqi adalah: Ucapan Ali ibn Abi Thalib radhiallahu anhu dalam menyifati nabi, "Beliau bukanlah orang yang tinggi tapi tidak pendek, kedua telapak tanggan dan kedua kakinya tebal dan keras, kepala dan bahunya bidang, bulu dadanya panjang,.. dst" (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Imam al Albani dalam Mukhtashar Syamail).

Contoh sifat khuluqi adalah: Ucapan Aisyah radhiallahu anha, "Rasulullah bukanlah orang yang fahisy (perbuatan keji) dan tidaklah pernah berbuat fahisy, tidak berbuat gaduh di pasar, tidak membalas kejelekan dengan kejelekan pula, akan tetapi beliau memaafkan dan berdamai."

Sumber
Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras, hal. 24-25, cet. Darul Istiqamah 2010

#terjemah_alhadits_khalil_harras

Terjemah Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras 3

Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah berkata, "Perhatikanlah sikap yang mengherankan dari kaum khawarij ini! Sesungguhnya merekalah yang meminta kepada Abdullah ibn Khabbab rahimahullah untuk meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari ayahnya dan dari rasulullah, tapi ketika beliau melakukannya mereka malah membunuhnya.

Maka tidaklah mungkin bisa ditafsirkan sikap yang seperti ini kecuali salah satu dari dua kemungkinan, (pertama) bisa jadi orang-orang khawarij itu membenarkan (hadits itu), akan tetapi malah menyelisihinya. Maka kalau demikian, mereka menjadi orang-orang yang menyakiti Allah dan rasulNya. Maka dengan ini, mereka akan mendapatkan ancaman Allah ta'ala: "Barang siapa yang menyakiti Allah dan rasulNya maka sesungguhnya Allah maha keras siksanya". (Al Anfal: 13).

Atau bisa jadi (kemungkinan kedua) mereka mendustakan hadits, akan tetapi dari sisi mana mereka mau (menvonis) dusta? Apakah Abdullah seorang tabiin yang mulia? Atau ayahnya yang merupakan salah satu seorang shahabat nabi di awal-awal keislaman yang menanggung ujian di jalan Allah? Atau malah rasulullah (yang berdusta)? Maka mereka telah kufur dengan pendustaan tersebut!

Dengan sikap yang diperbuat oleh khawarij terhadap sunnah itulah akhirnya menjadi sebab sesatnya mereka, karena mereka telah menggunakan akal dan hawa nafsu di dalam beragama, serta banyaknya penolakan mereka terhadap hadits-hadits yang shahih, seperti hadits rajam, mengusap dua khuf dan selainnya.

Juga dengan keadaan mereka yang meremehkan sunnah dan mengikuti faham mu'tazilah, terlebih dengan penyimpangan-penyimpangan yang menjadi prinsip kemuta'zilahannya seperti hadits-hadits tentang sifat-sifat keadaan di hari kiamat, al qadha wal qadar dan semisalnya. Kemudian juga sikap mereka yang terus menerus memusuhi sunnah di setiap zamannya, dengan membuat berbagai konspirasi dan menulis tulisan-tulisan untuk menunaikan aksinya.

Akan tetapi Allah lah yang menjaga kitab-Nya dari perubahan dan penyelewengan, dan Allah juga lah yang menjaga sunnah nabi-Nya dari ulah-ulah tangan mereka yang hina, karena Allah telah menjadikan kedudukan sunnah nabi-Nya sebagai penjelas dan penafsir kitab-Nya. As Sunnah juga sebagai pengkhusus dari apa-apa yang masih bersifat umum pada Al Quran, pengqayid dari yang mutlak, penjelas dari yang masih samar, perinci dari yang masih bersifat umum.

Allah telah memerintahkan kepada nabi-Nya dengan al bayan sebagaimana telah diperintahkan dengan al balagh, Allah taala berfirman,

《وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون》
Artinya: "Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr agar kamu dapat menerangkan kepada manusia tentang perkara yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan". (An Nahl: 44)"

Sumber
Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras, hal 22-23, cet. Darul Istiqamah 2010

#terjemah_alhadits_khalil_harras

Terjemah Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras 2


Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah berkata, "Orang-orang khawarij yang memberontak kepada pemerintahan Ali ibn Abi Thalib setelah adanya masalah tahkim (datangnya Ibnu Abbas radhiallahu anhuma untuk berdialog dalam rangka menyadarkan mereka) dimana telah datang banyak hadits yang mencela mereka sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sabdakan, "Mereka keluar dari islam sebagaimana anak panah yang (tembus) keluar (mengenai target) dari buruannya, tidaklah iman mereka melewati kerongkongan-kerongkongannya." (HR. Bukhari) mereka ini adalah termasuk orang-orang yang paling memusuhi hadits, sampai (dikisahkan) ketika mereka berhasil menangkap Abdullah ibn Habbab ibnil Arrat radhiallahu anhu, mereka pun meminta Abdullah untuk meriwayatkan kepada mereka sebuah hadits yang didengarnya dari ayahandanya, Habbab ibnul Arrat dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Abdullah berkata kepada mereka, "Aku mendengar ayahandaku berkata, bahwa rasulullah bersabda, "Akan terjadi suatu fitnah, dimana orang yang duduk itu lebih baik dibandingkan orang yang berdiri, dan orang yang berdiri lebih baik dibanding orang yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik dibanding orang yang berlari. Maka jadilah seorang hamba Allah yang terbunuh dan jangan menjadi hamba Allah yang membunuh." (HR. Bukhari).

Orang-orang khawarij pun berkata kepada Abdullah, "Apakah Engkau benar-benar mendengar hadits ini dari ayahmu?" Abdullah menjawab, "Ya benar." Maka mereka pun langsung membunuh Abdullah di tepi sungai Daljah sampai darahnya memerahi air sungai, mereka juga membunuh dan merobek perut istrinya Abdullah yang sedang hamil. (HR. Musnad Abi Ya'la).

Ketika hal itu diketahui oleh Ali ibn Abi Thalib, beliau segera mengirim pasukan untuk memerangi mereka yang telah membunuh Abdullah ibn Habbab ibnil Arrat.

Ketika itu mereka berkata, "Kamilah semua yang membunuh." Maka Ali menjawab, "Kalau begitu sekarang saatnya berperang." Campuh perang pun terjadi di Nahrawan dan banyak di kalangan mereka (khawarij) yang terbunuh."

Sumber
Al Hadits, wa Makanatuhu fit Tasyri al Islami-Syaikh Muhammad Khalil Harras, hal 21-22, cet. Darul Istiqamah 2010

#terjemah_alhadits_khalil_harras

Senin, 30 Oktober 2017

Bermusyawarah adalah Jalan Para Salaf


Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, "Dahulu para qurra (penghafal Al Quran) adalah teman di majelis-majelisnya Umar ibnul Khaththab dan kawan dalam bermusyawarah baik yang kalangan tuanya maupun yang mudanya."
(HR. Bukhari)

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata juga, "Sesungguhnya dahulu aku benar-benar bertanya tentang satu perkara kepada tiga puluh para shahabat nabi."
(Siyar a'lamun Nubala-Imam Adz Dzahabi 3/344).

Imam Malik rahimahullah berkata, "Jika dahulu saja para shahabat rasulullah ketika mereka mendapati berbagai permasalahan tidaklah menjawab salah seorang dari mereka dari satu permasalahan sampai mereka melihat pendapat shahabatnya yang lain, padahal mereka adalah orang-orang dianugerahi kekokohan ilmu, taufik dan kesucian, lalu bagaimana dengan kita yang diliputi dosa-dosa dan berbagai kesalahan pada hati kita? "
(Adabul Mufti wal Mustafti-Ibnu Shalah, hal. 80)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Dahulu Umar ibnul Khtaththab radhiallahu anhu ketika mendapati dirinya suatu permasalahan, maka beliau bermusyawarah dengan para shahabat yang ada, tapi terkadang beliau mengumpulkan semua untuk memusyawarahkan bersama sampai-sampai Ibnu Abbas pun diikut sertakan padahal ketika itu Ibnu Abbas termasuk yang umurnya masih muda."
(I'lamul Muwaqi'in-Ibnul Qayyim 4/256).

Mengajak kepada Sunnah dan Melarang dari Bidah adalah Ibadah


Said ibnu Jubair rahimahullah menyatakan bahwa Ibnu Abbas radhiallahu anhu memandang kepada seorang ahlussunnah yang mengajak kepada sunnah dan melarang dari kebid'ahan adalah sebuah amalan ibadah."

(Talbis Iblis-Ibnul Jauzi [tahqiq Syaikh Zaid al Madkhali], hal. 26-27, cet. Darul Wasitiyyah 2015)

Bermusyawarah ketika Mendapatkan Perkara yang Rumit


Maimun ibn Mihran rahimahullah berkata, "Dahulu Abu Bakr ash Shiddiq jika ingin memutuskan suatu perkara maka beliau melihat kepada kitabullah (Al Quran), jika terdapat jawaban di dalamnya maka beliau memutuskan dengan hal itu.

Jika beliau mengetahui jawabannya ada pada sunnah rasulullah, maka beliaupun menetapkan keputusannya dengan itu.

Jika beliau tidak mengetahui, maka beliau keluar dan bertanya kepada kaum muslimin (para shahabat nabi) tentang sunnah, jika perkaranya rumit, maka beliau memanggil tokoh-tokoh muslimin (para shahabat nabi) dan ulama-ulamanya untuk bermusyawarah bersama."

(HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar di dalam al Fath)

Ikhlashlah dalam Mengajar dan Berdakwah


Al Imam Abdurrahman As Sady rahimahullahu berkata, "Sudah menjadi sebuah keharusan atas seorang pengajar dan seorang dai ilallah untuk mengerahkan keikhlashan yang sempurna di dalam proses kegiatan mengajarnya dan dakwahnya, dan jangan menjadikan itu semua sebagai sarana untuk mendapatkan harta, kedudukan dan manfaat (dunia)."

(Taisir Lathifil Mannan-Syaikh As Sady, hal. 222)

channel telegram khusus catatan faidah ulama dari hadits-hadits.

Info
Bismillah,
Alhamdulillah, telah dibuat channel khusus catatan faidah ulama dari hadits-hadits.

Bagi teman-teman yang mau lihat-lihat, tafadhal kunjungi channel link kami di telegram.me/PetikanFaidahHadits

Semoga bermanfaat, Jazakallahukhaira

#info

Kedermawanan Rasulullah


Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, "Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah seorang yang kedermawanannya menyentuh ke seluruh macamnya, beliau mencurahkan ilmu, harta dan jiwanya karena Allah di dalam menebarkan agama-Nya dan hidayah kepada manusia.

Serta memberikan manfaat kepada manusia di setiap jalan berupa memberikan makanan kepada orang yang lapar dan memberikan nasehat kepada orang-orang yang jahil serta membantu manusia di dalam menunaikan kebutuhan-kebutuhan mereka dan meringankan beban mereka."

(Lathaiful Maarif-Ibnu Rajab, hal. 173-174).

channel telegram khusus catatan faidah kitabul jami dari Bulughul Maram.

Info
Bismillah,
Alhamdulillah, telah dibuat channel khusus catatan faidah kitabul jami dari Bulughul Maram.

Bagi teman-teman yang mau lihat-lihat, tafadhal kunjungi channel link kami di telegram.me/KitabulJamiBulughulMaram

Semoga bermanfaat, Jazakallahukhaira

#info

Jangan Lupakan untuk Menyebut Gurumu ketika Menyampaikan Faidah yang Berasal Darinya


Imam Asy Suyuthi rahimahullah berkata, "Termasuk dari keberkahan ilmu dan bentuk rasa syukur adalah menisbatkan ilmu kepada yang mengatakannya."
(Al Mazhar fi Ulumil Lughah)

Ibnul Jauzi rahimahullah ketika menyebutkan keutamaan dari Al Wazir ibnu Hubairah rahimahullah mengatakan, "Beliau ketika memberikan sesuatu faidah, maka berkata: Aku mendapatkan faidah ini dari Fulan."
(Adz Dzail ala Thabaqatil Hanabilah 1/255)

(Dinukil dari An Nubadz fi Adabi Thalabil Ilmi-Hamd Ibrahim al Utsman, hal. 199-200).

Awas, Jangan Menjadi Jongosnya Iblis!


Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Iblis mempunyai wakil (jongos) di bumi, yaitu orang-orang yang menghalang-halangi manusia dari menuntut ilmu dan bertafaqquh fid diin (mendalami ilmu agama).

Mereka ini lebih berbahaya dari setan-setan jenis manusia dan jin, karena mereka telah memalingkan hati-hati (seorang hamba) dengan hidayah Allah dan jalan Allah."

(Miftahu Daris Saadah-Ibnul Qayyim al Jauziyah, 1/160).

Al Kibr dan Al Ujub di Sisi Imam Ibnul Mubarak


Abu Wahb al Marwazi rahimahullah pernah bertanya kepada Al Imam Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah tentang apa itu al kibr (sombong), maka beliau menjawab, "Al kibr (sombong) adalah ketika engkau merendahkan manusia."

Lalu beliau ditanya kembali tentang apa itu al ujub, maka beliau menjawab, "Al Ujub adalah ketika engkau menganggap bahwa di sisimu ada sesuatu (keutamaan) yang tidak ada pada manusia."

(Tadzkiratul Huffazh-Khathib al Baghdadi, 1/378).

Tiga Adab yang Paling Utama Atas Seorang Alim


Imam Ibnu Abdilbar rahimahullah berkata, "Termasuk adab yang paling utama dari seorang yang berilmu (alim) adalah ketawadhuannya dan meninggalkan ujub (bangga diri) terhadap ilmunya serta menjauh dari sifat cinta ketenaran."

(Jamiu Bayanil Ilmi wa Fadhlihi-Ibnu Abdilbar, hal. 223)

Selasa, 17 Oktober 2017

Seorang Pengajar Hendaknya Berakhlak Mulia

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "Para pengajar wajib untuk mencontohkan akhlak yang utama nan mulia di hadapan para anak didiknya, dan hendaknya mereka menjauhi setiap akhlak yang rendah nan tercela, karena seorang pengajar itu mengajarkan akhlak sebagaimana dirinya mengajarkan ilmu-ilmu."

(Lihat Adh Dhiyaul Lami-Syaikh Utsaimin, hal. 15, cet. Maktabatush Shafa 2005).

Senin, 16 Oktober 2017

Menjauh dari Ketenaran


Imam Al Baihaqi rahimahullah berkata, "Ketahuilah bahwa pokok dari sebuah ketenaran adalah suka jika ucapannya tersebar dan terkenal dan ini merupakan bahaya yang besar, keselamatan itu terdapat pada ketidaktenaran.

Para ahlul ilmi tidaklah menginginkan kemasyhuran dan tidak menyodorkan diri-dirinya kepada ketenaran, dan juga tidak menempuh sebab-sebab untuk menjadi terkenal.

Namun jika mereka terkenal karena kehendak Allah, mereka pun berlari menjauh dari itu dan menetapi jalan untuk tidak menjadi terkenal."

(Az Zuhd al Kabir-Imam Al Baihaqi, hal. 122)

Teruslah Menuntut Ilmu


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

《لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ ثم َتَرَكَ》
Artinya:
Janganlah seperti si Fulan. Dahulu ia rajin shalat malam, sekarang ia meninggalkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan faidah terkait hadits ini, beliau berkata, "Di antara faidah dari hadits ini adalah pentingnya dan besarnya perkara seorang insan yang dirinya telah memulai menuntut ilmu syar'i, kemudian Allah bukakan (kemudahan ilmu) bagi dirinya dengan apa yang Allah bukakan, tapi kemudian dia tinggalkan (tidak lagi menuntut ilmu).

Sesungguhnya ini adalah kufur nikmat terhadap apa yang Allah telah berikan kepadanya.

Maka jika engkau telah memulai menuntut ilmu, hendaknya dirutini secara terus menerus kecuali jika memang ada sesuatu hal yang menyibukkan dari perkara darurat, jika tidak ada, maka teruslah menuntut ilmu..."

(Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin 7/61)

Amalkan Ilmumu


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Wahai para pengajar jika engkau telah mengetahui suatu permasalahan agama maka beramalah dengannya, jika tidak maka apa gunanya ilmu itu!

Bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang belajar ilmu kedokteran akan tetapi dia tidak mau mengobati, baik terhadap dirinya sendiri atau kepada orang lain, apa faidahnya kalau begitu?!

Demikian juga dengan ilmu-ilmu syariat yang tidak diamalkan, dimana ini seharusnya tentu lebih-lebih lagi perkaranya, karena jika engkau telah mengamalkannya maka itu merupakan ilmu yang paling bermanfaat untukmu, namun jika engkau menyelisihi ilmumu niscaya ilmu itu akan menjadi penghujat atas dirimu sendiri."

(Lihat Adh Dhiyaul Lami-Syaikh Utsaimin, hal. 15, cet. Maktabatush Shafa 2005).

Bahaya Laten Hawa Nafsu


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Seorang insan wajib untuk berhati-hati dari hawa nafsu karena bisa jadi dia telah selamat dari penyembahan kepada patung, pohon dan kuburan serta telah mengetahui tauhid dan sunnah akan tetapi dia tidak selamat dari mengikuti hawa nafsunya.

Ini adalah musibah yang besar!

Maka wajib bagi seorang muslim untuk waspada dari hawa nafsunya, yakni ketika menjadikan hawa nafsunya sebagai yang diikuti dari apa-apa yang datang dari Rasulullah shallalahu alaihi wasallam."

(Syarah Syarhus Sunnah-Syaikh Fauzan, hal. 33, cet. Maktabah Hadyi Muhammadi 2013).

Beban Berat yang Kita Tidak Akan Sanggup Memikulnya



Pernahkah Anda memikul beras satu karung besar di punggung Anda? Tentunya sangat berat dan melelahkan. Akan tetapi tahukah Anda, ada yang lebih berat dari itu yang kelak akan Anda panggul di punggung Anda, apakah itu?

Seorang Tabi'in yang bernama Maimun bin Mihran rahimahullah berkata, "Wahai bani adam, ringankanlah beban di punggungmu, karena punggungmu tidak akan mampu untuk memikul setiap beban yang diberikan dari berupa kezhaliman, memakan harta orang dan mencela. Lantas, apakah semua itu akankah engkau pikul di atas punggungmu? Oleh karenanya ringankanlah beban di punggungmu. Sesungguhnya amal-amal kalian itu sedikit. Maka ikhlashlah (semata karena Allah) apa yang sedikit tersebut." (Hilyatul Aulia-Abu Nu'aim al Ashbahani 7/30-31).

Jika Anda tidak mampu memanggul kezhaliman berupa memakan harta orang tanpa hak, maka mengapa Anda masih tidak jujur dalam berniaga? Mengapa Anda masih khianat terhadap harta atasan Anda?

Jika Anda tidak mampu memanggul kezhaliman berupa dosa mencela, maka mengapa Anda masih suka bersuuzhan (berburuk sangka) terhadap saudara Anda seiman? Mengapa Anda mudah memvonis jelek terhadap saudara Anda semuslim?

Astaghfirullahal 'azhim.. betapa berat beban punggung ini kelak di hari kiamat jika kita tidak segera bertaubat.

Orang yang Berakal Tidak Melecehkan Seorang pun


Imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata, "Seorang yang berakal tidaklah melecehkan seorang pun, karena barang siapa yang melecehkan penguasanya maka rusaklah dunianya, barang siapa yang melecehkan orang-orang yang bertakwa maka binasalah agamanya, barang siapa yang melecehkan saudaranya maka hilanglah kewibawaannya dan barang siapa yang melecehkan manusia maka hilanglah penjagaannya."

(Raudhatul Uqala-Ibnu Hibban, dinukil dari Al Muntaqa min Kitabi Raudhatil Uqala wa Nuzhatil Fudhala, hal. 14, cet. Darul Istiqamah 2010).

Apa itu Shidqul 'Azhimah?


Syaikh Hafizh al Hakami rahimahullahu menjawab, "Shidqul 'Azhimah adalah meninggalkan rasa malas dan angan-angan serta mengerahkan segenap kemampuan untuk berlaku jujur di dalam ucapannya dengan amalannya. Allah taala berfirman,

《يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُون * كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ》
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu katakan apa yang kamu tidak kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah ketika kamu mengatakan apa-apa yang kamu tidak kerjakan". (QS. Ash Shaf: 2 dan 3).

(A'lamus Sunnah Al Mansyurah-Syaikh Hafizh al Hakami, hal. 7, cet. Darul Furqan 2011)

Semangat untuk Mengulang-ulang Hafalan


Imam Al A'masy rahimahullah berkata, "Dahulu Ismail ibn Raja mengumpulkan anak-anak yang belajar di kuttab (sejenis TPA) kemudian beliau membaca hadits-hadits kepada mereka (murajaah) agar hadits-hadits yang telah beliau hafal tidak lupa."

(Kitabul Ilmi-Ibnu Qutaibah ad Dainuri, dinukil dari Tahdzibnya hal. 39, cet. Darul Atsar 2007)

Tidak Mencela ketika Mengajar, Tidak Meremehkan ketika Belajar


Sufyan ibnu Uyainah rahimahullah berkata, "Disukai bagi seorang alim jika mengajarkan (ilmu) tidak mencela (muridnya) dan jika diajari tidak meremehkan (gurunya)."

(Kitabul Ilmi-Ibnu Qutaibah ad Dainuri, dinukil dari Tahdzibnya hal. 19, cet. Darul Atsar 2007)

Tetap Perhatian Walau Sudah 1000 Kali Mendengar



Imam Az Zurnuji rahimahullah berkata, "Seyogyanya bagi seorang penuntut ilmu untuk mendengarkan ilmu dan hikmah dengan pengagunggan dan penghormatan, walaupun dia telah mendengar satu permasalahan atau satu kalimat (yang sama) sebanyak seribu kali."

Dikatakan (oleh para ulama), "Barang siapa yang tidak mengagungkan ilmu setelah (mendengarnya) sebanyak seribu kali seperti pengagunggannya ketika di kali yang pertama, maka dia bukanlah seorang ahlul ilmi."

(Ta'limul Muta'allim-Az Zurnuji, hal. 82, cet. Darush Shahabah 2013).

Antara Ilmu dan Harta


Ali ibn Abi Thalib berkata, "Wahai Kumail, ilmu itu lebih baik daripada harta, karena ilmu akan menjagamu dan harta engkaulah yang menjaganya. Harta akan habis ketika diinfakkan (dibelanjakan) dan ilmu akan bertambah jika diinfakkan (diajarkan)."

(Kitabul Ilmi-Ibnu Qutaibah ad Dainuri, dinukil dari Tahdzibnya hal. 15, cet. Darul Atsar 2007)

Orang yang Tidak Butuh Biasanya Orang yang Dekat



Kaab al Akbar berkata kepada suatu kaum dari penduduk Syam, "Bagaimana pendapat kalian tentang Abu Muslim al Khaulani?" Mereka menjawab, "Betapa bagusnya pandangan kami terhadap beliau dan kami mengambil (manfaat) darinya."

Maka Kaab berkata, "Sesungguhnya manusia yang paling tidak butuh kepada orang hikmah adalah keluarganya. Sesungguhnya bisa dipermisalkan akan hal itu adalah adanya sebuah mata air yang melimpah airnya yang terdapat di tengah sebuah kaum, orang-orang asing sangat bersemangat untuk mengambil airnya sedangkan orang-orang yang dekat merasa tidak butuh. Yang memperjelas hal keduanya itu adalah ketika air dari mata air tersebut mengucur dan mengenai orang-orang yang memanfaatkannya, adapun yang lainnya (yang tidak kebagian), mereka saling menyesal."

(Kitabul Ilmi-Ibnu Qutaibah ad Dainuri, dinukil dari Tahdzibnya hal. 11, cet. Darul Atsar 2007)

Berbicaranya Orang yang Berakal


Imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata, "Seorang yang berakal itu:
Tidak memulai bicara kecuali jika ditanya,
Tidak banyak berdialog/debat kecuali memang dapat menerima (bagi yang kalah hujjah),
Tidak cepat menjawab kecuali sudah pasti (benarnya)."

(Raudhatul Uqala-Ibnu Hibban, dinukil dari Al Muntaqa min Kitabi Raudhatil Uqala wa Nuzhatil Fudhala, hal. 14, cet. Darul Istiqamah 2010).

Bagaimana cerminan akidah pada kehidupan dan perangai seorang muslim?


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu menjawab, "Sebagaimana saya terangkan, jika akidahnya benar maka benar pula amalannya seorang muslim, karena akidah yang benar akan membawa seorang muslim kepada amalan-amalan shalih dan akan menghantarkan kepada keabaikan dan kepada perbuatan-perbuatan yang terpuji.

Oleh karenanya jika seseorang bersyahadat laa ilaha illallah dengan syahadat yang terbangun di atas ilmu dan yakin serta mengetahui konsekuensinya, maka hal itu akan menghantarkan kepada amalan-amalan yang shalih karena syahadat laa ilaha illallah bukanlah semata-mata hanya diucapkan di lisan saja, akan tetapi harus diyakini dan diamalkan.

Tidaklah benar syahadat ini dan tidak juga bermanfaat kecuali jika ditunaikan konsekuensinya berupa amalan-amalan shalih. Maka, tunaikanlah rukun-rukun islam dan rukun-rukun iman serta apa-apa yang bisa menambahnya dari perintah-perintah agama, syariat-syariat, sunnah-sunnah dan amalan-amalan penyempurna lainnya."

(Terjemah bebas dari Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh al Fauzan, jil. 1, hal. 25-26, cet. Darul Bashirah 2009).

Jangan Langsung Menyikapi


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, " Seorang insan dipuji atas niat baiknya, akan tetapi terkadang tidak terpuji atas jelek perbuatannya, kecuali jika dirinya seorang yang dikenal sebagai seseorang yang suka menasehati dan membimbing, karena hendaknya dia diberikan udzur atas perbuatannya yang jelek tersebut dan juga dicarikan udzur atas hal itu.

Juga yang seharusnya kita tidak menyikapi dirinya karena perbuatan jeleknya tersebut dengan sikap yang tidak hikmah, bahkan tidak boleh serta merta langsung menyikapi dan menjelek-jelekkan dirinya dengan sesuatu yang dia tidak kerjakan.

Akan tetapi hendaknya dia diberikan udzur lalu dijelaskan perkaranya kemudian dinasehati dan dibimbing serta ucapkanlah kepadanya, "Wahai akhi, ini ucapanmu atau perbuatanmu adalah bagus dan benar di sisimu, akan tetapi tidak tepat (jika diucapkan atau dikerjakan) di keadaannya atau di tempatnya atau di waktunya."

(Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 36, cet. Dar Ibnil Jauzi 2006)

channel telegram khusus terjemahan kitab-kitab tipis

Info
Bismillah,
Alhamdulillah, telah dibuat channel khusus terjemahan kitab-kitab tipis secara berurut, insya Allah.

Bagi teman-teman yang mau mengunjungi, tafadhal gabung di salah satu channel link kami ini telegram.me/TerjemahKutaib

Jazakallahukhaira

Waktu Bukan untuk Dihabiskan, Akan Tetapi untuk Dimanfaatkan


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Waktu yang teranggap murah di sisi mayoritas manusia ini, terasa lama bagi mereka. Hingga mereka merasa jenuh dan berkata, "Kami ingin menghabiskan waktu", mereka pun pergi ke tempat-tempat permainan atau bepergian keluar untuk mengisi liburan dan waktu. Atau ada juga yang diisi dengan gelak tawa dan canda untuk menghabiskan waktu.

Maka mereka yang telah membuang-buang waktu dan yang menyia-nyiakannya niscaya akan menjadi orang-orang yang merugi dan menyesal di hari kiamat. Waktu adalah sumber kebahagiaan, jika mereka menjaganya.

(Syarah Tsalatsatil Ushul-Syaikh Shalih Fauzan. Dinukil dari Jami Syuruh ats Tsalatsatil Ushul, hal. 42, cet. Ibnul Jauzi 2012).

Pengaruh dari Keyakinan bahwa Allah Bersamamu


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "Jika engkau beriman bahwa Allah itu bersamamu, mengetahuimu, melihatmu dan yakin tidak ada sesuatu apapun yang bisa tersembunyi darimu, maka sesungguhnya perasaan ini akan menguatkan rasa takutmu kepada Allah. Maka pada titik keadaan seperti ini, engkau telah menyempurnakan rasa muraqabah (merasa diawasi Allah).

Karena sesungguhnya jika seandainya engkau berada di kamarmu yang gelap dan tidak ada seorangpun di sisimu, engkau pun berkata bahwa Allah azza wa jalla bersamanu dan Dia di atas arsy-Nya, niscaya engkau akan takut kepada-Nya dan tidak akan berbuat sesuatu yang membuat murka-Nya."

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 130, cet. Maktabatush Shaffa 2005)

Apa Tanda Kecintaan Seorang Hamba kepada Rabb-nya?


Syaikh Hafizh al Hakami rahimahullau menjawab, "Tandanya adalah:
Hamba tersebut mencintai segala yang dicintai Allah
Membenci apa yang dibenci Allah
Mengerjakan perintah-perintah Allah
Menjauhi larangan-larangan Allah
Berloyalitas dengan Wali-wali Allah
Membenci musuh-musuh Allah.

Oleh karenanya tali iman yang kuat adalah cinta karena Allah dan benci juga karena Allah."

(A'lamus Sunnah Al Mansyurah-Syaikh Hafizh al Hakami, hal. 6, cet. Darul Furqan 2011)

Janganlah Menyembah Hawa Nafsu


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Syirik tidaklah terbatas pada penyembahan patung atau berhala saja, bahkan di sana ada yang lain, yaitu hawa nafsu.

Seorang insan yang tidak menyembah patung, pepohonan, bebatuan dan kuburan, akan tetapi dia mengikuti hawa nafsunya, maka seperti ini dia adalah hamba dari hawa nafsunya.

Maka seorang insan wajib untuk berhati-hati dan janganlah mengikuti kecuali dengan apa yang mencocoki Al Kitab (Al Qur'an) dan As Sunnah."

(Syarah Syarhus Sunnah-Syaikh Fauzan, hal. 32, cet. Maktabah Hadyi Muhammadi 2013).

Hindari Perbedaan dalam Berteman Selama tidak Menyelisihi Syariat


Abul Barakat Badruddin Muhammad al Ghazi rahimahullah berkata, "Di antara adab berteman adalah meminimalkan perselisihan terhadap saudaranya dan (berusaha untuk) senantiasa mencocoki mereka di dalam perkara yang diperkenankan oleh ilmu dan syariat. Berkata Abu Utsman: mencocoki saudaranya itu lebih baik dibandingkan dengan mengasihaninya."

(Adabul Isyrah-Abul Barakat, hal. 17, cet. 1968)

Mengajak kepada Kebaikan Niscaya akan Mendapat Gangguan


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Sudah lumrah, bahwa siapa saja yang berdakwah kepada manusia, mengajak kepada perkara yang maruf dan melarang dari perkara yang mungkar, maka sesungguhnya dia tengah menyodorkan dirinya kepada gangguan dan kesusahan, karena mayoritas manusia tidaklah menginginkan kebaikan, bahkan yang mereka inginkan adalah berbagai macam syahwat yang haram dan hawa nafsu yang batil.

Jika ada seorang yang datang untuk mendakwahinya kepada jalan Allah dan ingin mengembalikan mereka dari (kejelekan) syahwat-syahwatnya, niscaya di antara mereka akan menolaknya baik dengan ucapan maupun perbuatan.

Maka sudah menjadi kewajiban atas orang yang berdakwah kepada jalan Allah dan orang yang menginginkan wajah Allah untuk bersabar terhadap gangguan dan tetap lanjut untuk berdakwah kepada jalan Allah.

Teladan kita di dalam hal ini adalah para rasul alaihim shalatu wasalam, dan sebaik-baik mereka dan penutupnya adalah Muhammad shallallahu alaihi wasallam."

(Syarah Tsalatsatil Ushul-Syaikh Shalih Fauzan. Dinukil dari Jami Syuruh ats Tsalatsatil Ushul, hal. 40, cet. Ibnul Jauzi 2012).

Jadikan Ilmumu Bermanfaat Juga bagi Orang Lain


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah berkata, "Seorang insan tidak boleh merasa cukup ketika dia telah belajar dan beramal untuk dirinya, sedangkan dia tidak berdakwah kepada Allah.

Akan tetapi dia hendaknya mengajak juga kepada orang lain agar (ilmunya) dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan bermanfaat juga bagi orang lain, karena ilmu ini adalah sebuah amanah dan bukanlah ilmu yang engkau miliki ini dijadikan sebuah simpanan yang tiada guna bagi manusia. Manusia itu butuh kepada ilmu.

Maka wajib bagi dirimu untuk menyampaikan dan menjelaskan serta mendakwahkan manusia kepada kebaikan.

Ilmu yang Allah anugerahkan kepada engkau ini, bukanlah sebagai wakaf untukmu semata, sesungguhnya ilmu ini adalah untukmu dan juga untuk orang lain, maka janganlah engkau tahan ilmu itu dari dirimu sehingga manusia terhalang dari manfaat ilmu yang engkau simpan sendiri, bahkan yang seharusnya yang engkau lakukan adalah menyampaikannya dan menjelaskannya kepada manusia."

(Syarah Tsalatsatil Ushul-Syaikh Shalih Fauzan. Dinukil dari Jami Syuruh ats Tsalatsatil Ushul, hal. 39, cet. Ibnul Jauzi 2012).

Bertanya tentang Bagaimana Cara Allah Beristiwa itu adalah Bid'ah


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, "Hal itu ada dua sisi.
Sisi yang pertama:
Bahwasa pertanyaan tentang ini adalah pertanyaan tentang agama dan akidah, tidak ada pada perkara ini keterangan dari kalangan para shahabat nabi.

Tidak ada satu pun di kalangan mereka bertanya kepada nabi shallallahu alaihi wasallam tentang bagaimana caranya Allah beristiwa, padahal mereka adalah orang-orang yang paling antusias tergadap sesuatu yang berkaitan dengan Allah taala. Terlebih, ketika itu ada yang mungkin bisa diminta jawabannya yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Jika sebabnya ada dan penghalangnya telah hilang, maka mesti adanya sesuatu. Akan tetapi para shahabat nabi tidak menanyakannya, mereka tidak bertanya, "Wahai rasulullah bagaimana cara beristiwanya?". Hal itu terjadi karena adab para shahabat nabi kepada Allah dan rasul-Nya, serta ilmu yang ada pada mereka bahwa hal itu (bertanya tentang cara beristiwa) tidak akan mungkin dapat dicerna (indera) dan tidak akan ada keinginan-keinginan (membahas masalah) yang seperti ini melainkan datang dari orang-orang yang menyimpang.

Oleh karenanya kami katakan bahwa pertanyaan tentang ini (bagaimana cara beristiwanya Allah) adalah bid'ah.

Sisi yang kedua:
Bahwa bertanya tentang hal ini adalah termasuk dari ciri-ciri ahlu bid'ah. Mereka bertanya, "Bagaimana cara beristiwanya Allah?", "Bagaimana caranya Allah turun?", "Bagaimana caranya Allah datang?", "Bagaimana rupa tangannya Allah?", "Bagaimana rupa wajahnya Allah?", dan pertanyaan-pertanyaan yang semisalnya.

Tidaklah seorang pun yang bertanya tentang bagaimana caranya kecuali dia adalah ahlu bid'ah."

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 121-122, cet. Maktabatush Shaffa 2005)

Apakah Allah Beristiwa di Atas Arsy-Nya Sebelum Langit dan Dunia Diciptakan?


Allah berfirman,

《إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأمْرَ 》
Artinya:
"Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan." (QS. Yunus: 3)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata tentang ayat ini, "Yakni setelah menciptakan langit dan bumi, Allah beristiwa di atas arsy. Maka, apakah sebelum diciptakan (langit dan bumi) Allah beristiwa juga atau tidak?
Jawabnya, jika kita katakan tidak, maka kita salah. Jika kita katakan iya, maka kita salah juga, karena Allah mengkabarkan bahwa berisitiwanya ke atas arsy-Nya hanya setelah penciptaan langit dan bumi, dan berhenti (tidak dikabarkan) bagaimana (kejadian) sebelumnya. Maka kita wajib diam (tentang hal ini) dan kami katakan (atas jawaban pertanyaan ini dengan) wallahu alam.

(Disadur dari Syarah Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 119, cet. Maktabatush Shaffa 2005)

Bermusyawarahlah dengan Ahlinya


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, "(Hendaknya) bermusyawarah dengan ahlul ilmi dan meminta pendapatnya. Setiap insan itu tergantung (pada permasalahannya), contohnya: jika engka ingin melakukan sesuatu yang menyangkut urusan agama maka bermusyawarahlah dengan ahlul ilmi, karena mereka lebih tahu dengan perkara agama dibandingkan yang lainnya.

Jika engkau ingin membeli rumah maka bermusyawarahlah dengan seorang yang memahami di daerah itu, jika engkau ingin membeli kendaraan maka bermusyawarahlah dengan orang yang ahli mekanik kendaraan dan demikianlah seterusnya."

(Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 34, cet. Dar Ibnil Jauzi 2006)

Berikanlah Kebahagiaan bagi Orang Sakit


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "... Jika engkau lihat bahwa orang yang sakit itu menyukai dirimu untuk tinggal lama di sisinya (menemaninya) maka berlama-lamalah sejenak bersamanya dan (dengan tindakan ini) engkau tengah di atas kebaikan dan mendapat pahala.

Berlama-lamalah engkau di sisinya dan berikanlah kesenangan padanya, boleh jadi ketika engkau memberikan kebahagiaan kepada hatinya, bisa menjadikan sebab untuk kesembuhannya karena kebahagiaannya orang yang sakit dan kelapangan dadanya merupakan penyebab terbesar kesembuhan."

(Disadur bebas dari Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 33, cet. Dar Ibnil Jauzi 2006)

Efek Dahsyat dari Menjenguk Orang Sakit


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Di dalam amalan menjenguk orang sakit terdapat faidah yaitu teraihnya kecintaan dan kasih sayang, karena ketika ada seorang menjenguk, maka orang yang sakit tersebut niscaya akan selalu mengingat orang yang menjenguknya, dan setiap dia teringat akan hal ini maka akan timbul kecintaan kepadanya.

Ini merupakan kenyataan yang banyak terjadi, yaitu ketika orang yang sakit itu sembuh dan bertemu denganmu, maka dia akan didapati berterima kasih kepadamu dan engkau dapati juga hatinya terasa lapang karena sebab engkau dahulu menjenguknya."

(Disadur bebas dari Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 32, cet. Dar Ibnil Jauzi 2006)

Agar Pengeluaran Nafkahmu Bernilai


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda

《إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فيِ امْرَأَتِكَ》
Artinya: "Sesungguhnya tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah dengan niat untuk mencari wajah Allah, kecuali engkau akan diberi pahala, sampai pun apa-apa yang engkau berikan ke mulut isterimu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata tentang hadits di atas, "Yakni sampai pun suapan (makanan) yang engkau suapkan kepada istrimu, maka akan diberikan pahala jika diniatkan untuk meraih wajah Allah, padahal bersamaan dengan itu, menafkahi istri adalah memang perkara yang wajib (atas suami)..."

Syaikh rahimahullah melanjutkan, "... Dan demikian juga jika engkau nafkahi anak-anakmu, ibumu dan ayahmu, bahkan kepada dirimu sendiri, jika memang nafkah yang dikeluarkan itu semua engkau niatkan untuk mendapat wajah Allah, maka Allah akan mengganjarmu (dengan pahala)."

(Disadur dari Syarah Riyadhush Shalihin-Syaikh Ibnu Utsaimin, jil. 1, hal. 30, cet. Dar Ibnil Jauzi 2006)

Puasa itu Menyehatkan Badan


Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata, "Hadits nabi,
《صوموا تصحوا》
Artinya:
"Berpuasalah kalian, niscaya kalian akan sehat."

Diriwayatkan dari nabi dan terdapat di sebagian kitab-kitab sunnah.

Jika memang pada sanadnya tidak kuat, akan tetapi maknanya shahih karena di dalam puasa ada manfaat kesehatan bagi badan, yaitu mencegah sesuatu yang bisa menyebakan sakit, dan ini telah tersaksikan oleh para ahli pengobatan dan pengalaman nyata."

(Irsyadul Khillan ila Fatawal Fauzan-Syaikh al Fauzan, jil. 2, hal. 225, cet. Darul Bashirah 2009).